Pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, wilayah Kepulauan Mentawai
praktis secara administratif menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Barat. Posisi
kepualaun Mentawai yang jauh dari pusat pemerintahan di Padang, apalagi di Jakarta
menjadikan perkembangan wilayah tersebut terabaikan. Ditambah lagi pada masa awal
kemerdekaan hingga tahun 1950-an, pemerintah pusat masih harus menghadapi berbagai
persoalan dalam upaya menstabilkan pemerintahan yang baru saja terbentuk.
Peristiwa-peristiwa seperti Agresis Militer Belanda, pembentukan konstitusi, perang sipil, hingga
beragam aksi pemberontakan dari dalam negeri menjadi sesuatu yang menyita perhatian
besar pemerintahan saat itu.
Situasi itu menjadikan wilayah Kepulauan Mentawai sama terabaikannya dengan
keberadaan daerah-daerah terluar Indonesia yang lain. Bahkan hampir 3 dekade setelah
kemerdekaan Indonesia, gubernur Sumatera Barat masih memandang orang Mentawai
sebagai masyarakat primitif (Darmanto, 2012: 58). Keberadaan masyarakat yang
dikategorikan sebagai ‘suku terasing’ ini menjadi landasan bagi pemerintah untuk menjalankan program ‘penormalan’ sosial sehingga budaya nasional yang modern bisa merata. Tugas ‘pemberadaban nasional’ itu kemudian menjadi tanggungjawab
Departemen Sosial. Alasan tersebut menjadi sebuah landasan yang kuat bagi pemerintah
untuk menjalankan misi penghilangan ciri-ciri tradisional dan keprimitifan orang Siberut
51
Pengaruh pemerintah atas masyarakat Mentawai tampak dalam kehadiran aparat
polisi, militer, kepala pemerintahan (camat, kepala kampung), guru, hingga para pewarta
agama yang masuk ke Siberut selama periode 1950-1960-an. Dalam pandangan Persoon
(dalam Darmanto, 2012:59) kaki tangan pemerintah di lapangan inilah yang mendorong terbentuknya perkampungan-perkampungan sosial yang menggantikan struktur tertutup
uma tradisional. Kruyt (dalam Coronesse, 1986:107) menyebut uma sebagai rumah suku. Rudito (2013:49) menyebut bahwa selain merujuk pada bangunan fisik rumah tradisional
yang dimiliki sebuah suku, uma juga menjadi simbol kekerabatan yang luas disebut muntogat (lineage; Mentawai: keturunan). Sebelum terbentuknya perkampungan sosial, masyarakat Mentawai hidup di sekitar uma suku mereka yang terbatas pada wilayah tertentu saja.
Dalam situasi itu kepercayaan sabulungan yang juga mengandung budaya dan pola hidup tradisional orang Mentawai di Siberut berhadapan dengan kuasa pemerintah.
Menurut banyak cerita dari orang Mentawai di Siberut, sabulungan sudah terlebih dahulu hilang di wilayah Sikakap dan Sipora. Namun penulis tidak banyak mendapat informasi,
baik dari perbincangan dengan warga setempat maupun dari literatur mengenai
bagaimana hal itu terjadi. Kemungkinan besar lunturnya pengaruh sabulungan di wilayah selatan adalah akibat masuknya agama Protestan serta banyaknya pengaruh dari luar di
wilayah itu yang telah seringkali didatangi para pedagang pesisir Sumatera dan para
pelaut. Di Seberut perubahan yang besar terjadi justru setelah tahun 1950-an melalui
intervensi negara dengan Rapat Tiga Agama. Pertemuan tersebut – sebagaimana dicatat oleh Coronesse (1986: 38) menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Arat sabulungan harus dihapuskan, bilamana perlu menggunakan kekerasan dengan bantuan tenaga polisi.
2. Dalam tempo 3 bulan diberi kebebasan kepada penduduk asli untuk memilih salah satu agama, Islam atau Kristen Protestan. Jika sudah
52
berakhir tempo yang diberikan ternyata mereka tidak juga melakukan pilihan, semua alat-alat keagamaan arat sabulugan akan dibakar oleh polisi dan bahkan diancam hukuman.
