• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ritual dalam Siklus Kehidupan Manusia dan Relasi dengan Alam

SABULUNGAN, PANDANGAN HIDUP DAN RITUS KEHIDUPAN ORANG MENTAWAI

2. Ritual dalam Siklus Kehidupan Manusia dan Relasi dengan Alam

Mayoritas orang Mentawai di Siberut dewasa ini telah memeluk agama resmi.

Hampir tidak ada yang akan mengatakan bahwa mereka menganut sabulungan. Namun tidak seluruhnya yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional itu hilang.

Terbatasnya pemahaman akan konsep ‘agama’ dan ‘budaya’ menyebabkan sebagian

orang sulit untuk menjelaskan hubungan antara sabulungan dan budaya Mentawai. Upacara-upacara dan ritual yang pada jaman dahulu merupakan bagian kepercayaan

sabulungan masih bisa dijumpai di beberapa daerah di Siberut. Beberapa orang tua yang penulis jumpai mengatakan bahwa apa yang dilakukan saat ini memang tidak sama persis

dengan apa yang pernah dilakukan di masa lalu. Namun konsep pemikiran akan adanya

roh-roh alam yang hidup bersama dengan manusia menjadi benang merah yang

70

Bagian ini akan berisikan beberapa ritual yang berkaitan dengan siklus kehidupan

orang Mentawai. Dimulai dari upacara ‘perkenalan’ bayi yang baru lahir kepada alam

hingga mereka dianggap dewasa. Kemudian bagian kedua akan berbicara mengenai

upacara pangureijat atau pernikahan. Bagian terakhir akan bercerita mengenai upacara panunggru atau kematian yang menjadi proses beralihnya kehidupan fisik kepada dunia roh. Salah satu ritual yang menuntut kehadiran seorang sikerei yang dipercaya menjadi perantara antara manusia dan roh. Upacara-upacara tersebut masih dijalankan oleh

sebagian orang Mentawai di wilayah Siberut Selatan, terutama di daerah sepanjang

Sungai Rereiket.

a. Inisiasikehidupan

Kelahiran merupakan awal dari perjumpaan manusia dengan alam. Bayi yang baru

lahir untuk pertama kalinya menghirup udara sekitar dan semenjak itu dimulailah

interaksi dengan alam sekitar. Bagi orang Mentawai setelah seorang bayi lahir ia sudah

harus ‘diperkenalkan’ dengan alam ini, termasuk juga dengan roh-roh yang hidup di dalamnya. Perkenalan ini penting agar sang bayi terhindar dari penyakit dan kehadirannya

tidak mengganggu roh-roh di alam.

Ritual pertama yang dilakukan begitu bayi lahir dikenal dengan istilah pangabela. Secara umum kegiatan ini dilakukan sekitar tiga hari setelah bayi itu lahir. Ibu si bayi

dengan dibantu beberapa anggota keluarga menyediakan makanan. Setelah makan ia akan

membawa anak itu ke luar ke sungai dan memandikannya di sana. Mereka tinggal

beberapa jam di sungai hingga dikatakan kulit bayi itu akan menjadi pucat karena dingin.

Itulah untuk pertama kalinya bayi ini keluar dari rumah. Si ibu atau saudara bayi ini pergi

ke sungai dengan membawa api di suluh dan lailajet. Saudara-saudari si bayi atau yang menemani sang ibu membawa beberapa bibit tanaman untuk ditanam, seperti: mumunen,

71

simakainauk, taddek, aileppet. Tanaman-tanaman tersebut merupakan tanaman yang memiliki sifat baik. Setelah beberapa jam di sungai, sang ibu membawa bayinya kembali

ke rumah. Sambil berjalan ia akan menuangkan air sungai yang dibawa dalam bambu

sedikit demi sedikit sepanjang jalan. Sang ibu juga membawa kembali api dengan suluh

yang dibawa ketika berangkat meninggalkan rumah. Pangabela dibuat dengan tujuan agar si anak yang baru lahir terhindar dari penyakit dan malapetaka. Setelah upacara ini

juga, bayi yang baru lahir bisa dibawa ke luar rumah ketika ibunya hendak beraktivitas.42

Pada upacara pangabela sang bayi belum diberi nama. Pemberian nama dilakukan pada ritual beritkutnya yaitu pangambok. Ritual ini dilakukan 1-2 minggu setelah bayi lahir atau jika dirasa sudah cukup dipenuhi persyaratannya. Misalnya keluarga tersebut

sudah memiliki ayam atau kalau mereka mampu seekor babi bisa dikurbankan dalam

ritual ini. Dalam upacara pangambok sang bayi mendapatkan nama Mentawai nya. Nama itu pada umumnya diambil dari nama nenek moyang suku ayah sang anak. Nama

Mentawai seseorang tidak selalu dicantumkan dalam akta kelahiran. Nama ini menjadi

penting untuk mengetahui kedudukan sang anak dalam silsilah suku. Namun saat ini

kebiasaan tersebut sudah mulai ditinggalkan di beberapa daerah. Mereka yang beragama

Katolik umumnya hanya mencantumkan nama baptis dan nama suku masing-masing.

