• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemenangan Gubernur Sultra Periode 2008-2013 Serta Signifikansi Etnis Tolaki dalam Pemenangan Kubu NUSA

GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN

VI. PERILAKU POLITIK ELIT BERETNIS TOLAKI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA

6.3 Kemenangan Gubernur Sultra Periode 2008-2013 Serta Signifikansi Etnis Tolaki dalam Pemenangan Kubu NUSA

Dasar perilaku manusia adalah adanya motivasi dan tujuan (M. Sherif dan C.W. Sherif). Perilaku para aktor beretnis Tolaki pun demikian, memiliki sumber sebagai dasar-dasar bertindak dan memiliki tujuan-tujuan sebagai harapan atas beragam tindakan yang dilakukan. Melalui beragam motif dan tujuan, perilaku

dilakukan dengan menggunakan beragam kekuatan politik (dalam konteks pemilihan Gubernur Sultra).

Telah dijelaskan sebelumnya mengenai beragam aksi-aksi politik dengan menggunakan ruang dan kekuatan politik untuk mencapai hasil yang diinginkan yaitu keluar sebagai pemenang dalam proses pemilihan kepala daerah Sultra periode selanjutnya. Beragam aksi yang dilakukan selalu mempertimbangkan faktor rasional dan emosional pemilih sebagai dasar pemilih untuk menentukan pilihannya. Selain itu menggalang kekuatan dari tim juga dilakukan sebagai sumber kekuatan bertindak menghadapi masyarakat sebagai bagian paling penting, pasangan calon lain sebagai kelompok saingan politik serta menghadapi berbagai sistem dan pola pemilihan.

Pada akhirnya kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 merupakan hasil akhir yang ingin dicapai dan juga diikuti oleh serangkaian harapan lain yang selanjutnya ingin diwujudkan dalam masa pemilihan kepala daerah. Pertanyaan kritis yang timbul dari pencapaian ini adalah: apakah aktor politik dalam hal ini Nur Alam yang menggawangi kubu NUSA masih konsisten terhadap tujuan politik yang ingi diraih ataukah kemenangan dalam pilgub Sultra melarutkannya ke dalam situasi pesta kemenangan dan melupakan tujuan politiknya.

Jika kembali pada tujuan politik yang sebelumnya ditetapkan, maka kemenangan dalam pilkada 2007 merupakan sebuah kesempatan bagi para aktor politik beretnis Tolaki untuk menunjukkan kemampuan politiknya khususnya dalam mengatur kehidupan masyarakat dan pembangunan Sultra serta memegang peran-peran strategis di Sultra. Hal paling pokok ketika membicarakan kesempatan memimpin ini adalah bagaimana bentuk aksi politik langsung yang dilakukan para elit politik untuk melanggengkan kedudukan strategis yang diraih serta memperluas jaringan politik dalam upaya mendukung kelangsungan kedudukan strategis yang dicapai.

Revitalisasi organisasi pemerintahan merupakan satu bentuk upaya langsung pemerintahan baru untuk me-refresh anggota birokrasi sebagai upaya mewujugkan profesionalisme pelayanan masyarakat. Revitalisasi ini juga terjadi

ketika Gubernur baru mulai menjabat dan melakukan kegiatan pemerintahannya. Lebih lanjut, revitalisasi organisasi pemerintahan dapat diartikan sebagai upaya menempatkan kawan-kawan politik ke dalam peran-peran strategis terkait upaya melanggengkan tujuan politik yang telah diraih. Hal yang sama juga terjadi pada Nur Alam ketika berhasil menjabat sebagai orang nomor satu di Sultra. Berdasarkan hasil penelitian, revitalisasi pemerintahan ini langsung dilakukan Gubernur dengan mengganti para pejabat strategis yang dipandang layak dan tidak layak untuk memberikan pelayanan secara profesional terhadap masyarakat.

Informan Bapak YHY memberikan informasi mengenai kondisi dan situasi politik pasca terpilihnya gubernur baru. Informasi yang diberikan tersebut menyangkut pelantikan pejabat tinggi pemerintahan daerah Sultra. Berikut kutipan langsung informasi bapak YHY:

“Beberapa hari setelah gubernur baru ditetapkan dan dilantik, jajaran pejabat tinggi langsung mrngalami perombakan. Sebagai contoh, ketua lingkungan hidup Sulawesi tenggara bapak Edi yang juga merupakan orang ring satu bapak N.A (informan memberikan istilah: pemegang tas hitam bapak N.A), langsung dilantik sebagai kepala biro.”

