Penduduk asli Kepulauan Mentawai adalah suku Mentawai. Catatan sejarah J. R.
Logan dalam The Chagalelegat or Mantawe Islander (Logan, 1855) sebagaimana dikutip oleh Coronesse dalam Kebudayaan Suku Mentawai (Coronesse, 1986), memberikan catatan mengenai gambaran fisik orang Mentawai di masa lalu yang berperawakan baik
dan menarik. Mereka juga tampak sehat dan jarang yang didapati memiliki cacat fisik.
Hal ini dikarenakan cara hidup orang Mentawai yang dekat dengan alam sehingga mereka
yang bertahan adalah benar-benar hasil dari seleksi alam. Mereka tidak memiliki
22 Di Mentawai wilayah administratif terkecil adalah dusun. Beberapa dusun – yang letaknya bisa sangat berjauhan – bergabung membentuk sebuah desa. Wilayah kecamatan terdiri dari beberapa desa.
37
pekerjaan tetap karena hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan hasil bumi. Hasil
buruan dan hasil hutan itulah yang nantinya akan ditukar (barter) dengan para pedagang
pendatang untuk memperoleh bahan-bahan kebutuhan mereka. Orang Mentawai juga
digambarkan sebagai masyarakat yang ramah, baik hati, suka menghormati orang lain
dan tidak ingin berperang. Mereka juga dikenal dengan seni tatonya. Ginarti (1985)
menulis bahwa bagi masyarakat Mentawai, tato merupakan ‘pakaian abadi’ di mana busana tersebut akan dikenakan hingga akhir hayat.23 Setiap daerah memiliki pola tatonya
tersendiri. Di masa lalu, diperlukan ritual khusus guna membuat tato di badan seseorang.
Saat ini di Mentawai, khususnya di P. Siberut, masih bisa kita jumpai orang-orang tua
suku Mentawai yang badannya penuh dengan tato. Tradisi tato ini hampir tidak bisa
dijumpai lagi pada generasi orang muda Mentawai.
Meskipun letak Kepulauan Mentawai berdekatan dengan wilayah Sumatera Barat,
namun orang-orang suku Mentawai memiliki adat istiadat yang sangat berbeda dengan
orang Minangkabau yang merupakan mayoritas penduduk Sumatera Barat. Bukan hanya
itu, Mentawai juga dikenal memiliki keragaman hayati yang berbeda dengan P. Sumatera.
Hal ini bisa dipahami dengan mengamati laporan yang disusun oleh WWF tahun 198024
yang memperlihatkan gambaran wilayah kepulauan Mentawai di jaman Pleistosen
(kurang lebih 1.000.000 sampai 10.000 tahun lalu). Pada masa itu P. Sumatera, P. Jawa
dan P. Kalimantan masih dihubungkan oleh daratan. Hal ini juga yang memungkinkan
pertukaran fauna yang ada di wilayah tersebut. Namun demikian wilayah Kepulauan
Mentawai tetap tinggal terpisah dari daratan Sumatera.
23Lih. Ginarti K, B. 1985. Tumbangnya Sebuah Aspek Kebudayaan Mentawai: Tato dalam Pulau Siberut. 1985. Gerard Persoon dan Reimar Scefold (ed.). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.
24Lih. WWF. 1980. Penyelamatan Siberut: Sebuah Rancangan Induk Konservasi. Bogor: World Wildlife Fund Report.
38
Belum ada teori yang disepakati bersama mengenai asal-usul nenek moyang orang
Mentawai (Coronesse, 1986; Rudito, 1993; Juniator, 2012). Hal ini disebabkan karena
ada begitu banyak versi cerita yang menjelaskan hadirnya pendatang pertama di wilayah
kepulauan itu. Selain itu tidak tersedianya sumber peninggalan arkeologis dan
literatur-literatur menjadikan upaya penelusuran sejarah nenek moyang suku Mentawai menjadi
semakin sulit (Caisutti, 2015:13). Juniator dalam desertasinya mencoba mengumpulkan
beragam kisah tersebut. Ia menggolongkan kisah-kisah berdasarkan periodisasi waktu:
tahun 1842 dan 1930, 1960 dan 1991, serta yang terakhir antara tahun 2002 dan 2006.
Dalam penelitian lapangan yang terkahir antara tahun 2002, 2004, dan 2006, ia tidak
menemukan lagi penutur Mentawai yang memiliki kisah seperti yang ditulis para ahli
antara tahun 1842 dan 1930, yang menjelaskan bahwa penduduk asli Mentawai
merupakan orang Melayu yang datang langsung dari wilayah Sumatera (Padang).