Sabulungan dipandang sebagai bagian dari pola hidup ‘masyarakat primitif’ dan karenanya harus dihilangkan demi program ‘normalisasi’ negara. Rapat Tiga Agama33 menjadi peristiwa yang sangat jelas bagaimana pemerintah memaksakan pengaruhnya
terhadap kebudayaan lokal orang Mentawai. Agama-agama baru ‘dipaksakan’ untuk
dianut oleh masyarakat setempat tanpa adanya kesempatan yang cukup panjang untuk
mengenal agama-agama tersebut. Sabulungan yang melingkupi cara hidup dan cara pandang orang Mentawai terhadap alamnya dilarang. Dalam situasi yang dipenuhi rasa
takut akan hukuman dari aparat pemerintah bercampur dengan kebingungan untuk
meninggalkan cara hidup yang telah sekian lama dipegang, orang Mentawai di Siberut
muncul sebagai saksi bagaimana negara masuk dan mempengaruhi kehidupan mereka.
Dalam beberapa kesempatan penulis berbincang-bincang dengan sejumlah orang
Mentawai, ada berbagai keterangan yang mereka sampaikan mengenai sabulungan. Anak-anak muda usia SMP dan SMA banyak yang tidak tahu mengenai sabulungan. Secara spontan mereka mengatakan bahwa sabulungan adalah agama orang Mentawai zaman dulu. Yang lain menjawab sabulungan merupakan upacara dengan menggunakan daun-daun. Beberapa orang dewasa pun mengatakan hal yang serupa. Hal ini dapat
33 Ada 2 versi informasi mengenai perwakilan dalam Rapat Tiga Agama. Versi pertama seperti telah ditulis Coronesse (1986:38) melibatkan perwakilan dari agama Protestan, Islam, dan Sabulungan. Keterlibatan perwakilan sabulungan masih dipersoalan di kalangan beberapa informan yang penulis jumpai di lapangan. Mereka mengatakan kemungkinan perwakilan itu adalah orang Mentawai dan dipandang begitu saja sebagai representasi seluruh orang Mentawai. Kemungkinan perwakilan itu adalah orang Mentawai yang tidak lagi menjalankan tradisi sabulungan. Versi kedua (seperti ditulis Darmanto, 2012: 59) menunjukkan perwakilan yang hadir dari agama Protestan, Islam, dan Katolik. Hal ini juga disangsikan kebenarannya mengingat pada tahun 1954 misi Katolik baru saja masuk di wilayah Kepulauan Mentawai dan baru pada Desember 1954 terjadi pembaptisan umat Katolik pertama di Mentawai. Dari data tersebut, praktis sebelum akhir tahun 1954 agama Gereja Katolik belum berdiri di Mentawai.
53
dengan mudah dimengerti karena mereka mengaitkan istilah sabulungan dengan kata
dasar ‘bulug’ yang dalam bahasa Mentawai berarti daun. Memang dalam banyak upacara tradisional dedaunan ini selalu digunakan. Hal ini yang menjadikan orang dengan mudah
mengaitkan sabulungan dengan istilah ‘agama dedaunan’ dan tidak sedikit pula para
penulis yang mempertahankan definisi tersebut (bdk. Rudito, 2013: 3; Delfi, 2013: 478). Dalam keyakinan tersebut dipercaya adanya 2 dunia: dunia roh yang tak tampak dan dunia
mahkluk hidup yang nampak. Dalam keyakinan tradisional suku Mentawai, ada berbagai
istilah untuk menyebut ‘roh’. Segala sesuatu di bumi dan alam semesta ini memiliki
simagre - essensi dari semua yang hidup – dan bisa diterjemahkan dengan kata soul dalam Bahasa Inggris. Selain simagre, mahkluk hidup seperti, manusia, hewan, dan tumbuhan, juga memiliki ketsat (spirit). Setelah mahkluk hidup mati, baik simagre maupun ketsat kembali ke dunia roh (spirit world) dan menjadi sesuatu yang disebut ukkui atau kalimeu (spirits of the dead) (Juniator, 2012). Orang Mentawai juga percaya atas keberadaaan roh-roh yang menghuni alam: tumbuhan, hewan, tempat-tempat seperti
sungai, laut, dan gunung – yang keberadaanya berelasi satu sama lain dan saling mempengaruhi kehidupan manusia. Munculya penyakit, musibah, dan kematian,
merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara manusia dan roh-roh di alam tersebut.
