• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA

2.2 Mukadimah Lekra

Tahun 1950-an merupakan tahun-tahun yang dipenuhi oleh gejolak harapan atau mimpi-mimpi tentang kebebasan Indonesia dari neraka kolonialisme. Di dalam lapangan kebudayaan, tahun 1950-an sering juga disebut dengan ‘zaman romantik’32

Setelah Surat Kepercayaan Gelanggang hadir di pentas kebudayaan Indonesia, pada tahun yang sama lahirlah suatu organisasi kebudayaan modern bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Meskipun belakangan lahir, bukan berarti embrio kelahiran Lekra disebabkan oleh tercetusnya SKG pada Februari 1950. Berdirinya Lekra sebagai sebuah organisasi kebudayaan tidak terlalu banyak sangkut-pautnya dengan kehadiran dari manifes Surat Kepercayaan Gelanggang. Lekra terbentuk pada 17 Agustus 1950, di Jakarta . Akan tetapi, seni pada masa itu menjadi barang yang mahal harganya. Pada masa itu seni hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Kalangan tertentu itu tentu saja adalah kalangan atau golongan elite bangsa, sedangkan rakyat biasa atau golongan bawah tak bisa menikmati dan merasakan keindahan seni pada waktu itu.

32 Istilah romantik di sini mengacu pada era romantisisme yang muncul di Eropa pada akhir abad ke-18. Sebuah gelombang reaksi dari zaman penceraha yang dianggap terlalu memberi tekanan pada rasio atau akal sehingga menjadi kering, dingain dan kaku. Romantisisme berupaya mengedepankan hal-hal yang lebih emosional, keunikan individu, hasrat akan kebebasan.

yang disahkan berdasar naskah Mukadimah Lekra. Naskah inilah yang nantinya menjadi batu landasan dari seluruh kerja-kerja kebudayaan Lekra.

Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang yang menyebut dirinya sebagai peminat dan pekerja kebudayaan. Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota sekretariat pusat Lekra ialah A.S. Dharta, M.S. Ashar dan Herman Arjuna sebagai sekretaris I, II dan III.

Dengan anggota: Henk Ngantung, Nyoto dan Joebaar Ajoeb. Perkembangan awal Lekra tidak dapat lepas dari andil Nyoto, salah satu dari pemimpin besar PKI pada masa itu selain D.N. Aidit dan Lukman. Tahun 1950, Nyoto bertemu dengan para pelukis dan penulis yang beraliran kiri. Mereka mendiskusikan tentang peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto menganjurkan perpaduan antara tradisi besar realisme kritis dan romantisme untuk membuat kesenian yang menampilkan kenyataan menuju proses perubahan yang revolusioner. Nyoto memang mempunyai daya tarik tersendiri bagi kalangan kaum intelektual dan seniman. Affandi, Soedjono, Rivai Apin dan Pramoedya Ananta Toer, adalah beberapa dari mereka yang mengagumi Nyoto.

Mukadimah Lekra sebagai proklamasi berdirinya Lekra dalam arus pusaran kebudayaan dan politik bangsa Indonesia, mempunyai dalil yang sangat penting terhadap kegiatan-kegiatan yang nantinya dilakukan oleh pekerja-pekerja kebudayaan Lekra dalam mewujudkan cita-cita atau visi organisasi. Dalam hal ini Mukadimah Lekra tentu berbeda dengan manifes Surat Kepercayaan Gelanggang, karena Mukadimah Lekra diproklamasikan oleh sebuah organisasi bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang

bersamaan waktu berdirinya organisasi dan proklamasi manifes tersebut. Sedangkan Surat Kepercayaan Gelanggang bukanlah dibuat berdasarkan usaha organisasi apapun.33

