• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN

V. ETNIS TOLAKI DAN PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA

5.3 Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sultra

5.3.2 Formasi Etnis dalam Kubu NUSA

Nur Alam yang dicitrakan sebagai anak desa yang ulet, berani, dan sangat percaya diri, dengan modalnya sebagai ketua DPW PAN dan Wakil DPRD Sultra, maju sebagai calon pemimpin masyarakat Sultra. Kemunculan Nur Alam sebagai sosok baru pemimpin masyarakat Sultra mulai terlihat pada tahun 2001 ketika beliau mengikuti suksesi walikota Kendari. Meskipun gagal dalam ajang Pilwali tersebut, Nur Alam muda sudah dapat memperlihatkan kemampuan politiknya.

Dalam pilkada Sultra 2007, Nur Alam yang mewakili figur daratan tidak sendiri, Mashur Masie Abunawas (MMA) sekaligus lawan Nur Alam pada Pilwali 2001, juga ikut bertarung. Kedua figur ini sama-sama berkolaborasi dengan figur kepulauan, jika Nur Alam berkolaborasi dengan Saleh Lasata (mantan Bupati Muna), maka MMA berkolaborasi dengan Azhari figur muda yang berasal dari Mawasangka bagian kepulauan Buton.

Dikotomis antara kepulauan versus daratan menjadikan pentingnya

keterwakilan wilayah tersebut dalam setiap ajang politik khususnya dalam ajang pilgub Sultra 2007. Kehadiran Nur Alam sebagai motor penggerak kubu NUSA dapat dianggap sebagai keterwakilan masyarakat wilayah daratan dalam ajang

tersebut. Kehadiran figur yang mewakili calon Gubernur sering dianggap hanya sebagai pelengkap paling tidak mengisi kekosongan ruang politik yang tidak dimiliki figur utama (calon Gubernur) seperti sebagai sumber penarik massa wilayah tertentu dan sebagai figur yang melengkapi latar belakang sosok utama yang dinilai mampu mempengaruhi pola kepemimpinan yang akan dilaksanakan.

Pentingnya figur utama (calon Gubernur) dibandingkan figur pelengkapnya (calon Wakil Gubernur) menjadikan satu kubu dianggap mewakili masyarakat dari wilayah asal figur utama seperti yang terjadi pada kubu NUSA. Meskipun secara nyata kolaborasi antara dua kelompok etnis ada dalam kubu tersebut, namun masyarakat tetap melihat kehadiran kubu NUSA sebagai keterwakilan satu etnis saja. Ungkapan-ungkapan yang melihat kubu NUSA sebagai keterwakilan etnis daratan atau Tolaki tercermin dari ungkapan “kalau

menang, pasti orang Tolaki yang paling banyak dapat kursi17”.

Anggapan keterwakilan salah satu golongan masyarakat dari Gubernur yang akan memimpin Sultra juga tercermin ketika Gubernur periode 2002-2007 akan digelar. Ketika pemilihan dilangsungkan, terjadi aksi unjuk rasa yang dilakukan 200 anggota Forum Masyarakat Buton yang menuntut agar Gubernur Sultra terpilih adalah putra asli daerah Buton. Hal ini mencerminkan harapan masyarakat bahwa siapa yang menduduki kursi kepemimpinan Sultra akan membawa dampak positif terhadap kehidupan golongan etnis masyarakat yang sama dengan golongan etnis pemimpin.

Anggapan terhadap keterwakilan masyarakat tertentu dari figur pemimpin yang dicalonkan tidak saja terjadi pada pilgub Sultra. Dengan kentalnya masalah dikotomis daratan versus kepulauan, masyarakat terbiasa dengan menggolongkan satu golongan etnis masyarakat dengan figur pemimpin. Hal ini misalnya terjadi ketika pemilihan rektor salah satu universitas terkemuka di Sultra terjadi. Naiknya rektor terpilih dari etnis kepulauan menjadikan terbentuknya anggapan akan susahnya perkembangan karir dari etnis daratan. Responden ibu AME (seorang dosen fakultas perikanan universitas di Sultra beretnis Tolaki) mengemukakan:

      

17

Komentar yang selalu dikeluarkan oleh beberapa responden dan Informan melalui wawancara. 

“Kampus sebagai ajang politik bukan rahasia lagi. Apalagi sistemnya sudah dibentuk sedemikian rupa untuk memungkinkan etnis tertentu naik menduduki kursi penting di universitas. Saya ini hanya mengikuti saja. Tidak perduli dengan masalah etnis yang penting tugas dijalankan”. Anggapan terhadap keterwakilan salah satu golongan masyarakat dalam pencalonan figur utama (Gubernur) sebenarnya tidak sepenuhnya salah, sebab dengan tidak menyampingkan keberadaan figur pendamping, latar belakang nilai sosial yang tertanam dalam pribadi figur utama tentunya akan mempengaruhi pola kepemimpinan yang akan dijalankan dan secara langsung mempegaruhi sistem kehidupan masyarakat yang akan dipimpinnya. Ringkasnya, latar belakang pemimpin mempengaruhi kontrolnya terhadap lingkungan yang dipimpinnya.