Selanjutnya bapak Yahya juga memberikan contoh lain yaitu pejabat kabupaten kolaka yang juga merupakan tim sukses dari bapak Nur Alam, tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya berlaku dimana pejabat yang akan dilantik dari kabupaten pindah ke Provinsi tingkat I harus memiliki surat pindah. Namun demikian, pelantikan pejabat tersebut tidak melalui prosedur dan langsung dilantik begitu saja sebagai bentuk kebijakan baru dari gubernur. Sampai saat ini, kebijakan baru tersebut belum ada yang mampu melawan atau memberi keberatan. Selain sebagai anggota tim sukses, kebanyakan pula dari pejabat baru yang dilantik tersebut adalah golongan Nur Alam sendiri yaitu pejabat beretnis Tolaki atau juga etnis campuran Tolaki-bugis sekaligus teman satu partai beliau.

Informan bapak A.J juga membenarkan informasi yang diberikan oleh bapak YHY sebelumnya. Pejabat Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II Kolaka yaitu bapak M. Ali Nur merupakan teman satu partai Nur Alam sekalugus tokoh politik sesama etnis Tolaki. Dalam pilgub Sultra 2007 lalu, M. Ali Nur yang juga mantan Camat Ladongi mendukung suksesi Nur Alam sebagai Gubernur Sultra

periode 2008-2013. Latar belakangnya sebagai mantan Camat Ladongi mampu memberikan signifikansi terhadap perolehan suara di kecamatan Ladongi dan kecamatan sekitarnya. Kubu NUSA hampir seratus persen memperoleh kemenangan di sana. Begitu Nur Alam dilantik menjadi Gubernur, M. Ali Nur juga serta-merta dipindah tugaskan dari Kadispenda tingkat II Kolaka menjadi Kadispenda Tingkat I, bukan hanya itu, M. Ali Nur juga ditetapkan sebagai pejabat sementara Bupati Kolaka ketika terjadi kekosongan jabatan di sana. Berikut penuturan oleh bapak A.J:

“…tentu saja politik balas budi itu ada. Seperti yang terjadi pada M. Ali Nur, yang sekarang menjabat sebagai Kadispenda tingkat I. dengan modalnya sebagai mantan Camat Ladongi, beliau mendukung sepenuhnya suksesi Nur Alam. Perolehan suara Nur Alam di Ladongi dan sekitarnya ternyata hampir seratus persen menang. Kemudian Nur Alam menarik beliau untuk duduk di Dispenda tingkat I. perhatian Nur Alam terhadap “orangnya” ini juga ditunjukkan ketika ada kekosongan jabatan Bupati di Kolaka. M. Ali Nur ditempatkan menjadi pejabat sementara”.

Revitalisasi pemerintahan dan juga kebijakan yang dilakukan pemerintahan baru menjadikan para pihak yang merasa telah memberi dukungan meminta bagian atas kemenangan yang diperjuangkan bersama. Revitalisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Nur Alam sebagai aktor politik tidak terlepas dari beragam nilai yang menjadi acuannya dalam bertindak.

Nilai sebagai dasar perilaku manusia, terdiri dari dua aspek yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah seperangkat nilai yang “seharusnya dilakukan” dan “seharusnya tidak dilakukan”. Sedangkan nilai aktual adalah nilai yang baik dilakukan dan tidak dilakukan dalam konteks menghadapi masalah tertentu. Seperti nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam Kalo, harus mampu mewadahi semua aspek kepentingan lapisan masyarakat. Namun demikian, Nur Alam dalam menghadapi konteks pelanggengan kedudukannya dan kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra, lebih didasarkan atas nilai aktual. Masyarakat etnis lainnya melihat perilaku revitalisasi organisasi pemerintahan ini mengedepankan kepentingan orang-orang Tolaki dan meminggirkan peranan etnis lainnya yang juga ikut memperjuangkan kemenangan Nur Alam. Kalaupun Nur Alam menempatkan etnis lainnya dalam posisi penting

pemerintahan, hal ini dinilai hanya sekedar untuk mendukung keamanan kedudukan Nur Alam sebagai orang nomor satu di Sultra. Seperti menempatkan orang-orang partainya (PAN) pada posisi strategis di daerah, seperti penempatan Ridwan Zakaria yang merupakan kader PAN sebagai pejabat sementara Bupati Buton Utara.

