• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN

V. ETNIS TOLAKI DAN PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA

5.1 Nilai Kepemimpinan Etnis Tolak

Etnis Tolaki merupakan etnis yang berasal dari dua kerajaan besar yaitu kerajaan Mekongga yang mendiami wilayah Kolaka serta kerajaan Konawe yang mendiami wilayah Konawe dan Kendari. Etnis Tolaki memiliki simbol adat ”Kalo” dimana simbol ini menjadi simbol persatuan dan kesatuan termasuk sebagai dasar pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah seperti masalah perbedaan etnis, ras, agama dan berbagai perbedaan lain dalam masyarakat yang menimbulkan konflik sosial. Nilai-nilai yang terkandung dalam kalo juga terinternalisasi dalam setiap gerak hidup masyarakat Tolaki.

Kalo yang biasa juga disebut kalosara memiliki wujud yang terdiri dari tiga komponen dengan makna berbeda-beda (Anonymous, 2007). Wujud dan makna kalo masing-masing adalah:

1. Lingkaran yang berbahan rotan kecil bulat berwarna krem tua yang dipilin,

kedua ujung rotan disatukan dalam satu simpul ikatan. Lingkaran memiliki makna sebagai pencerminan jiwa persatuan dan kesatuan dari tiga unsur dalam sebuah kerajaan atau pemerintahan yaitu:

a. Unsur pemimpin (raja atau penguasa)

b. Unsur pelaksana atau penyelenggara kekuasaan raja atau penguasa

(pejabat, pemangku adat, perangkat lembaga adat)

c. Unsur kedaulatan rakyat, yang merupakan refleksi dari jiwa falsafah

demokrasi masyarakat Tolaki yang berjiwa Ketuhanan.

2. Alas kalosara dari kain berwarna putih, memiliki makna sebagai simbol

kejujuran, kesucian, keadilan, dan kebenaran.

3. Alas bawah kalosara, yang disebut juga Siwole yaitu wadah berbentuk

segi empat yang terbuat dari anyaman daun palem hutan memiliki simbol sebagai pencerminan dari jiwa kerakyatan, keadilan sosial, dan kesejahteraan umum bagi seluruh warga masyarakat Tolaki.

Tarimana (1989) menyebutkan sedikitnya terdapat empat fungsi Kalo bagi orang Tolaki. Keempat fungsi tersebut adalah: (1) Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki; (2) Kalo sebagai fokus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki; (3) Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam

kehidupan orang Tolaki serta (4) Kalo sebagai pemersatu untuk pertentangan- pertentangan konseptual dan sosial dalam kebudayaan dan dalam kehidupan orang Tolaki.

Berbicara mengenai posisi Gubernur serupa dengan berbicara mengenai kepemimpinan. Dalam nilai budaya masyarakat Tolaki sendiri, nilai kepemimpinan yang terkandung dalam Kalo ditunjukkan dengan serangkaian nilai seperti “dasar dan tujuan kepemimipinan tradisional orang Tolaki”. Menurut Tarimana (1989), secara ideal dasar kepemimpinan tradisional orang Tolaki adalah :

1. Petono’a (kemanusiaan), yakni kemanusiaan menurut pe’olowi ari ine imbue (ajaran dari pesan-pesan leluhur).

2. Ponano ana niawo, tono nggapa, rome-romeno wonua (kehendak orang banyak).

3. Medulu, mepoko’aso (kesatuan dan persatuan).

Dalam usahanya mewujudkan ketiga tujuan kepemimpinan dalam masyarakat Tolaki terurai di atas, seorang pemimpin tradisional orang Tolaki harus mampu menjalankan tiga prinsip kepemimpinan yang disebut : mo’ulungako (mengajak orang banyak yang dipimpinnya), mohiasako (menggerakkan tenaga orang banyak yang dipimpinnya), dan momboteanako (menggembala orang banyak yang dipimpinnya).

