• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus : Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus : Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007)"

Copied!
248
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus: Kubu NUS

ARY

SE

INST

TA

SA Dalam P Ta

YUNI SA

EKOLAH

TITUT PE

AHUN 2007

emilihan G ahun 2007)

ALPIAN

PASCAS

ERTANIA

2009

7

ubernur Su

NA JABA

ARJANA

AN BOGO

ulawesi Teng

AR

A

OR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Perilaku Politik

Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus:

Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) adalah

merupakan karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Aryuni Salpiana Jabar

(3)

Aryuni Salpiana Jabar, Political Behaviour Of Tolaki Ethnic In 2007

South Of East Sulawesi Governor Election (Case: Group Of NUSA in 2007

South Of East Sulawesi Governor Election). Under direction of Said Rusli and

Saharuddin.

In political world, political action refers to the amount of political

behaviour which done by political elite or political actor. That political behaviour

based political motivation and amount of purpose and political expectant. Society

in South of East Sulawesi (Sultra) go to local democration by system of local

government election. This study aims to investigate “why” and “how” political

behaviour of Tolaki ethnic as individual actor. This is a qualitative study which

use primary and secondary data.

The findings of this study show leader values of Tolaki ethnic which

internalize in them self and history of political configuration in Sultra that Tolaki

ethnic not dominate, be political motivation for Individual Tolaki ethnic.

Governor election is one momentum to change’s position of Tolaki ethnic in

political conviguration in Sultra. Political aspect as political force used of Tolaki

actor like political parties as formal aspect, mass media, social group in society

and political figures as non-formal aspec.

(4)

Aryuni Salpiana Jabar, Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan

Gubernur Sulawesi TenggaraTahun 2007, Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan

Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007. (Di bawah bimbingan Said Rusli

sebagai Ketua dan Saharuddin sebagai Anggota).

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji “mengapa” dan “bagaimana”

perilaku politik etnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun

2007 sebagai jalan untuk menjelaskan hadirnya figur beretnis Tolaki sebagai

pemenang dalam pilgub Sultra tahun 2007. Penelitian ini dipumpunkan pada tiga

aspek penting tindakan sosial sebagai sebuah obyek sosiologi yaitu motivasi dari

tindakan yang dilakukan, bentuk tindakan itu sendiri serta tujuan yang ingin

dicapai dari sebuah tindakan sosial. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif

dan menggunakan data primer dan sekunder. Unit analisis dalam penelitian adalah

individu aktor politik beretnis Tolaki dengan mengambil kasus kubu NUSA

sebagai salah satu kubu yang dilekatkan dengan identitas Tolaki sebagai jalan

untuk memahami bagaimana aktor politik beretnis Tolaki secara individu

melakukan perilaku dan tindakan politik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua motivasi penting aktor

politik beretnis Tolaki dalam melakukan tindakan politik yaitu nilai-nilai

kepemimpinan yang terkandung dalam Kalo sebagai dasar perilaku orang Tolaki

dan terinternalisasi dalam diri aktor politik beretnis Tolaki serta sejarah perjalanan

peta politik Sultra dimana aktor beretnis Tolaki tidak mendominasi.

Kalosara sebagai acuan bertindak orang Tolaki mengatur dasar kepemimpinan, bagaimana seorang pemimpin serta tujuan kepemimpinan orang

Tolaki. Nilai kepemimpinan ini menjadi modal seorang Tolaki dalam memimpin

masyarakat. Sejarah perjalanan peta politik Sultra menghadirkan dikotomis

wilayah daratan versus kepulauan. Keterwakilan figur dari kedua wilayah ini

penting untuk menjaga stabilitas sosial politik masyarakat Sultra yang tersebar

(5)

dominan. Perjalanan peta politik Sultra menunjukkan etnis Tolaki dari wilayah

daratan hanya satu kali menjadi Gubernur sedangkan figur kepulauan selalu

memonopoli kedudukan Gubernur.

Momentum pemilihan Gubernur merupakan satu ajang penting bagi figur

daratan maupun kepulauan sebagai ajang monopoli peta kekuasaan Sultra. Bagi

figur kepulauan, pilgub 2007 adalah pembuktian monopoli peta kekuasaan Sultra,

sedangkan bagi figur daratan, pilgub 2007 adalah ajang perebutan monopoli

kekuasaan tersebut. Perebutan monopoli kekuasaan lebih memiliki makna dalam

sistem pemilihan yang telah berubah dari pemilihan oleh dewan legislatif menjadi

pemilihan secara langsung oleh masyarakat.

Upaya untuk mendapatkan posisi Gubernur Sultra diwujudkan dengan

serangkaian perilaku politik melalui optimalisasi aspek-aspek strategis pilkada.

Optimalisasi peranan partai politik sebagai lembaga yang menentukan calon

kepala daerah termasuk optimalisasi jaringan anggota partai politiknya merupakan

salah satu wujud perilaku politik untuk mencapai tujuan politik aktor beretnis

Tolaki. Selain itu, optimalisasi media massa, kelompok masyarakat serta figur

politik merupakan aspek-aspek strategis lainnya yang dilakukan oleh aktor

beretnis Tolaki.

Partai politik memiliki kewenangan dalam menetapkan pasangan calon

kepala daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 59. Menyadari

pentingnya peran partai politik ini, Nur Alam sebagai individu beretnis Tolaki

masuk ke dalam PAN, salah satu partai besar di Sulawesi Tenggara dan

mengambil peranan penting sebagai ketua partai. Diutusnya Nur Alam sebagai

calon tunggal partai PAN adalah bukti bahwa Nur Alam mampu memberikan

dominasi kontrol terhadap keputusan internal partai.

Dalam pilkada Sultra 2007, setiap pasangan calon kepala daerah selalu

menampilkan figur beretnis Tolaki, baik sebagai calon Gubernur maupun hanya

sebagai calon Wakil Gubernur. Hal ini menyebabkan aspek primordial sebagai

(6)

figur tingkat mikro sebagai penyambung antara calon pasangan kepala daerah

dengan masyarakat akar rumput.

Pencitraan positif terhadap figur politik merupakan aspek penting dalam

pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Nur Alam telah membangun figur

positif di tengah masyarakat melalui kegiatan keliling desa jauh sebelum suksesi

pilkada berlangsung. Penggunaan media massa juga dilakukan untuk membentuk

figur positif Nur Alam.

Serangkaian optimalisasi aspek politik memberikan kemenangan dan

posisi Gubernur bagi Nur Alam. Konsisten dengan tujuan politiknya: etnis Tolaki

mendapat posisi penting pemerintahan Sultra, Nur Alam melakukan resuffle

organisasi pemerintahan dengan menempatkan figur-figur Tolaki pada posisi

penting.

Hasil review terhadap perilaku politik Nur Alam melalui optimalisasi

aspek strategis pilkada menunjukkan aspek primordial menjadi lebih efektif

dalam pemenangan kubu NUSA ketika Nur Alam mengoptimalkan peranan

figur-figur tingkat mikro. Kondisi sosial pemilih yang tersebar di dua wilayah, daratan

dan kepulauan menjadikan aspek media massa dan figur politik efektif untuk

menyentuh berbagai segi masyarakat.

(7)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang – undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

(8)

(Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi

Tenggara Tahun 2007)

ARYUNI SALPIANA JABAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Penelitian : Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007

(Kasus : Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007)

Nama : Aryuni Salpiana Jabar

NRP : I351060081

Program Studi : Sosiologi Pedesaan (SPD)

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

Ir. Said Rusli, MA Dr. Saharuddin, M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Sosiologi Pedesaan

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Si

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah. Swt atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari program studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Said Rusli, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Saharuddin, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan yang bermanfaat bagi penulisan penelitian ini. Penulis juga menghaturkan ucapan terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Guru Besar Politik dan Agraraia Institut Pertanian Bogor, selaku dosen penguji pada sidang tesis. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis dan rekan-rekan di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) angkatan 2006 (Mba. Hana, Mba. Ita, Pa’ Slamet atas segala informasi akademiknya, Pa’ Syarif, Pa Udin, Pa Himawan, Yusuf) yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama ini.

Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Si dan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Ibu Nurmala K. Pandjaitan, penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister, serta penulis juga menghaturkan terima kasih kepada para Dosen PS.SPD atas bekal ilmu yang telah diberikan pada penulis yang sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang.

