(Kasus: Kubu NUS
ARY
SE
INST
TA
SA Dalam P TaYUNI SA
EKOLAH
TITUT PE
AHUN 2007
emilihan G ahun 2007)ALPIAN
PASCAS
ERTANIA
2009
7
ubernur Su
NA JABA
ARJANA
AN BOGO
ulawesi Teng
AR
A
OR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Perilaku Politik
Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus:
Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) adalah
merupakan karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2009
Aryuni Salpiana Jabar
Aryuni Salpiana Jabar, Political Behaviour Of Tolaki Ethnic In 2007
South Of East Sulawesi Governor Election (Case: Group Of NUSA in 2007
South Of East Sulawesi Governor Election). Under direction of Said Rusli and
Saharuddin.
In political world, political action refers to the amount of political
behaviour which done by political elite or political actor. That political behaviour
based political motivation and amount of purpose and political expectant. Society
in South of East Sulawesi (Sultra) go to local democration by system of local
government election. This study aims to investigate “why” and “how” political
behaviour of Tolaki ethnic as individual actor. This is a qualitative study which
use primary and secondary data.
The findings of this study show leader values of Tolaki ethnic which
internalize in them self and history of political configuration in Sultra that Tolaki
ethnic not dominate, be political motivation for Individual Tolaki ethnic.
Governor election is one momentum to change’s position of Tolaki ethnic in
political conviguration in Sultra. Political aspect as political force used of Tolaki
actor like political parties as formal aspect, mass media, social group in society
and political figures as non-formal aspec.
Aryuni Salpiana Jabar, Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan
Gubernur Sulawesi TenggaraTahun 2007, Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan
Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007. (Di bawah bimbingan Said Rusli
sebagai Ketua dan Saharuddin sebagai Anggota).
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji “mengapa” dan “bagaimana”
perilaku politik etnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun
2007 sebagai jalan untuk menjelaskan hadirnya figur beretnis Tolaki sebagai
pemenang dalam pilgub Sultra tahun 2007. Penelitian ini dipumpunkan pada tiga
aspek penting tindakan sosial sebagai sebuah obyek sosiologi yaitu motivasi dari
tindakan yang dilakukan, bentuk tindakan itu sendiri serta tujuan yang ingin
dicapai dari sebuah tindakan sosial. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif
dan menggunakan data primer dan sekunder. Unit analisis dalam penelitian adalah
individu aktor politik beretnis Tolaki dengan mengambil kasus kubu NUSA
sebagai salah satu kubu yang dilekatkan dengan identitas Tolaki sebagai jalan
untuk memahami bagaimana aktor politik beretnis Tolaki secara individu
melakukan perilaku dan tindakan politik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua motivasi penting aktor
politik beretnis Tolaki dalam melakukan tindakan politik yaitu nilai-nilai
kepemimpinan yang terkandung dalam Kalo sebagai dasar perilaku orang Tolaki
dan terinternalisasi dalam diri aktor politik beretnis Tolaki serta sejarah perjalanan
peta politik Sultra dimana aktor beretnis Tolaki tidak mendominasi.
Kalosara sebagai acuan bertindak orang Tolaki mengatur dasar kepemimpinan, bagaimana seorang pemimpin serta tujuan kepemimpinan orang
Tolaki. Nilai kepemimpinan ini menjadi modal seorang Tolaki dalam memimpin
masyarakat. Sejarah perjalanan peta politik Sultra menghadirkan dikotomis
wilayah daratan versus kepulauan. Keterwakilan figur dari kedua wilayah ini
penting untuk menjaga stabilitas sosial politik masyarakat Sultra yang tersebar
dominan. Perjalanan peta politik Sultra menunjukkan etnis Tolaki dari wilayah
daratan hanya satu kali menjadi Gubernur sedangkan figur kepulauan selalu
memonopoli kedudukan Gubernur.
Momentum pemilihan Gubernur merupakan satu ajang penting bagi figur
daratan maupun kepulauan sebagai ajang monopoli peta kekuasaan Sultra. Bagi
figur kepulauan, pilgub 2007 adalah pembuktian monopoli peta kekuasaan Sultra,
sedangkan bagi figur daratan, pilgub 2007 adalah ajang perebutan monopoli
kekuasaan tersebut. Perebutan monopoli kekuasaan lebih memiliki makna dalam
sistem pemilihan yang telah berubah dari pemilihan oleh dewan legislatif menjadi
pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
Upaya untuk mendapatkan posisi Gubernur Sultra diwujudkan dengan
serangkaian perilaku politik melalui optimalisasi aspek-aspek strategis pilkada.
Optimalisasi peranan partai politik sebagai lembaga yang menentukan calon
kepala daerah termasuk optimalisasi jaringan anggota partai politiknya merupakan
salah satu wujud perilaku politik untuk mencapai tujuan politik aktor beretnis
Tolaki. Selain itu, optimalisasi media massa, kelompok masyarakat serta figur
politik merupakan aspek-aspek strategis lainnya yang dilakukan oleh aktor
beretnis Tolaki.
Partai politik memiliki kewenangan dalam menetapkan pasangan calon
kepala daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 59. Menyadari
pentingnya peran partai politik ini, Nur Alam sebagai individu beretnis Tolaki
masuk ke dalam PAN, salah satu partai besar di Sulawesi Tenggara dan
mengambil peranan penting sebagai ketua partai. Diutusnya Nur Alam sebagai
calon tunggal partai PAN adalah bukti bahwa Nur Alam mampu memberikan
dominasi kontrol terhadap keputusan internal partai.
Dalam pilkada Sultra 2007, setiap pasangan calon kepala daerah selalu
menampilkan figur beretnis Tolaki, baik sebagai calon Gubernur maupun hanya
sebagai calon Wakil Gubernur. Hal ini menyebabkan aspek primordial sebagai
figur tingkat mikro sebagai penyambung antara calon pasangan kepala daerah
dengan masyarakat akar rumput.
Pencitraan positif terhadap figur politik merupakan aspek penting dalam
pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Nur Alam telah membangun figur
positif di tengah masyarakat melalui kegiatan keliling desa jauh sebelum suksesi
pilkada berlangsung. Penggunaan media massa juga dilakukan untuk membentuk
figur positif Nur Alam.
Serangkaian optimalisasi aspek politik memberikan kemenangan dan
posisi Gubernur bagi Nur Alam. Konsisten dengan tujuan politiknya: etnis Tolaki
mendapat posisi penting pemerintahan Sultra, Nur Alam melakukan resuffle
organisasi pemerintahan dengan menempatkan figur-figur Tolaki pada posisi
penting.
Hasil review terhadap perilaku politik Nur Alam melalui optimalisasi
aspek strategis pilkada menunjukkan aspek primordial menjadi lebih efektif
dalam pemenangan kubu NUSA ketika Nur Alam mengoptimalkan peranan
figur-figur tingkat mikro. Kondisi sosial pemilih yang tersebar di dua wilayah, daratan
dan kepulauan menjadikan aspek media massa dan figur politik efektif untuk
menyentuh berbagai segi masyarakat.
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang – undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
(Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi
Tenggara Tahun 2007)
ARYUNI SALPIANA JABAR
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007
(Kasus : Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007)
Nama : Aryuni Salpiana Jabar
NRP : I351060081
Program Studi : Sosiologi Pedesaan (SPD)
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Ir. Said Rusli, MA Dr. Saharuddin, M.Si
Ketua Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Sosiologi Pedesaan
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Si
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah. Swt atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari program studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Said Rusli, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Saharuddin, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan yang bermanfaat bagi penulisan penelitian ini. Penulis juga menghaturkan ucapan terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Guru Besar Politik dan Agraraia Institut Pertanian Bogor, selaku dosen penguji pada sidang tesis. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis dan rekan-rekan di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) angkatan 2006 (Mba. Hana, Mba. Ita, Pa’ Slamet atas segala informasi akademiknya, Pa’ Syarif, Pa Udin, Pa Himawan, Yusuf) yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama ini.
Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Si dan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Ibu Nurmala K. Pandjaitan, penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister, serta penulis juga menghaturkan terima kasih kepada para Dosen PS.SPD atas bekal ilmu yang telah diberikan pada penulis yang sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang.