Dan lewat ritual-ritual tertentu, misalnya dalam upacara pengobatan orang sakit (punen pabettei) atau upacara kematian (punen ke ibara samamatei), manusia – melalui bantuan sikerei - bisa berhubungan dengan dunia roh-roh tersebut. (Coronesese, 1986; Mulhadi, 2007; Juniator, 2012)
Menurut Juniator pada tahun 1950an mulai ditambahkan kata arat untuk menyebut kepercayaan tersebut, sehingga kemudian dikenal istilah arat sabulungan sebagai
54
menyebut beragam bentuk kegiatan, upacara, atau pesta. Dalam perjalanan waktu, kata
punen inilah yang digantikan dengan kata arat. Arat dalam bahasa Mentawai memiliki makna yang luas. Arat bisa merujuk pada aturan-aturan, norma-norma, tradisi, serta kebiasaan-kebiasaan setempat. Istilah arat sendiri merupakan perubahan dari kata punen. Bagi orang Mentawai kata punen mengacu pada pada perayaan, upacara, atau ritual yang dijalankan dengan serangkaian kegiatan-kegiatan. Kini kata arat sering dipahami juga sebagai kepercayaan (belief) atau ideologi. Sedangkan kata punen lebih sering mengacu pada perayaan-perayaan seremonial, atau upacara-upacara, baik dalam lingkup adat,
maupun dalam lingkup agama-agama (Juniator, 2012: 68).
Penambahan kata arat– sebagaimana ditulis Tulius Juniator (2012: 67) – muncul karena baik pemerintah maupun para missionaris pada waktu itu membutuhkan sebuah
istilah tunggal untuk menyebut beragam agama, termasuk sistem kepercayaan tradisional.
Sabulungandengan demikian dikelompokkan dalam kategori ‘agama’ (religion) dengan penambahan kata arat, kata yang sama yang digunakan untuk menyebut arat Islam, arat Katolik, arat Protestan. Munculah pembedaan antara arat puaranan (kepercayaan agama-agama samawi: Katolik, Protestan, Islam) dan arat sabulungan. Kata puaranan sendiri dalam bahasa Mentawai sering digunakan untuk merujuk pada ‘agama’.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945, terjadinya pemberontakan
DI/ TII serta meningkatnya jumlah aliran kepercayaan mendorong pemerintah melalui
Kementerian Agama untuk mengatur legalitas dan penyeragaman agama. Bahkan tahun
1952, Kementerian Agama menyatakan bahwa untuk bisa diakui negara, sebuah agama
harus mengandung unsur-unsur: 1) merupakan pewahyuan dari Tuhan, 2) Memiliki nabi
dan 3) kitab suci, 4) memiliki sistem peraturan bagi para penganutnya, dan yang lebih
55
saja (Picard and Remi Madiner, 2011: 13; Ropi, 2017: 119). Alamsjah Ratu
Prawiranegara yang menjabat sebagai menteri agama periode 1978-1983 justru
berpendapat bahwa kepercayaan lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat adat di
berbagai tempat di Indonesia tidak seharusnya dipandang sebagai agama baru di
Indonesia melainkan sebagai budaya daerah (culture). Oleh karena itu menurut Alamsjah, keberadaan aliran kepercayaan tersebut menjadi tanggungjawab Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan, dan bukan berada di bawah naungan Kementraian Agama ( Ropi, 2017:
145). Aliran kepercayaan yang dimaksud tersebut meliputi juga yang kepercayaan lokal
yang kini kita kenal seperti: Sunda Wiwitan di Jawa Barat (antara lain di wilayah Banten,
Cirebon, Kuningan), Kaharingan di Kalimantan, Marapu di Sumba, Kejawen di Jawa,
dan dalam kasus yang akan diulas dalam tesis ini adalah sabulungan di Kep. Mentawai, Sumatera Barat.
Rapat Tiga Agama dengan demikian tercatat dalam sejarah dan banyak penelitian
mengenai Mentawai sebagai peristiwa yang mengawali pelarangan negara atas
sabulungan. Meskipun demikian dalam kenyataanya, sebagaimana juga penulis amati selama bertugas di Siberut periode tahun 2012-2014, masih bisa dijumpai orang-orang
Suku Mentawai yang mempraktikkan ritual-ritual yang berkaitan dengan tradisi
sabulungan. Saat ini kendati telah banyak orang Mentawai yang menganut agama Protestan, Katolik, dan Islam, kepercayaan akan adanya roh-roh ini belum hilang.