Kepada Bapak, H. Syeh All Jabbar, SH., MH dan Ibu, Ramlah All Jabbar, terima kasih atas doa yang senantiasa diberikan dimanapun penulis berada. Pada saudara – saudaraku Ogim, Wawan, Japret, Ira dan Angko yang telah membantu penelitian di lapangan, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya

(11)

menyempurnakan isi tulisan ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2009

(12)

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 19 Juli 1984 sebagai anak

kedua dari empat bersaudara dari pasangan All Jabbar dan Ramlah Jabar. Penulis

menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah

Menengah Atas (SMA) di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Tahun 2002 penulis

lulus dari SMUN 1 Kendari dan pada tahun yang sama lulus seleksi USMI

(Undangan Siswa Masuk IPB) di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian,

Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Pada tahun 2006 penulis

berhasil menamatkan Strata 1 dengan predikat Mahasiswa Terbaik Jurusan

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) dan melanjutkan studi S2

pada tahun yang sama di sekolah Pascasarjana IPB program studi Sosiologi

Pedesaan. Pada tahun 2007, di tengah studi S2, penulis menikah dengan suami

Brigadir Idris Hasan dan saat ini telah dikaruniai seorang anak, Syarifa Azra Al

(13)

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah Penelitian 5

1.3 Tujuan Penelitian 7

1.4 Kegunaan Penelitian 7

II. PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8

2.1 Perkembangan Sistem Politik Indonesia:

Tinjauan Teoritis 8

2.2 Pendekatan Perilaku Politik 10

2.3 Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi Serta

Nilai Sosial Etnis Tolaki 13

2.4 Kerangka Pemikiran 16

2.5 Definisi Konseptual 20

III. METODE PENELITIAN 22

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 22

3.2 Metode Pengumpulan Data 23

3.3 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data 23

3.4 Analisis data 24

IV. GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA

MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN 2007 26

4.1 Sistem Pemilihan Gubernur Sultra Periode 2008-2013 26

4.2 Karakteristik Kubu NUSA 31

4.3 Isu Strategis dan Kondisi Sosial Masyarakat Sultra 33

4.4 Hasil Pemilihan dan Tanggapan Masyarakat 37

4.4.1 Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Umum 37

4.4.2 Primordial Sebagai Kunci Kemenangan

Kasus: Kelurahan Lepo-Lepo 39

(14)

5.3 Kubu NUSA dalam Pemilihan Gubernur Sultra 2007 55

5.2.1 NUSA sebagai Kelompok Politik 55

5.2.2 Formasi Etnis dalam Kubu NUSA 57

5.4 Ikhtisar 60

VI. PERILAKU POLITIK ELIT BERETNIS TOLAKI DALAM

PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA 2007 62

6.1 Motivasi Sosiogenik: Nilai Pentingnya Kepemimpinan 62

6.1.1 Melahirkan Kembali HaluOleo 66

6.1.2 Masyarakat Tolaki dan Pemilihan Gubernur 68

6.2 Optimalisasi Beragam Aspek Strategis Pilkada 70

6.2.1 Pemanfaatan Kelompok Masyarakat 71

6.2.2 Media Massa 75

6.2.3 Optimalisasi Peranan Partai Politik 77

6.2.4 Optimalisasi Peranan Figur Politik 84

6.3 Kemenangan Gubernur Sultra Periode 2008-2013

Serta Signifikansi Etnis Tolaki Dalam

Pemenangan Kubu NUSA 89

6.4 Ikhtisar 94

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 98

7.1 Kesimpulan

98

7.2 Saran 100

DAFTAR PUSTAKA 101

(15)

Tabel 1. Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan 24 Tabel 2. Tabel Pembanding Empat Pasangan

Calon Gubernur Sultra 2008-2013 35

Tabel 3. Distribusi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan

Mata Pencaharian Pokok 40

Tabel 4. Komposisi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan Etnis 40 Tabel 5. Rekapitulasi Jumlah Pemilih, TPS dan

Surat Suara Pemilihan Umum Gubernur dan

Wakil Gubernur di Kelurahan Lepo-Lepo 41

Tabel. 6 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara 42 Tabel 7. Kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra

(16)

Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki

Dalam Pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007 19

Gambar 2. Peta Sulawesi Tenggara 104

Gambar 3. Peta Sulawesi Tenggara Berdasarkan

Pembagian Wilayah Administratif 105

(17)

1.1Latar Belakang

Daerah saat ini merupakan ruang otonom1 dimana terdapat tarik-menarik

antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang

dikeluarkan oleh pemerintah semakin memperkuat pertarungan untuk mengelola

berbagai basis sosial, ekonomi dan politik dalam daerah. Secara mikro,

masyarakat desa maupun kelurahan sebagai pihak dan ruang otonom2 utama

penyangga daerah, tidak dapat luput dari pertarungan antara berbagai pihak dan

berbagai kepentingan.

Secara ekonomi, tarik-menarik berbagai kepentingan yang ada di daerah

secara jelas terlihat dalam pertarungan pengelolaan sumberdaya yang ada di

daerah. Serupa dengan kepentingan ekonomi, kepentingan politik, sosial dan

budaya pun memiliki kecenderungan atas pertarungan dalam pengelolaan

berbagai sumberdaya yang ada di daerah, bahkan sadar ataupun tidak disadari,

politik, sosial dan budaya terkadang menjadi basis pola dan sumber pertarungan

berbagai kepentingan lainnya seperti kepentingan ekonomi.

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan beragam budaya serta etnis

yang ada. Kekayaan budaya dan etnis3 ini dapat dipandang dalam dua sisi yang

berbeda. Pertama, kekayaan budaya serta etnis dapat dipandang sebagai anugrah

yang memperkaya keberagaman masyarakat, serta nilai dan kearifan lokal yang

dimiliki masing-masing. Namun, secara berlawanan, keberagaman etnis dan

budaya dapat menghambat berbagai kepentingan pembangunan sebab berbeda

      

1

Kata daerah dan daerah otonom memiliki makna yang berbeda. “Daerah” saja berarati local state

government; kewenangan yang diberikan, di lain sisi, daerah otonom berarati local self

government; memerintah sendiri (Dharmawan, Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis

Lokalitas dan Kemitraan, 2004).

2

Otonom berasal dari kata Yunani autos dan nomos. Kata otonom memiliki cakupan makna lebih luas dari sekedar desentralisasi tetapi lebih pada memegang pemerintahan sendiri. Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia.

3

(18)

budaya dan etnis berarti juga berbeda latar belakang, berbeda pola pikir dan

tingkah laku (yang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang budaya) serta

perbedaan kepentingan.

Terkait dengan ruang otonom daerah, saat ini, budaya dan keberagaman

etnis tidak jarang digunakan sebagai basis pertarungan politik, ekonomi dan

sosial. Stone dan Rutledge Dennis (2003) menyatakan bahwa; “ethnic group as

“human groups” (other than kinship groups) which cherish a blief in their common origins of such a kind that it provides a basis for the creation of a community”. Berdasar konsep etnis di atas, dalam penelitian ini Etnis dianggap sebagai kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki identitas tertentu

dan identitas tersebut menjadi pemersatu sehingga dapat membedakan antara

kelompoknya dengan kelompok lain atau antara etnisnya dengan etnis lain.

Selanjutnya kelompok yang memiliki identitas ini menjadi alat politik karena

pertalian kepentingan selalu sangat erat bila berdasar pada persamaan etnisitas.

Tidak hanya itu, etnis yang lebih besar dari hanya sebuah golongan keluarga

merupakan basis pemersatu masyarakat yang masih kuat dibandingkan dengan

basis pemersatu yang lain seperti tempat tinggal dan sebagainya. Robert Le Vine

dalam Rush dan Althoff (1983) mengemukakan bahwa sosialisasi politik di negara-negara berkembang cenderung mempunyai relasi yang lebih dekat pada

sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan sistem-sistem

politik nasional.

Menguatnya etnisitas sebagai basis pertarungan kepentingan di daerah

telah dijelaskan oleh Soetarto dan Shohibuddin (2004) dimana dalam konteks

pemilu distrik, dukungan berbasis ikatan solidaritas lokal sangatlah wajar bahkan

memiliki signifikansi tersendiri sebagai basis legitimasi baru bagi proses

rekruitmen politik dan proses demokratisasi lebih luas. Selanjutnya dijelaskan,

mekanisme partisipasi yang mengacu pada medium-medium yang build in dalam

keseharian masyarakat misalnya yang terwujud dalam seni, agama, etnis, budaya

dan lain-lain, tidak terkelola dengan baik bahkan dimusuhi sebagai bentuk

primordialisme, padahal di sisi lain, partisipasi kepartaian banyak mengandalkan

(19)

Serupa dengan daerah lainnya di Indonesia, politik lokal di Sulawesi

Tenggara saat ini memegang peranan yang semakin kuat karena adanya UU

otonomi daerah terlebih UU yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah.

