• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA

3.3 Lekra hadir di Medan

3.3.1 Lekra Cabang Medan

Lain halnya dengan Lekra di cabang-cabang lainnya, Lekra Medan sangat menonjol aktivitas seninya dalam bidang seni sastra, seni drama/teater dan seni musik. Jadi dapat dikatakan bahwa spesialisasi di ketiga bidang tersebut hampir merata pada Lekra cabang Medan. Kesimpulan ini terbukti dengan mayoritas anggota dan pengurus Lekra Medan yang menguasai ketiga spesialisasi tersebut. Atas dasar itu pula Lekra Medan hanya membentuk tiga lembaga kreatif, yaitu Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), Lembaga Drama Indonesia (Lesdra/LSDI) dan Lembaga Musik dan Tari Indonesia (LMI).

125

124 Abdullah Nasution menjadi orang yang cukup disegani pada saat itu. Panggilan ‘Bang’ yang melekat padanya membuktikan banyak orang hormat kepadanya, karena pada masa itu panggilan ‘Bung’

lebih lazim digunakan untuk memanggil rekan-rekan seperjuangan dibandingkan ‘Bang’. (interview dengan Astaman Hasibuan).

125 Marije Plomp, 2012, op.cit. hlm. 20.

, Lekra Medan masih terfokus kepada perekrutan anggota. Pada tahun 1955 inilah PKI

mulai mendekatkan diri kepada Lekra dan menganggapnya sebagai aliansi mereka. Oleh PKI, kesenian dan kebudayaan rakyat dirasa sangat perlu dikembangkan untuk meningkatkan kecerdasan dan nasionalisme pada rakyat. Maka itu PKI membujuk agar para seniman kiri agar memilih PKI dalam pemilu tahun 1955;

“…bagi kaum intelegensia, memilih PKI berarti kesempatan dan syarat kerja yang cukup untuk memajukan ilmu guna kebahagiaan manusia…bagi seniman, memilih PKI berarti kebebasan mencipta dan syarat kerja yang cukup.”126

Bakri Siregar memimpin arak-arakan Lekra cabang Medan sampai tahun 1959, di mana pada tahun ini ia direkomendasikan untuk masuk ke dalam kepengurusan Lekra Pusat yang diputuskan dalam Kongres Nasonal I di Solo bersama dengan Agam Wispi, H.R. Bandaharo, dkk. Setelah Bakri Siregar, sekretaris cabang Medan selanjutnya adalah Zubir AA seorang cerpenis yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam penulisan Memang PKI sukses menjadi salah satu kontestan pemilu 1955 yang masuk ke dalam empat besar. Namun, di Medan ternyata Partai Masyumi yang memenangkan suara mutlak pemilihan umum 1955, sedangkan PKI sendiri tidak masuk ke dalam empat besar partai pemenang pemilu.

Bersama dengan Bandaharo, Kordon Sibarani dan juga Gordon Tobing, Bakri Siregar berhasil membentuk sebuah ansambel nyanyi dan tari pada awal tahun 1959 yang kemudian mereka namakan “Maju Tak Gentar”. Ansambel “Maju Tak Gentar” menjadi suatu kelompok musik yang sangat membanggakan Indonesia di kancah internasional berkat keunggulan performa kekompakan suara yang bagus dan enak didengar.

126 Bintang Merah, “Kongres Nasional ke-V Partai Komunis Indonesia”, Pembaruan, Jakarta, Tahun ke-IX, Februari-Maret 1954, hlm. 98-99.

cerpen di Indonesia. Salah satu cerpennya yang berjudul “Berpacu Matahari” pernah masuk ke dalam kumpulan cerpen dan puisi ‘Api 26’127