Sebagai seorang pemimpin, yang mengajak orang banyak, maka ia adalah

seorang yang disebut pasitaka (tauladan bagi orang banyak); demikian sebagai

seorang pemimpin yang menggerakkan orang banyak, maka ia adalah seorang yang disebut pohaki-haki (pemberi semangat bagi orang banyak); dan begitu pula sebagai seorang pemimpin yang menggembala orang banyak, maka ia adalah seorang yang disebut tani’ulu (pemegang tali kendali).

Serangkaian nilai-nilai kepemimpinan yang dianut oleh masyarakat etnis Tolaki menjadi dasar bertindak sekaligus sebagai modal untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat, baik dalam masyarakat etnis Tolaki sendiri maupun masyarakat Sultra secara umum. Informan bapak M.N menyatakan bahwa:

“…di Sultra ini tidak sedikit juga orang Tolaki yang duduk di pemerintahan, sebagai pemerintah yang mengatur masyarakat, orang

Tolaki sudah punya modal. Nilai-nilai adat sudah mengatur bagaimana pentingnya seorang pemimpin. Leluhur orang Tolaki juga ada yang mampu memerintah tidak hanya untuk masyarakat etnis Tolaki tapi malah untuk semua masyarakat Sultra seperti HaluOleo. Jadi kalo orang Tolaki jadi pemimpin, memang karena sudah ada modalnya”.

Dalam hubungannya dengan etnis lain, etnis Tolaki telah biasa melakukan hubungan antar etnis seperti hubungan dengan Etnis Mori, Bungku, Moronene, Muna, Buton, Ternate dan etnis lainnya (Tarimana, 1989). Hubungan antar etnis ini dominan terjadi karena hadirnya etnis tersebut dalam lingkungan etnis Tolaki. Pada dasarnya orang Tolaki sendiri tidak suka merantau ke negeri lain secara perseorangan atau dalam bentuk satu keluarga kecuali mengikuti pemimpinnya

atau raja yang pindah16. Seperti yang terjadi ketika HaluOleo pergi ke Muna

dalam proses perpindahannya sebagai Sultan di Buton.

Saat ini, hubungan dan interaksi sosial etnis Tolaki dengan etnis lain lebih intensif terjadi dengan semakin meningkatnya arus mobilisasi penduduk dari dan ke wilayah orang Tolaki. Hubungan yang terjalin antara etnis ini membawa dampak pada pergeseran peran kalosara sebagai dasar bertindak masyarakat etnis Tolaki. Khasanah kehidupan etnis Tolaki saat ini, tidak lagi semata-mata hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam kalosara tetapi juga beragam nilai yang dibawa oleh etnis lainnya serta pengaruh perkembangan informasi, teknologi dan ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, nilai pada Kalosara tetap menjadi acuan bertindak masyarakat. Jika dulu bertindak semata-mata berdasar atas nilai etnis Tolaki, maka saat ini pertimbangan atas sistem sosial yang ada di lingkungan

masyarakat etnis Tolaki menjadi pendamping nilai kalosara sebagai nilai utama.

Informan bapak M.N memberikan informasi bagaimana nilai yang terkandung dalam kalo sebagai acuan gerak masyarakat etnis Tolaki sekaligus pengaruh nilai etnis lain terhadap tindakan masyarakat etnis Tolaki. Berikut kutipan informasi yang diberikan informan:

”...kalau dulu, nilai-nilai adat sebagai sumber paling utama bahkan satu- satunya sumber segala tindakan, termasuk pendapat orang-orang tua (orang yang dituakan), tapi sekarang tidak bisa. Ada orang Bugis, ada orang Muna yang belum tentu sesuai dengan nilai adatnya orang Tolaki”.       

16

 Berdasarkan penjelasan Tarimana (1989), etnis lain masuk ke dalam lingkungan masyarakat Tolaki terlebih ketika kebijakan pemerintah dengan transmigrasi.