Dikutip dalam Suryatna (2007), UU no 32 2004, tentang pemerintahan daerah

mengubah ketentuan yang mengatur pergantian kepala daerah. Pasal 56 ayat 1 menyatakan; kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Berdasarkan UU di atas, politik lokal menjadikan para elit politik semakin

tertarik untuk berpolitik, masyarakat awam pun tidak jarang memiliki ambisi

serupa, untuk menentukan arah pembangunan yang akan dilakukan di tingkat

daerah. Meningkatnya minat berpolitik masyarakat Sulawesi Tenggara yang tidak

hanya terbatas pada elit politik semata, tentunya merupakan sebuah prestasi yang

semakin memberi ruang pada kembali tegaknya kedaulatan rakyat. Namun

demikian, masing-masing elit dan wakil masyarakat memiliki ambisi dan

kepentingan sendiri-sendiri yang tidak jarang dapat berseberangan dengan

kepentingan masyarakat. Perbedaan berbagai kepentingan tersebut mendatangkan

berbagai upaya, taktik dan strategi untuk memenangkan kursi pemegang elit.

Strategi para elit politik dapat bermain pada berbagai ruang politik

tertentu. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, ruang strategis yang dapat

digunakan para elit politik dapat bersumber dari aspek formal maupun aspek

non-formal. Penggunaan aspek-aspek formal dalam konteks pemilihan kepala daerah

menunjukkan masih besarnya pengaruh pemerintah dalam sistem politik

Indonesia saat ini, sedangkan penggunaan aspek non-formal menunjukkan

peranan masyarakat yang semakin menguat dalam sistem pemilihan secara

langsung oleh masyarakat, di lain sisi masyarakat lebih bersandar pada aspek

non-formal dalam menentukan pilihannya.

Saat ini, masyarakat Sulawesi Tenggara sedang menghadapi gejolak sosial

dimana pemilihan Gubernur pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat telah

digelar. Tidak dapat dipungkiri, politik etnis terlihat dalam proses pemilihan

Gubernur ini. Fenomena politik etnis terlihat pada ke-empat pasangan calon

kepala daerah selalu menggambarkan pola yang serupa; pertautan antara dua tenis

(20)

yang selalu ada dalam kolaborasi pasangan tersebut (baik sebagai calon gubernur

atau hanya sebagai calon wakil gubernur). Wilayah Sulawesi Tenggara terdiri dari

dua wilayah persebaran penduduk yaitu wilayah daratan dan kepulauan. Dalam

kancah politik Sultra, keterwakilan dua wilayah tersebut sangat penting untuk

menjaga stabilitas sosial politik masyarakat Sultra secara umum yang masih

kental dengan nilai-nilai budaya serta adat-istiadat.

Baik wilayah daratan maupun wilayah kepulauan, masing-masing

memiliki etnis dominan sebagai identitas penduduknya. Etnis Tolaki merupakan

etnis dominan yang mendiami wilayah daratan Sulawesi Tenggara sedangkan

etnis Muna dan Buton merupakan dua etnis dominan di wilayah kepulauan Sultra.

Masing-masing etnis ini memiliki ciri dan kekhasan masing-masing. Namun jika

dirunut lebih jauh, etnis Tolaki bukanlah etnis dominan yang ada di Sulawesi

Tenggara meskipun secara jumlah, etnis ini merupakan etnis dominan yang berada

di teritori daratan Sulawesi Tenggara, dan etnis lainnya cenderung tersebar di

teritori kepulauan. Namun demikian, meskipun etnis Tolaki merupakan

masyarakat yang mendiami ibu kota propinsi, etnis ini tidak menjadi etnis yang

dominan dalam masyarakat, bahkan sebaliknya, dari sisi perjalanan peta politik

Sultra, etnis ini menggambarkan posisi yang tidak mendominasi.

Dari kolaborasi pasangan calon gubernur yang ada dengan Tolaki sebagai

etnis yang selalu hadir serta kemenangan yang akhirnya dicapai oleh salah satu

kubu yang dilekatkan dengan etnis Tolaki, terbentuk sebuah pendugaan bahwa

etnis Tolaki memiliki kekhasan perilaku politik dalam sistem politik Sulawesi

Tenggara, khususnya dalam proses pemilihan kepala daerah. Fenomena etnis

Tolaki sebagai etnis yang selalu hadir dalam setiap kolaborasi pasangan calon

kepala daerah (baik sebagai gubernur ataukah hanya wakil gubernur) serta

akhirnya berhasil menjadi pemenang pada sistem pemilihan kepala daerah yang

telah berubah, menjadi satu hal yang menarik untuk diteliti. Terlebih dalam

(21)

1.2Perumusan Masalah Penelitian

Hadirnya elit beretnis Tolaki dalam setiap pasangan calon kepala daerah

dalam pilgub Sultra 2007, kemenangan yang akhirnya diperoleh oleh kubu yang

dilekatkan dengan identitas etnis Tolaki namun di lain sisi etnis Tolaki tidak

mendominasi peta politik Sultra, serta dikotomis keterwakilan figur daratan versus

kepulauan dalam setiap peta politik termasuk dalam pemilihan kepala daerah

Sultra, merupakan akar dari permasalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini.

Konsep Weber mengenai motivasi, aspek psikologis dan sistem nilai

sebagai akar dari tindakan manusia, menunjukkan besarnya peranan motivasi

terhadap perilaku yang dilakukan manusia yang tentunya membawa dampak

terhadap lingkungannya. Weber dalam Laeyendecker (1983) menyatakan bahwa

sebagai obyek sosiologi, tindakan sosial yang didasari oleh beragam motif hanya

terbatas pada tindakan bertujuan dari individu yang melakukannya serta memiliki

keterhubungan dengan tingkah laku individu-individu lain. Dari konsep Weber di

atas, maka ada tiga aspek penting dari tindakan sosial sebagai sebuah obyek

sosiologi, yaitu motif-motif tindakan sosial, tujuan dari tindakan sosial serta

bentuk dan wujud tindakan sosial itu sendiri.

Dalam penelitian ini, etnis Tolaki dimaksudkan pada individu-individu

yang menyadari dirinya memiliki identitas sosial yaitu identitas etnis Tolaki dan

identitas sosial tersebut terinternalisasi dalam berbagai segi kehidupannya.

Kehidupan politik khususnya pada masa pemilihan kepala daerah merupakan satu

segi kehidupan yang menarik dan menjadi kajian dalam penelitian ini.

Kehidupan politik Sultra menghadirkan keterwakilan antara etnis daratan

dan etnis kepulauan dalam setiap peta politik. Keterwakilan ini untuk menjaga

stabilitas sosial politik masyarakat yang memiliki perbedaan karena perbedaan

teritori daratan dan kepulauan. Sejarah perjalanan politik Sultra menggambarkan

bagaimana posisi dan peran yang dimainkan oleh masing-masing etnis dalam peta

politik. Keterwakilan setiap etnis dalam peta politik Sultra menjadi motif penting

untuk melaksanakan beragam aksi dan perilaku politik. Sebagai motif penting

dalam perilaku politik, maka menelaah sejarah perjalanan politik dan keterwakilan

etnis Tolaki dalam kancah politik Sultra akan dilakukan sebagai jalan untuk

(22)

Konsisten dengan identitas yang dibawa oleh individu politik, maka sistem nilai

khususnya nilai kepemimpinan yang berperan dalam perilaku politik individu

harus menjadi kesatuan analisis sebagai motif perilaku politik yang dilakukan

individu politik.

Aspek penting dari tindakan sosial sebagai obyek sosiologi adalah

bagaimana wujud dari tindakan sosial itu sendiri. Oleh karenanya, selain melihat

motif perilaku politik, selanjutnya adalah melihat bagaimana wujud dari perilaku

politik. Perilaku politik dalam konteks pilkada merupakan satu kajian menarik

untuk melihat aksi-aksi politik yang dilakukan aktor politik untuk mencapai

tujuan politiknya. Tujuan politik juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari analisis perilaku politik tersebut.

Pada akhirnya, review atas identitas sosial yang dibawa oleh aktor politik

dalam hal ini etnis Tolaki dan kaitannya dengan hasil yang dicapai dari aksi-aksi

politik dalam konteks pilkada sebagai momen politik menjadi bagian akhir untuk

diuraikan dalam upaya mendapatkan gambaran bagaimana identitas sosial

bermain dalam konteks pilkada yang dipengaruhi oleh beragam aspek-aspek

penting dan bukan hanya dari aspek identitas sosial masyarakat saja.

Secara rinci, masalah-masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan dan kedudukan elit beretnis Tolaki dalam

perjalanan peta politik Sulawesi Tenggara secara umum dan dalam

kancah pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 secara

khusus?