Reaksi terhadap kebijakan revitalisasi kabinet Nur Alam yang dinilai meminggirkan elit beretnis lain terlihat dari kekecewaan Kadis Pendidikan Nasional Muna (Kadiknas) yang mengatakan menyesal telah mendukung

Gubernur Sultra, Nur Alam27. Menjawab kekecewaan tersebut Gubernur balik

mempertanyaakan dukungan apa yang dimaksud, apakah dukungan terhadap program kerja, ataukah dukungan pribadi dalam pilgub Sultra 2007. Gubernur menjelaskan bahwa jika dukungan yang dimaksud adalah program kerja, maka hal tersebut wajib dilaksanakan bagi semua aparat pemerintahan Sultra. Namun, jika yang dimaksud adalah dukungan pribadi, maka hal tersebut tidak diatur dalam kelembagaan formal tetapi hanya hak masing-masing orang menetukan siapa yang dipilihnya.

Tuntutan terhadap pembagian hasil perjuangan bersama dalam pilkada juga terjadi pada Bupati Muna, Ridwan Bae. Merasa telah mengerahkan masyarakat untuk mendukung penuh Nur Alam pada pilkada 2007, Ridwan kecewa terhadap kebijakan pemerintah yang mengurangi jatah bantuan dana kepada pemerintah kabupaten Muna. Kekecewaan ini juga terlihat dengan mengerahkan massa pendemo dari sekelompok masyarakat Muna.

Selain proses revitalisasi anggota pemerintahan, saat ini pemilihan anggota DPRD Sultra diwarnai dengan hadirnya wajah-wajah baru. Yang menjadi perhatian adalah, para anggota tim sukses dari kubu NUSA berupaya untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPRD tersebut. Sampai akhir penelitian ini dilaksanakan, belum ada hasil pemilihan anggota DPRD tersebut sehingga tidak dapat dikaji apakah terjadi politik balas budi di antara anggota tim sukses yang berupaya menjadi calon legislatif.

      

27

Rush dan Althoff (1983) mengemukakan bahwa sosialisasi politik negara berkembang seperti Indonesia lebih memiliki relasi terhadap sistem-sistem lokal. Soetarto dan Shohibuddin (2004) pun mengemukakan bahwa ikatan solidaritas lokal dapat menjadi basis legitimasi baru dalam sistem politik Indonesia. Konteks pemilihan Gubernur Sultra pun memungkinkan hal tersebut terjadi. Masyarakat Sultra yang terbagi dalam dua wilayah persebaran meliputi wilayah daratan dan wilayah kepulauan dengan etnis dominan pada masing-masing wilayah memungkinkan perolehan suara berdasarkan basis etnisitas. Namun demikian, kekhasan pilkada Sultra adalah dari keempat pasangan calon kepala daerah selalu menghadirkan pertautan antara dua figur dari daratan dan kepulauan. Terlebih figur daratan dengan etnis tolaki sebagai etnis dominan sekaligus etnis yang menjadi fokus kajian selalu ada dalam setiap pasangan calon kepala daerah, baik sebagai calon Gubernur ataukah hanya sebagai Wakil Gubernur. Hal ini kemudian menjadikan suara dari masyarakat etnis Tolaki sendiri pun akan terpecah-pecah seperti yang terjadi di Kelurahan Lepo-Lepo. Meskipun pada akhirnya kubu NUSA menjadi pemengan disana dengan adanya kedekatan emosional warga dan lokasi tempat tinggal, namun perolehan suara yang didapat tidak berbeda jauh malah terpaut beberapa angka dari pasangan AZIMAD dengan Abd. Samad sebagai figur yang memiliki kedekatan dengan masyarakat.

Etnis Tolaki menjadi signifikan peranannya dalam pemenangan kubu NUSA ketika Nur Alam sebagai figur Tolaki mampu mengoptimalisasikan jejaring timnya yang beretnis Tolaki sebagai elit yang bergerak ke massa akar rumput khususnya pada masyarakat daratan. Seperti pada kasus masyarakat Ladongi dengan M. Ali Nur sebagai mantan Camat Ladongi. Figur-figur lokal yang dikenal oleh masyarakat tingkat lokal (dalam cakupan desa, kelurahan hingga kecamatan) menjadi ujung tombak NUSA untuk mendapatkan suara masyarakat di tingkat mikro seperti kelurahan. Optimalisasi figur lokal ini membedakan antara strategi politik Nur Alam sebagai etnis Tolaki dengan figur beretnis Tolaki lainnya. Sadar akan rentannya perpecahan suara masyarakat etnis Tolaki, Nur Alam menggunakan figur-figur lokal sebagai kekuatan politiknya. Berbeda dengan pasangan lain hanya mengandalkan figur beretnis Tolaki yang

belum tentu pengaruh ketokohannya mampu masuk ke seluruh masyarakat daratan.

