• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN

VI. PERILAKU POLITIK ELIT BERETNIS TOLAKI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA

6.2 Optimalisasi Beragam Aspek Strategis Pilkada

6.2.4 Optimalisasi Peranan Figur Politik

Peranan figur aktor politik dalam kancah politik lokal maupun nasional tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu hal penting, bahkan dapat dikatakan paling penting dalam sistem politik Indonesia saat ini. Pentingnya figur aktor politik bagi pilihan masyarakat menjadikan perilaku untuk mewujudkan pencitraan positif terhadap sosok figur menjadi marak dilakukan ketika proses pilkada berlangsung. Bahkan jauh sebelum pilkada digelar, figur yang

memastikan akan ikut dalam arena politik tersebut berupaya sedini mungkin membangun pencitraan dan figur positif di tengah masyarakat.

Bagi kubu NUSA, Nur Alam sebagai calon Gubernur telah memulai ”unjuk kebolehan” disaat suksesi Walikota Kendari 2001 digelar. Figur pengusaha-politikus muda yang berani melawan tokoh senior Sultra terlihat pada diri Nur Alam. Meskipun pada akhirnya kalah bertarung, jiwa kepemimpinan Nur Alam mulai terlihat pada waktu itu.

Figur Nur Alam Sebagai motor penggerak tim NUSA juga telah terlihat ketika beliau masih menjabat sebagai wakil DPRD Sultra. Beliau sering mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang, dari aksi-aksi kritis ini Nur Alam digambarkan sebagai sosok politik yang kritis, jujur dan tidak mudah termakan ajakan aktor lain untuk melakukan tindakan menyimpang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat Sultra. Informan KSND menuturkan bahwa sosok Nur Alam dikenal sebagai figur yang berani, kritis tetapi sensitif terhadap kepentingan masyarakat. Kemampuan Nur Alam mengelola figur politiknya menjadi sebuah pencitraan positif di masyarakat dan menjadi penilaian masyarakat dalam menetukan keputusan politiknya. Berikut penuturan informan KSND:

”bercermin dari kesuksesan SBY dalam mengolah figur politiknya pada pemilu 2004 lalu, Nur Alam mencoba hal yang sama. Pada dasarnya masyarakat kita memang menjadikan figur ketokohan sebagai salah satu pertimbangan politiknya. Makanya kemampuan figur politik untuk mengelola figur apa yang ideal dalam masyarakat menjadi penting. Seperti yang dilakukan oleh Nur Alam, beliau membaca figur seperti apa saja yang diinginkan masyarakat”.

Krasner dalam Gibbs (1982) mengemukakan bagaimana memodifikasi tingkah laku manusia menjadi satu hal yang mampu merubah nilai yang ada sehingga merubah sikap terhadap sesuatu. Lanjut dikemukakan oleh Krasner, modifikasi tingkah laku dalam bidang politik seperti melempar propaganda melalui media massa untuk mempengaruhi masyarakat. Masyarakat terkadang tidak menyadari bahwa ia sedang berada dalam kontrol sosial melalui pengaruh- pengaruh propaganda tersebut. Pembentukan figur politik melalui beragam media

massa menjadi salah satu bentuk kontrol sosial yang diberikan oleh figur politik untuk menyentuh sisi psikologis masyarakat. Selain menyajikan figur yang diharapkan masyarakat, melalui media massa, masyarakat tanpa sadar dipaksa untuk menerima bagaimana figur yang seharusnya menjadi pilihan mereka. Nur Alam sebagai aktor politik memanfaatkan sisi psikologis masyarakat ini untuk menarik suara dari masyarakat. Selain melalui media massa, terdapat upaya lain oleh Nur Alam sebagai aktor politik untuk membentuk figur politiknya.

Pada awal pemerintahan Ali Mazi, Nur Alam telah menunjukkan aksi kritisnya ketika kebijakan Gubernur baru akan mengubah lambang atau logo daerah Sultra. Menurut Nur Alam, logo daerah Sultra yaitu binatang Anoa dikatakan merupakan lambang yang sangat mudah untuk memperkenalkan provinsi ini di mata daerah lain, sebab Anoa merupakan satwa khas Sultra. Selain itu, Nur Alam lebih tertarik untuk melihat aksi pembenahan dan pembangunan Gubernur baru yang telah menjajikan peningkatam iklim investasi Sultra senilai 52 triliun dalam waktu lima tahun yang dimuat dalam visi dan misi gubernur baru saat itu. Kritik Nur Alam ini dapat lebih lanjut dikaji dalam peranannya pula sebagai bagian dari pengusaha yang ada di daerah Sultra.