Ketika sang anak sudah beranjak remaja, diadakanlah upacara eneget untuk laki-laki, atau upacara sogunei untuk perempuan.43 Upacara ini pada masa lalu diadakan dalam pesta peresmian uma baru (Punen Panegekat Uma). Baik eneget maupun sogunei memiliki makna agar anak-anak tersebut menjadi pandai menangkap monyet atau rusa

atau menangkap ikan di sungai serta diberi kemudahan dalam berburu di hutan bagi yang

laki-laki dan anak perempuan berhasil ketika mencari ikan di sungai. Kedua bentuk

42 Wawancara dengan Agustinus Salemurat dan isteri di Ugai.

72

upacara di atas hampir tidak dijumpai lagi di desa-desa besar atau di pusat kecamatan.

Kewajiban untuk mengenyam pendidikan dasar dan tersedianya sekolah-sekolah

pemerintah menjadikan anak-anak saat ini tidak lagi pergi berburu di hutan. Mereka harus

pergi ke desa-desa lain atau ke pusat kecamatan untuk melanjutkan sekolah. Hanya pada

masa-masa liburan anak-anak itu akan pulang ke kampungnya masing-masing. Kegiatan

berburu di hutan dan mencari ikan di sungai digantikan dengan bermain gawai untuk

mendengarkan musik atau mengakses internet.

Meskipun demikian beberapa orang yang tinggal di desa-desa bagian hulu masih

mengingat dengan jelas tatacara upacara eneget dan sogunei. Beberapa dari mereka menyatakan mereka masih melakukan ritual-ritual tersebut terhadap anak-anak mereka

meskipun dengan urutan yang tidak lagi sama.

b. Pangureijat

Sebelum masuknya agama-agama pernikahan (putalimougat) tradisional di Mentawai dilakukan dalam upacara pangurei. Uraian terperinci mengenai ritual pernikahan tradisional Mentawai ini bisa dilihat dalam tulisan Loeb (1928:425-429) atau

penjelasan yang lebih singkat dalam tulisan Coronesse (1986:126-128). Bagian sentral

dalam upacara pangurei adalah kegiatan makan bersama antara mempelai pria dan wanita. Hal makan bersama ini menjadi penting, sebab ada masa sebelum pernikahan di

mana calon mempelai wanita tinggal bersama dengan mempelai pria dalam satu rumah

yang disebut rusuk namun mereka belum diperkenankan makan bersama (Loeb, 1928: 426). Dalam upacara pernikahan tradisional dipersembahkanlah seekor ayam dan telur

73

kesempurnaan. Harapannya pernikahan yang dilakukan kedua mempelai akan menjadi

tanda keutuhan dan kesempurnaan hidup yang menyatukan mereka berdua hingga akhir

hayat (Coronesse, 1986: 127). Ayam yang juga menjadi salah satu hewan yang penting

dalam beragam acara adat di Mentawai selain babi melambangkan hewan yang bijak,

terbang secara lurus dan tahu ketika tiba matahari terbit (Loeb, 1986:429). Ayam ini

kemudian dipotong dan hatinya dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang dengan

harapan kehidupan pengantin baru itu bisa bahagia, aman, tenteram dan makmur

(Coronesse, 1986:127).

Dewasa ini pangurei masih dijalankan sebagian orang Mentawai di Siberut, namun tata cara nya tidak lagi sama dengan yang dilakukan orang Mentawai pada masa lalu.