Kepada Bapak, H. Syeh All Jabbar, SH., MH dan Ibu, Ramlah All Jabbar, terima kasih atas doa yang senantiasa diberikan dimanapun penulis berada. Pada saudara – saudaraku Ogim, Wawan, Japret, Ira dan Angko yang telah membantu penelitian di lapangan, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya
menyempurnakan isi tulisan ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2009
Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 19 Juli 1984 sebagai anak
kedua dari empat bersaudara dari pasangan All Jabbar dan Ramlah Jabar. Penulis
menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah
Menengah Atas (SMA) di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Tahun 2002 penulis
lulus dari SMUN 1 Kendari dan pada tahun yang sama lulus seleksi USMI
(Undangan Siswa Masuk IPB) di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian,
Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Pada tahun 2006 penulis
berhasil menamatkan Strata 1 dengan predikat Mahasiswa Terbaik Jurusan
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) dan melanjutkan studi S2
pada tahun yang sama di sekolah Pascasarjana IPB program studi Sosiologi
Pedesaan. Pada tahun 2007, di tengah studi S2, penulis menikah dengan suami
Brigadir Idris Hasan dan saat ini telah dikaruniai seorang anak, Syarifa Azra Al
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah Penelitian 5
1.3 Tujuan Penelitian 7
1.4 Kegunaan Penelitian 7
II. PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8
2.1 Perkembangan Sistem Politik Indonesia:
Tinjauan Teoritis 8
2.2 Pendekatan Perilaku Politik 10
2.3 Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi Serta
Nilai Sosial Etnis Tolaki 13
2.4 Kerangka Pemikiran 16
2.5 Definisi Konseptual 20
III. METODE PENELITIAN 22
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 22
3.2 Metode Pengumpulan Data 23
3.3 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data 23
3.4 Analisis data 24
IV. GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA
MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN 2007 26
4.1 Sistem Pemilihan Gubernur Sultra Periode 2008-2013 26
4.2 Karakteristik Kubu NUSA 31
4.3 Isu Strategis dan Kondisi Sosial Masyarakat Sultra 33
4.4 Hasil Pemilihan dan Tanggapan Masyarakat 37
4.4.1 Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Umum 37
4.4.2 Primordial Sebagai Kunci Kemenangan
Kasus: Kelurahan Lepo-Lepo 39
5.3 Kubu NUSA dalam Pemilihan Gubernur Sultra 2007 55
5.2.1 NUSA sebagai Kelompok Politik 55
5.2.2 Formasi Etnis dalam Kubu NUSA 57
5.4 Ikhtisar 60
VI. PERILAKU POLITIK ELIT BERETNIS TOLAKI DALAM
PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA 2007 62
6.1 Motivasi Sosiogenik: Nilai Pentingnya Kepemimpinan 62
6.1.1 Melahirkan Kembali HaluOleo 66
6.1.2 Masyarakat Tolaki dan Pemilihan Gubernur 68
6.2 Optimalisasi Beragam Aspek Strategis Pilkada 70
6.2.1 Pemanfaatan Kelompok Masyarakat 71
6.2.2 Media Massa 75
6.2.3 Optimalisasi Peranan Partai Politik 77
6.2.4 Optimalisasi Peranan Figur Politik 84
6.3 Kemenangan Gubernur Sultra Periode 2008-2013
Serta Signifikansi Etnis Tolaki Dalam
Pemenangan Kubu NUSA 89
6.4 Ikhtisar 94
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 98
7.1 Kesimpulan
98
7.2 Saran 100
DAFTAR PUSTAKA 101
Tabel 1. Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan 24 Tabel 2. Tabel Pembanding Empat Pasangan
Calon Gubernur Sultra 2008-2013 35
Tabel 3. Distribusi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan
Mata Pencaharian Pokok 40
Tabel 4. Komposisi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan Etnis 40 Tabel 5. Rekapitulasi Jumlah Pemilih, TPS dan
Surat Suara Pemilihan Umum Gubernur dan
Wakil Gubernur di Kelurahan Lepo-Lepo 41
Tabel. 6 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara 42 Tabel 7. Kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra
Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki
Dalam Pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007 19
Gambar 2. Peta Sulawesi Tenggara 104
Gambar 3. Peta Sulawesi Tenggara Berdasarkan
Pembagian Wilayah Administratif 105
1.1Latar Belakang
Daerah saat ini merupakan ruang otonom1 dimana terdapat tarik-menarik
antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang
dikeluarkan oleh pemerintah semakin memperkuat pertarungan untuk mengelola
berbagai basis sosial, ekonomi dan politik dalam daerah. Secara mikro,
masyarakat desa maupun kelurahan sebagai pihak dan ruang otonom2 utama
penyangga daerah, tidak dapat luput dari pertarungan antara berbagai pihak dan
berbagai kepentingan.
Secara ekonomi, tarik-menarik berbagai kepentingan yang ada di daerah
secara jelas terlihat dalam pertarungan pengelolaan sumberdaya yang ada di
daerah. Serupa dengan kepentingan ekonomi, kepentingan politik, sosial dan
budaya pun memiliki kecenderungan atas pertarungan dalam pengelolaan
berbagai sumberdaya yang ada di daerah, bahkan sadar ataupun tidak disadari,
politik, sosial dan budaya terkadang menjadi basis pola dan sumber pertarungan
berbagai kepentingan lainnya seperti kepentingan ekonomi.
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan beragam budaya serta etnis
yang ada. Kekayaan budaya dan etnis3 ini dapat dipandang dalam dua sisi yang
berbeda. Pertama, kekayaan budaya serta etnis dapat dipandang sebagai anugrah
yang memperkaya keberagaman masyarakat, serta nilai dan kearifan lokal yang
dimiliki masing-masing. Namun, secara berlawanan, keberagaman etnis dan
budaya dapat menghambat berbagai kepentingan pembangunan sebab berbeda
1
Kata daerah dan daerah otonom memiliki makna yang berbeda. “Daerah” saja berarati local state
government; kewenangan yang diberikan, di lain sisi, daerah otonom berarati local self
government; memerintah sendiri (Dharmawan, Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis
Lokalitas dan Kemitraan, 2004).
2
Otonom berasal dari kata Yunani autos dan nomos. Kata otonom memiliki cakupan makna lebih luas dari sekedar desentralisasi tetapi lebih pada memegang pemerintahan sendiri. Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia.
3
budaya dan etnis berarti juga berbeda latar belakang, berbeda pola pikir dan
tingkah laku (yang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang budaya) serta
perbedaan kepentingan.
Terkait dengan ruang otonom daerah, saat ini, budaya dan keberagaman
etnis tidak jarang digunakan sebagai basis pertarungan politik, ekonomi dan
sosial. Stone dan Rutledge Dennis (2003) menyatakan bahwa; “ethnic group as
“human groups” (other than kinship groups) which cherish a blief in their common origins of such a kind that it provides a basis for the creation of a community”. Berdasar konsep etnis di atas, dalam penelitian ini Etnis dianggap sebagai kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki identitas tertentu
dan identitas tersebut menjadi pemersatu sehingga dapat membedakan antara
kelompoknya dengan kelompok lain atau antara etnisnya dengan etnis lain.
Selanjutnya kelompok yang memiliki identitas ini menjadi alat politik karena
pertalian kepentingan selalu sangat erat bila berdasar pada persamaan etnisitas.
Tidak hanya itu, etnis yang lebih besar dari hanya sebuah golongan keluarga
merupakan basis pemersatu masyarakat yang masih kuat dibandingkan dengan
basis pemersatu yang lain seperti tempat tinggal dan sebagainya. Robert Le Vine
dalam Rush dan Althoff (1983) mengemukakan bahwa sosialisasi politik di negara-negara berkembang cenderung mempunyai relasi yang lebih dekat pada
sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan sistem-sistem
politik nasional.
Menguatnya etnisitas sebagai basis pertarungan kepentingan di daerah
telah dijelaskan oleh Soetarto dan Shohibuddin (2004) dimana dalam konteks
pemilu distrik, dukungan berbasis ikatan solidaritas lokal sangatlah wajar bahkan
memiliki signifikansi tersendiri sebagai basis legitimasi baru bagi proses
rekruitmen politik dan proses demokratisasi lebih luas. Selanjutnya dijelaskan,
mekanisme partisipasi yang mengacu pada medium-medium yang build in dalam
keseharian masyarakat misalnya yang terwujud dalam seni, agama, etnis, budaya
dan lain-lain, tidak terkelola dengan baik bahkan dimusuhi sebagai bentuk
primordialisme, padahal di sisi lain, partisipasi kepartaian banyak mengandalkan
Serupa dengan daerah lainnya di Indonesia, politik lokal di Sulawesi
Tenggara saat ini memegang peranan yang semakin kuat karena adanya UU
otonomi daerah terlebih UU yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah.