2. Mengapa dan bagaimana perilaku politik elit beretnis Tolaki dalam

pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007?. Pertanyaan ini

merujuk pula pada aksi-aksi strategis memanfaatkan kekuatan politik

untuk memenangkan kursi Gubernur Sulawesi Tenggara periode

2008-2013.

(23)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk:

1. Mengkaji peranan dan kedudukan elit beretnis Tolaki dalam perjalanan

peta politik Sulawesi Tenggara secara umum dan dalam kancah

pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007 secara khusus.

2. Mengkaji perilaku politik elit beretnis Tolaki dalam pemilihan

Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2007, serta berbagai aksi-aksi

strategis memanfaatkan kekuatan politik untuk memenangkan kursi

Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013.

3. Mengkaji peranan etnis Tolaki dalam pemenangan kubu NUSA.

1.4 Kegunaan Penelitian

(24)

PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1Perkembangan Sistem Politik Indonesia: Tinjauan Teoritis

Studi mengenai perilaku politik4 elit beretnis Tolaki pada pemilihan

Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007, dapat diawali dengan tinjauan literatur

mengenai teori dan fakta empiris tentang perilaku politik dalam sistem pemilihan

langsung yang terjadi di Indonesia saat ini. Tinjauan ini nantinya berguna sebagai

landasan teoritis serta menjadi acuan meletakkan sikap peneliti dalam studi-studi

yang telah ada.

Studi-studi perilaku politik pilkada sebelumnya lebih mengarah pada

perilaku politik masyarakat atau mengenai perilaku masyarakat sebagai pemilih,

meskipun telah banyak pula studi mengenai perilaku politik elit dalam upayanya

memobilisasi massa. Studi ini sendiri berada pada jalur perilaku elit politik

sebagai bagian dari aktor politik pilkada, oleh karenanya, dengan tidak

mengesampingkan pentingnya literatur mengenai studi perilaku politik yang

dilakukan oleh masyarakat sebagai pihak pemilih, maka bagian literatur ini akan

lebih banyak mengulas mengenai perilaku elit politik dalam sistem pemilihan

langsung kepala daerah yang terjadi di Indonesia saat ini.

Perkembangan studi-studi periaku politik didasari oleh perubahan sistem

politik yang berlaku di Indonesia saat ini, dimana sistem pemilihan langsung oleh

masyarakat telah membuka peluang bagi lahirnya sistem politik yang lebih

demokratis atau corak “demokrasi deliberatif” yakni demokrasi yang melibatkan

pertimbangan masyarakat secara memadai (Soetarto dan Shohibuddin, 2004).

Lebih lanjut dikatakan oleh keduanya, meskipun telah dihadapkan pada sebuah       

4

(25)

sistem yang lebih menjamin berkembangnya nilai-nilai demokrasi, kondisi transisi

demokrasi di Indonesia saat ini lebih mengarah pada pembaruan struktur politik

secara formal semata melalui pelembagaan infrastruktur politik dan hukum, di

samping itu, elit di berbagai level pemerintahan dan ranah sosial belum

mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadaban (civility) yang sebenarnya.

Salah satu perangkat sistem politik demokrasi seperti partai politik

misalnya. Sebagai instrumen politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat,

partai politik belum mampu menjadi keterwakilan suara masyarakat dan partai

politik ditengarai tidak lebih sebagai kendaraan politik bagi para elit. Keputusan

pemerintah pun melalui berbagai Undang-Undang yang dikeluarkan turut

mendukung mandegnya perkembangan sistem demokrasi yang dicita-citakan.

Dijelakan oleh Amin (2005), dibandingkan RUU yang diajukan pemerintah, UU

No.32 Tahun 2004 jauh mengalami kemunduran. Dalam RUU yang diajukan

pemerintah, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan hanya berasal

dari partai politik, tetapi bisa juga diajukan oleh perseorangan, organisasi

kemasyarakatan atau keagamaan, organisasi profesi dan organisasi okupasi. Jadi,

ada kesempatan bagi calon independen untuk mencalonkan diri sebagai calon

kepala daerah. Namun, ayat 2 pasal 56 menegaskan, bahwa “pasangan calon

sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau

gabungan dari partai politik” artinya, UU No. 32 tahun 2004 menutup peluang

bagi calon independen (nonpartai) untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Dalam masa transisi sistem politik Indonesia saat ini, selain penting

melihat partai politik sebagai salah satu instrumen pada sistem politik demokratis,

penting juga untuk melihat bagaimana sumber-sumber kekuatan politik pilkada di

akomodir menjadi basis kekuatan dalam sistem politik yang melibatkan

masyarakat sebagai pihak penentu kemenangan5. Telaah terhadap pola mobilisasi

massa melalui berbagai sumber kekuatan politik juga akan memperlihatkan

      

5

(26)

kecenderungan perilaku politik dari elit politik dalam upaya mencapai tujuan

politiknya.

Bachtiar Effendi dalam Sitepu (2005) menyatakan banyak aspek yang

potensial yang dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik yakni aspek

formal maupun aspek non-formal. Aspek formal adalah kekuatan politik yang

mengambil bentuk ke dalam partai-partai politik sedangkan aspek non-formal

adalah merupakan bangunan dari civil society yaitu 1. Dunia usaha, 2. Kelompok

professional dan kelas menengah, 3. Pemimpin agama, 4. Kalangan cerdik pandai

(intelektual), 5. Pranata-pranata masyarakat, 6. Media massa dan yang lainnya.

Partai politik sebagai sumber kekuatan politik formal, lebih memiliki

kekuatan formal setelah dikeluarkannya UU No. 32 pada pasal 56 seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan sumber-sumber kekuatan politik yang

lain sebagai kekuatan non-formal mendapatkan tempatnya sebab kultur

masyarakat Indonesia dimana masyarakat sebagai pihak pemilih, cenderung

memilih berdasarkan aspek-aspek emosional dan lebih dekat kepada

sumber-sumber kekuatan non-formal tersebut. Seperti misalnya media massa. Melalui

media massa, kekuatan figur politik sebagai salah satu dasar pilihan masyarakat

dapat terbentuk. Mengenai kekuatan figure politik, Qodari dalam Soetarto dan

Shohibuddin (2004) menyatakan bahwa lima kategori latarbelakang calon anggota

DPD yang berpeluang besar terpilih dalam kompetisi pemilu. Pertama, mantan

pejabat karena namanya telah dikenal luas oleh masyarakat, kedua pengusaha

besar karena memiliki dana dan dukungan karyawan yang besar, ketiga tokoh

organisasi agama, figure tokoh etnis dan yang kelima adalah veteran pengurus

partai karena selain berpengalaman dalam membina konstituen dan menggalang

dukungan, ia juga dapat memanfaatkan jaringan partainya untuk memobilisasi

dukungan politik.

2.2 Pendekatan Perilaku Politik

Mengkaji sistem politik suatu masyarakat, terdapat beberapa teori yang

dapat digunakan. Sitepu (2005) mengemukakan terdapat empat teori guna

(27)

sistem yang mengemukakan pranata-pranata sosial politik merupakan wadah

untuk memahami dinamika kehidupan politik masyarakat. Kedua adalah teori

perilaku politik yang mengungkapkan bahwa mengamati dinamika kehidupan

politik masyarakat, tidak cukup dengan melihat pranata sosial politik formal saja

tetapi juga individu-individu yang bersangkutan. Teori elit merupakan teori ketiga

yang mengungkapkan bahwa elit politiklah yang menetukan dinamika kehidupan

politik masyarakat. Sedangkan teori kelompok merupakan teori terakhir yang

menjelaskan bahwa kristalografi yang ada dalam masyarakat ikut menentukan

kehidupan politik masyarakat dan Negara.

Dalam pengkajian perilaku politik ini, pendekatan yang dilakukan adalah

pendekatan politik di dasarkan atas empat pendekatan politik Sitepu (2005) yang

sebelumnya telah diuraikan. Meskipun empat pendekatan ini diajukan untuk

melihat dinamika kehidupan politik Negara, namun pendekatan ini akan dipakai

dan dipinjam untuk menjelaskan dinamika politik masyarakat daerah multietnis. Empat pendekatan politik yakni teori sistem, teori perilaku politik, teori elit dan

teori kelompok digunakan dengan menyesuaikan konteks penelitian yaitu

masyarakat daerah. Untuk kepentingan penelitian, dari empat teori tersebut di

atas, teori yang akan digunakan adalah teori perilaku politik. Pemilihan atas teori

perilaku politik (behavior political theory) didasarkan atas pumpunan penelitian

yang ingin dikaji yaitu perilaku politik para pelaku politik dalam pemilihan

gubernur Sulawesi Tenggara 2007.