Berbagai cara dilakukan aktor politik yang memastikan akan ikut dalam pesta demokrasi lokal seperti pilkada Sultra. Nur Alam sebagai aktor politik telah memulai pembentukan dan pengenalan figur dalam masyarakat lokal jauh sebelum dilangsungkannya pilkada Sultra. Menyangkut aksi pengenalan kepada

masyarakat Nur Alam menyatakan25:

” Satu hal yang saya lakukan dan tidak dilakukan oleh calon lain adalah sejak tiga tahun lalu, saya memang keliling di 1997 Desa. Baik yang sulit dijangkau maupun yang mudah. Semua desa itu saya datangi untuk menyelami dan memahami kehidupan dan keadaan masyarakatnya. Ini saya lakukan secara sistematis selama tiga tahun. Kebetulan tugas saya juga sebagai wakil ketua DPRD. Kemudian, tentu saya harus sanggup memperjuangkan isu-isu populis seperti yang saya kemukakan (sekolah dan kesehatan gratis) sesuai dengan fakta yang dibutuhkan oleh masyarakat.

      

25

Aksi keliling desa Nur Alam untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat juga dikemukakan oleh informan KSND. Sebagai wartawan, dirinya sering diajak oleh Nur Alam untuk ikut dalam aksi keliling desa tersebut. Berikut penuturan informan:

” Saya juga sering diajak beliau (Nur Alam) untuk ikut dalam rombongan keliling kampung. Waktu itu beliau masih menjadi anggota dewan. Dilapangan beliau juga sering berdiskusi dan tukar pikiran dengan warga”. Membangun figur bagi kubu NUSA tidak saja dilakukan kepada masyarakat sebagai pemilih, namun figur pemimpin yang menghormati pihak lain tidak terkecuali lawan politik juga berupaya ditunjukkan oleh kubu ini. Terkait hal ini, informan menuturkan:

”biarlah masyarakat yang akan melihat dan membandingkan, mana figur yang layak menjadi pemimpin dan mana figur yang hanya mengejar kepentingannya (KSRN, tim suskses NUSA) ”.

Hal ini dikemukakan untuk menggambarkan NUSA yang selalu menghargai sikap calon pemimpin lain. Hal ini terlihat ketika kampanye perdana digelar oleh KPU Sultra. Pasangan Nur Alam dan Saleh Lasata dengan dukungan simpatisannya menyampaikan orasi dan yel-yelnya dengan terlebih dulu menyapa pasangan lain yang menjadi lawan politiknya. Berikut kutipan sapaan Nur Alam dalam kampanye perdana:

”Yang saya hormati, guru saya H. Mahmud Hamundu, yang saya cintai kakanda saya H. Mashur Massie Abunawas dan yang saya sayangi saudara

saya Ali Mazi26”.

Figur jauh dari kesan serakah terhadap jatah fasilitas pemerintahan, juga berusaha ditunjukkan oleh Nur Alam dengan mengembalikan asset daerah yang dipakainya saat menjabat Wakil Ketua DPRD periode 2004-2009 kepada pemerintah daerah yang diwakili Sekretaris DPRD Sultra Drs. Iskandar. Penyerahan asset daerah tersebut setelah Nur Alam menyatakan mengundurkan diri secara resmi sebagai unsur pimpinan DPRD Sultra sejak 31 Juli 2007. Asset yang diserahkan tersebut yakni dua unit mobil Ford Everest dan Kijang Krista.       

26

Selain itu, Nur Alam juga menyerahkan laptop dan televisi kepunyaan Pemda Sultra.