Bahkan bagi mereka yang telah beragama Katolik, doa-doa secara Katolik sudah

disisipkan di dalam rangkaian upacara tersebut. Ada kalanya pangurei diadakan jauh setelah sepasang muda-mudi menikah resmi secara Katolik dan bahkan telah memiliki

anak. Hal ini dilakukan karena perlu cukup waktu untuk mengumpulkan biaya ketika

suami-isteri tersebut hendak mengadakan pangurei. Namun tidak sedikit pula masyarakat Mentawai di Siberut yang mengadakan pangurei terlebih dahulu dan hidup bersama tanpa meresmikan pernikahan mereka dalam agama masing-masing atau dalam pencatatan

sipil. Hal ini hampir bisa dijumpai secara umum mengingat pria dan wanita yang telah

menjalankan upacara pangurei bagi masyarakat Mentawai telah dianggap menikah secara yang sah.

c. Kematian

Dalam alam pikiran orang Mentawai kematian berarti perginya jiwa (ketcat) seseorang meninggalkan tubuh biologisnya untuk selamanya. Jiwa mereka yang sudah

74

meninggal ini dipercaya pergi ke suatu tempat yang dikenal dengan istilah laggai sabeu (secara harafiah berarti kampung yang besar) – sebuah tempat di mana berkumpul seluruh roh nenek moyang dari setiap suku. Lokasi laggai sabeu ini berbeda-beda untuk setiap suku. Beberapa orang Mentawai mengatakan tempat yang dipercaya sebagai laggai sabeu terletak di wilayah tanah ulayat. Itulah mengapa keberadaan tanah ulayat sebuah suku ini menjadi begitu penting bagi orang Mentawai.44

Sebagaimana disebutkan dalam bab terdahulu bahwa tujuan hidup orang Mentawai

pada masa lalu adalah hidup yang panjang dan kematian yang baik, maka bagaimana

seseorang akhirnya meninggal menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Orang

Mentawai percaya ada dua jenis kematian: kamateijat simaeruk (kematian yang baik) dan kamateijat sikataik (kematian yang buruk). Kematian yang baik terjadi ketika jiwa meninggalkan tubuh fisik seseorang karena tubuh tersebut sudah tua atau sakit yang tidak

terobati. Seseorang yang sudah lanjut usia dan sakit lalu akhirnya meninggal dipandang

mengalami kematian yang baik. Berbeda dengan orang yang meninggal di usia muda

karena kecelakaan saat berburu, saat bekerja di ladang atau beternak babi, atau di laut

atau di sungai, mereka ini dikatakan mengalami kematian yang buruk. Memikirkan hal

itu saja sudah merupakan hal yang dihindari. Mereka percaya kematian yang buruk terjadi

jika manusia melanggar pantangan tertentu atau hidup tidak sesuai dengan aturan yang

ada. Banyaknya pantangan (keikei) dalam kehidupan orang Mentawai adalah untuk menjauhkan diri dari jenis kematian ini.

Kematian yang baik menandakan seseorang telah menjalani hidup sesuai dengan

aturan yang ada dan melaksanakan pantangan-pantangan dengan baik. Jiwa yang

44 Tanah ulayat sebuah suku tidak bisa diperjualbelikan atau di bagi-bagi secara sembarangan. Tanah ini dipergunakan bersama oleh anggota suku. Status kepemilikannya adalah komunal. Beberapa orang Mentawai percaya seseorang yang ‘kesurupan’ oleh roh nenek moyang akan lari ke tempat-tempat ini, karena dimikianlah dibawa roh-roh nenek moyang.

75

meninggalkan tubuh fisik seseorang dipercaya akan hidup bahagia di laggai sabeu. Namun tubuh fisik yang sudah ditinggalkan ini akan mengundang roh lain yang dikenal

dengan sebutan pitok (Coronesse, 1986:44). Pitok ini sangat ditakuti oleh orang Mentawai karena bisa menyebabkan seseorang sakit. Untuk itu perlu dibuat upacara supaya pitok tidak lagi datang mengganggu kehidupan orang yang ditinggalkan. Ritual yang dilakukan

berbeda di beberapa daerah namun memiliki tujuan yang sama: agar jiwa mereka yang

sudah meninggal bisa dengan tenang meninggalkan rumah, keluarga, kampungnya dan

berkumpul bersama jiwa-jiwa nenek moyang.

Untuk tujuan itu rangkaian kegiatan yang dibuat antara lain pemimpin upacara akan

memerciki rumah orang yang meninggal dengan tujuan membersihkannya dari hal-hal

yang buruk. Barang-barang orang yang telah meninggal pun di keluarkan agar roh orang

yang meninggal bisa merelakannya dan diharapkan tidak lagi kembali datang untuk

mengambilnya. Dalam upacara ini kehadiran sikerei menjadi penting sebagai perantara mereka yang ditinggalkan dengan jiwa orang yang meninggal. Beberapa orang di Siberut

mengatakan bahwa ada saatnya roh orang yang meninggal ini berkomunikasi dengan

sikerei dan bercerita mengenai kematiannya atau menyampaikan pesan kepada keluarga yang ditinggalkannya. Sikeri lah yang kemudian menyampaikan informasi tersebut kepada keluarga orang yang meninggal. Dengan rangkaian tindakan tersebut

dimaksudkan sebagai upaya pendamaian antara roh orang yang meninggal dengan

keluarga dan orang-orang yang masih hidup. Dengan demikian roh orang yang meninggal

akan bisa pergi dengan tenang dan damai menuju laggai sabeu.

