• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOMINASI NEGARA DAN PERLAWANAN ORANG MENTAWAI

B. Siasat Sikebukat dan Pemerhati Sabulungan

James C. Scott berpendapat bahwa selain perlawanan terbuka dan frontal

terhadap kelas yang mendominasi terdapat pula model perlawanan ‘terselubung’ yang

menjadi senjata kelas petani dan kelompok-kelompok minoritas. Model perlawanan

demikian tidak membutuhkan gerakan terstruktur, orasi dan demo besar-besaran, atau

revolusi besar-besaran. Apa yang disebut oleh Scott sebagai tindakan protes sambil

menghindar ini terjadi dalam hal-hal sederhana dalam hidup sehari-hari. Situasi demikian

85

mempertahankan tradisi sabulungan ditengah pengaruh ideologi pembangunan negara dan hadirnya agama-agama samawi.

Bentuk perlawanan para sikebukat atas gerakan pelarangan sabulungan yang muncul pertama kali adalah dengan melarikan diri dan menghindar. Ketika polisi mencari

dan membakar buluat dan melarang sikerei menjalankan ritual-ritual, sejumlah orang Mentawai yang mendengar atau mengetahu hal tersebut melarikan diri ke desa-desa di

hulu sungai. Daerah ini sulit dijangkau oleh polisi. Selain itu, para sikebukat yang pada masa mudanya mengalami sendiri perlakuan para polisi yang berupaya memusnahkan

atribut budaya mereka, mencoba menyembunyikan atau membuat benda-benda tiruan

untuk mengelabui para polisi. Apa yang diceritakan Yohanes Salakoppak memberi

gambaran akan upaya menghindar tersebut:

Kadang-kadang marah dia. Kadang-kadang lari. Datang, misalnya ada polisi, lari. Kadang-kadang barangnya itu disembunyikan. Kami dulu, bapak saya sikerei. Lalu barang-barang budaya itu, kalau datang polisi kami sembunyikan.

Jejeneng (giring-giring atau lonceng kecil), baklu, leilei, dan salipak (semacam tempat untuk menyimpan alat-alat kerei), yang penting dalam ritual-ritual disembunyikan ketika didengar datangnya polisi ke tempat mereka. Selain itu, ritual-ritual sabulungan diadakan secara sembunyi-sembunyi. Alih-alih secara terbuka mengastakan bahwa

mereka masih menjalankan sabulungan, ritual-ritual tersebut ditampilkan sebagai kegiatan budaya. Tindakan ini dipandang lebih menguntungkan dari pada konfrontasi

fisik yang sudah jelas akan membawa orang-orang Mentawai ini di posisi yang kalah.

Siasat yang lain tampak dalam sikap patuh orang-orang Mentawai untuk menganut

86

misalnya berusaha memperoleh pengakuan negara dengan jalan mengadakan gerakan

struktural dan bernaung pada agama Hindu, orang Mentawai di Siberut justru dengan

terbuka memilih menganut salah satu agama yang diakui pemerintah. Di Siberut,

sebagian besar orang Mentawai memilih untuk beragama Katolik yang hadir justru di

awal program ‘penertiban’ sabulungan di tahun 1954. Dengan tradisi inkulturasi Gereja Katolik yang memberi ruang pada ekspresi budaya setempat, orang Mentawai di Siberut

melihat adanya peluang untuk tetap menjaga tradisi sabulungan. Siasat ini juga dirasa

mampu ‘menyelamatkan’ mereka dari label ‘orang tidak beragama’ yang dengan mudah diasosiasikan sebagai anti Pancasila dan penganut paham komunis.

Kita telah melihat bagaimana para generasi tua orang Mentawai di Siberut mencoba

menjaga ingatan mereka akan tradisi sabulungan dan menghidupinya sebisa mungkin. Walau jaman sudah berubah dan dampak modernisasi tidak bisa dielakkan lagi, nilai-nilai

kearifan lokal tidak begitu saja mereka tinggalkan. Kendati telah menganut agama resmi,

seperti Katolik, sebagian dari mereka tidak begitu saja meninggalkan cara hidup

tradisional. Keikei dan puliaijat tetap dijaga dan dijalankan berdampingan dengan kegiatan di Gereja sebagaimana umat Katolik pada umumnya. Seperti terungkap dalam

perbincangan bersama Teu Jablai di dusun Ugai:

Jangan karena sabulungan kalian, lalu di tinggalkan gereja (Katolik), tidak ke berdoa di gereja. Datang pastor buat misa kita ikut. Justru baik, kita sabulungan sekaligus ada puaranan (agama). Pantangan yang ada di Katolik sama halnya juga pantangan di sabulungan. Sama halnya pada hari Minggu, kita tidak boleh kerja keras seperti menebang pohon atau membuka ladang. Kalau dilanggar kita akan ditimpa pohon, atau terkena parang.