Dengan adanya kekosongan pada jabatan sekretaris cabang pada awal tahun 1963, akibat CH. Habidi yang mengundurkan diri setelah belum genap satu tahun menjadi sekretaris cabang medan, maka saat itu juga Lekra Medan langsung menunjuk Buyung sebagai pengganti Habidi. Nama Buyung sendiri hanyalah nama pena yang diberitahukan oleh Astaman Hasibuan. Astaman saat di interview tidak mau menyebutkan nama asli dari yang diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan di Jakarta dan diterbitkan ulang oleh Abdul Kamir. Setelah menjabat menjadi Sekretaris Lekra Medan selama 4 tahun dia pindah ke Jakarta menjadi wartawan pada Harian Rakyat. Zubir juga memiliki sajak berjudul “Lagu Subuh”, yang pernah dimainkan oleh grup teater Lekra Medan.

Sekretaris cabang yang kemudian menggantikan Zubir AA pada awal tahun 1963 yaitu CH. Habidi. Ia adalah seorang penyair yang lahir dan berkembang di Medan. Saat menjabat menjadi sekretaris cabang ia terbilang masihlah sangat muda, masih berusia 28 tahun. Ia menjadi Sekretaris Cabang Lekra Medan setelah sebelumnya bekerja menjadi wartawan pada Harian Harapan. Ketertarikannya pada Lekra membuat Habidi rela untuk melepas pekerjaannya yang dianggap menjanjikan hidup yang lebih baik. Namun belum genap selama satu tahun masa kerjanya di Lekra Medan, ia dipaksa orang tuanya untuk melanjutkan sekolah ke Yayasan Aisyah di Jakarta, kemudian dari sana ia pindah ke luar negeri, tepatnya ke Albania. Di Albania, Habidi tetap rajin menulis dan tak jarang tulisan syair-syairnya dimuat ke dalam Harian Harapan dan Harian Rakyat.

127 Api 26 adalah buku yang berisi kumpulan-kumpulan cerpen terpilih dari seluruh cerpenis di Indonesia. Selain cerpen Zubir AA yang terpilih dalam kumpulan di buku Api 26, terdapat juga karya-karya dari nama-nama antara lain Agam Wispi, Sugiarti Siswadi, S. Anantaguna, T. Iskandar A.S., A. Kembara, Alifdal, Chalik Hamid, Anantya, Nurdiana, Mahyuddin, Mawie Ananta Jonie, M.D. Ani dan Z. Afif

si Buyung, namun ada kemungkinan nama asli Buyung ialah ‘Mahdi’. Hal ini didapat dari keterangan Astaman Hasibuan sendiri dalam tulisan suratnya kepada Martin Aleida,

“…tapi aku dipanggil ke Teperda, itulah sebabnya ukiran Maria Sang Perawan terpaksa tertunda. Kemarin, sepulang seorang kawan dari panggilan Teperda memintaku untuk menjadi saksinya. Memintaku agar aku memberikan kesaksian bahwa dia memang benar anggota Lembaga Tari Indonesia (Lekra). Idham namanya (sudah pasti nama ini bukan nama sebenarnya, dia masih hidup sekarang ini). Idham anggota Ansambel Tari dan Nyanyi Maju Tak Gentar, piawai menari Melayu.”128

Pada masa keperiodean Buyung, Lekra Medan mempunyai tiga pengurus cabang.

Buyung sendiri menjadi sekretaris cabang, diikuti oleh masing-masing Astaman Hasibuan selaku wakil sekretaris cabang bidang organisasi dan Onan Gusri sebagai wakil sekretaris cabang bidang pendidikan. Buyung, Astaman dan Onan Gusri sebelumnya menjadi anggota biasa pada keperiodean Habidi dan setengah keperiodean Zubir AA. Bersama dengan itu juga terdapat sebagai anggota ialah Samirin, Darsiah, dan Arswandi, yang melengkapi keanggotaan Lekra Cabang Medan masa Buyung.