Kisah-kisah yang diceritakan justru memiliki kemiripan dengan laporan-laporan tertulis yang
diperoleh pada tahun 1960-1991. Sumber-sumber tersebut memberikan informasi
mengenai pendatang dari kepulauan Nias yang bernama Aman Tawe.
Baik sumber yang dikumpulkan antara tahun 1884-1930 maupun tahun 1960-1991
hanya memberikan informasi mengenai kehadiran orang-orang Mentawai pertama di P.
Siberut dan tidak mencakup kisah mengenai wilayah selatan, seperti di P. Sipora dan
Pagai. Di wilayah tersebut, di P. Sipora misalnya, terdapat informasi lain mengenai
orang-orang yang datang dari daerah Muko-muko di Bengkulu. Dalam hal ini Juniator
sependapat dengan Wirz bahwa nenek moyang orang Mentawai datang dari beberapa
tempat yang berbeda. Para pendatang itu – baik yang berasal dari beberapa wilayah di P. Siberut maupun dari P. Sipora – kemudian bercampur baur dan dikenal sebagai suku Mentawai sebagaimana dijumpai saat ini (Juniator, 2012).
39 1. Mitos Asal-Usul Orang Mentawai
Dalam buku yang disusun oleh Bruno Spina, Mitos dan Legenda Suku Mentawai (1981), terdapat 67 judul cerita tradisional Mentawai. Bruno Spina sendiri adalah seorang imam misionaris Xaverian yang ditugaskan di Sikakap (P. Pagai Utara dan P. Pagai
Selatan) pada tahun 1963. Selama lima tahun pertama, ia banyak mencatat adat istiadat,
kepercayaan orang setempat, dan juga mengumpulkan cerita-cerita kuno yang masih
diingat oleh orang Mentawai di sana. Beberapa peneliti Mentawai yang juga telah
menerbitkan kisah-kisah tradisional orang Mentawai antara lain: H.A. Mess (1881),
J.F.K. Hansen (1915), A.C. Kruyt (1963-1924), dan Edwin M. Loeb (1929). Spina
menggabungkan beberapa cerita dari para peneliti terdahulu tersebut – karena dilihat memiliki versi lebih lengkap – dan menjadikannya dalam satu buku dan ditulis kembali dalam bahasa Indonesia.
Dari 67 cerita dalam buku Bruno Spina tidak satupun ditemukan kisah mengenai
asal-usul orang Mentawai. Bahkan konsep mengenai penciptaan dunia diceritakan dengan
sangat sederhana. Menurut Loeb, sebagaimana dikutip Spina dalam bagian pengantar,
tidak adanya konsep penciptaan dan cerita mengenai asal-usul keberadaan manusia
menjadikan masyarakat suku Mentawai berbeda dengan banyak suku bangsa di
Indonesia. Bagi Spina hal tersebut memperlihatkan bagaimana orang Mentawai
memandang dunia mereka. Orang Mentawai benar-benar meyakini bahwa dunia yang
mereka huni bukanlah milik mereka. Mereka menggambarkan dunia sebagai sebuah
taman yang besar, tempat di mana mereka bisa hidup dari memanfaatkan segala yang
telah ada di alam. Oleh karena itu mereka harus menjaga relasi yang baik dengan roh-roh
yang ada di alam dengan berterima kasih dan tidak menyalahgunakan sesuatu yang
40
balas dendam dari roh-roh alam dan hal ini lah yang menjadi sumber malapetaka bagi
manusia (Spina, 1981: 14).
Keberadaan roh-roh alam menjadi hal yang sentral dalam banyak cerita tradisional
orang Mentawai. Satu cerita singkat dalam buku Spina, Panandaat Polak Samba Rua Sirimanua Siboiki (Asal-usul Dunia dan Dua Orang Orang Pertama)25, memperlihatkan bahwa roh-roh inilah yang menciptakan dunia dengan melemparkannya dari langit
sehingga terbentuk pulau-pulau Sumatera dan sekitarnya. Roh-roh itu pula menciptakan
tumbuhan dan hewan serta manusia. Mereka juga yang dikisahkan selalu memberikan
berbagai petunjuk mengenai cara hidup kepada manusia pertama (Spina, 1981: 253). Bagi
orang Mentawai pada masa itu dunia berarti kepulauan Mentawai dan Sumatera. Sebuah
cerita lain yang lama dikenal orang Mentawai di Sikakap mengisahkan bagaimana jaman
dahulu nenek moyang mereka datang dari Padang dengan menggunakan 2 perahu besar.