Etos kerja yang dibawa oleh etnis lain dalam kehidupan sosial memberikan pengaruh terhadap pandangan ”apa yang dianggap baik” serta ”bagaimana melakukan tindakan” oleh etnis Tolaki. Porter (2000) menjelaskan bahwa daya saing dan kemampuan kompetisi dipengaruhi oleh modal manusia dalam arti nilai, keyakinan dan sikap yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan berpolitik, etnis Bugis, Muna dan Buton memperlihatkan kecenderungan monopoli kekuasaan dikarenakan kemampuannya menggunakan nilai, keyakinan serta sikap terhadap orientasi kepemimpinan. Oleh karenanya, orang Bugis, meskipun bukan sebagai etnis asli di Sultra, mampu menjadi bagian penting dalam pemerintahan Sultra. Sebagai contoh, Andi Musakkir sebagai mantan Wakil Walikota Kendari, Musadar Mappasomba yang saat ini menjabat sebagai Wakil Walikota Kendari. Informan bapak H.S menyatakan bahwa:

”...orang Muna dan Buton dalam berpolitik memperlihatkan dominasi dalam arti memiliki vokal yang kuat untuk mempengaruhi pengambilan keputusan-keputusan politik, orang Bugis memiliki sistem politik yang unik, sadar sebagai etnis pendatang, Bugis harus lebih dulu masuk ke dalam sisi humanis etnis lokal untuk berdiri menjadi bagian penting di dalamnya, sedangkan orang Tolaki, beberapa ada yang vokal seperti Nur Alam, tetapi kebanyakan lebih mengikuti kemana dan seperti apa aliran politik itu berjalan”.

5.2 Etnis Tolaki Dan Perjalanan Peta Politik Sultra

Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu provinsi dengan keberagaman etnis. Terdapat tiga etnis terbesar yang ada di jasirah Sulawesi Tenggara. Etnis Muna, Buton dan Tolaki merupakan tiga etnis besar sebagai etnis asli yang mendiami bagian daratan dan kepulauan Sultra. Dalam perjalanan sosial, politik dan ekonomi, ketiga etnis tersebut masing-masing memainkan peranan. Secara khusus, dalam segi sosial-politik, peranan yang dimainkan ketiga etnis tersebut dapat terlihat dalam momentum pilkada Sultra yang digelar Desember 2007 lalu, dan secara umum dapat terlihat melalui perjalanan sosial politik yang berlangsung sepanjang kehidupan masyarakat Sultra.

Pada awal kemerdekaan, Sultra masuk dalam wilayah provinsi Sulawesi (Groote Celebes) sebagai salah satu provinsi dari delapan provinsi yang dibentuk

berdasarkan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) taggal 18 Agustus 1959 dengan ibukotanya Makassar yang dipimpin oleh seorang Gubernur (Tamburaka, 2004). Tahun 1959 kemudian diadakan pemekaran menjadi dua provinsi yaitu provinsi Sulawesi Utara/Tengah dan provinsi Sulawesi Selatan/Tenggara.

Berdasarkan PP No. 64 tanggal 27 April 1964, Sultra berhasil memisahkan diri dari Sulawesi Selatan menjadi satu provinsi dengan Kendari sebagai ibukotanya. Ketika memisahkan diri dari Sulawesi selatan, provinsi Sulawesi Tenggara ditopang empat kabupaten sebagai pilar utama. Dua kabupaten terletak di wilayah daratan yaitu Kendari dan Kolaka, sedangkan dua kabupaten lainnya terletak di wilayah kepulauan yaitu kabupaten Muna dan Buton. Dalam percaturan politik lokal, keterwakilan aspirasi kedua wilayah tersebut selalu menjadi faktor pertimbangan dalam rangka menjaga keseimbangan dan stabilitas sosial politik. Bila Gubernur dijabat oleh figur kepulauan misalnya, maka wakilnya berasal dari wilayah daratan. Namun demikian, kedudukan Wakil Gubernur biasanya tidak dapat berbuat banyak untuk memenuhi harapan dan aspirasi masyarakat.