Nama ‘Idham’, seperti keterangan di atas nampaknya juga bukan nama asli. Tapi ada kecenderungan nama asli yang dimaksud Astaman adalah ‘Mahdi’, kebalikan dari kata

‘Idham’, yang bernama pena ‘Buyung’. Jikalau memang benar demikian berarti pada akhir tahun 1963 sampai dengan 1965 Lekra Cabang Medan dipimpin oleh seorang seniman dari seni tari dan musik, hal yang baru setelah periode sebelumnya Lekra Medan selalu memiliki sekretaris cabang dari unsur sastrawan atau seni tulis. Namun ada juga kecenderungan kalau Buyung itu bukanlah ‘Mahdi’ atau ‘Idham’ sekalipun, karena Buyung sendiri adalah ‘nama pena’. Nama pena sendiri diciptakan untuk seorang sastrawan, bukan seniman lainnya.

128 Surat dari Astaman Hasibuan kepada Martin Aleida dalam menanggapi buku karya Martin Aleida yang berjudul “Langit Pertama, Langit Kedua”, Februari 2013.

Nama Astaman Hasibuan sebelumnya terdapat pada keanggotaan Lekra Cabang Siantar, tapi di tahun 1963 dia memutuskan pindah untuk menetap di Medan. Astaman terbilang sangatlah muda saat aktif menjadi anggota Lekra Medan, saat itu ia masih berumur 23 tahun. Ia mengaku Lekra sangat berperan besar dalam membentuk wataknya dan keahlian menulisnya. Sebelum menjadi anggota Lekra Siantar dia masih belum mengenal perihal tentang seni tulis-menulis, meskipun sejak kecil dia sudah diajarkan pengetahuan-pengetahuan yang radikal ketika berkiprah di Pemuda Rakyat (PR) dan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Astaman juga merupakan anak dari Soemarno Hasibuan, salah seorang tokoh PKI yang sangat berpengaruh di Sumatera Utara.129

Pada masa keperiodean Buyung ini Lekra Medan banyak memenangkan berbagai perlombaan atau festival, baik itu ditingkatan lokal maupun nasional, di bidang sastra, drama, dan musik. Lekra Medan sendiri mempunyai Kantor Sekretariat yang terletak di Tercatat Soemarno Hasibuan merupakan salah satu pengurus PKI di Sumatera Utara pada tahun 1957-1960. Di Lekra Medan, Astaman juga bertindak sebagai ketua Lestra Medan.

Onan Gusri adalah seorang seniman teater. Dia bersama dengan Sulardjo membuat Lekra Medan masih tetap eksis menampilkan seni peran drama sampai tahun 1965. Selain menjabat sebagai wakil sekretaris, ia juga dipilih sebagai ketua Lesdra Medan. Selain aktif di Lekra Medan, Gusri – begitu nama panggilannya disebut – juga bekerja sebagai wartawan pada harian Gotong-Royong di Medan. Pada masanya, seni teater di Medan sangat dikagumi, hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para sastrawan baik itu berupa sajak (puisi), cerpen, dan sebagainya yang dimainkan menjadi drama/teater.

129 Meskipun ayahnya adalah tokoh PKI yang sangat populer di Sumatera Utara, Astaman tetap menahbiskan kalau dirinya bukanlah komunis walau tidak juga anti terhadap ajaran komunis.

Jalan Jend. Ahmad Yani No. 62, Kesawan (sekarang sudah menjadi Toko Asli). Kantor ini ditempati Lekra Medan sejak tahun 1960 dengan biaya sewa 50 (lima puluh) rupiah per tahunnya. Diketahui kemudian Kantor Sekretariat Lekra Medan ini juga sering disinggahi oleh pengurus-pengurus Lekra Sumatera Utara, bahkan sempat dibuat ruang khusus untuk kantor Lekra Sumatera Utara, dikarenakan tempat tersebut lumayan luas dan masih banyak tempat yang kosong di rumah tersebut.130

“demikian gemarnya masyarakat akan drama, sampai-sampai hasil dari penjualan karcis bisa digunakan untuk membangun asrama mahasiswa Belitung di Yogyakarta.”