• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lekra Dalam Perkembangan Seni Drama/Teater di Medan

BAB II LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA

3.3 Lekra hadir di Medan

3.3.2 Lekra Dalam Perkembangan Seni Drama/Teater di Medan

Salah satu aktivitas seni yang juga menonjol atau memiliki nilai plus dari para seniman di Medan yaitu seni drama. Seni teater atau drama pada sekitaran tahun 1960-an memang sedang sangat digemari rakyat, terkhusus kalangan remaja;

131

“kalau bicara tentang drama pada masa itu, maka Lekra Sumatera Utara-lah yang paling banyak mementaskan drama, "mengalahkan" provinsi dan kota-kota lainnya di Indonesia. Saya kemukakan sebagai contoh bahwa Lekra kota Medan pada tahun-tahun tsb pernah mentaskan "Gerbong" Agam Wispi, "Lagu Subuh" Zubir AA, "Batu Merah Lembah Merapi" Bachtiar Siagian, "Si Kabayan" Utuy Tatang Sontani, "Siti Jamilah" Yoebaar Ayub, "Buih dan Kasih" Bachtiar Siagian, "Si Nandang" Emha, "Awal dan Mira" Utuy Tatang Sontani, "Orang-orang baru dari Jika dibandingkan dengan Lekra di cabang-cabang lainnya, maka Lekra cabang Medan adalah cabang yang paling banyak mementaskan seni drama. Bahkan peneliti drama Indonesia Prof. Michael Bodden pernah mengatakan;

130 Sesuai penuturan Darsiah dan Astaman Hasibuan dalam interview pada Februari 2013.

131 Artikel, Chalik Hamid, Prof. Michael Bodden Meneliti Drama-Drama Lekra, Amsterdan, 2007, hlm. 4.

Banten" Pramoedya Ananta Toer, drama-drama saduran seperti "Wanita Berambut Putih" dari pengarang Tiongkok, "Dosa dan Hukuman" ("Krime and Punishment"

karya Dostoyesvky), "Saijah dan Adinda" Multatuli, dan banyak lagi.”132

Lesdra Medan mulai sering memainkan teater sejak tahun 1960. Pengurus dari Lembaga Seni Drama Indonesia pada waktu itu adalah Chalik Hamid, Onan Gusri dan Darsiah. Tak lama setelah berdirinya Lembaga Seni Drama di Medan, Lesdra segera mementaskan drama “Lagu Subuh” karya Zubir AA. Kemudian disusul dengan pementasan drama “Gerbong” karya Agam Wispi, yang mendapat sambutan hangat dari publik kota Medan dan dua kota lainnya :Belawan dan Binjai. Kemudian disusul pula dengan dua drama lainnya “Saijah dan Adinda” yang diadaptasi oleh Bakri Siregar atas sebuah tulisan karya Multatuli atau Max Havelaar

Pada waktu itu drama-drama yang dipentaskan banyak diambil dari karya-karya tulisan para sastrawan, misalnya sajak/puisi, syair, cerpen, bahkan novel.

133

132 Chalik Hamid, Ibid. hlm. 3.

133 Michael Bodden, 2012, op.cit. hlm. 25.

dan “Wanita Berambut Putih” yang juga merupakan saduran Bakri Siregar dari drama terkenal di Tiongkok.

Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karya-karya para seniman nasional yang pernah dimainkan menjadi drama di Medan. Sebut saja sajak-sajak milik Utuy Tatang Sontani, “Si Kabayan”, “Si Kampeng”, “Bunga Rumah Makan”. Karya Emha pengurus Lekra Tanjung Balai, yang berjudul “Sinandang”. Sajak-sajak Bachtiar Siagian seperti

“sangkar madu”, “batu merah di lembah merapi”, “buih dan kasih”, yang notabene adalah seorang sutradara film juga pernah dimainkan. Pementasan-pementasan seni drama ini dilakukan tak kurang lebih dari satu kali dalam sebulan.