Terbentuknya Sultra sebagai sebuah provinsi sendiri sebagai hasil pemekaran dari provinsi Sulawesi Selatan/Tenggara tidak terlepas dari perjuangan tokoh politik baik dari wilayah daratan maupun dari wilayah kepulauan. Tokoh- tokoh politik yang tercatat gigih memperjuangkan Sultra sebagai sebuah provinsi sendiri antara lain: Letkol Edy Sabara, H. Jakub Silondae (Tolaki), Drs. H. La Ode Munarfa, Drs. H. Abdullah Silondae (Tolaki), La Ode Hadi, H. Eddy A. Mokodompit, MA. Andrey Jufri, SH., Abd. Rauf Landehora, H. Bunggasi (Tolaki), Umar Tongasa (Tolaki), dll.

Dalam upaya memisahkan diri dari provinsi Sulawesi Selatan/Tenggara, terjadi kekompakkan suara baik tokoh dari etnis daratan maupun tokoh kepulauan, namun selanjutnya dalam penetapan ibukota provinsi hal ini tidak serta-merta terjadi. Baik tokoh daratan maupun kepulauan memiliki pandangan masing- masing atas daerah yang layak dijadikan ibukota provinsi Sultra. Penetapan calon ibukota provinsi Sultra, berlangsung alot karena utusan Buton dan Muna mengusulkan kota Bau-Bau sebagai ibukota provinsi sedangkan utusan Kendari

Kolaka mengusulkan kota Kendari sebagai ibukota provinsi Sultra. Tetapi setelah diskusi yang alot, akhirnya semua sepakat menyetujui Kota Kendari sebagai ibukota provinsi Sultra (Tamburaka, 2004). Informan bapak H.S menjelaskan bahwa perpecahan suara antara tokoh politik Sultra dari wilayah daratan dan kepulauan dalam penentuan ibukota provinsi menjadi wajar karena ibukota propinsi akan menjadi pusat berjalannya roda pemerintahan sedangkan tokoh politik dari masing-masing wilayah memiliki kepentingan atas kedudukan strategis yang ada di ibukota provinsi tersebut. Berikut penuturan oleh informan bapak H.S:

”...selain perdebatan diantara para tokoh politik mengenai masalah ibukota provinsi, masih banyak perdebatan lain yang meghadapkan kepentingan masyarakat daratan dengan kepulauan. Bahkan dulu, Kolaka dan Kendari juga ingin memisahkan diri membuat provinsi sendiri yaitu provinsi Sulawesi Timur. Sebenarnya kepentingan elit atau tokoh politik bermain disitu, dalam arti bagaimana dengan pembagian kedudukan strategis nantinya, hanya saja kadang sudah tidak dapat dibedakan mana kepentingan masyarakat luas mana kepentingan pribadi elit politik ketika kepentingan pribadi sudah dimobilisasi menjadi isu-isu kepentingan masyarakat”.

Di era demokratisasi dengan ciri pemilihan langsung kepala daerah, dikotomis antara daratan dan kepulauan menjadi semakin tajam terlebih hadirnya isu primordial sebagai sumber penghimpunan suara masyarakat. Wilayah daratan Sultra dengan etnis Tolaki sebagai etnis besar yang mendiami wilayah ini, dalam kancah politik Sultra selalu hadir sebagai bagian peta politik Sultra. Dalam pilkada 2007, terdiri dari dua figur daratan dan dua figur kepulauan. Figur daratan tersebut hadir sosok Nur Alam dan Mashur Masie Abunawas sedangkan figur kepulauan diwakili dengan hadirnya Ali Mazi (Buton) dan Mahmud Hamundu (Muna).

Dalam perjalanan politik Sultra, figur daratan tercatat hanya satu kali memegang jabatan Gubernur Sultra yaitu pada periode 1978-1982 dimana kursi Gubernur dipegang oleh Drs. Abdullah Silondae. Namun dalam perjalanan pelaksanaan jabatan, Gubernur tidak sampai pada akhir masa jabatan dikarenakan kondisi kesehatan yang mengkibatkan wafatnya Gubernur Abdullah Silondae. Di lain sisi, figur kepulauan selalu memegang dan memonopoli kursi pemimpin

masyarakat Sultra seperti pemerintahan La Ode Hadi (1965-1966), Edy Sabara (1966-1978), pemerintahan La Ode Kaemoeddin selama dua periode (1992-1997 dan 1997-2002) serta pemerintahan Ali Mazi (2003-2008). Berikut akan disajikan tabel peta politik Sultra berupa kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur yang pernah menjabat selama terbentuknya provinsi Sultra hingga periode sebelum pilkada 2007 lalu.