Dikutip dalam Suryatna (2007), UU no 32 2004, tentang pemerintahan daerah
mengubah ketentuan yang mengatur pergantian kepala daerah. Pasal 56 ayat 1 menyatakan; kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Berdasarkan UU di atas, politik lokal menjadikan para elit politik semakin
tertarik untuk berpolitik, masyarakat awam pun tidak jarang memiliki ambisi
serupa, untuk menentukan arah pembangunan yang akan dilakukan di tingkat
daerah. Meningkatnya minat berpolitik masyarakat Sulawesi Tenggara yang tidak
hanya terbatas pada elit politik semata, tentunya merupakan sebuah prestasi yang
semakin memberi ruang pada kembali tegaknya kedaulatan rakyat. Namun
demikian, masing-masing elit dan wakil masyarakat memiliki ambisi dan
kepentingan sendiri-sendiri yang tidak jarang dapat berseberangan dengan
kepentingan masyarakat. Perbedaan berbagai kepentingan tersebut mendatangkan
berbagai upaya, taktik dan strategi untuk memenangkan kursi pemegang elit.
Strategi para elit politik dapat bermain pada berbagai ruang politik
tertentu. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, ruang strategis yang dapat
digunakan para elit politik dapat bersumber dari aspek formal maupun aspek
non-formal. Penggunaan aspek-aspek formal dalam konteks pemilihan kepala daerah
menunjukkan masih besarnya pengaruh pemerintah dalam sistem politik
Indonesia saat ini, sedangkan penggunaan aspek non-formal menunjukkan
peranan masyarakat yang semakin menguat dalam sistem pemilihan secara
langsung oleh masyarakat, di lain sisi masyarakat lebih bersandar pada aspek
non-formal dalam menentukan pilihannya.
Saat ini, masyarakat Sulawesi Tenggara sedang menghadapi gejolak sosial
dimana pemilihan Gubernur pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat telah
digelar. Tidak dapat dipungkiri, politik etnis terlihat dalam proses pemilihan
Gubernur ini. Fenomena politik etnis terlihat pada ke-empat pasangan calon
kepala daerah selalu menggambarkan pola yang serupa; pertautan antara dua tenis
yang selalu ada dalam kolaborasi pasangan tersebut (baik sebagai calon gubernur
atau hanya sebagai calon wakil gubernur). Wilayah Sulawesi Tenggara terdiri dari
dua wilayah persebaran penduduk yaitu wilayah daratan dan kepulauan. Dalam
kancah politik Sultra, keterwakilan dua wilayah tersebut sangat penting untuk
menjaga stabilitas sosial politik masyarakat Sultra secara umum yang masih
kental dengan nilai-nilai budaya serta adat-istiadat.
Baik wilayah daratan maupun wilayah kepulauan, masing-masing
memiliki etnis dominan sebagai identitas penduduknya. Etnis Tolaki merupakan
etnis dominan yang mendiami wilayah daratan Sulawesi Tenggara sedangkan
etnis Muna dan Buton merupakan dua etnis dominan di wilayah kepulauan Sultra.
Masing-masing etnis ini memiliki ciri dan kekhasan masing-masing. Namun jika
dirunut lebih jauh, etnis Tolaki bukanlah etnis dominan yang ada di Sulawesi
Tenggara meskipun secara jumlah, etnis ini merupakan etnis dominan yang berada
di teritori daratan Sulawesi Tenggara, dan etnis lainnya cenderung tersebar di
teritori kepulauan. Namun demikian, meskipun etnis Tolaki merupakan
masyarakat yang mendiami ibu kota propinsi, etnis ini tidak menjadi etnis yang
dominan dalam masyarakat, bahkan sebaliknya, dari sisi perjalanan peta politik
Sultra, etnis ini menggambarkan posisi yang tidak mendominasi.
Dari kolaborasi pasangan calon gubernur yang ada dengan Tolaki sebagai
etnis yang selalu hadir serta kemenangan yang akhirnya dicapai oleh salah satu
kubu yang dilekatkan dengan etnis Tolaki, terbentuk sebuah pendugaan bahwa
etnis Tolaki memiliki kekhasan perilaku politik dalam sistem politik Sulawesi
Tenggara, khususnya dalam proses pemilihan kepala daerah. Fenomena etnis
Tolaki sebagai etnis yang selalu hadir dalam setiap kolaborasi pasangan calon
kepala daerah (baik sebagai gubernur ataukah hanya wakil gubernur) serta
akhirnya berhasil menjadi pemenang pada sistem pemilihan kepala daerah yang
telah berubah, menjadi satu hal yang menarik untuk diteliti. Terlebih dalam
1.2Perumusan Masalah Penelitian
Hadirnya elit beretnis Tolaki dalam setiap pasangan calon kepala daerah
dalam pilgub Sultra 2007, kemenangan yang akhirnya diperoleh oleh kubu yang
dilekatkan dengan identitas etnis Tolaki namun di lain sisi etnis Tolaki tidak
mendominasi peta politik Sultra, serta dikotomis keterwakilan figur daratan versus
kepulauan dalam setiap peta politik termasuk dalam pemilihan kepala daerah
Sultra, merupakan akar dari permasalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini.
Konsep Weber mengenai motivasi, aspek psikologis dan sistem nilai
sebagai akar dari tindakan manusia, menunjukkan besarnya peranan motivasi
terhadap perilaku yang dilakukan manusia yang tentunya membawa dampak
terhadap lingkungannya. Weber dalam Laeyendecker (1983) menyatakan bahwa
sebagai obyek sosiologi, tindakan sosial yang didasari oleh beragam motif hanya
terbatas pada tindakan bertujuan dari individu yang melakukannya serta memiliki
keterhubungan dengan tingkah laku individu-individu lain. Dari konsep Weber di
atas, maka ada tiga aspek penting dari tindakan sosial sebagai sebuah obyek
sosiologi, yaitu motif-motif tindakan sosial, tujuan dari tindakan sosial serta
bentuk dan wujud tindakan sosial itu sendiri.
Dalam penelitian ini, etnis Tolaki dimaksudkan pada individu-individu
yang menyadari dirinya memiliki identitas sosial yaitu identitas etnis Tolaki dan
identitas sosial tersebut terinternalisasi dalam berbagai segi kehidupannya.
Kehidupan politik khususnya pada masa pemilihan kepala daerah merupakan satu
segi kehidupan yang menarik dan menjadi kajian dalam penelitian ini.
Kehidupan politik Sultra menghadirkan keterwakilan antara etnis daratan
dan etnis kepulauan dalam setiap peta politik. Keterwakilan ini untuk menjaga
stabilitas sosial politik masyarakat yang memiliki perbedaan karena perbedaan
teritori daratan dan kepulauan. Sejarah perjalanan politik Sultra menggambarkan
bagaimana posisi dan peran yang dimainkan oleh masing-masing etnis dalam peta
politik. Keterwakilan setiap etnis dalam peta politik Sultra menjadi motif penting
untuk melaksanakan beragam aksi dan perilaku politik. Sebagai motif penting
dalam perilaku politik, maka menelaah sejarah perjalanan politik dan keterwakilan
etnis Tolaki dalam kancah politik Sultra akan dilakukan sebagai jalan untuk
Konsisten dengan identitas yang dibawa oleh individu politik, maka sistem nilai
khususnya nilai kepemimpinan yang berperan dalam perilaku politik individu
harus menjadi kesatuan analisis sebagai motif perilaku politik yang dilakukan
individu politik.
Aspek penting dari tindakan sosial sebagai obyek sosiologi adalah
bagaimana wujud dari tindakan sosial itu sendiri. Oleh karenanya, selain melihat
motif perilaku politik, selanjutnya adalah melihat bagaimana wujud dari perilaku
politik. Perilaku politik dalam konteks pilkada merupakan satu kajian menarik
untuk melihat aksi-aksi politik yang dilakukan aktor politik untuk mencapai
tujuan politiknya. Tujuan politik juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari analisis perilaku politik tersebut.