Sebagian dari mereka kembali ke Padang, sebagian berlayar menuju Pulau Siberut (Spina,
1981: 255).
Salah seorang misionaris Xaverian awal yang berkarya di Siberut, P. Tonino
Caisutti26, dalam catatannya27, mengisahkan bagaimana ia untuk pertama kali
mengunjungi daerah Simatalu di bagian utara Siberut. Wilayah itu dipercaya sebagai asal
nenek moyang orang Mentawai. Di sana P. Caisutti menemui sejumlah warga setempat
yang lanjut usia dan tidak pernah meninggalkan tempat itu serta tidak pernah berjumpa
dengan orang di luar wilayah tersebut. Kepada mereka P. Caisutti menanyakan darimana
asal mereka. Mereka semua menjawab bahwa mereka datang dari daerah Simalegi. Di
25 Spina mengutip dan menterjemahkan cerita ini dari buku J.F.K. Hansen, de groep Noord en Zuid Pageh van de Mentawei-Eilanden, 1915 halaman 12.
26 P. Tonino Caisutti, SX berkarya di Kep. Mentawai ( Sipora, Siberut, dan Sikabaluan) pada tahun 1966 hingga 1997.
27 Caisutti, Tonino. 2015. La Cultura Mentawaiana. Terjemahan oleh Abis Fernando. Japan: Asian Studi Centre, hlm. 13-15.
41
lain kesempatan, ketika P. Caisutti berkunjung ke Simalegi, ia juga menemui orang-orang
tua di wilayah dan mengajukan pertanyaan yang sama mengenai asal-usul mereka.
Orang-orang itu menyatakan bahwa mereka tidak berasal dari mana-mana. Sejak semula mereka
sudah hidup di tempat itu. Menurut P. Caisutti pada saat itu orang Mentawai tidak bisa
menjelaskan darimana asal-usul mereka. Sejak semula telah tinggal di tempat ini, dan
pulau ini, Siberut, merupakan pusat dunia (Caisutti, 2015 : 13).
2. Perjumpaan Orang Mentawai dengan Petualang, Aparat Kolonial dan
Misionaris
Dari penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Coronesse, kepulauan Mentawai
ditemukan oleh Vornelis Pietersz pada abad ke-17. Dan pada tahun 1600 kepulauan itu
dinamakan Nassau sebagai tanda penghormatan kepada keluarga raja dari Kerajaan
Belanda. Namun sejak 1620 para pelaut dari Belanda dikabarkan tidak sering lagi datang
ke wilayah Mentawai. Baru pada tahun 1663 ditemukan nama-nama pulau di kepulauan
Mentawai yang telah dimasukkan dalam catatan pelayaran Wouter Schouten. Nama-nama
pulau itu adalah P. Mintaon (Siberut), Goed Fortuin (Sipora) dan Nassau (kepulauan
Pagai). Nama-nama itu rupanya telah ada dalam peta tahun 1606 yang dibuat oleh bangsa
Portugis. Pada tahun 1792, John Crisp – seorang pegawai Kongsi Dagang Hindia Timur Britania (British East India Company) – beberapa kali mengunjungi kepulauan Mentawai. Laporan yang ditulisnya diterbitkan tahun 1799 di London dan menjadi karya
tertulis pertama yang mengulas mengenai Mentawai dan merupakan sumber penting bagi
para peneliti Mentawai di kemudian hari. Pada tahun 1864 – setelah sebelumnya terjadi perebutan kekuasaan atas Mentawai oleh Inggris dan Belanda – dikeluarkanlah surat keputusan tertanggal 10 Juli 1864 No. 14, Staatsblad No. 104, yang menyatakan bahwa
42
dalam wilayah kekuasan Pemerintah Belanda. Mentawai menjadi wilayah yang penting
bagi perdagangan karena hasil alamnya, terutama kayu. Dari perjumpaan dengan bangsa
Barat sebelum tahun 1900an, kegiatan yang dilakukan oleh para pendatang di Mentawai
sebagian besar berkisar pada perdagangan (Coronesse, 1986).
Beberapa penelitian mengenai kebudayaan Suku Mentawai yang berbicara
mengenai sistem kepercayaan tradisional masyarakat Mentawai antara lain terdapat pada
tulisan Edwin M. Loeb (1928: 408-433). Ia menulis mengenai kunjungannya ke wilayah
Kepulayan Mentawai pada tahun 1926 dan termasuk antropolog awal yang
mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai budaya Mentawai. Tulisan Loeb fokus
pada struktur sosial masyarakat Suku Mentawai termasuk juga mengenai sistem
kepercayaan mereka, meskipun ia belum menggunakan istilah arat sabulungan. Istilah arat sabulungan baru digunakan secara umum pada tahun 1950an; pasca kemerdekaan Indonesia. Menurut Juniator istilah itu muncul dari pemerintah dan para misionaris awal
(kemungkinan besar Protestan yang masuk ke Mentawai tahun 1900 (Juniator 2012: 68).