Nur Alam juga merupakan sosok pemimpin yang mampu memberikan jawaban dan solusi bagi setiap masalah dan pertanyaan politik yang datang kepadanya. Sikap tenang Nur Alam dalam menghadapi emosi massa terlihat dalam tindakan Gubernur menghadapi massa pada awal pemerintahannya. Massa dari Koalisi Masyarakat Buton Utara Bersatu (KMBUB) yang menuntut atas kebijakan pejabat sementara Buton Utara. Dalam menjawab tuntutan massa, Nur Alam yang baru dilantik langsung memberikan penjelasan secara detil mengenai tuntutan tersebut. Hal serupa juga terlihat ketika Nur Alam menghadapi massa yang mengaku sebagai perwakilan masyarakat Muna yang menuntut atas kebijakan Nur Alam mengenai APBD yang dibagikan pada setiap Kabupaten dan Kota.

Pemilihan figur pendamping Gubernur yakni calon Wakil Gubernur juga merupakan satu strategi yang harus diyakini sebagai penarik massa. Seperti yang terlihat pada pipres tahun 2004, SBY sebagai figur TNI yang tegas dalam mengambil keputusan dan beretnis Jawa, memilih JK sebagai wakilnya yang dinilai strategis untuk mengimbanginya. JK dinilai mampu menarik simpatisan dari wilayah Timur Indonesia karena beretnis Bugis. Selain itu, JK yang berlatar belakang pengusaha handal dinilai mampu menyeimbangi sikap tegas dan otoriter yang dilekatkan pada TNI dengan sikap yang lebih sosialis.

Kubu NUSA pun demikian. Pemilihan atas Saleh Lasata sebagai calon wakil Gubernur yang mendampingi Nur Alam dinilai strategis karena latar belakang etnis kepulauan yaitu Muna sehingga mampu menyeimbangi Nur Alam yang beretnis Tolaki (daratan). Selain itu, Saleh Lasata yang merupakan mantan Bupati Muna dinilai sebagai pasangan tepat untuk menarik simpatisan asal kepulauan karena figurnya yang tidak asing lagi bagi masyarakat wilayah kepulauan.

Berbeda dengan pasangan AZIMAD. Ali Mazi dinilai salah memilih pasangan politik yakni Abd. Samad karena figur ketokohannya tidak mampu mewakili masyarakat Tolaki secara luas. Abd. Samad secara ketokohan belum

sampai pada masyarakat Kolaka apalagi Kolaka Utara. Jika harus menarik simpatisan dari masyarakat Tolaki bukan berarti harus mengambil pasangan dari etnis Tolaki, kalaupun harus dilakukan harus yang memiliki figur ketokohan yang kapabel. Berbeda dengan Nur Alam yang mampu memasuki sisi humanis komunitas masyarakat Bugis-Makassar.

Secara menyeluruh, gambaran figur politik Nur Alam terlihat pada perjalanan politiknya yang menggambarkan perjuangan. Diawali dengan menjadi sekretaris DPW PAN Sultra kemudian menjabat sebagai Ketua PAN Sultra, juga menjadi Wakil Ketua DPRD Sultra dan gagal menjadi Walikota Kendari, membuat Nur Alam menjadi figur yang pantang menyerah dalam kancah politik. Berbeda dengan keberadaan Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra 2002-2007. Secara mengejutkan Ali Mazi yang sebelumnya berdomisili di Jakarta, tiba-tiba datang merebut suara dewan untuk memilihnya menjadi Gubernur mengalahkan Hino Biohanis yang merupakan tokoh senior dan Adel Berty. Meskipun dengan

tudingan money politic kekuatan Ali Mazi tidak terkalahkan. Cukup masuk ke

dalam partai yang memiliki fraksi di DPRD Sultra dan menjalankan lobi politik serta komitmen politik, maka jadilah Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra. Berikut kutipan dari informan H.S:

”Sepak terjang Ali Mazi dalam merebut kursi Gubernur Sultra periode 2002 lalu kurang mendapatkan simpatik karena perjalanan politiknya di Sultra belum banyak pada waktu itu sampai akhirnya dia menjadi Gubernur mengalahkan figur-figur yang lebih dikenal dalam peta politik Sultra. Apalagi kemenangannya dituding karena adanya money politic. Berbeda dengan Nur Alam. Dia bermain dalam peta politik lokal, jadi ketika pemilihan dilangsungkan dengan masyarakat lokal sebagai pemilihnya, basis kekuatannya juga sudah ada”.

6.3 Kemenangan Gubernur Sultra Periode 2008-2013 Serta Signifikansi