Weber telah menyatakan bahwa akar tindakan seseorang akan selalu dipengaruhi oleh motivasi psikologis, nilai kultural dan norma yang tertanam pada diri orang tersebut. Seperti misalnya nilai kulutural yang terkandung dalam diri Nur Alam setelah beliau dilantik menjadi Gubernur Sultra. Dua hari setelah dilantik menjadi Gubernur Sultra, Nur Alam kemudian melakukan tradisi Mosehe di cagar budaya makam raja Mekongga, Sangia Nibandera. Raja Mekongga ini ada juga yang menyebutnya sebagai Lakidende pahlawan yang namanya diabadikan melalui beragam tempat dan jalan penting di Sultra. Ritual adat mosehe yang dilakukan Nur Alam ini merupakan ritual bagi etnis Tolaki yang dianggap memiliki beberapa nilai berdimensi positif bagi kehidupan masyarakat Sultra secara umum seperti sebagai acara syukuran seperti yang dilakukan oleh Gubernur, sebagai acara tolak bala bencana dan juga sebagai acara bersama dalam upaya menghilangkan perbedaan, permusuhan yang ditimbulkan dari keberagaman dalam masyarakat. Oleh karenanya, ritual adat Mosehe ini tidak saja ditujukan bagi keberhasilan Nur Alam menjabat sebagai Gubernur baru tetapi juga permintaan restu untuk memimpin seluruh masyarakat Sultra yang terdiri dari beraneka macam etnis serta nilai budaya. Ritual mosehe yang dilakukan Nur Alam menunjukkan bagaimana sosoknya sebagai individu membawa identitas etnis Tolakinya ke dalam kehidupan politik.

Bab ini khusus membahas mengenai keberadaan etnis Tolaki dalam perjalanan peta politik Sultra secara umum dan juga dalam menghadapi pertarungan politik selama pilkada Sultra 2007 berlangsung. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mencari akar perilaku politik etnis Tolaki yang tentunya tidak saja dimulai pada saat pemilihan Gubernur berlangsung tetapi jauh telah ada sebelum suksesi Gubernur berlangsung. Bahasan kesejarahan mengenai pembentukan provinsi Sultra dimaksudkan untuk melihat bagaimana perjuangan etnis Tolaki dan juga etnis lainnya dalam upaya melahirkan provinsi Sultra yang berdiri sendiri.

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa peta politik Sultra selalu

memperlihatkan keterlibatan dua kelompok masyarakat yaitu masyarakat bagian daratan dengan masyarakat bagian kepulauan hal ini merupakan konsekuensi dari wilayah masyarakat Sultra yang meliputi wilayah daratan dan wilayah kepulauan. Perjalanan politik Sultra menggambarkan ketidak-seimbangan antara perwakilan masyarakat daratan dengan perwakilan masyarakat kepulauan. Peta politik Sultra selalu dimonopoli oleh hadirnya figur kepulauan pada kursi strategis kepemimpinan Sultra seperti kursi Gubernur.

Masyarakat wilayah daratan adalah masyarakat dengan etnis Tolaki sebagai etnis dominan sedangkan etnis Muna dan Buton sebagai etnis yang mendominasi wilayah kepulauan. Meskipun bukan sebagai figur orang nomor satu Sultra, etnis Tolaki selalu melengkapi kursi kepemimpinan sebagai wakil Gubernur ataupun sebagai ketua DPRD Sultra atau berbagai kursi kepemimpinan lainnya.

Dalam pilkada yang dilakukan tahun 2007, keterwakilan masyarakat etnis daratan digambarkan dengan hadirnya dua kubu politik yaitu kubu NUSA dan kubu MMA dimana figur pemimpinnya adalah figur beretnis Tolaki. NUSA sebagai obyek kajian dapat dipandang dari dua sisi berbeda yaitu NUSA sebagai kelompok politik dan NUSA sebagai keterwakilan masyarakat beretnis Tolaki.

Sebagai sebuah kelompok politik, NUSA tidak mengenal batasan etnisitas. Kelompok ini menampung anggota dari berbagai latar belakang dengan satu tujuan bersama yaitu tujuan kelompok. Dengan kekuatan kelompok, memungkinkan kubu NUSA menggunakan berbagai jaringan kelompok baik

jaringan kepartaian, jaringan tim serta jaringan pengusaha yang merupakan latar belakang profesi Nur Alam sebagai figur Gubernurnya.

Berbeda dengan tinjauan kelompok politik, NUSA juga dapat dikaji sebagai keterwakilan masyarakat beretnis Tolaki. Dari kajian ini, maka kubu NUSA dianggap sebuah kubu yang mewakili kepentingan masyarakat beretnis Tolaki karena Nur Alam sebagai figur Gubernur berasal dari etnis Tolaki dan diyakini nilai-nilai etnis Tolaki terinternalisasi dalam perilaku Nur Alam selain itu, NUSA sebagai keterwakilan etnis Tolaki diyakini membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat beretnis Tolaki dibandingkan dengan masyarakat etnis lainnya. Sebagai sebuah keterwakilan etnisitas, NUSA dapat mengandalkan jaringan etnisitas serta orang-orang yang loyal terhadap etnisnya sebagai basis kekuatan dalam pilkada Sultra 2007.

Pada bahasan selanjutnya, akan dijelaskan mengenai perilaku politik strategis yang dilakukan Nur Alam sebagai elit beretnis Tolaki terkait dengan upaya memobilisasi massa dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara. Aksi strategis ini ditunjukkan dengan optimalisasi berbagai aspek kekuatan politik. Selain itu, akan dikaji bagaimana konsistensi tujuan yang ingin dicapai elit beretnis Tolaki pada pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 dengan hasil yang telah dicapai.

VI.PERILAKU POLITIK ELIT BERETNIS TOLAKI DALAM