Pada akhirnya, review atas identitas sosial yang dibawa oleh aktor politik
dalam hal ini etnis Tolaki dan kaitannya dengan hasil yang dicapai dari aksi-aksi
politik dalam konteks pilkada sebagai momen politik menjadi bagian akhir untuk
diuraikan dalam upaya mendapatkan gambaran bagaimana identitas sosial
bermain dalam konteks pilkada yang dipengaruhi oleh beragam aspek-aspek
penting dan bukan hanya dari aspek identitas sosial masyarakat saja.
Secara rinci, masalah-masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan dan kedudukan elit beretnis Tolaki dalam
perjalanan peta politik Sulawesi Tenggara secara umum dan dalam
kancah pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 secara
khusus?
2. Mengapa dan bagaimana perilaku politik elit beretnis Tolaki dalam
pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007?. Pertanyaan ini
merujuk pula pada aksi-aksi strategis memanfaatkan kekuatan politik
untuk memenangkan kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode
2008-2013.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk:
1. Mengkaji peranan dan kedudukan elit beretnis Tolaki dalam perjalanan
peta politik Sulawesi Tenggara secara umum dan dalam kancah
pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 secara khusus.
2. Mengkaji perilaku politik elit beretnis Tolaki dalam pemilihan
Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007, serta berbagai aksi-aksi
strategis memanfaatkan kekuatan politik untuk memenangkan kursi
Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013.
3. Mengkaji peranan etnis Tolaki dalam pemenangan kubu NUSA.
1.4 Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1Perkembangan Sistem Politik Indonesia: Tinjauan Teoritis
Studi mengenai perilaku politik4 elit beretnis Tolaki pada pemilihan
Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007, dapat diawali dengan tinjauan literatur
mengenai teori dan fakta empiris tentang perilaku politik dalam sistem pemilihan
langsung yang terjadi di Indonesia saat ini. Tinjauan ini nantinya berguna sebagai
landasan teoritis serta menjadi acuan meletakkan sikap peneliti dalam studi-studi
yang telah ada.
Studi-studi perilaku politik pilkada sebelumnya lebih mengarah pada
perilaku politik masyarakat atau mengenai perilaku masyarakat sebagai pemilih,
meskipun telah banyak pula studi mengenai perilaku politik elit dalam upayanya
memobilisasi massa. Studi ini sendiri berada pada jalur perilaku elit politik
sebagai bagian dari aktor politik pilkada, oleh karenanya, dengan tidak
mengesampingkan pentingnya literatur mengenai studi perilaku politik yang
dilakukan oleh masyarakat sebagai pihak pemilih, maka bagian literatur ini akan
lebih banyak mengulas mengenai perilaku elit politik dalam sistem pemilihan
langsung kepala daerah yang terjadi di Indonesia saat ini.
Perkembangan studi-studi periaku politik didasari oleh perubahan sistem
politik yang berlaku di Indonesia saat ini, dimana sistem pemilihan langsung oleh
masyarakat telah membuka peluang bagi lahirnya sistem politik yang lebih
demokratis atau corak “demokrasi deliberatif” yakni demokrasi yang melibatkan
pertimbangan masyarakat secara memadai (Soetarto dan Shohibuddin, 2004).
Lebih lanjut dikatakan oleh keduanya, meskipun telah dihadapkan pada sebuah
4
sistem yang lebih menjamin berkembangnya nilai-nilai demokrasi, kondisi transisi
demokrasi di Indonesia saat ini lebih mengarah pada pembaruan struktur politik
secara formal semata melalui pelembagaan infrastruktur politik dan hukum, di
samping itu, elit di berbagai level pemerintahan dan ranah sosial belum
mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadaban (civility) yang sebenarnya.
Salah satu perangkat sistem politik demokrasi seperti partai politik
misalnya. Sebagai instrumen politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat,
partai politik belum mampu menjadi keterwakilan suara masyarakat dan partai
politik ditengarai tidak lebih sebagai kendaraan politik bagi para elit. Keputusan
pemerintah pun melalui berbagai Undang-Undang yang dikeluarkan turut
mendukung mandegnya perkembangan sistem demokrasi yang dicita-citakan.
Dijelakan oleh Amin (2005), dibandingkan RUU yang diajukan pemerintah, UU
No.32 Tahun 2004 jauh mengalami kemunduran. Dalam RUU yang diajukan
pemerintah, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan hanya berasal
dari partai politik, tetapi bisa juga diajukan oleh perseorangan, organisasi
kemasyarakatan atau keagamaan, organisasi profesi dan organisasi okupasi. Jadi,
ada kesempatan bagi calon independen untuk mencalonkan diri sebagai calon
kepala daerah. Namun, ayat 2 pasal 56 menegaskan, bahwa “pasangan calon
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau
gabungan dari partai politik” artinya, UU No. 32 tahun 2004 menutup peluang
bagi calon independen (nonpartai) untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Dalam masa transisi sistem politik Indonesia saat ini, selain penting
melihat partai politik sebagai salah satu instrumen pada sistem politik demokratis,
penting juga untuk melihat bagaimana sumber-sumber kekuatan politik pilkada di
akomodir menjadi basis kekuatan dalam sistem politik yang melibatkan
masyarakat sebagai pihak penentu kemenangan5. Telaah terhadap pola mobilisasi
massa melalui berbagai sumber kekuatan politik juga akan memperlihatkan
5
kecenderungan perilaku politik dari elit politik dalam upaya mencapai tujuan
politiknya.
Bachtiar Effendi dalam Sitepu (2005) menyatakan banyak aspek yang
potensial yang dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik yakni aspek
formal maupun aspek non-formal. Aspek formal adalah kekuatan politik yang
mengambil bentuk ke dalam partai-partai politik sedangkan aspek non-formal
adalah merupakan bangunan dari civil society yaitu 1. Dunia usaha, 2. Kelompok
professional dan kelas menengah, 3. Pemimpin agama, 4. Kalangan cerdik pandai
(intelektual), 5. Pranata-pranata masyarakat, 6. Media massa dan yang lainnya.
Partai politik sebagai sumber kekuatan politik formal, lebih memiliki
kekuatan formal setelah dikeluarkannya UU No. 32 pada pasal 56 seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan sumber-sumber kekuatan politik yang
lain sebagai kekuatan non-formal mendapatkan tempatnya sebab kultur
masyarakat Indonesia dimana masyarakat sebagai pihak pemilih, cenderung
memilih berdasarkan aspek-aspek emosional dan lebih dekat kepada
sumber-sumber kekuatan non-formal tersebut. Seperti misalnya media massa. Melalui
media massa, kekuatan figur politik sebagai salah satu dasar pilihan masyarakat
dapat terbentuk. Mengenai kekuatan figure politik, Qodari dalam Soetarto dan
Shohibuddin (2004) menyatakan bahwa lima kategori latarbelakang calon anggota
DPD yang berpeluang besar terpilih dalam kompetisi pemilu. Pertama, mantan
pejabat karena namanya telah dikenal luas oleh masyarakat, kedua pengusaha
besar karena memiliki dana dan dukungan karyawan yang besar, ketiga tokoh
organisasi agama, figure tokoh etnis dan yang kelima adalah veteran pengurus
partai karena selain berpengalaman dalam membina konstituen dan menggalang
dukungan, ia juga dapat memanfaatkan jaringan partainya untuk memobilisasi
dukungan politik.
2.2 Pendekatan Perilaku Politik
Mengkaji sistem politik suatu masyarakat, terdapat beberapa teori yang
dapat digunakan. Sitepu (2005) mengemukakan terdapat empat teori guna
sistem yang mengemukakan pranata-pranata sosial politik merupakan wadah
untuk memahami dinamika kehidupan politik masyarakat. Kedua adalah teori
perilaku politik yang mengungkapkan bahwa mengamati dinamika kehidupan
politik masyarakat, tidak cukup dengan melihat pranata sosial politik formal saja
tetapi juga individu-individu yang bersangkutan. Teori elit merupakan teori ketiga
yang mengungkapkan bahwa elit politiklah yang menetukan dinamika kehidupan
politik masyarakat. Sedangkan teori kelompok merupakan teori terakhir yang
menjelaskan bahwa kristalografi yang ada dalam masyarakat ikut menentukan
kehidupan politik masyarakat dan Negara.