Apa yang dikatakan Teu Jablai menyiratkan apa yang dirasakan sebagian kaum tua orang Mentawai. Kalangan ini tampaknya masih berusaha mempertahankan warisan

87

budaya lokal sabulungan kendati telah memeluk agama Katolik. Bisa disimak bagaimana sabulungan dibedakan dari puaranan (agama). Di Mentawai, puaranan selalu merujuk

pada ‘agama-agama’ selain sabulungan. Pembedaan yang ditanamkan para misionaris awal dan pemerintah mengenai arat sabulungan dan arat puaranan masih mewarnai bagaimana golongan tua ini menghidupi keyakinan mereka. Ketika ditanya apakah lebih

baik kembali kepada sabulungan dan meninggalkan agama Katolik, Teu Jablai mengatakan demikian:

Oh tidak bisa. Tak bisa tinggalkan agama Katolik. Tapi kalau ada upacara pangurei, pabetei, memelihara babi, itu kan tidak bisa pakai carai lain, jadi kami pakai adat mentawai. Tapi kalau ada berminggu, ya kami pergi. Secara umum, sabulungan sebagai budaya dan tidak bisa ditinggalkan. Katolik menjadi agama. Akan jadi dilema, kalau kita mengabaikan pantangan, bisa terjadi musibah. Jadi kita tidak bisa meninggalkan pantangan adat. Kita bisa kena musibah.

Menghidupi budaya Mentawai (arat sabulungan) dan juga beragama (arat puaranan) masih mereka pandang sebagai bentuk perlawanan terbaik. Jika hanya menjalankan arat sabulungan mereka akan menempatkan diri di posisi yang bertentangan dengan anjuran pemerintah; yakni memiliki agama. Mereka juga akan diberi label sebagai

masyarakat yang belum maju, karena belum beragama. Namun di sisi lain mereka tetap

menjaga praktik-praktik sabulungan: menjaga pantangan (keikei) untuk beternak dan berburu, mengadakan ritual inisiasi kelahiran, perkawinan (pangureijat), kematian (panunggru), termasuk mempertahankan fungsi sikerei dalam pengobatan tradisional –

di mana pengaruh roh-roh alam menjadi salah satu penyebab seseorang sakit. Mereka

tidak mengatakan bahwa agama mereka adalah sabulungan. Mereka akan mengatakan bahwa ritual-ritual tersebut adalah budaya Mentawai. Dari luar orang akan melihat bahwa

88

beribadah di Gereja dan Mushola serta menjalankan pesta-pesta keagamaan

masing-masing. Penampakkan dari luar ini yang oleh James Scott disebut public transcript, memperlihatkan bagaimana relasi orang Mentawai dengan pemerintah dan kelompok

pewarta agama yang masuk. Sementara itu di sisi lain, di bawah permukaan, orang

Mentawai tetap menjaga dan menjalankan tradisi sabulungan – meskipun tidak seketat apa yang dihidupi nenek moyang mereka di masa sebelum hadir agama-agama. Praktik

menjalankan tradisi sabulungan ini yang merupakan perwujudan hidden transcript dalam pandangan James Scott.

Keberadaan dan pengaruh sikebukat (kaum tua) di sebuah wilayah, dalam hal ini di Siberut Selatan dan terlebih lagi di wilayah Sarereiket yang penulis amati selama

penelitian, menjadikan tradisi sabulungan tidak cepat terkikis. Mereka masih berusaha mengajarkan tradisi lokal kepada generasi yang lebih muda. Bagaimana beternak babi –

yang menjadi kurban yang penting dalam pesta-pesta budaya di Mentawai, berladang,

menyambut kelahiran, pernikahan, upacara penyembuhan orang sakit, dan juga

bagaimana mengadakan ritual bagi orang yang meninggal. Teu Jablai menceritakannya kepada penulis bagaimana caranya agar generasi muda tidak melupakan tradisi mereka:

Bisa itu. Misalnya saya mau beternak babi, itu caranya saya ajarkan ke anak-anak saya. Lalu misalnya ada punen, punen kelahiran, mereka sudah tahu caranya. Saya ajarkan. Tidak hilang. Kalau kami memelihara babi di tanah orang lain (di luar Mentawai), tidak akan bisa bertahan. Antara hilang babi, atau dimakan orang. Budaya Mentawailah yang bisa mengembalikan babi yang hilang itu. Budaya mentawai le ireddet (yang berlaku).