Dengan demikian, jaringan etnis Tolaki tingkat lokal dengan figur elit politik di tingkat lokal sebagai ujung tombak penyambung sosialisasi antara kubu NUSA dengan masyarakat akar rumput menjadi signifikan peranannya dalam pemenangan kubu NUSA.

6.4 Ikhtisar

Bab ini menjelaskan mengenai berbagai manuver-manuver politik yang dilakukan oleh aktor politk beretnis Tolaki sebagai upaya mewujudkan tujuan politik yang ingin dicapai. Perilaku politik yang ditunjukkan melalui serangkaian manuver politik, yang tidak terlepas dari konteks masyarakat Sultra sebagai pemilih. Pertimbangan atas kondisi masyarakat Sultra yang terbagi-bagi ke dalam berbagai etnis dan tersebar di setiap wilayah Sultra baik daratan maupun kepulauan, mengharuskan elit beretnis Tolaki menggunakan berbagai media politik yaitu aspek astrategis sebagai kekuatan politik dalam sistem pemilihan langsung.

Untuk mampu membahas mengenai kompleksitas masalah perilaku politik, peneliti bersandar pada konsep Weber mengenai perilaki politik sebagai obyek kajian sosiologi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam melihat

aspek-aspek apa saja yang terkandung dalam perilaku politik.Weber menjelaskan

bahwa setiap perilaku dan tindakan sosial didasari oleh motivasi psikologis serta nilai yang ada dalam diri seseorang. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa etnis Tolaki dalam pilgub Sultra 2007 pun serupa dengan konsep Weber tersebut, memiliki serangkaian nilai dan motivasi psikologis sebagai dasar tindakannya. Secara umum terdapat dua dasar perilaku politik etnis Tolaki yaitu motivasi pentingnya kepemimpinan yang tertuang dalam upaya melahirkan kembali sosok HaluOleo yang dianggap sebagai sosok pemimpin ideal seluruh masyarakat Sultra serta motivasi atas peran dan kedudukan strategis etnis Tolaki dalam kancah politik Sultra. Selain itu, sisi rasionalitas dan emosionalitas masyarakat sebagai

dasar pemilihan masyarakat menjadi bahan pertimbangan dalam prilaku politik aktor beretnis Tolaki.

Nilai-nilai kepemimpinan ideal bagi etnis Tolaki adalah seperangkat nilai

kepemimpinan yang tertuang dalam kalo, simbol sekaligus seperangkat nilai serta

aturan yang mengatur kehidupan sosial masyarakat Tolaki. Bagi orang Tolaki, HaluOleo merupakan sosok pemimpin ideal yang tidak saja mampu memimpin masyarakat etnis Tolaki namun secara umum mampu memimpin masyarakat Sultra dengan beragam latar belakang etnis. Oleh karenanya, ajang pilgub Sultra merupakan momentum tepat untuk mewujudkan pola kepemimpinan ideal HaluOleo. Hal ini juga berarti mencakup upaya mendudukkan elit Tolaki pada posisi dan peran strategis di Sultra.

Perilaku politik etnis Tolaki yang diwakili oleh perilaku politik kubu NUSA sebagai obyek kajian untuk dapat mewujudkan cita-cita politiknya dapat dilihat melalui penggunaan media massa serta kelompok-kelompok masyarakat dalam pemilihan Gubernur 2007. Pentingnya peranan media massa dianggap memiliki kekuatan yang efektif untuk menggalang suara dari masyarakat dari etnis manapun. Namun demikian, keberagaman latar belakang masyarakat merupakan dasar pertimbangan dari penggunaan media massa tersebut. Kubu NUSA juga menggunakan kelompok-kelompok masyarakat sebagai media berpolitiknya dan menyampaikan pesan politiknya. Penggunaan kelompok pengajian serta kelompok pemuda Tolaki di dasarkan atas dua hal yaitu, kelompok pengajian akan selalu ada di setiap masyarakat degan latar belakang etnis apapun, sebab mayoritas masyarakat Sultra beragama Islam, dan kelompok pemuda etnis Tolaki merupakan wadah efektif untuk menghimpun suara dari para pemuda yang tidak sedikit jumlahnya.