Dalam pengkajian perilaku politik ini, pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan politik di dasarkan atas empat pendekatan politik Sitepu (2005) yang
sebelumnya telah diuraikan. Meskipun empat pendekatan ini diajukan untuk
melihat dinamika kehidupan politik Negara, namun pendekatan ini akan dipakai
dan dipinjam untuk menjelaskan dinamika politik masyarakat daerah multietnis. Empat pendekatan politik yakni teori sistem, teori perilaku politik, teori elit dan
teori kelompok digunakan dengan menyesuaikan konteks penelitian yaitu
masyarakat daerah. Untuk kepentingan penelitian, dari empat teori tersebut di
atas, teori yang akan digunakan adalah teori perilaku politik. Pemilihan atas teori
perilaku politik (behavior political theory) didasarkan atas pumpunan penelitian
yang ingin dikaji yaitu perilaku politik para pelaku politik dalam pemilihan
gubernur Sulawesi Tenggara 2007.
Pendekatan perilaku politik diarahkan untuk melihat kecenderungan
perilaku politik individu ber-etnis Tolaki dalam kaitannya memanfaatkan ruang
politik yang ada serta memainkan peranannya dalam ruang politik. Pendekatan ini
juga digunakan untuk melihat hubungan antara elit politik ber-ernis Tolaki dalam
kehidupan bermasyarakat, kemampuan menjalin hubungan sosial asosiatif dengan
masyarakat khususnya membangun hubungan politik sesama elit. Dalam
kehidupan sosial terdapat dua golongan elit yang berbeda yaitu antara elit yang
memerintah dan elit non-memerintah. Elit yang memerintah adalah individu yang
secara langsung maupun tidak langsung memainkan bagian yang berarti dalam
pemerintahan sedangkan elit yang tidak memerintah adalah elit yang tidak
penelitian ini, maka pengkajian dibatasi hanya kepada perilaku-perilaku politik
elit yang memeritah.
Selain pendekatan politik, dalam penelitian ini juga akan menggunakan
pendekatan etnisitas. Pendekatan etnisitas diharapkan mampu menjelaskan
perjalanan budaya dan sosial masyarakat etnis Tolaki, terlebih hubungan etnis
Tolaki dengan etnis lainnya dan khususnya hubungan dan proses sosial politik elit
ber-etnis Tolaki dengan elit dari etnis lainnya. Terdapat tiga pendekatan untuk
mengkaji etnisitas. Pertama adalah perspektif asimilasi yang lebih menekankan
pada proses-proses sosial yang cenderung melarutkan dan menghilangkan
perbedaan etnisitas, mengarahkan asimilasi etnis minoritas ke dalam masyarakat
luas. Pendekatan kedua adalah perspektif stratifikasi yang berfokus pada
konsekuensi dari ketidakseimbangan yang terjadi akibat keberagaman antara
kelompok etnis. Pendekatan yang ketiga adalah perspektif sumber-sumber
kelompok sosial yang menekankan pada proses-proses mobilisasi dan solidaritas
kelompok, anggota kelompok etnis menggunakan etnisitasnya untuk bersaing
secara sempurna dengan kelompok yang lain.
Gordon dalam Healey (1945) mengemukakan bahwa teori asimilasi sangat
penting untuk melihat asimilasi dan pluralisme dapat terjadi secara bersama.
Asimilasi merupakan sebuah proses untuk mencapai komformiti. Dalam
penelitian ini, perspektif asimilasi merupakan pendekatan utama yang akan
digunakan, meskipun demikian tidak berarti dua pendekatan lainnya tidak
digunakan. Dalam menelaah dan menganalisis proses sosial dalam kelompok etnis
Tolaki kaitannya dengan etnis lainnya, pokok pimikiran dari ketiga perspektif di
2.3 Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi serta Nilai Sosial Etnis Tolaki
Etnis6 Tolaki tersebar secara meluas di hampir seluruh wilayah Sulawesi
Tenggara, tidak seperti etnis Buton dan Muna yang memiliki daerah pemusatan
kelompok masyarakat tersendiri. Etnis Tolaki secara umum berasal dari kerajaan
Konawe dan kerajaan Mekongga. Dalam penelitian ini, pengkajian terhadap
subyek penelitian tidak melakukan pembedaan atas asal-usul dari kerajaan mana
etnis Tolaki berasal, hal ini disebabkan pemakaian individu sebagai subyek
penelitian, selain itu, Tamburaka (2004) juga menjelaskan bahwa penduduk
Kolaka (kerajaan Mekongga) dan Kendari (kerajaan Konawe) merupakan bagian
yang tidak dapat terpisahkan dan DR. Kruyt dalam Tamburaka (2004) juga
menjelaskan bahwa orang Tolaki mendiami daerah yang sangat luas yang meliputi
kerajaan Mekongga dan kerajaan Konawe. Selanjutnya dijelaskan bahwa bahasa
dan adat-istiadat orang-orang etnis Tolaki yang diam di landscahp Mekongga
hanya berbeda sedikit skali dari orang Tolaki di landschap Konawe, sehingga
secara pasti dapat dikatakan bahwa mereka semua adalah rumpun orang-orang
suku Tolaki. Namun demikian, penjelasan mengenai kerajaan Konawe dan
kerajaan Mekongga dianggap penting untuk menyajikan gambarakan mengenai
etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara.
Dari segi administrasi, wilayah Kendari saat ini sebagian besar merupakan
wilayah yang meliputi bekas kerajaan Konawe. Sedangkan kerajaan Konawe yang
asal mula katanya adalah Konaweeha yang merupakan sungai yang memberikan
kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakatnya, memiliki wilayah yang sangat
luas. Wilayah tersebut berbatas langsung dengan wilayah propinsi Sulawesi
Tengah (kerajaan Bungku dan kerajaan Luwu) di bagian Utara, Teluk Bone dan
kerajaan Mekongga (kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara) di bagian Barat, selat
Tiworo dan selat Buton di bagian Selatan, dan dibagian Timur berbatas langsung
6
dengan laut Maluku. Namun demikian, wilayah Kendari ini serta berubah ketika
Kendari berubah dari bentuk kerajaan Konawe.
Seperti dengan kesultanan Buton, kerajaan Konawe juga mendapat
pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Pengaruh ini dapat terlihat dari
sistem politik yang beribah serta sistem lainnya. Pada awal kerajaan Konawe,
hukum serta sistem politik selalu bersumber dari hukum adat dan hal ini
tergantikan menjadi politik berdasarkan hukum-hukum Islam yang bersumber dari
Al Quran dan Al Hadits. Sistem pemerintahan ini cenderung mengarah pada
sistem musyawarah atas mufakat, dan kegotong-royongan. Selain itu, masyarakat
tidak dibedakan jenis ras dan strata masyarakat tetapi masyarakat merupakan
kelompok yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Asas kemanusiaan
merupakan prinsip yang menjadi pegangan kerajaan Konawe ketika politik Islam
berlaku.
Dalam bidang sosial budaya, masuknya agama Islam mempengaruhi
pergeseran nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Apabila sistem adat
memberlakukan strata sosial berdasarkan asal-usul keluarga, yaitu anak dari
keturunan kerajaan mutlak memiliki status sosial yang tinggi, maka pada sistem
hukum Islam hal ini tidak berlaku. Status sosial diperolah bukan atas dasar
keturunan tetapi lebih berorientasi pada perjuangan. Sehingga pendidikan Islam
melahirkan elit-elit baru yaitu; elit politik, elit ilmu pengetahuan, elit harta benda
dan elit bangsawan yang pengaruhnya hanya terlihat pada kehidupan
bermasyarakat semata.
Daerah Mekongga pada mulanya bernama Wonua Sorume atau Wonua
”Unamendaa”. Seperti kerajaan Konawe, kerajaan Mekongga juga mendapat
pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Penyebaran agama Islam di kerajaan
Mekongga dilakukan melalui tiga jalur, yaitu;
a. Jalur pendidikan, dilaksanakan oleh para da’i diawali dengan
memberikan pengetahuan yang mudah dimengerti oleh masyarakat,
bertetangga dan bernegara, sampai kepada hal-hal yang menyangkut
laku, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin
suatu kelompok atau golongan dalam masyarakat.
b. Perkawinan, penyebaran agama Islam melalui perkawinan dilakukan
pertama kali oleh seorang guru agama (da’i) dari Luwu yang menikah
dengan keluarga bangsawan. Selanjutnya jalur pernikahan ini diikuti
oleh da’i lainnya, sehingga di Kolaka banyak terdapat keturunan
masyarakat yang berasal dari daerah Luwu dan Bone.
c. Saluran Islamisasi melalui perdagangan dilakukan oleh orang Bugis
yang telah menganut agama Islam dan juga datang untuk berdagang.