Ungkapan ‘awas iorak kise’ (Mentawai: awas kena kise) sering penulis dengar dari anak-anak setempat ketika mereka berada di hutan atau mendatangi tempat-tempat baru
didatangi. Kata-kata itu menunjukkan kekhawatiran agar jangan sampai kita melakukan
sesuatu yang mengganggu keberadaan roh-roh di alam. Sebab, jika roh-roh itu
56
seorang anak sakit, meskipun sudah ada pelayanan puskesmas, tidak jarang orang tua
anak tersebut memanggil sikerei guna mengadakan ritual pengobatan. Mereka percaya sakit si anak terjadi karena roh anak tersebut (dikenal dengan istilah simagere) berada di suatu tempat atau telah bersentuhan dengan roh-roh yang ada di alam. Oleh karena itu
upacara pemanggilan simagre oleh sikerei perlu dibuat agar roh anak tersebut kembali dan ia bisa sembuh. Ritual-ritual semacam itu masih banyak dijalankan oleh orang
Mentawai hingga saat ini. Bahkan pantangan-pantangan atau dalam bahasa Mentawai
dikenal dengan istilah keikei masih tetap diikuti ketika hendak melakukan suatu aktifitas. Kepercayaan akan keberadaan roh-roh yang hidup bersama manusia dan saling
mempengaruhi satu sama lain menjadikan budaya sabulungan belum sepenuhnya musnah dari sanubari orang Mentawai.
E.Memudarnya Sabulungan dari Kehidupan Orang Mentawai
Banyak literatur menyebut bahwa Rapat Tiga Agama tahun 1954 menjadi awal
pelarangan sabulungan di Siberut. Namun dalam perjumpaan dengan sejumlah orang di wilayah Siberut Selatan, penulis sering memperoleh informasi yang simpang siur.
Sebagian dari orang Mentawai tidak mengetahui mengenai sama sekali mengenai
pertemuan Tiga Agama tersebut. Hanya segelintir orang yang pernah menduduki jabatan
pemerintahan seperti kepala desa, atau mereka yang berkarya sebagai guru atau guru
agama Katolik yang mengiyakan adanya pertemuan tersebut sekitar tahun 1955:
Memang benar tahun 1955 ada rapat tiga agama di kecamatan kita disini. Waktu itu kalau ndak salah camat Dulah namanya, orang Pariaman. Rapat Tiga Agama diundanglah tokoh-tokoh masyarakat. Tokoh-tokoh agama, berkumpul di kecamatan kita. Yang hadir itu ada yang mewakili agama Islam, Protestan, Katolik, makanya disebut rapat Tiga Agama.34
57
Walau demikian hampir semua orang yang penulis jumpai mengingat peristiwa
pembakaran buluat (rangkaian akar-akaran dan rotan yang terdapat di uma dan diyakini sebagai tempat roh pelindung atau penjaga), aksesoris ritual dan budaya di uma serta peralatan sikerei yang terjadi di Siberut. Mereka semua dengan lancar menceritakan peristiwa tersebut dengan cukup detail. Dikisahkan pada masa itu terjadi pembakaran
buluat dan alat-alat kerei. Pelakunya justru bukan orang sasareu (orang dari luar Mentawai). Figur yang sangat lekat dengan ingatan para orang-orang tua mengenai
peristiwa pembakaran itu adalah orang-orang yang berasal dari Sikakap (mereka
menyebutnya Sakalagat) yang menjadi polisi dan beragama Protestan.
Sebagian dari mereka tidak mengingat tahun terjadinya peristiwa pembakaran
tersebut dengan jelas. Namun dari wawancara sejumlah tokoh masyarakat dan penduduk
setempat, peristiwa pelarangan sabulungan di Mentawai terjadi lebih dahulu di wilayah selatan, yakni di daerah Sikakap (P. Pagai Utara dan P. Pagai Selatan) dan Sipora. Di
sanalah agama Protestan pertama kali masuk pada tahun 1900-an. Para misionaris Katolik
yang datang ke P. Siberut pada tahun 1954 dan 1960-an menyatakan bahwa pada periode
tersebut wilayah Sikakap dan Sipora telah lebih modern dibanding dengan Siberut. Akan
tetapi penulis tidak mendengar bagaimana peristiwa pelarangan tersebut terjadi di
wilayah Sikakap dan Sipora.
Beberapa warga mengatakan bahwa program pelarangan sabulungan dimulai di wilayah selatan (Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora). Tidak ada cerita mengenai situasi
pelarangan sabulungan di wilayah Sikakap dan Sipora yang disampaikan oleh beberapa orang yang penulis wawancara. Yang jelas, ketika polisi-polisi orang Sikakap yang
58
terutama di Siberut Selatan, sekelompok warga masyarakat berusaha menentang dan
melawan. Beberapa dari mereka menyembunyikan alat-alat yang dianggap sakral dan
penting ketika polisi terjun ke lapangan dan menggeledah uma mereka. Ada pula warga yang membuat tiruan dari alat-alat kerei dan menyerahkan kepada polisi untuk dibawawa ke pusat kecamatan dan dibakar.