Isi dari Mukadimah Lekra 1950 dengan terang-terangan menyatakan bahwa

“Revolusi Agustus 1945 telah gagal!”34

33 Joebaar Ajoeb, 2004, loc.cit.

34 Naskah lengkap lihat Lampiran I.

pernyataan dari mukadimah tersebut dicetuskan bukan tanpa alasan, para pekerja kebudayaan Rakyat Lekra menganggap bahwa pemerintah telah melecehkan perjuangan revolusi yang telah di emban selama ini oleh Rakyat Indonesia yang telah mengorbankan segalanya untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Perjuangan Rakyat dalam menuntaskan revolusi, diputus, dihambat, dan diganti dengan apa yang disebut dengan “perjuangan diplomasi”. Hal ini tak pelak dipandang sebagai langkah mundur jauh ke belakang oleh Rakyat. Saat dikumandangkannya kalimat-kalimat sakral Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada terucap atau tertulis merdeka atas perundingan dengan Belanda, yang artinya kemerdekaan tersebut mutlak direbut atau dikerjakan oleh Rakyat Indonesia dan harus dipertahankan tanpa syarat.

Alasan-alasan inilah yang membuat para seniman Rakyat ingin mengembalikan revolusi ke jalannya yang benar, bersedia menggabungkan diri ke dalam organisasi kebudayaan Lekra. Dalam mukadimah yang telah dibuat pada 1950, para seniman Lekra sepakat bahwa perundingan-perundingan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam

“perjuangan diplomasi” adalah salah langkah yang justru hanya memberi ruang bagi Belanda untuk menuntut konsesi-konsesi, atas dasar rasa tidak ikhlas mereka melepas Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Perundingan-perundingan tersebut dimulai dengan Maklumat 1 November 1945 yang hasil di antaranya mengharuskan Indonesia menanggung semua hutang yang telah dibuat Belanda sejak sebelum masuknya Jepang ke Tanah Air. Selain itu, Indonesia juga wajib mengembalikan seluruh perusahaan asing yang ada kepada pemiliknya di masing-masing negara dan menyediakan sumber-sumber kekayaan alam untuk dieksploitasi oleh negara lain, khususnya Belanda dan Amerika Serikat.

Setelah Maklumat 1 November 1945, muncul kemudian perundingan lain, yang dikenal dengan Perundingan Linggarjati, 25 Maret 1947. Perundingan Linggarjati ini sesungguhya menjadi rencana tindak lanjut dari Maklumat 1 November 1945 dengan memaksa Indonesia hanya mengakui Jawa, Madura dan Sumatera sebagai wilayah yang resmi dimiliki oleh Indonesia. Walaupun telah diadakan berbagai perundingan, Belanda tetap saja menginvasi Indonesia lewat Agresi Militer35

35 Agresi Militer yang terjadi pada tahun 1947 dan 1948 dilihat dari sudut pandang pemerintah Belanda disebut Politionele Actie (Aksi Polisionil). Lisbeth Dolk, A Entangled Affair; STICUSA and Indonesia 1948-1956, KITLV Press, Leiden, 2012, hlm. 3.

yang mereka lancarkan hingga dua kali (Juli 1947 dan Desember 1948).

Terakhir, sekaligus puncak dari pada kejengkelan kaum kiri akan hancurya perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia adalah dengan diadakannya perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949. KMB ini tak pelak dianggap menjatuhkan harga diri dan martabat rakyat Indonesia yang telah berjuang mati-matian untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme bangsa asing.

Persetujuan KMB ini membuat bangsa Indonesia harus menerima bentuk sebagai negara federal.

Perjanjian KMB tersebut juga membawa dampak kemunduran dalam bidang kebudayaan. Belanda pasca penandatanganan KMB, berusaha dengan giat untuk mempertahankan gengsi dan politik kolonialnya, karena KMB merupakan salah satu jalan untuk mengembalikan kolonialisme ke dalam bentuk baru36

36 Ibid. Usaha Belanda untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahannya juga terdapat pada bidang kebudayaan, diantaranya adalah dengan mendirikan lembaga kebudayaan bernama STICUSA (Stichting Cultureel Samenwerking) yang didirikan di Belanda pada Februari 1948, sedangkan STICUSA membuka cabangnya di Jakarta pada Januari 1949 dengan mengirimkan utusannya yang bernama Oscar Mohr. Tujuan didirikannya STICUSA ini oleh Belanda yaitu sebagai upaya ‘pengembangan yang harmonis di keempat wilayah (Indonesia, Suriname, Kepulauan Antiles, beserta Belanda) itu dalam suasana yang demokratis.’ (‘om met een beroep op het gehele vermogen van Nederland en op basis van waderkerigheid te komen tot een harmonische ontwikkeling in democratische zin tussen de vier gebieden’).salah satu upaya atau cara yang dilakukan oleh STICUSA dengan memberikan beasiswa bagi seniman Indonesia untuk belajar ke Belanda.