Kesadaran atas pentingnya peranan partai politik sebagai lembaga yang memiliki wewenang siapa bakal calon yang diloloskan oleh partai, menjadikan perilaku politik figur Tolaki untuk dapat masuk ke dalam partai politik dan menjadi bagian penting di dalamnya. Nur Alam sebagai individu politik mengambil posisi penting di dalam PAN dan berupaya melakukan kontrol terhadap kebijakan PAN. Hal ini terlihat ketika Nur Alam keluar sebagai calon

tunggal partai PAN dalam ajang pilgub Sultra serta upayanya untuk mengoptimalisasi jaringan partai politik baik di tingkat Desa hingga Provinsi. Penggunaan figur elit di tingkat lokal yang merupakan anggota partai politik baik dari etnis Tolaki maupun etnis lainnya sebagai ujung tombak Nur Alam di tingkat mikro (masyarakat desa), merupakan strategi jitu untuk menghimpun suara masyarakat akar rumput. Hal inilah yang menjadi salah satu kekhasan perilaku politik Nur Alam. Jika Nur Alam mengandalkan figur-figur lokal untuk bergerak di akar rumput, maka kubu AZIMAD lebih memilih mendatangkan orang partai tingkat pusat. Hal ini tidak efektif karena figur-figur partai tersebut tidak mampu menyentuh sisi psikologis masyarakat akar rumput.

Pencitraan terhadap figur politik juga merupakan salah satu upaya yang dilakukan Nur Alam dalam kaitannya mengambil simpati masyarakat. Melalui beragam aksi serta upaya pencitraan positif, Nur Alam memasuki sisi psikologis masyarakat dengan menggambarkan pemimpin ideal seperti apa yang menjadi pilihan masyarakat.

Setelah mendapatkan kemenangan dalam pilgub Sultra, Nur Alam sebagai individu politik kemudian menampakkan identitas etnis Tolaki yang terinternalisasi dalam dirinya. Hal ini diwujudkan melalui serangkaian ritual Mosehe yang dilakukan Nur Alam untuk meminta restu kepada para leluhur dalam memimpin masyarakat Sultra kedepan. Selain itu, Nur Alam menggagas kembali sosok HaluOleo sebagai pahlawan beretnis Tolaki untuk dikukuhkan

sebagai pahlawan nasional. Sistem resuffle organisasi pemerintahan

memperlihatkan pula bagaimana Nur Alam mengedepankan figur daratan pada posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Figur kepulauan yang menjadi pendukung Nur Alam diletakkan pada posisi strategis dalam upaya menjamin posisi Nur Alam sebagai pemimpin Sultra dimasa-masa akan datang. Hal ini kemudian menjadi sumber kekecewaan bagi pendukung Nur Alam dari etnis lainnya yang merasa telah mengerahkan massa dan kekuatan politiknya.

Kemampuan menuangkan strategi dengan melihat perbedaan latar belakang masyarakat merupakan salah satu perilaku yang mendukung kemenangan kubu NUSA tersebut. Selain itu, optimalisasi sosialisasi politik juga

menjadi sumber kekuatan dalam upaya memperkenalkan figur pemimpin dan menggalang suara dari masyarakat. Seluruh aspek politik strategis meliputi aspek ikatan primordial etnis Tolaki, kekuatan jaringan partai politik serta kekuatan figur calon Gubernur dan wakilnya diyakini menjadi basis kekuatan yang mendukung tercapainya kemenangan kubu NUSA. Konteks pemilihan Gubernur Sultra dengan menghadirkan figur beretnis Tolaki dari setiap kubu pasangan, menyebabkan tidak efisiennya jaringan etnisitas saja sebagai basis kekuatan politik sebab suara masyarakat begitu pula elit politik akan terbagi-bagi ke dalam kubu-kubu tertentu. Namun demikian, primordial tetap teroptimalisasi ketika Nur Alam mampu menggerakkan figur politik lokal sebagai agen sosialisasi untuk menyentuh sisi psikologis masyarakat tingkat mikro. Oleh karenanya, yang membedakan antara Nur Alam dengan figur Tolaki lainnya adalah kemampuan menggerakkan figur lokal yang lebih memiliki kedekatan emosional masyarakat dibanding dengan figur Nur Alam sendiri sebagai calon Gubernur.

Akhirnya, bab ini dimaksudkan untuk membahas dan menjawab dua pertanyaan penelitian, yaitu mengenai perilaku politik elit beretnis Tolaki dan juga signifikasi etnis Tolaki terhadap pemenangan kubu NUSA yang dilekatkan dengan identitas etnis Tolaki. Penjabaran di atas telah menjawab dengan baik dua pertanyaan penelitian sekaligus, sehingga tujuan kedua dan ketiga dari penelitian telah dicapai. Melalui penjabaran yang telah dipaparkan, pada bab selanjutnya akan dilakukan penarikan kesimpulan terkait tiga tujuan peelitian yang ingin dicapai.