Dalam ingatan orang Mentawai yang penulis jumpai peristiwa pembakaran tersebut
begitu membekas dan menyisakan trauma. Beberapa dari mereka dengan terus terang
mengatakan jika penulis berasal dari wilayah selatan (Sikakap atau Sipora), mereka tidak
akan menceritakan kisah tersebut dan bahkan mengusir kami. Beberapa orang tua tampak
begitu emosional ketika mengingat dan menceritakan kembali peristiwa tersebut. Mereka
yang menolak untuk melepas aksesoris yang dikenakan atau melawan bisa dihukum
dengan dipukul atau ditahan di ibu kota kecamatan. Seorang mantan guru katekis pribumi, Bapak Mikael Sabaggalet, menceritakan apa yang dilihatnya waktu itu:
Ah itu di tahun 1952. Pembakaran kerei masal, di mana -mana. Saya di Sagulubbe. Terakhir mereka datang ke Sagulubbe. Ke kampung lain dibakar, ke Sarereiket, ke Silaoinan. Itu yg membakar orang polisi. Kebetulan polisi ini agama Protestan. Kalau tidak dibakar, dihukum. Atau dipukul. Ah itu polisi. Kebanyakan polisi dulu dari Sikakap dan Sipora. .... Mereka bakar buluat. Bakar. Oh kasihan kita ini. Kan sudah penuh daun-daun itu mereka bakar.35
Pelarangan sabulungan di Siberut masih membekas di hati dan ingatan sejumlah warga. Bahkan mereka yang tinggal di wilayah sepanjang Sungai Rereiket juga masih
mengingat peristiwa tersebut. Di wilayah itu, tradisi dan budaya khas orang Mentawai
masih bisa dijumpai, sebab pada masa lalu, wilayah tersebut sulit dijangkau dan mereka
yang hidup di wilayah itu mengadakan perlawanan ketika pihak polisi datang dan
59
mencoba memusnahkan budaya mereka. Hingga saat ini masyarakat di wilayah tersebut
dikenal sebagai penjaga tradisi Mentawai yang masih bertahan.
Walau demikian mereka juga mengakui kalau tidak banyak lagi ritual-ritual yang
bisa dibuat seperti jaman dahulu, seperti umpamanya ritual sinuruk yaitu upacara mendirikan uma baru. Ritual inisiasi pasca kelahiran seorang anak, seperti pangabela, pangambok, dan eneget juga sudah mulai ditinggalkan. Pada masa lalu, ritual pangabela misalnya, harus dilakukan sebelum anak yang baru lahir bisa dibawa keluar rumah. Hal
ini bertujuan agar roh sang anak terbiasa dengan roh-roh yang ada di alam sekitarnya.
Perbincangan dengan seorang sikebukat (orang yang dituakan) di Ugai mengataka bahwa situasi yang ada saat ini sudah tidak memungkinkan lagi melakukan ritual-ritual seperti
jaman dulu. Mereka yang beragama Katolik misalnya, telah merasa cukup jika anak
mereka telah dibaptis di gereja. Walau demikian para orang tua itu mengatakan masih
tahu tata cara pelaksanaan ritual-ritual tersebut andaikata ingin dibuat kembali.
Seorang sikebukat (Mentawai: orang yang dituakan) di dusun Ugai malah menyebut bahwa kehadiran sekolah juga dipandang sebagai sesuatu yang mengubah pola pemikiran
anak muda Mentawai. Karena sejak kecil mereka harus bersekolah anak-anak tersebut
tidak mengerti lagi cara berladang, cara berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Hutan
tidak lagi menjadi sesuatu yang penting bagi hidup anak-anak muda ini. Hutan dipandang
berharga dari segi ekonomisnya saja. Kayu dan hasil hutan lain sekedar dipandang
menguntungkan jika bisa dijual dan menghasilkan uang. Pekerjaan yang dilakukan di
kantor atau menjadi pegawai pemerintah lebih tampak menarik dibandingkan
mengumpulkan hasil hutan, berburu atau berladang. Hal ini tentu berbeda dengan cara
pandang orang tua yang melihat hutan dan ladang sebagai sumber kehidupan yang harus
60
dibuat. Ritual panaki dan tinungglu yaitu upacara memberi sesaji yang diadakan sebelum menebang pohon untuk membuka ladang baru mulai ditinggalkan. Busur dan anak panah
digantikan dengan senapan, dan kampak serta parang digantikan gergaji mesin.
Tanah-tanah pun dengan begitu mudahnya dijual kepada para pendatang sehingga dengan cepat
61 BAB III
SABULUNGAN, PANDANGAN HIDUP DAN