• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lekra dan Lawan Politiknya

BAB II LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA

2.5 Lekra dan Lawan Politiknya

94 Komentar dari Abdul Kohar Ibrahim perihal tentang kehadiran KSSR. (interview via e-mail dengan Abdul kohar Ibrahim)

Maksud dari kata “manikebu” sendiri terdiri dari unsur kata ‘mani’ yang berarti air kencing dan ‘kebo’ yang berarti binatang kerbau. Kata “manikebu” ini sering kali dituliskan atau disebutkan oleh kelompok-kelompok seniman progresif, termasuk Lekra.

Sedangkan kaum Manifesto Kebudayaan menyebut Lekra dan ‘kawan-kawan se-ideologinya’ dengan sebutan “Kaum Reaksioner”, yang dimaksudkan bagi ‘mereka yang bereaksi terlalu berlebihan terhadap Manifes Kebudayaan”.95

“pameran kekuatan dari suatu kelompok yang mewakili kepentingan kebudayaan anti komunis, yang mendapat dukungan dari militer”

Bagi Lekra, berdirinya Manikebu tanggal 17 Agustus 1963 di Jakarta, adalah sebuah degradasi yang muncul dalam pembangunan kebudayaan yang revolusioner.

Jikalau Lekra berafiliasi bersama dengan PKI dan PNI, lain halnya Manifesto Kebudayaan yang lebih memilih berafiliasi dengan militer atau Angkatan Darat (AD). Kerjasama antara Manikebu dengan Angkatan Darat / militer sangatlah jelas. Manikebu menjadi provokasi politik militer dalam bidang kebudayaan, malahan banyak kalangan meyakini bahwa Manifesto Kebudayaan dibentuk oleh Wiratmoe Soekito bersama dengan pihak Angkatan Darat.

Mereka-mereka yang berada dalam kubu Manifes Kebudayaan adalah seniman-seniman yang memusuhi komunis dan anti-Lekra. Keith Foulcher memandang kemunculan “Manikebu” ini sebagai sebuah bentuk;

96

Langkah tindak lanjut Manikebu bersama dengan”militer” untuk memperkuat eksistensi mereka ialah dengan menyelenggaraakan Konferensi Karyawan Pengarang

95 D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, 1995, op.cit. hal. 11.

96 Keith Foulcher, 1986, op.cit. hlm. 124.

Indonesia (KK-PSI), tanggal 1-7 Maret 1964. Kegiatan ini dijadikan sebagai pelembagaan awal dari kegiatan-kegiatan mereka selanjutnya dan memberi wadah bagi para anti Lekra untuk menyatakan dukungannya terhadap “Manikebu”. Ketua Presidium/ Penasehat pada konferensi ini diambil alih oleh pihak AD, yaitu Brigadir Jendral Soedjono. 97

Berdirinya Manikebu yang diwataki oleh militer ini juga menghadirkan pertentangan di internal Angkatan Darat sendiri. Ikatan Kekeluargaan Anggota Tentara (IKAT) daerah Surakarta yang dipimpin oleh Peltu Sujono mengungkapkan bahwa

“Humanisme-Universal seperti yang dimaksud dalam Manikebu itu tidak dapat diterapkan ke dalam jiwa kehidupan TNI yang sejatinya merupakan Tentara Rakyat dan Tentara Revolusioner, dan hal ini jika dilanjutkan akan melumpuhkan semangat TNI sebagai patriot nasional.”98

Bahkan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Indonesia, A.H. Nasution sewaktu memberikan kata sambutannya dalam pembukaan KK-PSI menegaskan ketidaksetujuannya terhadap pendirian Manifesto Kebudayaan yang menolak azas ‘politik sebagai panglima’ dan ia juga menyarankan agar membuat manifes yang baru. 99

Dalam perseteruannya dengan Manikebu, Lekra sesungguhnya sudah di atas angin.

Perlakuan Soekarno yang buruk kepada Manikebu membuat kelompok ini tidak bisa terlalu leluasa untuk beraktivitas. Lekra dan LKN pada waktu itu merupakan organisasi Pertentangan di kubu militer ini sendiri menunjukkan bagaimana Manikebu masih belum mendapat tempat yang layak dalam arena politik dan budaya Indonesia.

97 D.S. Moeljanto,1995, op.cit. hlm. 441

98 Ibid, hlm. 304

99 Ibid. hlm.267.

kebudayaan yang sedang berada di puncak kekuasaannya. Tentu hal ini makin mempersulit Manikebu untuk ‘minimal’ dapat mempertahankan eksistensinya di ranah kebudayaan Indonesia. Ternyata apa yang diharapkan oleh Manikebu itu tidak terwujud, mereka akhirnya “dilarang” keberadaannya oleh pemerintah Indonesia , yang langsung dinyatakan sendiri oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964;

“Kami, Presiden Republik indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar Revolusi, dengan ini menyatakan bahwa demi keutuhan dan kelurusan jalannya Revolusi dan demi kesempurnaan ketahanan Bangsa, apa yang disebut ‘Manifesto Kebudayaan’ yang disingkat menjadi Manikebu dilarang.

Sebab-sebab larangan itu ialah karena Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran Pancasila telah menjadi garis haluan negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain, apalagi kalau manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya, padahal demi suksesnya Revolusi, maka segala usaha kita, juga dalam lapangan kebudayaan, harus kita jalankan di atas rel Revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol dan bahan indoktrinasi lainnya”.

Antara, 9 Mei 1964 100

Dalam menikmati masa-masa puncak kejayaan kaum revolusioner kiri, tiba-tiba angin perpolitikan Indonesia mengalami perubahan drastis di pertengahan sampai penghujung tahun 1965. Kudeta besar-besaran terjadi pada September-Oktober 1965 dan menghempaskan PKI beserta kroni-kroninya dari arus perpolitikan bangsa. Tak ketinggalan juga Lekra. Dianggap sehaluan dengan PKI, Lekra pun akhirnya ikut terkena imbas dari angin perubahan yang sedang terjadi itu. Pada akhirnya setelah Peristiwa Gestapu tersebut berakhir, Lekra benar-benar telah hancur, dan tak pernah hidup lagi.

Kelompok Manikebu dengan Angkatan Darat lah yang pada akhirnya memenangkan pertarungan perebutan pengaruh ideologi di Indonesia.

100 Ibid, hlm. 355.

Meski pada akhirnya Manifes Kebudayaan beserta Angkatan Darat yang berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertandingan memperebutkan ruang kebudayaan dan politik di Indonesia sejak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana jatuhnya Lekra ada pada Bab IV dalam buku ini), Lekra telah berhasil menanamkan dan membentuk sebuah kebudayaan yang baru dan modern di Indonesia dalam kurun waktu 1950-1965.

Kebudayaan modern yang dihasilkan Lekra selama lima belas tahun itu pun bukan dari tangan-tangan kebudayaan asing, melainkan dari tangan Rakyat Indonesia sendiri. Hal seperti ini tentu tidak mudah dilakukan oleh organisasi kebudayaan manapun, bahkan kelompok Manifes Kebudayaan hanya mampu eksis sampai tahun 1970-an tanpa menanamkan pengaruh yang berarti dan setelah tahun tersebut mereka hanya berjalan sendiri-sendiri saja sebagai individu yang berkesenian Humanisme Universal tanpa membawa embel-embel Manifesto Kebudayaan yang mereka banggakan dahulu.

BAB III

PENGARUH LEKRA TERHADAP PERKEMBANGAN KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN