• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencarian Identitas Kebudayaan Bangsa

BAB II LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA

2.1 Pencarian Identitas Kebudayaan Bangsa

Pada masa awal kemerdekaan bangsa Indonesia, persoalan identitas kebudayaan menjadi sebuah topik masalah yang cukup serius dibicarakan oleh khalayak umum.

Momentum kemerdekaan menjadi tolak ukur terciptanya sebuah keharusan untuk menciptakan identitas dari sebuah kebudayaan yang mandiri, kebudayaan yang bisa merangkul seluruh wilayah bangsa dan dapat menggantikan identitas budaya lama yang sudah puluhan abad menghiasi sendi-sendi kehidupan rakyat banyak.

Permasalahan dalam pencarian identitas kebudayaan ini pada awalnya ialah berusaha untuk menghapus sisa-sisa kolonialisme dan imperialisme yang masih berada di Indonesia yang baru menikmati kemerdekaan. Pada tahun 1945-1949, para seniman dan pujangga-pujangga berusaha menciptakan beberapa karya seni untuk menenggelamkan karya-karya seni asing yang dahulu sangat popular di mata masyarakat. Sekaligus juga membuktikan kepada rakyat Indonesia bahwa karya-karya seni inlanders (pribumi) juga ada dan tak kalah berkualitas dengan karya-karya seni barat.

Pujangga-pujangga besar seperti Chairil Anwar16, Sutan Takdir Alisyahbana, Asrul Sani17

16 Chairil Anwar, lahir di Medan pada 22 Juni 1922. Ia mulai masuk ke dalam dunia sastra sejak masa pendudukan Jepang. Sajak-sajak yang dibuatnya semasa itu sangat merefleksikan semangat patriotiknya, diantaranya ‘Diponegoro’, ‘Persetujuan dengan Bung Karno’, ‘Siap Sedia’ dan sebagainya.

17 Asrul Sani lahir di Rao (Sumatera) 10 Juni 1926. Ia juga berperan sebagai pendahulu Angkatan

’45. Asrul kemudian mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan, organ budaya Nahdatul Ulama (NU).

, Rivai Apin, M.Balfas, Henk Ngantung, Nyoto dll. adalah para tokoh dalam bidang kebudayaan yang menjadi inspirasi bagi rakyat Indonesia pada masa awal kemerdekaan.

Nama-nama besar ini memang banyak melahirkan karya-karya besar yang sangat menginspirasi seniman-seniman dan budayawan-budayawan yang lain.

Seni yang sangat berkembang pesat pada tahun 1945-1950 ini ialah seni sastra.

Mereka yang berkecimpung di bidang ini disebut sebagai sastrawan pada periode Angkatan 45, dikenal aliran sastra realisme, naturalisme dan gaya ekspresionisme. Aliran dan gaya tersebut sesungguhnya sudah dikenal sejak periode Pujangga Baru, tetapi belum diterapkan sepenuhnya dalam karya-karya sastra para sastrawan waktu itu. Salah satu novel yang sangat identik dengan angkatan ini yaitu Salah Asuhan dan Belenggu. Akan tetapi, gaya kedua novel tersebut masih bercorak romantik.

Aliran sastra realisme dan naturalisme kemudian diterapkan pula dalam kritik18 sastra yang bercorak orientasi mimetik.19

Di samping aliran realisme dan naturalisme, dalam periode Angkatan 45’ juga muncul paham individualismee dan humanisme universal

Kritik sastra bertipe mimetik ini pertama kali tampak dalam kritik sastra HB.Jassin, meskipun juga bercampur dengan tipe yang lain, baik itu tipe pragmatik, ekspresif, maupun objektif.

20

18 Kata ‘kritik’ berasal dari bahasa Yunani krite’s yang berarti ‘seorang hakim’, krinein yang berarti

‘menghakimi’, criterion berarti ‘dasar penghakiman. Untuk istilah ‘kritik sastra’ sendiri mulai meluas pada abad ke-17. Istilah kritik sastra pada masa itu diterjemahkan sebagai sebuah bidang studi sastra untuk

“menghakimi” karya sastra dan untuk memberikan penilaian serta keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern, Dwi Dharma, Klaten, 1967, hlm. 9-10.

19 Rachmat Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm.

41. Sastra ‘mimetik’ merupakan sebuah pendekatan dalam hubungan karya sastra dengan ‘universe’

(semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatar belakangi lahirnya suatu karya sastra. Sastra jenis ini menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan antara karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.

Sastra mimetik juga sering disebut dengan sastra imitasi atau realitas.

20 Istilah ‘Humanisme Universal’ pertama kali diungkapkan di Indonesia oleh H.B. Jassin pada sebuah esainya yang menggambarkan filsafat estetika sastra Angkatan 45 (H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan esei II, Jakarta: Gunung Agung, 1967).

. Kedua paham itu memberi corak ataupun ciri kesusastraan Angkatan 45. Dalam kritik sastra kedua paham itu

bersangkut-paut dengan kriteria penilaian, yaitu kriteria ekstra estetik, dikenakan kepada

“bahan” karya sastra yang bersangkut-paut dengan keagungan atau kesubliman karya sastra.

Paham individualisme sesungguhnya sudah ada sejak angkatan Pujangga Baru21

Paham atau aliran seni yang kemudian masuk ke dalam Angkatan ’45 pada akhir tahun empat puluhan adalah ‘humanisme universal’. Paham ini mengutamakan penonjolan penggambaran manusia yang umum dalam karya sastra. Dalam arti, dalam karya sastra dikemukakan masalah-masalah kemanusiaan yang dapat atau mungkin dialami oleh manusia di seluruh dunia, misalnya masalah tidak adanya perikemanusiaan dalam perang, saling berbunuhan antara manusia, manusia di seluruh dunia itu menghendaki kemerdekaan, kesejahteraan lahir batin, menghendaki keadilan dan sebagainya.

. Akan tetapi, paham ini baru menjadi sangat menonjol pada Angkatan 45. Pada periode pujangga baru, individualitas atau kepribadian itu tampak pada hal pemilihan bentuk (sajak) yang sangat bervariasi, di samping berupa curahan perasaan pribadi dan gerakan sukma sesuai dengan ciri-ciri romantisme yang mengutamakan perasaan dan pikiran sastrawan. Akan tetapi, aku sebagai kedirian manusia perseorangan dalam periode Pujangga Baru belum ditonjolkan atau dikedepankan dengan sengaja. Dengan demikian, paham individualisme yang sesungguhnya baru kelihatan dalam karya-karya sastrawan Angkatan ‘45. Sebagai lambang individualisme Angkatan 45 adalah sajak “Aku” karya Chairil Anwar.

21 Nama Pujangga Baru, selain menjadi nama majalah yang terbit sejak 1933, juga dipakai sebagai nama angkatan yang menggambarkan gaya khas sastra yang juga merupakan ciri khas dari majalah tersebut.

Sering dihubungkan dengan perjuangan kaum intelektual nasionalis Indonesia dalam usahanya menjelaskan

“Indonesia” sebagai kesatuan budaya, juga harus disebut sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi kebudayaan bentukan kolonial Belanda: Balai Pustaka. (Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Jakarta, Girimukti Pasaka. 1991, hlm. 57).

Penggabungan antara individualisme dengan humanisme universal inilah yang akhirnya menjadi identitas dari sastrawan Angkatan ’45.

Pada 19 November 1946, di Jakarta, dengan usaha dari Asrul Sani, Sitor Situmorang22

“Gelanggang terlahir dari pergolakan ruh dan pikiran kita, yang sedang menciptakan manusa Indonesia yang hidup. Generasi yang harus bertaggung jawab dengan sesungguhnya penjadian diri bangsa kita. bahwa kita hendak melepaskan diri kita dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk, dan berani menentang pandangan, sifat dan anasir ini untuk menyalakan bara kekuatan baru.”

, Rivai Apin, Chairil Anwar, Henk Ngantung, dan M.Balfas, lahirlah sebuah wadah perkumpulan para seniman yang dinamakan “Gelanggang Seniman Merdeka” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Gelanggang”. Perkumpulan inilah yang nantinya menjadi cikal-bakal lahirnya generasi-generasi seniman kebudayaan selanjutnya di Indonesia sampai pada tahun 1965. Lebih lengkapnya, berikut statemen yang melatarbelakangi berdirinya “Gelanggang” sebagai perkumpulan seniman kebudayaan:

23

22 Sitor Situmorang lahir 2 Oktober 1923 di Harianboho, Tapanuli Utara. Mulai menulis pada akhir tahun empat puluhan, namun ia lebih populer pada tahun 1950-an setelah ia kembali dari Eropa. Karya-karyanya tidak hanya terdapat pada bidang sastra, tetapi juga pintar menulis lakon teater. Sitor juga aktif dalam kegiatan politik dengan pernah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dan mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), yang menjadi alat kebudayaan partainya sendiri. Ia ditangkap da dipenjara selama delapan tahun dalam kurun waktu 1968-1976.

23 D.S. Moelyanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya: Kilas-balik ofensif Lekra/PKI dkk, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 31.

Preambul pernyataan lahirnya “Gelanggang” di atas, tentu dengan sangat jelas mengisyaratkan suatu tujuan awal dibentuknya perkumpulan ini, yang juga menjadi sikap dari para seniman yang tergabung di dalamnya (a) mempertanggungjawabkan penjadian bangsa Indonesia; (b) mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran dan ruh rakyat Indonesia; (c) memasukkan cita-cita ke dalam segala kegiatan para seniman bangsa.

Hadirnya perkumpulan Gelanggang membuat situasi pergolakan kebudayaan berubah. Jika sebelumnya para seniman kebudayaan hanya disatukan oleh lembaga yang juga berlandaskan kebudayaan, namun buatan pihak kolonial Belanda, “Balai Pustaka”24

Surat Kepercayaan Gelanggang

, kini mereka mempunyai wadah untuk mempersatukan kaum-kaum seniman kebudayaan tersebut, terlebih lagi buatan anak bangsa sendiri. Akan tetapi, perkumpulan gelanggang ini tentu tidak dapat merangkul semua seniman di Indonesia yang baru merdeka pada waktu itu, jangankan merangkul, publikasi mengenai terbentuknya perkumpulan gelanggang ini belum terlalu banyak diketahui oleh para seniman pribumi di luar pulau Jawa.

Pada 18 Februari 1950, tepatnya empat tahun setelah perkumpulan gelanggang terbentuk, sehimpunan seniman yang juga tergabung dalam majalah mingguan Siasat, melansir suatu pernyataan sikap ke dalam sebuah teks yang dinamakan ‘surat kepercayaan gelanggang’. Berikut adalah isi dari surat kepercayaan gelanggang tersebut:

25

Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirka suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

24Balai Pustaka/Commissie voor de Volkslectuur mempunyai aturan-aturan tersendiri untuk menerbitkan sebuah buku, yaitu ‘isi tulisan harus bersikap netral terhadap agama’, ‘memenuhi syarat-syarat budi pekerti yang baik’, ‘menjaga ketertiban’, dan ‘tidak boleh berpolitik (melawan pemerintah kolonial Belanda)’. Setelah Republik Indonesia merdeka, Balai Pustaka beralih ke tangan pemerintah Indonesia. H.B.

Jassin, Surat-surat 1943-1983, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 24.

25 Ibid, hlm: 421 .

ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha –usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.

Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai using yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolus di tanah air kami sendiri belum selesai.

Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri.

Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

Jakarta, 18 februari 1950

Surat Kepercayaan Gelanggang, atau yang lebih sering disingkat dengan “SKG” ini adalah sebuah manifesto tentang bidang kebudayaan yang pertama kali muncul di Indonesia. Akan tetapi, SKG tidaklah dihasilkan oleh sebuah organisasi kebudayaan seperti yang banyak terjadi di periode-periode setelah SKG ini muncul. Surat Kepercayaan Gelanggang semata-mata adalah seruan dari sekelompok orang tanpa ikatan kerja bersama yang kongkrit, yang di kemudian hari didefinisikan oleh khalayak sebagai konsep pandangan dunia yang mewakili para seniman Angkatan 45. Meski dicetuskan pertama kali pada Februari 1950, pernyataan SKG sendiri baru pertama kali muncul dalam rubrik Cahier Seni dan Sastra yang juga bernama “Gelanggang” yang merupakan salah satu rubrik dari Majalah Siasat,26

26 Siasat merupakan sebuah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh kalangan budayawan dan intelektual yang kemudian hari sangat dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), diantaranya seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid dan Soedarpo Sastrosatomo. Terbit pertama kali pada Januari 1947, sedangkan ruang (rubrik) kebudayaan ‘Gelanggang’-nya baru muncul pada awal 1948 atas inisiatif dari sekelompok seniman dalam “Gelanggang Seniman Merdeka” yang kemudian oleh HB. Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah seni Indonesia.

pada edisi Oktober 1950. Sebelum termuat di media, sebenarnya pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang ini pernah dibacakan dalam sebuah

pertemuan antara budayawan dan intelektual Indonesia di Paviliun Hotel Indes Jakarta pada Juni 1950.

Manifes yang dibuat dalam Surat Kepercayaan Gelanggang cenderung berlandaskan bahwa seni dan kebudayaan pada umumnya adalah bersifat universal.

Pernyataan bahwa mereka (para pembuat SKG) adalah “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” pada bagian pertama, sesungguhnya adalah suatu sikap kultural yang kosmopolitan, yang maksudnya meniadakan secara konseptual suatu peniruan, adaptasi, akulturasi dan sejenisnya terhadap sebuah kebudayaan.

Sedangkan untuk paragraf kedua, ketiga, dan keempat adalah penegasan ulang bahwa identitas mereka sebagai orang Indonesia bukanlah dari tampilan fisik, melainkan dari apa yang mereka hasilkan sebagai insan pencipta budaya, terlebih lagi dengan diikuti penolakan terhadap segala “pemeriksaan ukuran nilai” dalam kebudayaan yang tak menentu sikap dan identitasnya atau sewenang-wenang. Lebih ekstrim lagi ialah pernyataan tidak mau “melap-lap hasil kebudayaan lama” namun akan menciptakan sendiri kebudayaan yang baru yang didapat dari sebuah interaksi para seniman dan budayawan dengan realitas dunia. Komitmen ini berarti mereka sepakat dengan konsep revolusi nilai, yang berarti meletakkan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang sudah tidak layak dan harus dihancurkan.

Yang cukup menarik dari manifes SKG ini adalah semangat

“internasionalismenya”27

27 Semangat internasionalisme ini menurut beberapa pengamat sejarah kesusasteraan Indonesia modern dipopulerkan oleh Chairi Anwar yang dia sendiri mengambilnya dari identifikasi dengan estetika modern eropa. Lihat pada Keith Foulcher, Angkatan 45; Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia, Jaringan Kerja Budaya, Jakarta ,1994, hlm 23.

dengan meletakkan tanggung jawab penuh dari integritas para

seniman secara individual sebagai pembangun budaya. Para pencetus SKG ini berpikiran bahwa seni sangat mempunyai peran dalam proses pembangunan bangsa apabila seniman tetap setia pada cita-cita untuk melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan melakukan penggalian untuk menemukan jati diri dari keaslian –keaslian pencapaian budaya.

Karena sifatnya yang ‘internasionalisme’ dan ‘universal’ itu, banyak kalangan pada masa itu yang menilai bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang adalah ibu kandung dari Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang lahir pada 1963. Bukan hanya itu, SKG juga didengung-dengungkan berlainan arah atau berlawanan dengan Lekra atau penganut paham Realisme Sosalis. Padahal dari kalangan Lekra sendiri mereka melihat bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang tidaklah bertentangan dengan Mukadimah Lekra, karena keduanya pada kenyataannya mempunyai sikap yang sama terhadap revolusi, kebebasan kreatif dan demokrasi.28

Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) ini ternyata tak luput kontroversi di dalamnya, terutama pada latar belakang kelahirannya. Salah satunya ialah dalang atau konseptor dibalik lahirnya SKG ini sendiri. Dalam kebanyakan literatur-literatur tentang sejarah kesusasteraan Indonesia Modern, Chairil Anwar lah yang diyakini menjadi konseptor atas terbentuknya Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut, akan tetapi tak sedikit juga kalangan yang menganggap bahwa Asrul Sani yang sebenarnya memainkan peran utama untuk mencetuskan SKG.

