• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN SISTEM POLITIK SULAWESI TENGGARA MASA PEMILIHAN GUBERNUR TAHUN

VI. PERILAKU POLITIK ELIT BERETNIS TOLAKI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULTRA

6.2 Optimalisasi Beragam Aspek Strategis Pilkada

6.2.3 Optimalisasi Peranan Partai Politik

Partai politik merupakan wadah politik dalam sistem politik Indonesia. Partai politik secara formal dapat dilihat pada saat sistem kepartaian didasarkan pada Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 yang menyebutkan bahwa atas usul Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kepada pemerintah, agar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik (Sitepu, 2005). Masuknya partai-partai politik di parlemen menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat dicerminkan dari partisipasi politik oleh partai-partai politik dalam parlemen itu yang dinilai sangat tinggi.

Namun demikian, partisipasi rakyat dalam partai politik sempat melemah terutama pada konfigurasi politik Orde Baru. Sistem politik Orde Baru yang bersifat otoriter-birokratik (OB) menghasilkan kebijakan berkaitan dengan kepartaian yang menciptakan sistem kepartaian ”Hegemonis Party Sistem” yang ditujukan pada Golkar.

UU No.32 Tahun 2004 Pasal 59 kembali memberikan kewenangan kepada partai politik untuk menentukan bakal calon yang akan duduk di kursi parlemen, begitu pun keputusan calon yang akan menjadi figur pemimpin. Oleh karenanya tidak mengherankan para figur yang menginginkan kursi kepemimpinan mengejar dukungan dari partai politik. Seperti yang dilakukan oleh para figur yang

mencalonkan diri sebagai bakal calon Gubernur Sultra namun tidak memiliki partai politik. Di samping itu, figur yang memiliki partai juga tetap melakukan hal serupa.

Melihat pentingnya peran partai politik dalam menyediakan kursi calon kepala daerah sekaligus mendukung kemengan melalui kerja sama anggota partai, Nur Alam sebagai figur daratan memasuki PAN sebagai salah satu partai besar di Sultra dan memegang dominasi penting dalam internal PAN.

Kubu NUSA yang ”digawangi” oleh Nur Alam, dalam pilkada Sultra mendapat dukungan dari dua partai yaitu PAN yang merupakan partai yang diketuai oleh Nur Alam sendiri serta PBR. Salah satu bentuk kontrol Nur Alam sebagai ketua PAN adalah menginstruksi anggita PAN untuk mensukseskan pilkada 2007. Menghadapi suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra, Nur Alam sebagai ketua PAN yang terpilih secara aklamasi untuk memimpin partai selama periode 2005-2010 menghimbau jajaran pengurus PAN wilayah, kabupaten/kota, kecamatan sampai tingkat desa agar meningkatkan konsolidasi menghadapi pertarungan politik menuju pilkada 2007. Ketua PAN yang diemban Nur Alam ini menjadi modal dasar untuk menuju kursi Gubernur di bawah payung partai PAN. Selain kedudukan sebagai ketua PAN, soliditas partai juga menjadi aspek penting mendukung kemenangan dalam suksesi Gubernur. Ketua PAN kebupaten Bombana Masyurah Ladami (dikutip dari Suara Karya, 5 Desember 2005) menyatakan:

”Meningkat atau tidaknya perolehan suara dari masyarakat sangat ditentukan kerja keras pengurus dan kader partai. Tanggung jawab pengurus partai dan kader yang tersebar di seluruh wilayah Sultra sangat diharapkan, bukan hanya peran ketua partai”.

Soliditas partai menjadi penting sebagai penentu keberhasilan figur yang dicalonkan. Hal ini terlihat ketika jajaran PAN memberikan jalan bagi Nur Alam untuk maju sebagai calon tunggal partai PAN menjadi calon Gubernur Sultra periode 2008-2013. Arbab Paproeka sebagai salah satu petinggi PAN lebih memilih menjadi Caleg DPR-RI di Jakarta agar suara PAN tidak terpecah. Berbeda dengan partai lain, misalnya partai GOLKAR. Calon Gubernur yang merupakan kader GOLKAR dalam pilgub Sultra ada dua figur yaitu Ali Mazi dan

Mashur Massie Abunawas. Tidak hanya dalam pilgub, tingkat soliditas rendah partai Golkar diperlihatkan dengan pertarungan jauh sebelum digelarnya suksesi calon Gubernur antara Ali Mazi dan Ridwan Bae yang juga menginkan maju dalam pigub Sultra 2007.