Tabel 7. Kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra serta Latar Belakang Etnisnya

Periode Gubernur Wakil Gubernur

1964-1965 J. Wayong

1965-1966 La Ode Hadi (Muna) Jacob Silondae (Tolaki) 1966-1978 Brogjen Edy Sabara (Buton) Brigjen H. Sudjatmiko 1978-1982 Drs. Abdullah Silondae

(Tolaki)

Kol. H. Arifin Sugianto (Mantan Bupati Buton) 1982-1992 Ir. H. Alala (Mori, Sulawesi

Tengah) Brigjen D. Moehidin 1992-2003 Drs. La Ode Kaimuddin (Muna) Drs. H. Hoesein Efendi. SH (Tolaki)

2003-2007 Ali Mazi, SH (Buton) Yusran Silondae (Tolaki)

Sumber: data sekunder

Perjalanan politik yang dodiminasi oleh figur kapulauan ini juga menyimpan beberapa catatan hitam bagi masyarakat Sultra, dimana beberapa Gubernur selama masa jabatannya tersandung oleh masalah. Seperti misalnya mantan Gubernur Ali Mazi yang terhalang kasus Hak Guna Bangunan hotel Hilton (Jakarta), membuat kekecewaan sekaligus memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap sosok Ali Mazi.

Masyarakat yang bersimpati terhadap kepemimpinan Ali Mazi, khususnya masyarakat Buton, terpukul dengan adanya masalah yang dialami oleh Ali Mazi tersebut. Masyarakat khawatir penonaktifan tersebut menimbulkan stigma baru dikalangan masyarakat Sultra yang terdiri dari beragam etnis, bahwa putera-puteri Buton kedepan tidak dapat menjadi pemimpin. Hal ini juga dipicu oleh kegagalan kepemimpina sebelumnya, dimana catatan hitam juga dialami oleh figur kepulauan La Ode Hadi, namun berbeda dengan masalah yang dialami Ali Mazi,

La Ode Hadi dihalang oleh isu kasus keterlibatan dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

Terdapat figur-figur daratan lainnya yang pernah menonjol dalam kehidupan sosial politik masyarakat Sultra meskipun tidak sampai pada posisi puncak seperti Hussein Effendi (Wakil Gubernur), Hino Biohanis (Ketu DPRD Sultra), Adel Berty (Mantan Bupati Kolaka) serta Yusran Silondae (mantan Wakil Gubernur Sultra). Sederet figur tersebut mewakili kehadiran masyarakat Sultra bagian daratan dalam kancah sosial politik Sultra.

Politik Sultra yang berlangsung dalam proses pemilihan Gubernur secara langsung oleh masyarakat merupakan satu arena politik yang kembali

mempertemukan antara figur-figur daratan versus kepulauan. Figur daratan yang

diwakili dua kubu politik menunjukkan eksistensi masyarakat daratan dengan etnis Tolaki sebagai etnis dominan. Pemimpin dari etnis daratan versus pemimpin dari etnis kepulauan dalam pilkada Sultra 2007 menjadi menarik karena memiliki signifikansi tersendiri terhadap kepemimpinan mayarakat Sultra. Isu pemekaran wilayah Sultra dimana wilayah kepulauan akan membentuk provinsi tersendiri yaitu provinsi Buton Raya dengan lima daerah otonom (Kota Bau-Bau, Kabupaten Muna, Buton Utara, Buton dan Wakatobi) menjadikan pigub Sultra 2007 menjadi satu ajang pembuktian politik daratan – kepulauan. Bagi figur kepulauan, pilkada Sultra 2007 menjadi pembuktian akhir monopoli peta kepemimpinan Sultra sedangkan bagi figur daratan pilkada Sultra 2007 sebagai ajang kompetisi perebutan monopoli kepemimpinan tersebut.