• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada masa pemerintahan Orde Lama, Departemen Agama pada tahun 1953

mencatat begitu banyak agama baru dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia. Saat

itu tercatat 360 agama baru dan aliran kepercayaan. Hal itu melatarbelakangi pemerintah

menerbitkan Surat Keputusan Perdana Menteri Nomor 167/PM/195431 – atas usulan Kejaksaan Agung – yang mengesahkan berdirinya Panitia Interdepartemen Peninjau Aliran-aliran Kepercayaan di dalam masyarakat (Panitia Interdep Pakem). Tugas badan

tersebut adalah:

a) Mempelajari dan menyelidiki bentuk, corak dan tujuan dari

kepercayaan-kepercayaan dalam masyarakat berserta dengan cara-cara perkawinan yang terjadi

di dalam masyarakat.

b) Memperhatikan, mengusulkan kepada Pemerintah

peraturan-peraturan/undang-undang yang mengatur apa yang tersebut pada huruf (a) di atas dan membatasinya

47

untuk ketentraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang

demokratis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam pasal 22 UUD

Sementara R.I.

Pada tahun yang sama di Mentawai diadakan Rapat Tiga Agama yang hasilnya

merugikan masyarakat Mentawai di Siberut yang masih kental menghidupi sabulungan (Coronesse, 1986: 38; Corbey, 2003:14). Peristiwa tersebut muncul karena

dilatarbelakangi upaya pemerintah mentertibkan agama-agama dan aliran-aliran

kepercayaan yang ada di daerah-daerah. Orang-orang Mentawai di Siberut

berduyun-duyun menganut agama Katolik dan Protestan yang saat itu baru masuk di wilayah

tersebut. Bahkan mereka yang telah menganut agama Baha’i juga berpindah sebab Baha’i tidak termasuk agama yang diakui pemerintah Indonesia. Agama Baha’i telah dilarang

keberadaanya oleh pemerintah Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 264

Tahun 196232 yang diterbitkan pada 15 Agustus 1962. Pada tahun 1959 Pakem diubah

menjadi Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (BAKOR PAKEM).

Keberadaan Pakem pada perkembangannya menjadi semacam ‘polisi’ bagi keberadaan

aliran-aliran kepercayaan. Petugas Pakem di daerah-daerah dengan teliti dan teratur

mengadakan pertemuan dengan para pemuka aliran kepercayaan. Para pemeluk aliran

kepercayaan juga perlu meminta izin ketika hendak mengadakan pertemuan-pertemuan

rutin, entah yang bernuansa kerohanian maupun keorganisasian (Stange, 2007). Adanya

peraturan pemerintah untuk mentertibkan gerakan aliran kepercayaan lokal

mengakibatkan sejumlah penganut aliran kepercayaan berusaha mendapat pengakuan

dari negara. Dalam kasus di Mentawai, tidak ditemukan upaya masyarakat lokal untuk

32 Surat Keputusan Presiden No.264 Tahun 1962 ini kemudian dicabut dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 69 Tahun 2000 oleh Presisn KH. Abdurrahman Wahid pada 23 Mei 2000.

48

meminta pengakuan atas sabulungan sebagai aliran kepercayaan. Sebab dengan memeluk agama Katolik dan Protestan, secara sosial mereka merasa aman sebab kedua agama

tersebut merupakan agama yang diakui oleh pemerintah.

Kehadiran para misionaris Xaverian pada tahun 1954 yang memberikan perhatian

pada budaya lokal memberikan angin segar bagi orang Mentawai dan tradisi budayanya.

Dengan berlandaskan pada semangat inkulturasi, para misionaris tidak serta merta

melarang praktik sabulungan dan membakar benda-benda budaya sebagaimana dilakukan pada masa itu. Orang Mentawai yang kemudian memeluk agama Katolik pun

masih dengan bebas menjalankan praktik ritual budaya mereka. Bahkan dalam

perkembangan misi Katolik selanjutnya, para misionaris bersama dengan guru-guru

agama setempat, berusaha mempelajari budaya Mentawai, mengambil nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya serta kemudian mempergunakannya dalam kegiatan pendidikan

dan pengajaran agama. Dalam hal ini, kehadiran para misionaris Xaverian memberikan

kontribusi bagi pelestarian budaya lokal di Mentawai.

Kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru bertujuan membangun semacam

identitas tunggal bangsa dan salah satu pilarnya adalah pilar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bagian ini ditafsirkan secara umum bahwa sebagai warga negara Indonesia seseorang

harus mengakui sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan konsekuensi logisnya mereka

merupakan penganut agama ‘resmi’ yang diakui pemerintah Indonesia. Dalam kerangka

pemikiran ini mereka yang berada di luar kategori tersebut dipandang sebagai orang yang

‘belum bergama’. Secara dangkal kelompok yang ‘belum beragama’ dipandang sebagai

antara belum mengakui sila Ketuhanan Yang Maha Esa atau belum menjadi penganut

49

‘membudayakan’ kelompok masyarakat tersebut sehingga secara utuh bisa diakui sebagai

warga negara Indonesia (Ropi, 2016: 155).

Pasca 1965, gerakan ‘pendisiplinan’ agama-agama dan aliran kepercayaan oleh pemerintah semakin ditingkatkan. Sentimen atas komunisme menjadi isu yang

melatarbelakangi ketatnya upaya pemerintah mentertibkan aliran-aliran kepercayaan

yang ada di Indonesia. Kerangka pemikiran yang dangkal megeneralisasi para penganut

komunisme sebagai orang-orang yang tidak beragama. Dampaknya pemerintah

mewajibkan seluruh warga masyarakat untuk menganut salah satu agama yang ditetapkan

oleh pemerintah. Dalam TAPPRES No.1 Tahun 1965, dicantumkan bahwa agama-agama

yang diakui pemerintah adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu

(Confusius). Mereka yang tidak memeluk salah satu dari 6 agama tersebut akan

dipandang sebagai belum beragama dan sangat mungkin disinyalir sebagai penganut

komunisme. Bagi orang-orang Mentawai di Siberut, kebijakan pemerintah pasca 1965

tersebut semakin mempertegas apa yang telah dilakukan pada tahun 1954 dengan Rapat

Tiga Agama. Mereka didorong untuk menganut salah satu agama yang diakui pemerintah

Indonesia agar terhindar dari label ‘orang tidak beragama’ yang akan dengan mudah

ditafsirkan sebagai dukungan terhadapa komunisme.

Pada masa reformasi dan dengan masuknya perjuangan atas HAM, sejumlah

penganut aliran kepercayaan di Indonesia seperti Parmalim di Sumatera Utara,

Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Marapu di Sumba,

berupaya mendapat pengakuan dari pemerintah. Namun tidak demikian dengan

orang-orang Mentawai di Siberut. Tidak ditemukan upaya terbuka masyarakat Mentawai untuk

memperjuangkan pengakuan negara atas sabulungan sebagai aliran kepercayaan lokal yang independen. Mereka tetap memeluk agama Protestan, Katolik, dan Islam.

Ritual-50

ritual sabulungan masih dihidupi sejumlah orang di Siberut dan dipandang sebagai bagian dari budaya Mentawai – terutama bagi mereka yang menganut agama Katolik.