Sebagian orang Mentawai di Siberut masih menjalankan ritual kematian tersebut.

Walau demikian tata caranya tidak lagi seperti yang dilakukan pada jaman sebelum

76

mengadakan ibadat yang bisa juga dipimpin oleh imam dengan menggunakan doa-doa

Katolik. Air yang dipercikan yang dulunya diramu oleh sikerei digantikan dengan air suci yang telah diberkati oleh imam. Namun praktik yang telah berubah tidak serta merta

menggantikan keyakinan masyarakat Mentawai bahwa relasi yang tidak harmonis antara

manusia dan roh-roh yang ada akan mendatangkan malapetaka dan nasib sial.

Meskipun pantangan-pantangan adat masih dipertahankan oleh sebagian orang

Mentawai di Siberut dan sejumlah upacara yang berakar dari tradisi sabulungan masih dijalankan, apa yang terjadi di masa kini tidaklah sama dengan yang ada di masa lalu.

Apa yang dikisahkan Marinus Salolosit kepada penulis bisa memberi gambaran tentang

bagaimana nasib arat Mentawai itu saat ini:

Ya sekarang dibuat dengan ‘meraba-raba’ (tidak seperti dulu). Karena sudah dibakar semuanya, dan orang yang membuat itu tidak ada lagi. Sekarang kami tidak tahu lagi membuatnya. Anak-anak muda sekarang tidak mau lagi mereka. Membuat buluat, tidak tahu lagi. Kami buat pesta, begitu makan babi kami gantung saja kepala babi (di uma). Kalau sekarang ada pemerintah meminta membuat lagi buluat, kerei, seperti dulu, masih mau saya mukerei (menjadi kerei). Tapi saya takut nanti jangan-jangan dibakar lagi seperti dulu. ....

Tanya: Kalau dulu masih dilaksanakan punen dan lain sebagainya, bagaimana dengan sekarang?

Sudah berkurang. Bukan karena tidak mau, tetapi karena butuh biaya. Jadi acara-acara lia itu kami raba-raba lagi. Karena tidak ada lagi orangtua yg mengajarkan kepada kami. Ukerei, apa lagi, itu tidak tahu. Dulu saya ingin mukerei, tapi skrng ya sudah saya lupakan. Karena saya sudah tua.

Sejumlah narasumber yang penulis jumpai adalah mereka yang sudah berusia di

atas 50 tahun dan mengalami masa-masa peralihan. Mereka mengalami sendiri kehidupan

sebelum dilarangnya sabulungan hingga masa sekarang di mana sabulungan mulai ditinggalkan generasi muda. Pelarangan sabulungan secara paksa menyisakan pengalaman yang buruk bagi mereka. Namun meskipun telah memeluk agama Katolik,

77

para sikebukat ini memahami betul apa itu kearifan lokal Mentawai yang berakar dari sabulungan. Nilai-nilai budaya itu menjadi landasan yang kuat bagi relasi kehidupan manusia dan alamnya.

Walaupun seiiring perkembangan jaman tradisi sabulungan makin ditinggalkan generasi muda orang Mentawai, tradisi tersebut menyimpan nilai-nilai kearifan lokal

yang tetap relevan hingga saat ini. Dari tradisi sabulungan orang Mentawai memperlihatkan bagaimana manusia hidup selaras dengan alamnya. Keyakinan orang

Mentawai akan keberadaan roh-roh yang hadir dalam alam fisik menunjukkan adanya

relasi vertikal manusia dan yang tidak kelihatan sekaligus relasi horisontal antara manusia

dan alam fisik. Kedua relasi tersebut perlu dijaga keseimbangannya. Hutan dengan

demikian dipandang sebagai hal yang sentral dalam kehidupan manusia. Rusaknya hutan

pasti akan mempengaruhi pula kehidupan manusia. Hal ini tercermin dalam ungkapan

beberapa narasumber kepada penulis: Habis hutan, habis juga kehidupan. Budaya habis.

Kehidupan orang Mentawai pada masa lalu yang sangat bergantung dari hutan

menjadikan budaya mereka sangat bernuansa ekologi. Kalaupun praktik-praktik tradisi

sabulungan kian ditinggalkan, semangat ekologis orang Mentawai tetap relevan dan mampu memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat masa kini.

78 BAB IV