Pernyataan-pernyataan Ridwan seputar kader GOLKAR yang maju dalam bursa pencalonan dari pintu GOLKAR, seperti keinginan bertarung melawan Ali Mazi, meskipun dengan membungkus ”mekanisme pemilihan calon Gubernur secara terbuka dan demokratis” di tubuh GOLKAR, dapat dilihat sebagai tingkat soliditas internal partai GOLKAR yang buruk, sebab sebelum pernyataan tersebut dikeluarkan telah ada keputusan melalui Rakerda Muna yang menetapkan bahwa Ali Mazi sebagai calon tunggal.

Soliditas pengurus partai dalam hal resuffle dan penggantian anggota juga menjadi penting dalam menghadapi pertarungan politik pilkada Sultra. Partai GOLKAR dengan sistem ”bongkar-pasang” anggotanya menjadikan tingkat soliditas partai yang rendah karena sistem pergantian ini diwarnai dengan kekecewaan anggota yang terlepas dari jabatan pentngnya dalam partai. Berbeda

dengan GOLKAR, PAN lebih selektif dalam sistem pergantian anggota.

Terdapat beberapa alasan perpindahan dan proses resuffle yang terjadi dalam tubuh internal partai. Selain karena tawaran memperoleh jabatan baru dengan harapan politik yang lebih baik dan lebih mudah, trend pembelotan atau migrasi (perpindahan) pengurus dari partai lama ke partai yang baru, umumnya juga disebabkan: (1) pengurus partai tersebut mengalami situasi yang tidak menyenangkan di lingkungan internal partai lama asalnya, atau (2) pengurus partai tersebut merasa tidak dapat survive atau tidak dapat bersaing dengan pengurus lain dalam melakukan peran-peran politik internal maupun eksternal di partai asalnya.

Di pihak lain, proses rekruitment pengurus atau anggota di kalangan partai baru, cenderung bersifat tidak selektif. Selain karena semakin sulitnya mendapatkan calon-calon pengurus/anggota baru yang berkualitas, fenomena rekruitmen pengurus yang tidak selektif juga karena partai-partai baru tersebut lebih memfokuskan diri pada upaya melengkapi prasyarat administrasi pengurus

guna meloloskan diri dalam tahap verifikasi syarat administrasi partai baru. Dengan kata lain, upaya meloloskan diri menjadi organisasi peserta pemilu (OPP), menjadi jauh lebih penting bagi parpol-parpol baru ketimbang upaya memperoleh komposisi pengurus/anggota yang lebih berkualitas.

Sebagaimana terjadi di daerah lainnya di Indonesia, ramainya trend membentuk dan/atau menjadi pengurus partai politik baru di daerah ini, merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang membawa beberapa dampak positif maupun negatif bagi proses pendidikan politik rakyat. Dampak positif dari

trend tersebut, diantaranya adalah23 : (1) tingkat partisipasi politik masyarakat

semakin tinggi dengan terbukanya peluang yang cukup besar bagi masyarakat banyak untuk ikut mengaktualisikan peran-peran politiknya lewat partai politik, (2) intensitas dan frekwensi perhimpitan kepentingan antar kelompok di tataran supra-struktur politik yang biasanya cukup meresahkan banyak pihak, dapat semakin berkurang, serta (3) posisi tawar (bargaining power) masyarakat selaku konstituen dalam setiap event kompetisi politik formal, cenderung semakin tinggi dan menjadi lebih kuat dibandingkan dengan posisi tawar partai politik, sehingga prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dalam konteks perebutan kekuasaan, semakin dapat diwujudkan. Kecenderungan ini terutama terjadi oleh sebab, dalam sistem multi-partai, tidak ada lagi partai politik yang menjadi single majority (mayoritas tunggal) dalam sistem kekuasaan politik, sehingga pemerintah tidak lagi bisa dipengaruhi untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat pemilih. Di lain pihak, daya tawar atau kekuatan politik sebuah partai politik, justru sangat ditentukan oleh dukungan rakyat pemilih kepada partai politik itu.

Adapun dampak negatif dari trend “gonta-ganti” partai atau trend membentuk dan/atau menjadi pengurus partai politik baru di atas, diantaranya adalah : (1) proses kaderisasi politik di setiap parpol, menjadi stagnan atau tidak berlangsung tuntas, sehingga sangat jarang para aktifis/pengurus parpol saat ini dapat disebut sebagai kader militan partai yang mampu tampil menjadi agen pembawa misi dan platform perjuangan partai, (2) kebanyakan pengurus parpol tidak lagi tertantang, terkondisi atau termotivasi oleh situasi internal partai untuk       

23

membangun kemampuan, kreatifitas politik dan jiwa bertarung sebagai calon- calon pemimpin politik di masa depan. Dengan kata lain, partai politik saat ini tidak lagi berfungsi sebagai “perguruan politik” untuk mendidik para pengurusnya menjadi calon-calon pemimpin handal di kemudian hari. Keadaan demikian terutama karena mobilitas vertikal para pengurus partai yang tidak lagi dapat berlangsung lama dan sistematik. Banyaknya pilihan partai yang ada dengan segenap harapan dan iming-iming jabatan yang lebih mudah diraih dan dinilai lebih menjanjikan, membuat para pengurus partai tidak lagi betah atau bertahan lama untuk membina karir politiknya secara konsisten di sebuah partai, serta (3) oleh karena memiliki komposisi pengurus yang lemah, tidak kreatif dan tidak teruji, maka daya tawar (bargaining power) partai politik terhadap kelompok- kelompok penekan (pressure group) di tingkat eksternal partai, utamanya terhadap lembaga eksekutif dan yudikatif, menjadi sangat lemah. Kekuatan- kekuatan eksternal dengan posisi tawar yang lebih kuat tersebut, bahkan cenderung “mendikte” dinamika internal partai dan anggota parlemen.

Pemilihan figur pemimpin juga menjadi penentu siapa saja calon yang terpilih menjadi kandidat pemimpin di bawah payung partai. Seperti yang terjadi dalam tubuh GOLKAR dalam menghadapi pilkada 2002. Hino Biohanis sebagai ketua DPD partai GOLKAR hanya sedikit mendapat dukungan dari anggota partai yang memilih fugur Ali Mazi yang dijagokan menjadi Gubernur Sultra 2002- 2007. Fraksi GOLKAR lebih menginginkan figur muda sebagai sebagai Gubernur yang diwakili oleh Ali Mazi ketimbang memilih figur yang lamban dalam mengambil keputusan sebagai gambaran dari sosok Hino.

Serupa dengan fraksi GOLKAR, PAN juga memfilter figur yang akan dicalonkannya seperti figur yang memiliki loyalitas, dedikasi terhadap partai, mau berkorban waktu, tenaga, pikiran dan material demi kemajuan partai. Dominasi satu partai yang hampir mengisi seluruh kursi strategis pemerintahan sbelumnya menjadikan partai PAN sebagai partai pembaharu memiliki tekad untuk mencari figur pemimpin yang berbeda dengan pemimpin di era sebelumnya. Anggota PAN Sultra mengatakan:

“Rakyat harus merasa berbeda jika dipimpin oleh kader PAN. Harus ada bedanya dengan pemimpin-pemimpin di masa lalu, yang birokratis, jauh

dari rakyat dan minta dilayani. Kader PAN yang memimpin daerah harus merakyat dan melayani rakyat. Jangan sebaliknya merasa menjadi raja sehingga meminta dilayani rakyat”(KSRN).