. Pekerja kebudayaan Indonesia kehilangan jiwa dan semangat nasionalismenya karena proses penciptaan kesenian mematok kebudayaan barat sebagai kiblat. Akibatnya, unsur emosi dan estetika yang cenderung subjektif, menjadi dominan dalam proses penciptaan seni budaya.

Kegiatan-kegiatan diplomatik ini lantas dipandang Lekra sebagai suatu

‘pengkhianatan’ terhadap darah para pahlawan bangsa yang telah dengan cuma-cuma dicucurkan dan dipersembahkan untuk kemerdekaan Indonesia. Jalan diplomasi dirasakan juga menghambat perjuangan rakyat dalam menuntaskan revolusi dengan mengambil alih kepemimpinan dan membawanya ke meja perundingan. Atas dasar itulah, Revolusi Agustus 1945 yang dianggap gagal oleh para pendiri Lekra, menjadi acuan mereka untuk membentuk sebuah organisasi kebudayaan bewatak revolusioner yang bisa menjadi instrumen atau alat untuk menghimpun kekuatan yang masih taat dan teguh mendukung jalannya dan terselesaikannya revolusi Tanah Air dengan keyakinan bahwa kekalahan revolusi yang terjadi akibat jalan diplomasi dan perundingan hanyalah kekalahan sementara

“Demikianlah, Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi di saat garis revolusi sedang menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi”37

Maka dari itu, untuk menghancurkan kebudayaan feodal dan imperialis yang terus menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa, para perumus Mukadimah Lekra 1950 menganjurkan supaya dibentuk sebuah gerakan kebudayaan rakyat yang demokratis.

Dalam mempertahankan dan membangun kebudayaan rakyat ini, Lekra merumuskan sebuah strategi, yaitu “Konsepsi Kebudayaan Rakyat”

Isi dari Mukadimah Lekra tahun 1950 ini mengisyaratkan bahwa hancurnya kolonialisme di dunia bukan berarti ancaman penjajahan sudah tidak ada lagi,termasuk di Indonesia sendiri. Bahkan Mukadimah Lekra mendefinisikan kalau status masyarakat Indonesia pada saat itu sebagai masyarakat ‘setengah jajahan’, walau secara politis kemerdekaan telah diproklamasikan. Kondisi masyarakat setengah jajahan inilah yang terus ingin dipertahankan oleh golongan elit kelas penguasa yang telah merasakan kenikmatan dan kemewahan di masa kolonial, dengan terus memlihara feodalismenya dan menciptakan pintu masuk bagi datangnya kembali imperialisme yang baru (neo-imperialisme) ke Indonesia.

38

37 Joebaar Ajoeb, Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 dan Tempat Serta Peranan Lekra di Dalamnya, Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959b. hlm. 15.

38 Lihat pada Lampiran 1.

. Konsepsi yang dirumuskan dalam Mukadimah Lekra 1950 ini terbagi menjadi enam bagian, yang terdiri dari penjelasan tentang arti pentingnya ‘Rakyat’ sebagai pemilik kebudayaan, sebab-sebab yang merugikan perkembangan kebudayaan rakyat, sampai kepada langkah-langkah strategis Lekra dalam mewujudkan visinya. Mukadimah inilah yang menjadi landasan dari seluruh

gerak organisasi dan juga menjadi inspirasi dari setiap individu yang tergabung di dalam Lekra pada awalnya.