Drama-drama yang dipentaskan menurut ketentuan Lekra harus mengangkat tema-tema perjuangan rakyat kecil seperti buruh, tani, dan juga tentara. Drama-drama tersebut juga harus merakyat, sederhana dan mudah dipahami oleh rakyat. Tidak hanya itu, drama dalam ketentuan Lekra juga tidak mesti atau bahkan ‘dilarang’ menggunakan perlengkapan dan properti teater yang mahal dan ribet.134

Sebuah SMA (Sekolah Menengah Atas) “Pembaruan”135

Tahun berikutnya tepatnya di tahun 1961, di kota Medan diadakan Festival Drama se-Sumatera Utara yang diikuti oleh Lekra se-Sumatera Utara dan berbagai organisasi dan lembaga seni di luar Lekra, seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) di bawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI), Lesbi (Lembaga Seni Budaya Indonesia) di bawah naungan Partindo, Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) di bawah naungan Nahdatul Ulama (NU) dan kelompok-kelompok drama lainnya. Pada festival tersebut Lekra kota Tanjung Balai yang menampilkan drama ‘’Sinandang’’ karangan Emha berhasil memperoleh juara pertama.

yang berada di bawah naungan Lekra pada tahun 1960 berhasil memenangkan hadiah juara ke II dalam Festival Drama Pelajar se kota Medan. Sekolah ini menampilkan drama “Dosa dan Hukuman”

(Krime and Punishment) karya Dostoyevsky yang disadur oleh Bakri Siregar. Para aktor utama yang membawakan drama itu adalah Chalik Hamid, Z.Afif dan Peria Hotty, sedangkan para siswa dari SMA Pembaruan hanya bertugas sebagai pemeran pembantu.

Para siswa-siswa inilah yang terus diboboti oleh Lekra Medan agar kelak menjadi seniman-seniman yang revolusioner.

134 Pernyataan dari Darsiah sewaktu diinterview pada bulan Maret 2012.

135 Pada saat itu Yayasan Pembaruan, sebuah lembaga penerbitan buku kepunyaan PKI di Jakarta, sudah mendirikan sekolah-sekolah di berbagai daerah, termasuk di Medan.

Pada akhir tahun 1958, Bachtiar Siagian berhasil menciptakan sebuah naskah drama berjudul “Batu Merah Lembah Merapi” yang berkisah tentang kamp konsentrasi di Situjuh, Sumatera Barat, yang dikuasai oleh PRRI. Ketika itu Dewan Banteng dibawah Kolonel Ahmad Husein mengadakan pemberontakan di Sumatera Barat melawan pemerintah pusat, dan kemudian pada tanggal 15 Februari 1958 ia berhasil melahirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Di sana didirikan beberapa Kamp Konsentrasi untuk memenjarakan orang-orang Komunis dan kaum revolusioner sejati Indonesia. Drama ini sangat terkenal dan berkembang di seluruh Sumatera Utara. Ia dipentaskan di kota-kota besar seperti Medan, Tanjung Balai, Pematang Siantar, Kisaran, Binjai, Rantau Prapat dan kota-kota lainnya. Di samping kaum intelektual, para penontonnya sebagian besar terdiri dari kaum buruh dan kaum tani di masing-masing daerah di atas.

Sebuah drama yang pernah dipentaskan Lesdra di alam terbuka adalah “Buih dan Kasih” juga karya Bachtiar Siagian. Drama ini dipentaskan di Pantai Cermin, Kabupaten Deli Serdang, di hamparan pasir putih dengan latar belakang laut lepas di bawah bunyi ombak berdesir. Dari simpang Perbaungan hingga ke Pantai Cermin yang berjarak sekitar 4 Km, jalan raya macat total sebagai akibat besarnya minat dan keinginan untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. Para pemain pendukung drama ini adalah Nismah, Achmadi Hamid dan Rindu Tanjung.

Sutradara-sutradara drama Lekra yang terkenal di Medan pada waktu itu antara lain Prof. Bakri Siregar, H.R. Bandaharo, Emha, Sy.Anjasmara dan Aziz Akbar. Sedangkan pemeran utama dalam berbagai drama itu, mencakup seluruh Sumatera Utara, di antaranya

Kamaludin Rangkuty, Sy.Anjasmara, Achmadi Hamid, Mariadi Ridwan, Mulkan AS, Chalik Hamid, Z.Afif Masrian Else, Nurdimal, Onan Gusri, Duryani Siregar, Sudarsiah, Farida Rani, Nismah, Penah Pelawi, Peria Hotty, dan lain-lain.