Kerajaan Mekongga membina hubungan dengan kerajaan Konawe, Wolio,
Muna, Tiworo, Moronene, kerajaan Bone dan Luwu. Hubungan kerajaan Konawe
dan Mekongga berlangsung sejak raja pertama. Selain itu, raja Mekongga dan raja
Konawe adalah bersaudara. Hubungan kekeluargaan keduanya dipererat lagi
dengan adanya perkawinan antar keturunan.
Dalam sidang paripurna dan seminar nasional yang diadakan di Kendari
pada tanggal 24 Agustus 1999, terdapat keputusan yang mengangkat sejarah
masyarakat Sulawesi Tenggara yaitu diterimanya Haluoleo sebagai pahlawan
nasional. Haluoleo lebih dikenal sebagai tokoh yang beretnis Tolaki, namun
demikian, dalam penjelajahan sejarah, Tamburaka (2004) mejelaskan bahwa
Haluoleo merupakan pahlawan pemersatu masyarakat Sulawesi Tenggara yang
terdiri dari beragam etnis. Awal karirnya, Haluoleo berkedudukan sebagai
Tamalaki Pobendeno Wonua (panglima perang) di kerajaan Konawe, Mekongga
dan Moronene (1520-1530). Selanjutnya Haluoleo menjadi raja ke VII di kerajaan
Muna dengan gelar Raja Lakolaponto (1530-1538). Pada tahun 1538, Haluoleo
diangkat menjadi raja Buton ke VI (1538-1541) dan kemudian dinobatkan
menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Qaimoeddin Khalifatul Khamiz
(1541-1587) dan setelah mangkat pada tahun 1587 diberi gelar Murhum.
Demikian sejarah Sulawesi Tenggara dan hadirnya tokoh etnis Tolaki yang
menjadi pemersatu beragam etnis di Sulawesi Tenggara sekaligus menjabat
sebagai pemimpin atau raja di periode tertentu. Meskipun demikian, dalam
Tolaki sebagai pemersatu tidak begitu dihiraukan oleh masyarakat, sehingga
perjalanan sejarah seolah-olah menjadi kabur, bahkan masyarakat etnis lainnya
cenderung untuk menyangsikan dan meragukan atas sejarah tersebut (beberapa
percakapan dengan masyarakat etnis Muna dan Buton memperlihatkan
kecenderungan yang serupa).
2.4 Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya kerangka pemikiran dibangun sebagai gambaran pola pikir
peneliti, mapping atau susunan arah penelitian. Pada penelitian ini, ketertarikan
terhadap kecenderungan aktor politik beretnis Tolaki selalu hadir dalam
konfigurasi pasangan calon kepala daerah, kemenangan kubu yang dilekatkan
dengan identitas Tolaki namun disatu etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik
Sultra, menjadi dasar kajian untuk melihat bagaimana fenomena PILKADA
gubernur Sulawesi Tenggara digelar.
Kajian ini meliputi perilaku7 politik aktor politik beretnis Tolaki
khususnya dalam proses pilkada, berbagai hal yang mempengaruhi perilaku
politik yang dalam penelitian ini difokuskan pada nilai etnisitas khususnya nilai
akan pentingnya kepemimpinan serta sejarah peranan dan kedudukan etnis Tolaki
dalam peta politik Sultra. Selain hal itu, berbagai aspek yang menjadi kekuatan
politik sebagai madia pencerminan dari perilaku politik yang dilakukan etnis
Tolaki untuk mencapai berbagai kedudukan strategis dalam peta politik Sultra
lebih jauh akan dikaji alam penelitian ini.
Untuk dapat menjabarkan hal tersebut, teori perilaku politik dari Sitepu
(2005) merupakan pilihan teori yang digunakan untuk menganalisis bagaimana
fenomena perilaku politik etnis Tolaki tersebut berlangsung. Pemilihan teori ini
dilandaskan atas pemikiran bahwa perilaku-perilaku politik dari para aktor politik
7
mencerminkan dinamika kehidupan politik masyarakat. Begitupula dengan
perilaku politik calon kepala daerah beretnis Tolaki merupakan representasi serta
pencerminan dari perilaku politik elit politik beretnis Tolaki.
Merujuk pada Nazaruddin Syamsuddin dalam Sitepu (2005) individual
sebagai kekuatan politik merujuk pada aktor-aktor politik atau orang-orang yang
memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari
pribadi-pribadi yang hendak mempengaruhi peroses pengambilan keputusan politik.
Dalam kasus pemilihan kepala daerah, aktor politik dapat berwujud masyarakat
umum sebagai pemilih dan elit politik. Elit politik merupakan fokus kajian
sekaligus sebagai subyek penelitian kali ini. Pemilihan elit politik sebagai pelaku
politik yang akan dikaji didasarkan atas keyakinan bahwa pelaku politik yaitu elit
politik mampu memberikan berbagai warna pada proses politik yang terjadi pada
pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara. Weber dalam Eva dan Etzioni (1973)
juga mengemukakan bahwa elit politik beserta pengikutnya merupakan bagian
terpenting untuk membawa perubahan dalam masyarakat, dan perubahan tersebut
tentunya akan kembali ke masyarakat.
Perilaku politik yang dilakukan oleh para aktor politik tidak dapat terlepas
dari nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya. Seperti yang dikemukakan oleh
Althof dan Rush (1983) bahwa tidak ada seorang pun yang bertingkah laku
terisolasi secara mutlak dari nilai-nilai. Lebih lanjut dikemukakan oleh keduanya
bahwa nilai-nilai dapat dianggap penting selama ia dalam bentuk ideology; karena
perkembangan nilai-nilai yang berkaitan dalam pola yang konsisten merupakan
kekuatan bagi pembentukan tingkah-laku sosial, dan lebih khusus lagi bagi
pembentukan sikap politik. Sztompka (1993) menyatakan perubahan dalam
masyarakat dapat dilihat dari faktor tak teraba seperti keyakinan, nilai, motivasi
dan sebagainya. Hal ini juga didukung oleh pendapat Weber bahwa nilai kultural,
norma dan motivasi psikologis menjadi akar tindakan dan perilaku sosial
seseorang. Berdasarkan konsep tersebut, maka perilaku politik aktor beretnis
Tolaki didasarkan atas berbagai nilai yang dianut dalam etnisnya. Nilai
Selain berbagai nilai kepemimpinan yang dimiliki oleh etnis Tolaki,
perilaku politik aktor beretnis Tolaki juga dipengaruhi oleh sejarah peranan dan
kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra khususnya pada masa sebelum
pilkada Gubernur 2007. Nilai kepemimpinan yang dimiliki etnis Tolaki serta
sejarah peta politik Sultra, membentuk sikap terhadap apa yang diharapkan, dalam
hal ini harapan akan perubahan peran dan kedudukan elit politik beretnis Tolaki
dalam peta politik Sultra.
Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa ketika individu memiliki
sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu, mereka seringkali bertingkah laku
konsisten dengan pandangan tersebut. Pentingnya peran serta kedudukan strategis
dalam peta politik Sultra yang diyakini berdampak pada keterwakilan etnis Tolaki
dalam segi sosial, politik, ekonomi Sultra serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat khususnya masyarakat etnis Tolaki menjadikan pentingnya aksi-aksi
dan perilaku politik untuk mewujudkan hal tersebut.
Momentum pemilihan kepala daerah secara langsung yang digelar di
Sulawesi Tenggara tahun 2007 adalah sebuah momentum tepat untuk
menjalankan serangkaian perilaku politik untuk mewujudkan tujuan politik yang
dilatarbelakangi oleh faktor nilai kepemimpinan dan sejarah peta politik Sultra
tersebut. Perubahan sistem pemilihan Gubernur dari dewan legislatif menjadi
pilihan berdasarkan suara masyarakat semakin meningkatkan keinginan untuk
mewujudkan tujuan politik; mendapat peran strategis dalam peta politik Sultra.
Hal ini dikarenakan memberikan signifikansi terhadap siapa figur yang pantas
menjadi pemimpin masyarakat Sultra dalam dikotomis wilayah daratan versus
kepulauan.