Pendekatan perilaku politik diarahkan untuk melihat kecenderungan

perilaku politik individu ber-etnis Tolaki dalam kaitannya memanfaatkan ruang

politik yang ada serta memainkan peranannya dalam ruang politik. Pendekatan ini

juga digunakan untuk melihat hubungan antara elit politik ber-ernis Tolaki dalam

kehidupan bermasyarakat, kemampuan menjalin hubungan sosial asosiatif dengan

masyarakat khususnya membangun hubungan politik sesama elit. Dalam

kehidupan sosial terdapat dua golongan elit yang berbeda yaitu antara elit yang

memerintah dan elit non-memerintah. Elit yang memerintah adalah individu yang

secara langsung maupun tidak langsung memainkan bagian yang berarti dalam

pemerintahan sedangkan elit yang tidak memerintah adalah elit yang tidak

(28)

penelitian ini, maka pengkajian dibatasi hanya kepada perilaku-perilaku politik

elit yang memeritah.

Selain pendekatan politik, dalam penelitian ini juga akan menggunakan

pendekatan etnisitas. Pendekatan etnisitas diharapkan mampu menjelaskan

perjalanan budaya dan sosial masyarakat etnis Tolaki, terlebih hubungan etnis

Tolaki dengan etnis lainnya dan khususnya hubungan dan proses sosial politik elit

ber-etnis Tolaki dengan elit dari etnis lainnya. Terdapat tiga pendekatan untuk

mengkaji etnisitas. Pertama adalah perspektif asimilasi yang lebih menekankan

pada proses-proses sosial yang cenderung melarutkan dan menghilangkan

perbedaan etnisitas, mengarahkan asimilasi etnis minoritas ke dalam masyarakat

luas. Pendekatan kedua adalah perspektif stratifikasi yang berfokus pada

konsekuensi dari ketidakseimbangan yang terjadi akibat keberagaman antara

kelompok etnis. Pendekatan yang ketiga adalah perspektif sumber-sumber

kelompok sosial yang menekankan pada proses-proses mobilisasi dan solidaritas

kelompok, anggota kelompok etnis menggunakan etnisitasnya untuk bersaing

secara sempurna dengan kelompok yang lain.

Gordon dalam Healey (1945) mengemukakan bahwa teori asimilasi sangat

penting untuk melihat asimilasi dan pluralisme dapat terjadi secara bersama.

Asimilasi merupakan sebuah proses untuk mencapai komformiti. Dalam

penelitian ini, perspektif asimilasi merupakan pendekatan utama yang akan

digunakan, meskipun demikian tidak berarti dua pendekatan lainnya tidak

digunakan. Dalam menelaah dan menganalisis proses sosial dalam kelompok etnis

Tolaki kaitannya dengan etnis lainnya, pokok pimikiran dari ketiga perspektif di

(29)

2.3 Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi serta Nilai Sosial Etnis Tolaki

Etnis6 Tolaki tersebar secara meluas di hampir seluruh wilayah Sulawesi

Tenggara, tidak seperti etnis Buton dan Muna yang memiliki daerah pemusatan

kelompok masyarakat tersendiri. Etnis Tolaki secara umum berasal dari kerajaan

Konawe dan kerajaan Mekongga. Dalam penelitian ini, pengkajian terhadap

subyek penelitian tidak melakukan pembedaan atas asal-usul dari kerajaan mana

etnis Tolaki berasal, hal ini disebabkan pemakaian individu sebagai subyek

penelitian, selain itu, Tamburaka (2004) juga menjelaskan bahwa penduduk

Kolaka (kerajaan Mekongga) dan Kendari (kerajaan Konawe) merupakan bagian

yang tidak dapat terpisahkan dan DR. Kruyt dalam Tamburaka (2004) juga

menjelaskan bahwa orang Tolaki mendiami daerah yang sangat luas yang meliputi

kerajaan Mekongga dan kerajaan Konawe. Selanjutnya dijelaskan bahwa bahasa

dan adat-istiadat orang-orang etnis Tolaki yang diam di landscahp Mekongga

hanya berbeda sedikit skali dari orang Tolaki di landschap Konawe, sehingga

secara pasti dapat dikatakan bahwa mereka semua adalah rumpun orang-orang

suku Tolaki. Namun demikian, penjelasan mengenai kerajaan Konawe dan

kerajaan Mekongga dianggap penting untuk menyajikan gambarakan mengenai

etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara.

Dari segi administrasi, wilayah Kendari saat ini sebagian besar merupakan

wilayah yang meliputi bekas kerajaan Konawe. Sedangkan kerajaan Konawe yang

asal mula katanya adalah Konaweeha yang merupakan sungai yang memberikan

kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakatnya, memiliki wilayah yang sangat

luas. Wilayah tersebut berbatas langsung dengan wilayah propinsi Sulawesi

Tengah (kerajaan Bungku dan kerajaan Luwu) di bagian Utara, Teluk Bone dan

kerajaan Mekongga (kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara) di bagian Barat, selat

Tiworo dan selat Buton di bagian Selatan, dan dibagian Timur berbatas langsung

      

6

(30)

dengan laut Maluku. Namun demikian, wilayah Kendari ini serta berubah ketika

Kendari berubah dari bentuk kerajaan Konawe.

Seperti dengan kesultanan Buton, kerajaan Konawe juga mendapat

pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Pengaruh ini dapat terlihat dari

sistem politik yang beribah serta sistem lainnya. Pada awal kerajaan Konawe,

hukum serta sistem politik selalu bersumber dari hukum adat dan hal ini

tergantikan menjadi politik berdasarkan hukum-hukum Islam yang bersumber dari

Al Quran dan Al Hadits. Sistem pemerintahan ini cenderung mengarah pada

sistem musyawarah atas mufakat, dan kegotong-royongan. Selain itu, masyarakat

tidak dibedakan jenis ras dan strata masyarakat tetapi masyarakat merupakan

kelompok yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Asas kemanusiaan

merupakan prinsip yang menjadi pegangan kerajaan Konawe ketika politik Islam

berlaku.

Dalam bidang sosial budaya, masuknya agama Islam mempengaruhi

pergeseran nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Apabila sistem adat

memberlakukan strata sosial berdasarkan asal-usul keluarga, yaitu anak dari

keturunan kerajaan mutlak memiliki status sosial yang tinggi, maka pada sistem

hukum Islam hal ini tidak berlaku. Status sosial diperolah bukan atas dasar

keturunan tetapi lebih berorientasi pada perjuangan. Sehingga pendidikan Islam

melahirkan elit-elit baru yaitu; elit politik, elit ilmu pengetahuan, elit harta benda

dan elit bangsawan yang pengaruhnya hanya terlihat pada kehidupan

bermasyarakat semata.

Daerah Mekongga pada mulanya bernama Wonua Sorume atau Wonua

”Unamendaa”. Seperti kerajaan Konawe, kerajaan Mekongga juga mendapat

pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Penyebaran agama Islam di kerajaan

Mekongga dilakukan melalui tiga jalur, yaitu;

a. Jalur pendidikan, dilaksanakan oleh para da’i diawali dengan

memberikan pengetahuan yang mudah dimengerti oleh masyarakat,

bertetangga dan bernegara, sampai kepada hal-hal yang menyangkut

(31)

laku, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin

suatu kelompok atau golongan dalam masyarakat.

b. Perkawinan, penyebaran agama Islam melalui perkawinan dilakukan

pertama kali oleh seorang guru agama (da’i) dari Luwu yang menikah

dengan keluarga bangsawan. Selanjutnya jalur pernikahan ini diikuti

oleh da’i lainnya, sehingga di Kolaka banyak terdapat keturunan

masyarakat yang berasal dari daerah Luwu dan Bone.

c. Saluran Islamisasi melalui perdagangan dilakukan oleh orang Bugis

yang telah menganut agama Islam dan juga datang untuk berdagang.

Kerajaan Mekongga membina hubungan dengan kerajaan Konawe, Wolio,

Muna, Tiworo, Moronene, kerajaan Bone dan Luwu. Hubungan kerajaan Konawe

dan Mekongga berlangsung sejak raja pertama. Selain itu, raja Mekongga dan raja

Konawe adalah bersaudara. Hubungan kekeluargaan keduanya dipererat lagi

dengan adanya perkawinan antar keturunan.