29

28 Joebaar Ajoeb, Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia, Teplok Press, Jakarta, 2004, hlm. 25.

29 Ajip Rosidi sebagai penyunting buku Asrul Sani 70 tahun, menyatakan bahwa sang konseptor dari Surat Kepercayaan Gelanggang adalah Asrul Sani. Ajip menolak pandangan umum selama ini yang menganggap bahwa Chairil Anwar-lah konseptornya. Sebab, menurut Ajip Rosidi, ketika surat itu diumumkan Chairil Anwar sudah setahun sebelumnya meninggal dunia (April 1949). Argumen Ajip ini

Selain itu, kontroversi seputar SKG ini juga terdapat pada situasi sosial politik yang melatar belakangi lahirnya manifest SKG. Situasi sosial politik Indonesia di tahun 1950-an sangat diwarnai dengan hiruk-pikuk aktivitas partai-partai, yang cenderung membuat stabilitas negara hanya diprioritaskan pada politik semata dan pada akhirnya menimbulkan kejenuhan pada kaum seniman, budayawan, dan para intelektual. Akan keadaan yang seperti itu tentu dengan mudah timbul rasa sinisme terhadap kondisi politik di tahun 1950-an. Sinisme tersebut tampak sangat jelas dalam tulisan Asrul Sani yang berjudul “Fragmen Keadaan”, yang dimuat pada rubrik Gelanggang selama tiga edisi berturut-turut. Tulisan tersebut menjelaska latar belakang mengapa sampai dicetuskannya SKG. Pada bagian pertama Asrul menulis:

“Kita lihat orang-orang mudah di tanah air kita sendiri berbaris-baris masuk partai politik! Ya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan yang lebih mudah dari ini. Di sana orang mudah menjadi alat, dan perkataan “aku” dapat disembunyikan di balik perkataan “kami”. Semboyan-semboyan yang dulu dilupakan di segala dinding kakus dan kamar mandi dan yang demikian tidak dapat dipenuhi, diganti dengan disiplin partai untuk menutupi kelemahan mencari sendiri…”30

“Orang tidak lagi bisa melihat sajak sebagai sajak, tetapi harus dilihat sebagai manifes politik. Dengan di-anak-emaskannya politik, kebudayaan diperlakukan sebagai orang yang memperlakukan bangkai binatang dalam ruang anatomi, disuntik dengan formalin sehingga kaku sama sekali.”

Asrul Sani, yang mewakili sikap kalangan seniman dan budayawan yang bergabung dalam

“Gelanggang Seniman Merdeka”, menyatakan kejenuhannya atas dominasi politik terhadap setiap sektor kehidupan, yang termanifestasi dalam kehidupan partai-partai politik.

31

sesungguhnya sejalan dengan logika umum, namun bisa saja konsep surat tersebut sudah disusun pada jauh hari sebelumnya, ketika Chairil Anwar masih hidup. Atau malah sangat mungkin suraat itu mereka susun bersama.

30 Asrul Sani, “Fragmen Keadaan I”, Siasat, Minggu 22 Oktober 1950, hlm 6.

31 Asrul Sani, “Fragmen Keadaan II”, Siasat, Minggu 29 Oktober 1950, hlm 4

Berbicara tentang periode tahun 1950-an di Indonesia, tentu sangat identik dengan konstalasi politik yang sedang menggebu-gebunya di seluruh daerah di Indonesia. Hampir setiap (kalau tak bisa dikatakan seluruh) sektor kehidupan di Indonesia selalu dihiasi dengan intrik politik di dalamnya, tak terkecuali pada bidang budaya dan seni. Masuknya unsur politik ke dalam bidang kehidupan budaya dan seni pada akhirnya mengubah makna esensi dari seni itu sendiri.