Mengenai sistem religi Suku Mentawai Loeb melihat adanya kemiripan dengan
pengaruh Hinduisme dalam ritual pengorbanan ayam dan babi, cara penyampaian
ramalan – terutama dalam praktik hepatoscopy atau upacara menyampaikan ramalan dengan mengamati bagian organ hati dari binatang, seperti ayam atau burung. Namun
pengaruh Hinduisme tidak dijumpai dalam kisah-kisah dan mitos-mitos tradisional
masyarakat Mentawai.28 Ia justru menuliskan bahwa masyarakat Mentawai meyakini
adanya roh alam, jiwa, dan hantu. Roh alam diyakini masyarakat setempat bukan sebagai
sebuah entitas tunggal. Roh-roh yang berdiam di langit disebut tai-ka-manua (Bhs. Mentawai: orang-orang di langit), mereka yang menghuni lautan dinamakan
28Lih. Loeb, EM. 1928. Hlm. 408.
43
koat (Bhs. Mentawai: orang-orang di dalam laut), mereka yang tinggal di hutan dikenal sebagai tai-ka-leleu (Bhs. Mentawai: orang-orang di gunung), dan roh-roh yang berada di tanah disebut tai-ka-baga-polak (Bhs. Mentawai: orang-orang di dalam bumi). Tidak ada sebutan personal bagi roh-roh alam tersebut. Dan istilah-istilah itu tidak mendefinisikan
bahwa ada roh alam yang lebih tinggi dari roh-roh alam yang lain. Loeb juga
mengemukakan pendapat bahwa agama tradisional Suku Mentawai tersebut memiliki
kemiripan dengan agama-agama tradisional lain di Indonesia di mana masih
mengandung konsep relasi manusia dan roh.29
Reimar Schefold (1985: 20), berpendapat bahwa roh-roh yang diam di alam adalah
perwujudan dari konsep tradisional masyarakat Mentawai mengenai Tuhan yang
Mahaesa, atau mereka kenal dengan istilah ulau kina (Bhs. Mentawai: Anda yang terang). Seluruh roh yang ada di langit, gunung, dan hutan saling bereaksi dengan jiwa manusia
dan jiwa-jiwa yang dimiliki binatang, tumbuhan, dan semua obyek yang ada. Berbeda
dengan roh yang bisa hidup bebas tanpa terikat bentuk fisik, jiwa menurut Coronesse
merupakan duplikat rohani dari semua obyek: manusia, pohon, tanaman, hewan bahkan
batu-batuan. Dengan demikian jiwa ini terikat dengan tubuh fisik meskipun ia bisa juga
mengembara keluar dari tubuh dan berjumpa dengan jiwa-jiwa lain yang ada di alam.
(Coronesse, 1986: 42). Relasi antara roh-roh, jiwa-jiwa dan dunia manusia harus
berlangsung dengan seimbang. Namun dalam kenyataanya aktivitas manusia selalu saja
bisa mempengaruhi keseimbangan itu. Munculnya penyakit bisa dipandang sebagai
dampak dari relasi jiwa manusia dan jiwa benda-benda di alam yang tidak seimbang. Oleh
karena itu ada begitu banyak upacara, larangan dan pantangan yang dipegang oleh orang
29Lih. Loeb, EM. 1928. Hlm. 412.
44
Mentawai dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang bertujuan menjaga relasi mereka
dengan dunia roh dan jiwa sehingga tetap seimbang (Schefold 1985:21).
Stefano Coronese (1986: 31), imam Misionaris Xaverian berkebangsaan Italia,
mencatat perjumpaan masyarakat suku Mentawai dengan budaya lain lewat perdagangan
telah ada pada tahun 1621. Dan sebelum tahun 1600 hanya P. Siberut saja yang dianggap
berpenghuni Jhon Crisp30 yang datang ke wilayah kepulauan itu pada 1792 membuat
catatan yang menjelaskan bahwa mereka yang tinggal di Mentawai – terutama yang mendiami P. Pagai – juga telah melakukan hubungan dagang dengan Bengkulu. Hubungan dagang inilah yang menyebabkan P. Sipora dan P. Sikakap lebih maju jika
dibandingkan dengan P. Siberut yang dalam waktu lama ditinggalkan terisolir (Coronesse
1986:32). Agama-agama pendatang dari luar baru dikenal kemudian.