Merujuk pada konsep aspek potensial dalam pilkada oleh Bachtiar Effendi
dalam Sitepu (2005), maka untuk mewujudkan tujuan politiknya, aktor beretnis
Tolaki mengoptimalisasikan sejumlah aspek potensial baik aspek formal maupun
non-formal sebagai sumber kekuatan politik dalam proses pemilihan Gubernur.
Aspek formal mengambil bentuk pada partai politik sebagai lembaga yang
menentukan siapa elit politik yang berhak maju pada ajang politik pilkada.
Sedangkan aspek non-formal mengambil bentuk pada kelompok-kelompok
Kemampuan optimalisasi sejumlah kekuatan politik ini juga merupakan
bentuk partisipasi politik elit beretnis Tolaki secara pribadi atau individu serta
kemampuannya mengorganisir berbagai kekuatan politik untuk mencapai tujuan
politiknya. Optimalisasi kekuatan politik juga mempertimbangkan aspek
masyarakat Sultra sebagai pemilih dilihat dari sisi rasional dan emosional pemilih
serta sisi keberagaman masyarakat Sultra yang tersebar pada wilayah daratan dan
kepulauan. Berikut skema kerangka berfikir perilaku politik aktor beretnis Tolaki
dalam pemilihan Gubernur Sultra 2007.
Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007
Perilaku politik aktor politik beretnis Tolaki
Nilai Etnis Tolaki
Peran & Kedudukan Etnis Tolaki dalam
peta politik Sultra
1. Penggunaan Media Massa dan Pranata Sosial
2. Optimalisasi Figur 3. Optimalisasi Partai Politik
Peranan Etnis Tolaki dalam peta politik
2.5Definisi Konseptual
Berdasarkan berbagai konsep dan literatur yang telah dipaparkan pada
bab-bab sebelumnya, maka disusun beberapa definisi konseptual sebagai acuan
pencarian data, penyusunan hasil kajian serta penarikan kesimpulan. Definisi
konseptual tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Etnis merupakan kelompok terdiri dari orang-orang yang memiliki
kesamaan identitas yaitu seperangkat nilai menjadi dasar bertindak dan
berperilaku sekaligus menjadi pemersatu kelompok. Etnis yang memiliki
identitas mampu membedakan antara etnis ego8 dengan etnis lainnya.
2. Politik merupakan kesanggupan individu atau kelompok untuk bertindak
mempengaruhi proses pembuatan, pengambilan serta pelaksanaan
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat.
3. Politik Etnis merupakan kemampuan individu atau kelompok untuk
mempengaruhi jalannya pengambilan keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan identitas kelompok
sebagai sumber kekuatan bertindak.
4. Perilaku Politik merupakan aksi-aksi yang dilakukan para pelaku politik
untuk mencapai tujuan politiknya yaitu mendapatkan peran dan kedudukan
strategis dalam peta politik Sultra melalui optimalisasi sejumlah aspek
kekuatan politik.
5. Kekuatan politik dalam pemilihan kepala daerah terarah pada semua aspek
baik aspek formal maupun non-formal yang dapat dioptimalisasikan dalam
upaya menggalang suara dari masyarakat. Partai politik sebagai lembaga
penentu calon kepala daerah serta jaringan keanggotaan yang ada di
dalamnya merupakan aspek formal kekuatan politik. Sedangkan media
massa, kelompok masyarakat serta figur politik merupakan aspek
non-formal kekuatan politik.
8
6. Mobilisasi Massa merupakan segala bentuk gerak dan upaya untuk
menghimpun massa atau masyarakat agar ikut ke dalam tujuan politik
yang diinginkan. Dalam pemilihan kepala daerah, mobilisasi massa
ditunjukkan dengan adanya berbagai upaya agar masyarakat bersimpatik,
mendukung dan akhirnya memilih calon pasangan tertentu.
7. Nilai Etnis yaitu seperangkat nilai yang dimiliki etnis tertentu yang
menjadi dasar dan pedoman dalam bertindak. Kasus etnis Tolaki, nilai ini
mengatur cara berperilaku orang Tolaki juga apa yang dianggap baik oleh
etnis Tolaki.
8. Tim Sukses yaitu sekelompok orang-orang dengan beragam latar
belakang, memiliki tujuan bersama, dengan pembagian tugas yang jelas,
saling dukung-mendukung untuk berjuang mendapatkan kemenangan
dalam pilgub Sultra 2007.
9. Figur Politik yaitu pencitraan terhadap sosok pemimpin mengenai apa
yang dianggap layak dan tidak layak, menjadi salah satu dasar dan
pertimbangan atas pilihan politik.
10.Peran dan kedudukan strategis adalah posisi struktural dalam organisasi
pemerintahan yang memungkinkan aktor politik menjalankan kontrol
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Tenggara dengan mengambil para
elit politik yang ikut dalam pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara 2007 sebagai
subyek penelitian atau tineliti. Unit analisis dalam kajian ini terfokus individu
sebagai anggota politik pada salah satu kubu yang mengikuti pencalonan kepala
daerah yaitu kubu NUSA. Pemilihan terhadap unit analisis ini disebabkan kepala
daerah yang diusung berasal dari etnis Tolaki sehingga dianggap mewakili
pumpunan penelitian yang ingin dikaji, selain itu kubu NUSA merupakan
pasangan pemenang pilkada Sultra 2007 sehingga menjadi mungkin untuk
menggali informasi tidak saja seputar masa pemilihan tetapi juga ketika pemilihan
selesai digelar dan pemerintahan baru dijalankan termasuk peran serta kedudukan
etnis Tolaki dalam peta politik Sultra pasca pilgub 2007.
Kajian ini merupakan kajian sosiologi politik dimana penelitian diarahkan
mengenai hubungan antara masalah-masalah politik dan masyarakat, antara
struktur sosial dan struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku
politik. Studi sosiologi sendiri memusatkan perhatian pada tingkah laku manusia
dalam hubungannya dengan masyarakat atau tingkah laku manusia dalam konteks
sosial. Oleh karenanya, menjadi penting untuk melihat kasus masyarakat yang
menggambarkan berlakunya kekuatan-kekuatan aspek non-formal dalam
pemilihan kepala daerah sebagai aspek penting dasar pemilihan masyarakat.
Kelurahan Lepo-Lepo, Kecamatan Baruga, Kota Kendari menjadi lokasi pilihan
peneliti. Hal ini didasarkan atas keberagaman etnis yang ada dalam
masyarakatnya, tetapi etnis Tolaki masih menjadi etnis dominan dalam hal
jumlah. Di samping itu, masyarakat Kelurahan Lepo-Lepo memiliki basis
kedekatan emosional terhadap pasangan kubu NUSA dan juga pasangan kubu
AZIMAD sehingga semakin menarik untuk melihat fenomena politik yang terjadi
dalam masyarakat.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Desember tahun 2008.
waktu penelitian dianggap tepat untuk meneliti bagaimana fenomena politik etnis
yang telah berlangsung saat PILKADA 2007 tersebut. Meskipun demikian, karena
proses-proses pemilihan kepala daerah berlangsung lama sebelum hari pemilihan
sendiri, maka telah dilakukan pengamatan terhadap jalannya suksesi pemilihan
tersebut dimulai dari bulan September 2007.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data
kualitatif diperoleh melalui tehnik wawancara mendalam terhadap subyek
penelitian baik melalui responden maupun informan kunci yang dilakukan dalam
situasi informal, posisi kesetaraan dan akrab. Hasil informasi dan kajian yang
diberikan oleh anggota tim sukses calon kepala daerah yang tetunya berasal dari
etnis Tolaki, diharapkan menjadi representasi dari perilaku politik calon beretnis
Tolaki. Hal ini dimungkinkan karena dilapangan, aksi-aksi politik lebih banyak
diperankan oleh para anggota tim sukses calon kepala daerah.
Selain data primer yang diperoleh melalui hasil wawancara, data sekunder
juga digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder dibutuhkan untuk melengkapi
data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut diperoleh
melalui penelusuran dokumentasi dari masyarakat, surat kabar maupun lembaga
yang mampu memberikan informasi seputar sistem nilai budaya etnis Tolaki, peta
politik Sultra pra Pilkada 2007 ataupun pasca Pilkada 2007. Data sekunder juga
diharapkan diperoleh dari dokumentasi seputar pemilihan Gubernur yang
berlangsung Desember 2007.