Dalam sidang paripurna dan seminar nasional yang diadakan di Kendari

pada tanggal 24 Agustus 1999, terdapat keputusan yang mengangkat sejarah

masyarakat Sulawesi Tenggara yaitu diterimanya Haluoleo sebagai pahlawan

nasional. Haluoleo lebih dikenal sebagai tokoh yang beretnis Tolaki, namun

demikian, dalam penjelajahan sejarah, Tamburaka (2004) mejelaskan bahwa

Haluoleo merupakan pahlawan pemersatu masyarakat Sulawesi Tenggara yang

terdiri dari beragam etnis. Awal karirnya, Haluoleo berkedudukan sebagai

Tamalaki Pobendeno Wonua (panglima perang) di kerajaan Konawe, Mekongga

dan Moronene (1520-1530). Selanjutnya Haluoleo menjadi raja ke VII di kerajaan

Muna dengan gelar Raja Lakolaponto (1530-1538). Pada tahun 1538, Haluoleo

diangkat menjadi raja Buton ke VI (1538-1541) dan kemudian dinobatkan

menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Qaimoeddin Khalifatul Khamiz

(1541-1587) dan setelah mangkat pada tahun 1587 diberi gelar Murhum.

Demikian sejarah Sulawesi Tenggara dan hadirnya tokoh etnis Tolaki yang

menjadi pemersatu beragam etnis di Sulawesi Tenggara sekaligus menjabat

sebagai pemimpin atau raja di periode tertentu. Meskipun demikian, dalam

(32)

Tolaki sebagai pemersatu tidak begitu dihiraukan oleh masyarakat, sehingga

perjalanan sejarah seolah-olah menjadi kabur, bahkan masyarakat etnis lainnya

cenderung untuk menyangsikan dan meragukan atas sejarah tersebut (beberapa

percakapan dengan masyarakat etnis Muna dan Buton memperlihatkan

kecenderungan yang serupa).

2.4 Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya kerangka pemikiran dibangun sebagai gambaran pola pikir

peneliti, mapping atau susunan arah penelitian. Pada penelitian ini, ketertarikan

terhadap kecenderungan aktor politik beretnis Tolaki selalu hadir dalam

konfigurasi pasangan calon kepala daerah, kemenangan kubu yang dilekatkan

dengan identitas Tolaki namun disatu etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik

Sultra, menjadi dasar kajian untuk melihat bagaimana fenomena PILKADA

gubernur Sulawesi Tenggara digelar.

Kajian ini meliputi perilaku7 politik aktor politik beretnis Tolaki

khususnya dalam proses pilkada, berbagai hal yang mempengaruhi perilaku

politik yang dalam penelitian ini difokuskan pada nilai etnisitas khususnya nilai

akan pentingnya kepemimpinan serta sejarah peranan dan kedudukan etnis Tolaki

dalam peta politik Sultra. Selain hal itu, berbagai aspek yang menjadi kekuatan

politik sebagai madia pencerminan dari perilaku politik yang dilakukan etnis

Tolaki untuk mencapai berbagai kedudukan strategis dalam peta politik Sultra

lebih jauh akan dikaji alam penelitian ini.

Untuk dapat menjabarkan hal tersebut, teori perilaku politik dari Sitepu

(2005) merupakan pilihan teori yang digunakan untuk menganalisis bagaimana

fenomena perilaku politik etnis Tolaki tersebut berlangsung. Pemilihan teori ini

dilandaskan atas pemikiran bahwa perilaku-perilaku politik dari para aktor politik

      

7

(33)

mencerminkan dinamika kehidupan politik masyarakat. Begitupula dengan

perilaku politik calon kepala daerah beretnis Tolaki merupakan representasi serta

pencerminan dari perilaku politik elit politik beretnis Tolaki.

Merujuk pada Nazaruddin Syamsuddin dalam Sitepu (2005) individual

sebagai kekuatan politik merujuk pada aktor-aktor politik atau orang-orang yang

memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari

pribadi-pribadi yang hendak mempengaruhi peroses pengambilan keputusan politik.

Dalam kasus pemilihan kepala daerah, aktor politik dapat berwujud masyarakat

umum sebagai pemilih dan elit politik. Elit politik merupakan fokus kajian

sekaligus sebagai subyek penelitian kali ini. Pemilihan elit politik sebagai pelaku

politik yang akan dikaji didasarkan atas keyakinan bahwa pelaku politik yaitu elit

politik mampu memberikan berbagai warna pada proses politik yang terjadi pada

pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara. Weber dalam Eva dan Etzioni (1973)

juga mengemukakan bahwa elit politik beserta pengikutnya merupakan bagian

terpenting untuk membawa perubahan dalam masyarakat, dan perubahan tersebut

tentunya akan kembali ke masyarakat.

Perilaku politik yang dilakukan oleh para aktor politik tidak dapat terlepas

dari nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya. Seperti yang dikemukakan oleh

Althof dan Rush (1983) bahwa tidak ada seorang pun yang bertingkah laku

terisolasi secara mutlak dari nilai-nilai. Lebih lanjut dikemukakan oleh keduanya

bahwa nilai-nilai dapat dianggap penting selama ia dalam bentuk ideology; karena

perkembangan nilai-nilai yang berkaitan dalam pola yang konsisten merupakan

kekuatan bagi pembentukan tingkah-laku sosial, dan lebih khusus lagi bagi

pembentukan sikap politik. Sztompka (1993) menyatakan perubahan dalam

masyarakat dapat dilihat dari faktor tak teraba seperti keyakinan, nilai, motivasi

dan sebagainya. Hal ini juga didukung oleh pendapat Weber bahwa nilai kultural,

norma dan motivasi psikologis menjadi akar tindakan dan perilaku sosial

seseorang. Berdasarkan konsep tersebut, maka perilaku politik aktor beretnis

Tolaki didasarkan atas berbagai nilai yang dianut dalam etnisnya. Nilai

(34)

Selain berbagai nilai kepemimpinan yang dimiliki oleh etnis Tolaki,

perilaku politik aktor beretnis Tolaki juga dipengaruhi oleh sejarah peranan dan

kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra khususnya pada masa sebelum

pilkada Gubernur 2007. Nilai kepemimpinan yang dimiliki etnis Tolaki serta

sejarah peta politik Sultra, membentuk sikap terhadap apa yang diharapkan, dalam

hal ini harapan akan perubahan peran dan kedudukan elit politik beretnis Tolaki

dalam peta politik Sultra.

Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa ketika individu memiliki

sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu, mereka seringkali bertingkah laku

konsisten dengan pandangan tersebut. Pentingnya peran serta kedudukan strategis

dalam peta politik Sultra yang diyakini berdampak pada keterwakilan etnis Tolaki

dalam segi sosial, politik, ekonomi Sultra serta peningkatan kesejahteraan

masyarakat khususnya masyarakat etnis Tolaki menjadikan pentingnya aksi-aksi

dan perilaku politik untuk mewujudkan hal tersebut.

Momentum pemilihan kepala daerah secara langsung yang digelar di

Sulawesi Tenggara tahun 2007 adalah sebuah momentum tepat untuk

menjalankan serangkaian perilaku politik untuk mewujudkan tujuan politik yang

dilatarbelakangi oleh faktor nilai kepemimpinan dan sejarah peta politik Sultra

tersebut. Perubahan sistem pemilihan Gubernur dari dewan legislatif menjadi

pilihan berdasarkan suara masyarakat semakin meningkatkan keinginan untuk

mewujudkan tujuan politik; mendapat peran strategis dalam peta politik Sultra.

Hal ini dikarenakan memberikan signifikansi terhadap siapa figur yang pantas

menjadi pemimpin masyarakat Sultra dalam dikotomis wilayah daratan versus

kepulauan.

Merujuk pada konsep aspek potensial dalam pilkada oleh Bachtiar Effendi

dalam Sitepu (2005), maka untuk mewujudkan tujuan politiknya, aktor beretnis

Tolaki mengoptimalisasikan sejumlah aspek potensial baik aspek formal maupun

non-formal sebagai sumber kekuatan politik dalam proses pemilihan Gubernur.

Aspek formal mengambil bentuk pada partai politik sebagai lembaga yang

menentukan siapa elit politik yang berhak maju pada ajang politik pilkada.

Sedangkan aspek non-formal mengambil bentuk pada kelompok-kelompok

(35)

Kemampuan optimalisasi sejumlah kekuatan politik ini juga merupakan

bentuk partisipasi politik elit beretnis Tolaki secara pribadi atau individu serta

kemampuannya mengorganisir berbagai kekuatan politik untuk mencapai tujuan

politiknya. Optimalisasi kekuatan politik juga mempertimbangkan aspek

masyarakat Sultra sebagai pemilih dilihat dari sisi rasional dan emosional pemilih

serta sisi keberagaman masyarakat Sultra yang tersebar pada wilayah daratan dan

kepulauan. Berikut skema kerangka berfikir perilaku politik aktor beretnis Tolaki

dalam pemilihan Gubernur Sultra 2007.

Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007

Perilaku politik aktor politik beretnis Tolaki

Nilai Etnis Tolaki

Peran & Kedudukan Etnis Tolaki dalam

peta politik Sultra

1. Penggunaan Media Massa dan Pranata Sosial 

2. Optimalisasi Figur  3. Optimalisasi Partai Politik 

Peranan Etnis Tolaki dalam peta politik

(36)

2.5Definisi Konseptual

Berdasarkan berbagai konsep dan literatur yang telah dipaparkan pada

bab-bab sebelumnya, maka disusun beberapa definisi konseptual sebagai acuan

pencarian data, penyusunan hasil kajian serta penarikan kesimpulan. Definisi

konseptual tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Etnis merupakan kelompok terdiri dari orang-orang yang memiliki

kesamaan identitas yaitu seperangkat nilai menjadi dasar bertindak dan

berperilaku sekaligus menjadi pemersatu kelompok. Etnis yang memiliki

identitas mampu membedakan antara etnis ego8 dengan etnis lainnya.

2. Politik merupakan kesanggupan individu atau kelompok untuk bertindak

mempengaruhi proses pembuatan, pengambilan serta pelaksanaan

keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat.

3. Politik Etnis merupakan kemampuan individu atau kelompok untuk

mempengaruhi jalannya pengambilan keputusan-keputusan yang berkaitan

dengan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan identitas kelompok

sebagai sumber kekuatan bertindak.

4. Perilaku Politik merupakan aksi-aksi yang dilakukan para pelaku politik

untuk mencapai tujuan politiknya yaitu mendapatkan peran dan kedudukan

strategis dalam peta politik Sultra melalui optimalisasi sejumlah aspek

kekuatan politik.

5. Kekuatan politik dalam pemilihan kepala daerah terarah pada semua aspek

baik aspek formal maupun non-formal yang dapat dioptimalisasikan dalam

upaya menggalang suara dari masyarakat. Partai politik sebagai lembaga

penentu calon kepala daerah serta jaringan keanggotaan yang ada di

dalamnya merupakan aspek formal kekuatan politik. Sedangkan media

massa, kelompok masyarakat serta figur politik merupakan aspek

non-formal kekuatan politik.

      

8

(37)

6. Mobilisasi Massa merupakan segala bentuk gerak dan upaya untuk

menghimpun massa atau masyarakat agar ikut ke dalam tujuan politik

yang diinginkan. Dalam pemilihan kepala daerah, mobilisasi massa

ditunjukkan dengan adanya berbagai upaya agar masyarakat bersimpatik,

mendukung dan akhirnya memilih calon pasangan tertentu.

7. Nilai Etnis yaitu seperangkat nilai yang dimiliki etnis tertentu yang

menjadi dasar dan pedoman dalam bertindak. Kasus etnis Tolaki, nilai ini

mengatur cara berperilaku orang Tolaki juga apa yang dianggap baik oleh

etnis Tolaki.

8. Tim Sukses yaitu sekelompok orang-orang dengan beragam latar

belakang, memiliki tujuan bersama, dengan pembagian tugas yang jelas,

saling dukung-mendukung untuk berjuang mendapatkan kemenangan

dalam pilgub Sultra 2007.

9. Figur Politik yaitu pencitraan terhadap sosok pemimpin mengenai apa

yang dianggap layak dan tidak layak, menjadi salah satu dasar dan

pertimbangan atas pilihan politik.

10.Peran dan kedudukan strategis adalah posisi struktural dalam organisasi

pemerintahan yang memungkinkan aktor politik menjalankan kontrol

(38)

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Tenggara dengan mengambil para

elit politik yang ikut dalam pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara 2007 sebagai

subyek penelitian atau tineliti. Unit analisis dalam kajian ini terfokus individu

sebagai anggota politik pada salah satu kubu yang mengikuti pencalonan kepala

daerah yaitu kubu NUSA. Pemilihan terhadap unit analisis ini disebabkan kepala

daerah yang diusung berasal dari etnis Tolaki sehingga dianggap mewakili

pumpunan penelitian yang ingin dikaji, selain itu kubu NUSA merupakan

pasangan pemenang pilkada Sultra 2007 sehingga menjadi mungkin untuk

menggali informasi tidak saja seputar masa pemilihan tetapi juga ketika pemilihan

selesai digelar dan pemerintahan baru dijalankan termasuk peran serta kedudukan

etnis Tolaki dalam peta politik Sultra pasca pilgub 2007.

Kajian ini merupakan kajian sosiologi politik dimana penelitian diarahkan

mengenai hubungan antara masalah-masalah politik dan masyarakat, antara

struktur sosial dan struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku

politik. Studi sosiologi sendiri memusatkan perhatian pada tingkah laku manusia

dalam hubungannya dengan masyarakat atau tingkah laku manusia dalam konteks

sosial. Oleh karenanya, menjadi penting untuk melihat kasus masyarakat yang

menggambarkan berlakunya kekuatan-kekuatan aspek non-formal dalam

pemilihan kepala daerah sebagai aspek penting dasar pemilihan masyarakat.

Kelurahan Lepo-Lepo, Kecamatan Baruga, Kota Kendari menjadi lokasi pilihan

peneliti. Hal ini didasarkan atas keberagaman etnis yang ada dalam

masyarakatnya, tetapi etnis Tolaki masih menjadi etnis dominan dalam hal

jumlah. Di samping itu, masyarakat Kelurahan Lepo-Lepo memiliki basis

kedekatan emosional terhadap pasangan kubu NUSA dan juga pasangan kubu

AZIMAD sehingga semakin menarik untuk melihat fenomena politik yang terjadi

dalam masyarakat.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Desember tahun 2008.

(39)

waktu penelitian dianggap tepat untuk meneliti bagaimana fenomena politik etnis

yang telah berlangsung saat PILKADA 2007 tersebut. Meskipun demikian, karena

proses-proses pemilihan kepala daerah berlangsung lama sebelum hari pemilihan

sendiri, maka telah dilakukan pengamatan terhadap jalannya suksesi pemilihan

tersebut dimulai dari bulan September 2007.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data

kualitatif diperoleh melalui tehnik wawancara mendalam terhadap subyek

penelitian baik melalui responden maupun informan kunci yang dilakukan dalam

situasi informal, posisi kesetaraan dan akrab. Hasil informasi dan kajian yang

diberikan oleh anggota tim sukses calon kepala daerah yang tetunya berasal dari

etnis Tolaki, diharapkan menjadi representasi dari perilaku politik calon beretnis

Tolaki. Hal ini dimungkinkan karena dilapangan, aksi-aksi politik lebih banyak

diperankan oleh para anggota tim sukses calon kepala daerah.

Selain data primer yang diperoleh melalui hasil wawancara, data sekunder

juga digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder dibutuhkan untuk melengkapi

data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut diperoleh

melalui penelusuran dokumentasi dari masyarakat, surat kabar maupun lembaga

yang mampu memberikan informasi seputar sistem nilai budaya etnis Tolaki, peta

politik Sultra pra Pilkada 2007 ataupun pasca Pilkada 2007. Data sekunder juga

diharapkan diperoleh dari dokumentasi seputar pemilihan Gubernur yang

berlangsung Desember 2007.

3.3 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan

Tabel 1. akan menjelaskan sumber informasi baik dari informan kunci

maupun dari responden seputar kajian penelitian. Pemilihan informan kunci hanya

seputar aktor politik beretnis Tolaki yang direpresetatifkan dengan para tim sukses

calon kepala daerah didasarkan atas tujuan penelitian yang ingin mengkaji

(40)

kunci dari aktor politik non-etnis Tolaki diharapkan mampu memberikan

penjelasan atas pertanyaan seputar pandangan aktor non-etnis Tolaki terhadap

perilaku politik aktor beretnis Tolaki.

Informasi penting diharapkan didapat dari wawancara bebas dengan

pengamat politik Sulawesi Tenggara dimana akan memberikan serangkaian

informasi terkait proses pemilihan gubernur 2007. Informasi ini diharapkan

menjadi bahan berarti dalam pembahasan dan proses pengambilan keputusan

nantinya.

Tabel.1 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan Topik Kajian Jenis Data Sumber Data Keterangan

1. Sistem nilai

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terkait dengan jenis data

(41)

wawancara mendalam terhadap informan kunci dan wawancara bebas terhadap

informan selanjutnya akan disajikan sebagaimana adanya untuk menjaga

kekhasan segala fenomena yang terjadi terkait dengan kajian di lokasi penelitian.

Perbandingan antara data penelitian dengan berbagai konsep dan teori dilakukan

untuk melihat kasus serta kekhasan peristiwa yang terjadi di lokasi penelitian.