Protestan masuk ke Mentawai di Sikakap pada tahun 1901 dan banyak pelaut dan
pedagang sudah singgah di Sikakap dan Sipora pada masa itu. Juniator (2012)
merangkum informasi yang menujukkan bahwa agama Protestan masuk ke wilayah
Mentawai melalui para misionaris Jerman yang datang di P. Pagai pada 1901 atas
undangan pemerintah Kolonial Belanda. Coronese mencatat 2 nama pembuka misi
Protestantisme di Mentawai, yakni Pdt. August Lett dan rekannya A. Kramer. Kemudian
barulah tiba Pdt. F. Borger yang berkarya cukup lama – lebih dari 20 tahun – di Mentawai. Pasca Perang Dunia II kegiatan zending Protestan makin berkembang di wilayah Selatan
kepulauan Mentawai itu. Salah satu buah karya yang dihasilkan zending Protestan dalam
penyebaran Kekristenan di Mentawai adalah diterjemahkannya Kitab Suci ke dalam
bahasa Mentawai (Coronese, 1986: 28) . Penterjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa
30 Coronesse menulis bahwa laporan Crisp termasuk catatan yang penting dan menarik karena menjadi salah satu dokumen tertulis pertama mengenai Mentawai.” Lih. Coronesse, 1986. Hlm. 143.
45
setempat (dalam hal ini bahasa Mentawai dengan dialek Sikakap) menjadi sumbangan
besar dalam misi Kekristenan di Mentawai. Bahasa dialek Sikakap kemudian menjadi
bahasa resmi dalam tata peribadatan Gereja Protestan dan Katolik hingga saat ini.
Harun Yunus (Persoon dan Schefold, 1985) menulis bahwa pada tahun 1935 telah
ada penduduk Mentawai yang menganut agama Islam di P. Siberut. Pada saat itu, seorang
anak Siberut bernama Maruaian dari Simalegi diadopsi oleh seorang opas polisi bernama
Umar Said. Orang Mentawai asli pertama yang memeluk agama Islam adalah Kilaek
Sakerebau. Namun karena tidak ditemukannya sumber tertulis, sulit diketahui dengan
persis kapan tepatnya agama Islam masuk ke wilayah Kep. Mentawai. Walau demikian
perjumpaan orang Mentawai dengan para pedagang dari tanah tepi Sumatera Barat yang
beragama Islam telah terjalin jauh sebelum kehadiran Belanda. Para pedagang itu datang
ke Mentawai untuk membeli daun nipah, rotan, dari masyarakat setempat dengan sistem
barter. Pada tahun 1950 para pedagang Minangkabau masuk ke P. Siberut bagian utara.
Sambil berdagang mereka perlahan-lahan mengajak orang Mentawai untuk memeluk
agama Islam. Pengaruh Islam di Mentawai semakin berkembang dengan masuknya para
perantau dari daerah Pariaman dan Jawa. Para perantau ini kemudian tinggal dan menetap
di Mentawai dengan mengambil penduduk setempat sebagai pasangan hidup mereka
(Persoon dan Schefold, 1985: 116-117).
Misi Katolik masuk ke Mentawai, tepatnya di Siberut Selatan, melalui para
misonaris Xaverian. Saat itu tahun 1953, Pastor Aurelio Canizzaro, SX mengunjungi P.
Siberut, Sikabaluan, Sikakap dan Sipora, atas perintah dari Mgr. De Martino di Padang.
Barulah pada 18 Desember 1954 P. Canizzaro bersama dengan P. Angelo Calvi, SX,
dengan menumpang kapal Bendalu, berlayar menuju Siberut dan menetap di sana. Pada
46
menjadi tonggak lahirnya gereja Katolik di Mentawai dengan dipermandikannya 10 orang
di gereja Siberut. Misi Katolik di Mentawai dimulai dengan pelayanan di bidang
pendidikan dan kesehatan.
Hadirnya agama Katolik dengan inkulturasinya menghadirkan suasana yang
bertolakbelakang dengan situasi pasca pelarangan sabulungan di Mentawai, khususnya di Siberut. Para misionaris awal berusaha mengenal dan mempelajari budaya lokal serta
memberikan penghargaan atasnya. Melihat sikap para misionaris tersebut yang tidak
membakar alat-alat kerei dan melarang mengadakan upacara-upacara adat, banyak orang
Mentawai di Siberut bersedia menjadi Katolik.