Pementasan drama dalam periode 1950-1965 di Medan merupakan periode yang sangat sulit. Bukan hanya masalah dalam memperoleh dana, tetapi juga dalam masalah lainnya seperti dekorasi panggung, ilustrasi musik, teknik lampu (pengaturan cahaya)136, tata panggung, pembisik (supelir), sistim pengeras suara (mikrofon)137

136 “Dalam pengaturan cahaya lampu, dengan keterbatasan dana Lekra tidak memiliki alat yang memadai. Untuk mengatur pertukaran cahaya dari malam menjadi siang misalnya, Lekra menggunakan alat sederhana. Sebuah ember diisi dengan air, ujung kabel positif (+) dan ujung kabel negatif (-) dimasukkan ke dalam air tersebut, dengan menarik menjauhkan dan mendekatkankabel tsb, maka terjadilah cahaya terang dan cahaya gelap, yang berarti perbuahan dari malam menjadi siang. Ini tentu saja sangat berbahaya, karena air tersebut mengandung aliran listrik. Namun itulah yang kami lakukan. Adegan demikian kami jumpai sewaktu mementaskan drama “Siti Jamilah” karya Joebaar Ajoeb dan ‘’Batu MerahLembah Merapi’’ karya Bachtiar Siagian. (wawancara dengan Darsiah).

137 Masalah sistim pengeras suara pada waktu itu merupakan masalah yang dirasa perlu dipikirkan dan diatasi. Panggung drama pada saat itu sangat berbeda dengan sekarang ini. Mikrofon pada waktu itumerupakan mikrofon terhubung langsung dengan versteker dan loudspeker, masih sangat kuno, berbeda dengan yang sekarang sudah digunakan mikrofon lepas yang bisa dibawa ke mana-mana oleh para pemain.

Pada jaman dulu mikrofon itu terpaksa disembunyikan di belakang layar, tergantung atau diletakkan di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Untuk melayani kebutuhan penonton, para pemain drama harus berteriak dan mengeluarkan suara dengan keras.

, cara-cara latihan sebelum pementasan dan lain-lain.

Untuk memperoleh dana misalnya, anggota-anggota Lekra harus mencetak undangan sehubungan dengan pertunjukan drama yang bersangkutan. Undangan ini disodorkan kepada pengusaha-pengusaha kecil, dan Lekra memperoleh bantuan uang dari para pengusaha tersebut. Uang inilah yang akhirnya dipergunakan untuk menyewa gedung pertunjukan, melengkapi dekorasi panggung dan untuk dana transportasi pengangkutan para pemain drama ketika diadakan latihan maupun ketika diadakan pertunjukan.

Permasalahan dalam mengadakan pentas teater ini juga dirasakan oleh Darsiah yang pada tahun 1964 mengadakan pentas drama di Asahan bersama dengan kawan-kawannya dalam Teater “Merak Jingga” sebagai perwujudan “Turba” mereka. Drama-drama yang ditampilkan harus menggunakan bahasa setempat, karena bahasa Indonesia masih sangat sedikit dikuasai oleh rakyat kaum tani dan buruh di sana.138

Pada tahun 1959 sampai awal 1965 Lekra banyak memunculkan seni ansambel di berbagai daerah dengan inisiatif dan keinginan yang beragam. Bagi Lekra, peran ansambel sangatlah penting dalam mensukseskan revolusi kebudayaan Indonesia. Dalam Laporan Umum Kongres I Lekra (1959), Joebaar Ajoeb menyimpulkan bahwa tugas dari ansambel-ansambel adalah untuk menghidupkan kembali kesenian rakyat dan lepas dari penindasan terhadap kesenian yang dilakukan oleh feodalisme (dari dalam) dan imperialisme (dari luar).

Dengan meluasnya aktivitas seni drama Lekra sampai ke tempat-tempat pelosok di Medan, maka perkembangan drama-drama tersebut juga dapat menjamah hingga ke desa-desa di Sumatera Utara. Pada tahun 50-an itu, berawal dari aktivitas seni drama yang dipentaskan oleh kader-kader Lekra Medan di luar kota Medan, Lekra dapat meluaskan pengaruhnya ke kota-kota lainnya seperti Pematang Siantar, Tebing Tinggi,Tanjung Balai, Rantau Perapat, Berastagi, Kabanjahe, Binjai, Belawan, dan lain-lain.