Selanjutnya data yang telah diperoleh baik data primer maupun data

sekunder akan dianalisis melalui pemilihan data dan penyederhanaan data

sehingga hasil nalisis semakin tajam. Data-data yang ada akan direduksi dan

dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang saling berkaitan dan tersusun dalam

bentuk yang padu sehingga memudahkan melihat apa yang terjadi dalam

masyarakat. Setelah penyajian data berupa teks naratif dan kutipan langsung hasil

wawancara mendalam selanjutnya data akan dianalisis lagi dan dilakukan

penarikan kesimpulan untuk mejawab pertanyaan penelitian yang sebelumnya

(42)

GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN 2007

4.1 Sistem Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Periode 2008-2013

Provinsi Sulawesi Tenggara secara Geografis terletak di jazirah tenggara

pulau sulawesi, sedangkan secara astronomi Provinsi Sulawesi Tenggara terletak

dibagian selatan garis khatulistiwa, membentang dari Utara ke Selatan diantara 30

- 60 Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 120045 - 1240

60 Bujur Timur.

Wilayah ini memiliki Luas wilayah 153.019 Km2. Lautan mendominasi

luas Sulawesi Tenggara, yaitu 114.879 Km2 (72%), sedang daratan hanya

mencapai 38.140 Km2 (28%). Provinsi Sulawesi Tenggara juga tergolong provinsi

kepulauan. Keseluruhan pulau baik pulau kecil maupun sedang berjumlah 124

buah pulau ditambah lagi oleh dua gugus kepulauan, yakni pulau – pulau

Wakatobi dan pulau – pulau Tiwoto.

Penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2000 berjumlah

1.776.292 jiwa yang terdiri : 974.427 laki – laki dan 984.987 perempuan. Lima

tahun kemudian, yaitu 2005, penduduk Sulawesi Tenggara berjumlah 1.959.414

jiwa. Pencatatan terakhir, melalui Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) BPS

tahun 2006, jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 2.001.818 jiwa.

Konsentrasi terbesar penduduk Sulawesi Tenggara menetap di daratan

Pulau Sulawesi, yaitu sekitar 52% dan di kepulauan 48%. Jumlah penduduk tahun

2006 sebanyak 2.001.818 jiwa, tercatat sebanyak 290.358 jiwa di Kabupaten

Muna, 271.657 jiwa di Kabupaten Buton, 273.168 jiwa di Kabupaten Kolaka,

265.646 jiwa di Kabupaten Konawe, 244.586 jiwa di Kota Kendari, 234.400 jiwa

di Kabupaten Konawe Selatan, 122.339 jiwa di Kota Bau-Bau, 107.294 jiwa di

Kabupaten Bombana, 94.190 jiwa di Kabupaten Kolaka Utara dan 98.180 jiwa di

Kabupaten Wakatobi (BPS, 2007).

Pemilihan kepala daerah (Gubernur) secara langsung yang dilakukan di

(43)

hal ini merupakan pertama kali dilakukan masyarakat Sulawesi Tenggara.

Pemilihan Gubernur periode 2008 – 2013 diwarnai dengan beragam aksi politik

yang bertujuan untuk menarik massa. Sejauh penelitian dilakukan, aksi-aksi yang

dilakukan para calon kepela daerah tersbut masih berada dalam koridor politik

yang jauh dari sumber-sumber konflik massa ataupun masyarakat. Sebagaimana

yang disampaikan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara

Bapak Drs. H. Kaimuddin Haris

“…Kita butuhkan konsistensi dari para calon tersebut. Konsisten memebela dan mengedepankan kepentingan publik, kepentingan rakyat. Bukan kepentingan golongan, bukan kepentingan partai bukan kepentingan primordial, bukan kepentingan pribadi atau kepentingan tim sukses.”

Dalam UU No.32 Tahun 2004 pemilihan kepala daerah menggunakan

sistem pemilihan “plurality majority sistem”. Artinya, jika tidak dicapai

pemenang berdasarkan suara 25 persen lebih, dilakukan putaran kedua. Dengan

begitu, jika suatu daerah hanya ada empat calon, tidak perlu harus ada putaran

kedua (Amin, 2005). Berdasarkan UU No.32 tersebut, pemilihan Gubernur dan

wakil gubernur Sultra dilakukan dalam satu kali pemilihan tanpa melakukan

tahapan putaran kedua. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut diikuti

oleh empat pasangan calon masing-masing pasangan Prof.Ir.H. Mahmud

Hamundu, M.Sc – Drs. H. Yusran A.Silondae, M.Si, yang selanjutnya dalam

tulisan ini akan disingkat menjadi pasangan MAHASILA, pasangan Drs. H.

Masyhur Masie Abunawas, M.Si – Azhari, S.Stp, M.Si (MMA), pasangan Ali

Mazi, SH – H. Abd. Samad (AZIMAD) serta pasangan Nur Alam, SE – H.M.

Saleh Lasata (NUSA).

Terkait penentuan calon peserta pilakada, parpol memiliki kekuasaan

untuk mencalonkan pasangan Gubernur dan wakil Gubernur sebagaimana yang

diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana pasal

59 menyebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan

pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15

(44)

dalam pemilu anggota DPRD di daerah setempat. Ketentuan tersebut seringkali

menggagalkan langkah calon kepala daerah potensial.

Dalam pasal 59 ayat (3) juga menyebutkan bahwa parpol atau gabungan

parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon

perseorangan yang memenuhi syarat serta memperhatikan tanggapan dan

pendapat masyarakat dalam penetapan calon. Hal ini memungkinkan munculnya

calon independen sehingga sistem politik akan berjalan lebih variatif, kompetitif

dan fair. Namun demikian, dalam pilkada 2007, KPU Sultra belum bisa

mengakomodir calon perseorangan disebabkan KPU Sultra masih harus

menunggu revisi UU No.32/2004 atau keluarnya peraturan pengganti UU (perpu),

serta menunggu KPU pusat menjabarkan aturan teknis dari calon perseorangan

tersebut9, sementara di lain sisi, tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur Sultra

segera akan dilaksanakan.

Tahapan kegiatan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra periode

2008-2013 dimulai pada tanggal 18 Agustus 2007 setelah komisi pemilihan

Umum (KPU) Sultra menerima surat pemberitahuan dari DPRD mengenai

berakhirnya masa jabatan Gubernur dan wakil Gubernur Sultra. Sedangkan hari

pemilihannya sendiri rencananya dijadwalkan pada tanggal 4 November 2008

namun karena pembenahan data pemilih, maka jadwal tersebut berubah menjadi

tanggal 2 Desember 2007. Namun demikian, dinamika politik berkaitan dengan

pemilihan Gubernur tersebut sudah menghangat sejak dua tahun sebelum

pelaksanaan pemilihan digelar. Figur-figur mulai bermunculan memperkenalkan

diri kepada masyarakat bahwa mereka bakal bertarung dalam pemilihan Gubernur

Sultra. Ada juga figur yang masih memohon kepada parpol agar diakomodir

menjadi calonnya kelak.

KPU dituntut agar dalam menyelenggarakan pemilu senantiasa

berpedoman pada 12 asas, yakni; mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib

      

9

Gambar

Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan
Tabel.1 Topik Kajian, Jenis Data serta Sumber Data yang Digunakan
Tabel 2. Tabel Pembanding Empat Pasangan Calon Gubernur Sultra 2008-2013
Tabel 4. Komposisi Penduduk Lepo-Lepo Berdasarkan Etnis
+4

Referensi

Dokumen terkait

sedang dikaji, terkait judul “Analisis perkembangan budaya Korea Selatan pada Etnis Cia-cia di Kota Bau-bau Provinsi Sulawesi tenggara pada tahun 2009- 2014” adalah

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis dengan judul; “Tinjauan terhadap Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 22 Tahun 1973 tentang Perbatasan Wilayah Kabupaten

MONIKA WUTUN, NPM: 210120110008, Analisis Berita Politik Tentang Gubernur Nusa Tenggara Timur Di Media Massa Cetak (Studi Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk

Kabupaten Mamasa dalam peningkatan partisipasi pernilih pada pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubemur Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2017 tampak pada kegiatan

Studi ini menganalisa tentang dinamika politik dalam implementasi kebijakan kampanye putaran kedua pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017. Kebijakan

Berdasarkan laporan akhir Divisi pengawasan dan hubungan antar lembaga, Seluruh tahapan Pemutakhiran data dan daftar pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Partisipasi politik pemilih pemula dalam menentukan pilihan politik pada Pemilihan Gubernur di Kecamatan Ruteng tahun

Selain itu, identitas sebagai etnis Tionghoa yang dimiliki PITI tidak digunakan sebaik mungkin dalam menjalin hubungan politik dengan salah satu pasangan calon walikota pada pemilihan