Sastrawan yang tergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang didirikan pada 17 Agustus 1950, tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat, dengan demikian, atas dasar “seni untuk rakyat” seperti yang dinyatakan dalam

“Mukadimah Lekra” (1950) – menolak aliran “seni untuk seni” yang dianut oleh kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu).

Gambaran kritis tentang kelahiran Lekra berhasil digambarkan oleh Joebaar Ajoeb dalam “Laporan Umum”-nya pada Kongres Nasional I Lekra:

“Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berwujud persetujuan KMB, jadi, disaat garis revolusi sedang menurun. Ketika itu perang-perang kebudayaan jang tadinya seolah-olah satu kepalan tangan yang tegak di pihak revolusi, menjadi tergolong-golong, mereka jang tidak setia menyeberang. Yang lemah dan ragu seakan putus asa karena tak tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya dengan keyakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah kekalahan sementara.39

Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh Rakyat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang kemudian disingkat Lekra.40

Lekra kemudian menggiatkan aktivitasnya disegala bidang kebudayaan. Sebagai sebuah organisasi yang tidak hanya bergerak di ranah kultural, namun juga politik, Lekra kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat. Lekra melakukan rekruitmen anggota sebanyak-banyaknya dari kalangan seniman, sastrawan, budayawan, cendekiawan.

Gerakan ini terbukti berhasil di mana pada tahun 1954, Lekra tercatat telah mempunyai

39 Joebaar Ajoeb, Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I Lekra, dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, Jakarta, 1959a.

40 Paragrap pertama Mukadimah Lekra 1950

cabang di berbagai daerah. Lekra pusat memiliki karakter gabungan atara Lekra di cabang-cabang lainnya.

Cabang-cabang Lekra di masing-masing daerah memiliki berbagai karakter masing-masing. Lekra Jawa Barat misalnya mempunyai identitas sebagai penyokong kebudayaan daerah sunda, Lekra Klaten memiliki ciri khas pada basis pedalangan, Lekra Surakarta mempunyai kekhasan dari seni tari dan seni musik, dan begitu pula dengan cabang-cabang di wilayah dengan masing-masing ciri khas kebudayaannya. Karakter identitas ragam budaya Indonesia inilah yang tergabung ke dalam Lekra nasional. Sebagai bukti, dalam setiap kongres Lekra selalu diadakan pameran hasil budaya-budaya dari tiap daerah dalam berbagai bentuknya.

Di setiap pekan Lekra menerbitkan lembaran kebudayaan lewat majalah Zaman Baru41 yang terbit di Surabaya. Lembaran itu dikelola oleh Nyoto, dengan nama pena

Iramani, AS Dharta alias Klara Akustia, dan MS Ashar. Berkat lembaran itu, popularitas Lekra menanjak dengan cepat. Hanya setahun setelah berdiri, Lekra memiliki cabang di dua puluh kota. Pada 1951, Nyoto bersama dengan Mula Naibaho dan Supeno, memimpin surat kabar Harian Rakjat.42

Lekra tercatat juga memiliki kantor sekretariat yang bertempat di Jalan Tjidurian (Cidurian) Nomor 19, Jakarta Pusat. Kantor ini adalah rumah kediaman dari keluarga Oey Dengan gelar andalan Iramani, Nyoto rutin menulis editorial, pojok, tajuk rencana atau kolom catatan seorang publisis.

41 Zaman Baru merupakan majalah bulanan yang mulai terbit pada tahun 1950 dengan nama awal Madjalah Djaman Baru. Pada Juni 1956, majalah itu lahir kembali dengan nama Zaman Baru setelah sempat tidak pernah muncul selama satu tahun.

42 Harian Rakyat/Rakjat adalah Koran bentukan PKI, yang menjadi terompet bagi setiap pemikiran dan hal-hal yang dilakukan oleh PKI, Koran ini pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 yang pada awalnya masih bernama Suara Rakjat.

Hay Djoen beserta isterinya Mia Bustam yang menjadi anggota Lekra pada 1955. Rumah itu mereka berikan sebagai kantor sekretariat untuk mempermudah kerja-kerja dan penyimpanan dokumentasi-dokumentasi milik Lekra.