Pentingnya peranan partai politik dalam proses pemilihan kepala daerah maupun presiden menjadikan setiap figur mengejar dan “mengemis” dukungan dari berbegai partai politik. Seperti yang terjadi pada calon Gubernur Mashur Masie yang ikut dalam pilkada dengan “menunggangi” parpol lain karena partainya (Golkar) telah menetapkan Ali Mazi sebagai figur partai. Dalam

pencarian atas dukungan partai politik ini, Eka Suaib24 menyatakan bahwa:

“Partai politik cenderung berfungsi tidak lebih dari sekedar makelar bagi tokoh-tokoh non-partisan yang mengejar jabatan dan kedudukan politik. Pada sisi lain, parpol belum mampu membangun dirinya sebagai sumber rekruitmen calon pemimpin lokal maupun nasional”.

Dalam pernyataan tersebut, Eka juga menambahkan bahwa parpol nyaris berfungsi sebagai institusi ekonomi. Dalam hal ini, partai mencari figur berdasarkan kekuatan pasar. Tokoh yang mempunyai uang lebih berpeluang untuk diusung sebagai calon kepala daerah. Hal ini terlihat dari pernyataan “siapa yang kuat secara ekonomi, terbukti dia lebih mudah mendapatkan pintu partai untuk ikut pilkada”.

PKS sebagai salah satu partai alternatif yang menduduki kursi parlemen Sultra, ikut menjadi sasaran figur politik untuk dijadikan basis kekuatan dalam pilkada. PKS Sultra yang sebelumnya telah sukses membawa figurnya bersama beberapa partai koalisi memenangkan Pilwali Kota Kendari, diyakini mampu menjadi basis payung politik dalam pilkada Sultra. Dalam Pilgub Sultra terdapat empat calon Gubernur yang melamar secara administrasi ke kantor PKS Sultra yaitu Yusran Silondae, Mahmud Hamundu, MMA, La Ode Ida dan Nur Alam. Figur PKS juga ditentukan dimana kriteria sebagai calon figur PKS yakni kredibilitas calon, dukungan serta basis massa serta daerah asal calon, kejelasan pintu partai yang digunakan figur serta financial yang dimiliki calon dalam       

24

 Pengamat politik dari Universitas HaluOleo dalam artikelnya di koran Kompas Kendari, 11 Desember 2008. 

memenangkan pertarungan. Meskipun pada akhirnya, partai ini memilih kubu AZIMAD sebagai figur yang akan dipayungi oleh PKS.

Jaringan politik kubu NUSA dapat dilihat melalui partai yang menaunginya dalam pibgub Sultra yaitu PAN. Semua kader PAN di setiap kabupaten dan Kota menjadi ujung tombak figur Nur Alam dalam upaya menarik simpatisan masyarakat setempat. Seperti misalnya ketua DPC PAN Kabupaten Buton, Samsu Umar Samiun yang menjadi ujung tombak kampanye pasangan NUSA di kota Bau-Bau. Di kota Bau-Bau, Umar dibantu Arbab Paproeka (sekertaris PAN) serta Drs. Djabar Hibali maju sebagai juru kampanye NUSA. Hal ini juga seperti yang terjadi di Kabupaten Bombana oleh ketua PAN kabupaten Bombana Masyurah Ladami.

Berbeda dengan kubu NUSA yang mengandalkan jaringan partai lokal, kubu AZIMAD lebih memilih mengandalkan jaringan partai nasional dengan mendatangkan orang-orang pusat seperti Rully Chairul Tandjung, Aksa Mahmud, Tadjuddin Noer Said serta anggota partai pusat lainnya untuk mengembalikan citranya sebagai pemimpin partai daerah lepas dari perkara HGB Hilton. Namun demikian, strategi partai politik ini dinilai tidak efektif karena tidak menyentuh rakyat bawah serta rakyat tidak mengenal sosok pusat yang dianggap tidak ada kaitannya dengan masyarakat daerah. Selain itu, soliditas partai Golkar terlihat rendah ketika anggota partai daerah tidak memainkan peran strategisnya di daerah ketika Ali Mazi sebagai ketua partai terlibat masalah di pusat dan harus menetap sementara waktu di Jakarta. Koordinasi dengan anggota partai di daerah menjadi kurang dan anggota partai terlihat diam tanpa aksi selain menunggu Ali Mazi kembali.