3.3 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan
Tabel 1. akan menjelaskan sumber informasi baik dari informan kunci
maupun dari responden seputar kajian penelitian. Pemilihan informan kunci hanya
seputar aktor politik beretnis Tolaki yang direpresetatifkan dengan para tim sukses
calon kepala daerah didasarkan atas tujuan penelitian yang ingin mengkaji
kunci dari aktor politik non-etnis Tolaki diharapkan mampu memberikan
penjelasan atas pertanyaan seputar pandangan aktor non-etnis Tolaki terhadap
perilaku politik aktor beretnis Tolaki.
Informasi penting diharapkan didapat dari wawancara bebas dengan
pengamat politik Sulawesi Tenggara dimana akan memberikan serangkaian
informasi terkait proses pemilihan gubernur 2007. Informasi ini diharapkan
menjadi bahan berarti dalam pembahasan dan proses pengambilan keputusan
nantinya.
Tabel.1 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan Topik Kajian Jenis Data Sumber Data Keterangan
1. Sistem nilai
Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terkait dengan jenis data
wawancara mendalam terhadap informan kunci dan wawancara bebas terhadap
informan selanjutnya akan disajikan sebagaimana adanya untuk menjaga
kekhasan segala fenomena yang terjadi terkait dengan kajian di lokasi penelitian.
Perbandingan antara data penelitian dengan berbagai konsep dan teori dilakukan
untuk melihat kasus serta kekhasan peristiwa yang terjadi di lokasi penelitian.
Selanjutnya data yang telah diperoleh baik data primer maupun data
sekunder akan dianalisis melalui pemilihan data dan penyederhanaan data
sehingga hasil nalisis semakin tajam. Data-data yang ada akan direduksi dan
dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang saling berkaitan dan tersusun dalam
bentuk yang padu sehingga memudahkan melihat apa yang terjadi dalam
masyarakat. Setelah penyajian data berupa teks naratif dan kutipan langsung hasil
wawancara mendalam selanjutnya data akan dianalisis lagi dan dilakukan
penarikan kesimpulan untuk mejawab pertanyaan penelitian yang sebelumnya
GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN 2007
4.1 Sistem Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Periode 2008-2013
Provinsi Sulawesi Tenggara secara Geografis terletak di jazirah tenggara
pulau sulawesi, sedangkan secara astronomi Provinsi Sulawesi Tenggara terletak
dibagian selatan garis khatulistiwa, membentang dari Utara ke Selatan diantara 30
- 60 Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 120045 - 1240
60 Bujur Timur.
Wilayah ini memiliki Luas wilayah 153.019 Km2. Lautan mendominasi
luas Sulawesi Tenggara, yaitu 114.879 Km2 (72%), sedang daratan hanya
mencapai 38.140 Km2 (28%). Provinsi Sulawesi Tenggara juga tergolong provinsi
kepulauan. Keseluruhan pulau baik pulau kecil maupun sedang berjumlah 124
buah pulau ditambah lagi oleh dua gugus kepulauan, yakni pulau – pulau
Wakatobi dan pulau – pulau Tiwoto.
Penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2000 berjumlah
1.776.292 jiwa yang terdiri : 974.427 laki – laki dan 984.987 perempuan. Lima
tahun kemudian, yaitu 2005, penduduk Sulawesi Tenggara berjumlah 1.959.414
jiwa. Pencatatan terakhir, melalui Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) BPS
tahun 2006, jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 2.001.818 jiwa.
Konsentrasi terbesar penduduk Sulawesi Tenggara menetap di daratan
Pulau Sulawesi, yaitu sekitar 52% dan di kepulauan 48%. Jumlah penduduk tahun
2006 sebanyak 2.001.818 jiwa, tercatat sebanyak 290.358 jiwa di Kabupaten
Muna, 271.657 jiwa di Kabupaten Buton, 273.168 jiwa di Kabupaten Kolaka,
265.646 jiwa di Kabupaten Konawe, 244.586 jiwa di Kota Kendari, 234.400 jiwa
di Kabupaten Konawe Selatan, 122.339 jiwa di Kota Bau-Bau, 107.294 jiwa di
Kabupaten Bombana, 94.190 jiwa di Kabupaten Kolaka Utara dan 98.180 jiwa di
Kabupaten Wakatobi (BPS, 2007).
Pemilihan kepala daerah (Gubernur) secara langsung yang dilakukan di
hal ini merupakan pertama kali dilakukan masyarakat Sulawesi Tenggara.
Pemilihan Gubernur periode 2008 – 2013 diwarnai dengan beragam aksi politik
yang bertujuan untuk menarik massa. Sejauh penelitian dilakukan, aksi-aksi yang
dilakukan para calon kepela daerah tersbut masih berada dalam koridor politik
yang jauh dari sumber-sumber konflik massa ataupun masyarakat. Sebagaimana
yang disampaikan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara
Bapak Drs. H. Kaimuddin Haris
“…Kita butuhkan konsistensi dari para calon tersebut. Konsisten memebela dan mengedepankan kepentingan publik, kepentingan rakyat. Bukan kepentingan golongan, bukan kepentingan partai bukan kepentingan primordial, bukan kepentingan pribadi atau kepentingan tim sukses.”
Dalam UU No.32 Tahun 2004 pemilihan kepala daerah menggunakan
sistem pemilihan “plurality majority sistem”. Artinya, jika tidak dicapai
pemenang berdasarkan suara 25 persen lebih, dilakukan putaran kedua. Dengan
begitu, jika suatu daerah hanya ada empat calon, tidak perlu harus ada putaran
kedua (Amin, 2005). Berdasarkan UU No.32 tersebut, pemilihan Gubernur dan
wakil gubernur Sultra dilakukan dalam satu kali pemilihan tanpa melakukan
tahapan putaran kedua. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut diikuti
oleh empat pasangan calon masing-masing pasangan Prof.Ir.H. Mahmud
Hamundu, M.Sc – Drs. H. Yusran A.Silondae, M.Si, yang selanjutnya dalam
tulisan ini akan disingkat menjadi pasangan MAHASILA, pasangan Drs. H.
Masyhur Masie Abunawas, M.Si – Azhari, S.Stp, M.Si (MMA), pasangan Ali
Mazi, SH – H. Abd. Samad (AZIMAD) serta pasangan Nur Alam, SE – H.M.
Saleh Lasata (NUSA).
Terkait penentuan calon peserta pilakada, parpol memiliki kekuasaan
untuk mencalonkan pasangan Gubernur dan wakil Gubernur sebagaimana yang
diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana pasal
59 menyebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan
pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15
dalam pemilu anggota DPRD di daerah setempat. Ketentuan tersebut seringkali
menggagalkan langkah calon kepala daerah potensial.
Dalam pasal 59 ayat (3) juga menyebutkan bahwa parpol atau gabungan
parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon
perseorangan yang memenuhi syarat serta memperhatikan tanggapan dan
pendapat masyarakat dalam penetapan calon. Hal ini memungkinkan munculnya
calon independen sehingga sistem politik akan berjalan lebih variatif, kompetitif
dan fair. Namun demikian, dalam pilkada 2007, KPU Sultra belum bisa
mengakomodir calon perseorangan disebabkan KPU Sultra masih harus
menunggu revisi UU No.32/2004 atau keluarnya peraturan pengganti UU (perpu),
serta menunggu KPU pusat menjabarkan aturan teknis dari calon perseorangan
tersebut9, sementara di lain sisi, tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur Sultra
segera akan dilaksanakan.
Tahapan kegiatan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra periode
2008-2013 dimulai pada tanggal 18 Agustus 2007 setelah komisi pemilihan
Umum (KPU) Sultra menerima surat pemberitahuan dari DPRD mengenai
berakhirnya masa jabatan Gubernur dan wakil Gubernur Sultra. Sedangkan hari
pemilihannya sendiri rencananya dijadwalkan pada tanggal 4 November 2008
namun karena pembenahan data pemilih, maka jadwal tersebut berubah menjadi
tanggal 2 Desember 2007. Namun demikian, dinamika politik berkaitan dengan
pemilihan Gubernur tersebut sudah menghangat sejak dua tahun sebelum
pelaksanaan pemilihan digelar. Figur-figur mulai bermunculan memperkenalkan
diri kepada masyarakat bahwa mereka bakal bertarung dalam pemilihan Gubernur
Sultra. Ada juga figur yang masih memohon kepada parpol agar diakomodir
menjadi calonnya kelak.
KPU dituntut agar dalam menyelenggarakan pemilu senantiasa
berpedoman pada 12 asas, yakni; mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib
9