Orang muda di sini belajar dari orangtua mereka dan pada saatnya nanti mereka yang

akan mengambil peran dalam upacara-upacara adat tersebut. Inilah siasat kedua yang

dilakukan oleh orang Mentawai untuk menjaga tradisi mereka. Mereka menganut

89

kehidupan sehari-hari tradisi sabulungan tetap dihidupi sebagai bagian dari budaya Mentawai.

Saat ini sebagian orang Mentawai generasi muda mengatakan bahwa praktik

sabulungan sudah tidak ada lagi. Tindakan ini dalam pandangan penulis merupakan siasat lain untuk mempertahankan budaya Mentawai tanpa dicap sebagai masyarakat primitif

yang belum maju. Istilah sabulungan bagi kelompok ini memiliki konsep yang berkaitan dengan budaya masa lalu, masa di mana Mentawai belum mengenal agama-agama dan

gaya hidup modern. Ritual-ritual adat yang kini tetap dijalankan disebut sebagai wujud

budaya Mentawai, tanpa menyinggung soal sabulungan. Dalam hal ini tampak bagaimana peristiwa pelarangan sabulungan, kehadiran pemerintah dan misionaris, berhasil membuat sabulungan– yang pada mulanya menjadi cara hidup orang Mentawai – tampak sebagai sesuatu yang usang, ketinggalan jaman, dan atas nama kemajuan, perlu

ditinggalkan. Penggantinya adalah agama-agama baru, yang datang dari luar, yang

dikaitkan dengan gaya hidup orang modern, yakni: meninggalkan animisme dan

menganut agama monoteis. Dari luar tampak bahwa sabulungan memang telah ditinggalkan, dan mayoritas orang Mentawai telah menganut agama: Protestan, Katolik

dan Islam. Namun di balik semua itu, warisan sabulungan masih hidup dalam budaya Mentawai saat ini. Dalam hal ini peranan kaum muda menjadi penting sebab jika mereka

enggan menjaga budaya tersebut apa yang diajarkan oleh generasi tua akan terhenti. Jika

hal itu terjadi, nilai-nilai kearifan lokal yang berakar dari tradisi sabulungan akan benar-benar hilang. Dan kali ini proses tersebut berlangsung dalam situasi kebebasan, tanpa

90 C. Ekspresi Sabulungan

Dalam bagian ini penulis mencoba memaparkan unsur-unsur budaya Mentawai

yang berakar dari tradisi sabulungan. Meskipun penulis tidak pernah mendengar ungkapan terbuka bahwa sabulungan masih hidup di kalangan sebagian orang Mentawai di Siberut, fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan hal yang lain. Peristiwa

pelarangan sabulungan di masa lalu dan proses terjadinya yang melibatkan unsur intimidasi, kekerasan dan paksaan, sebagaimana penulis uraikan, berhasil menimbulkan

trauma. Rangkaian tindakan diskriminatif terhadap sabulungan menyebabkan tradisi tersebut diasosiasikan sebagai ciri masyarakat tertinggal, primitf, karena masih kental

dengan unsur animisme. Sebelum tahun 1980-an, karena ketakutan akan kontrol polisi,

ritual-ritual sabulungan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Menurut Yohanes Salakoppak setelah tahun 1980-an, sikap pemerintah mulai

longgar dan sebagian besar orang Mentawai telah menganut agama resmi pemerintah,

mereka merasa lebih bebas mengekspresikan diri dalam upacara-upacara adat.

Agama-agama resmi tidak ditinggalkan dan upacara tradisional yang mereka lakukan

diperkenalkan sebagai bagian dari budaya Mentawai. Penggunaan istilah sabulungan dihindari dan dipilih istilah budaya sebagai gantinya. Beberapa dari orang Mentawai yang

penulis jumpai menyatakan bahwa sabulungan adalah agama lama yang sudah ditinggalkan. Sebagian lagi mengatakan itu merupakan agama jaman dulu yang

menyembah sanitu (setan). Mereka mengasosiasikan sabulungan dengan gaya hidup orang yang belum maju dan sudah dihilangkan dengan adanya agama resmi pemerintah

dan pembangunan. Namun di beberapa daerah, sabulungan – meskipun tetap tidak dinyatakan secara terbuka – masih dijaga keberadaannya.

91

Di wilayah Siberut Selatan, terlebih di wilayah Sarereiket, praktik budaya

Mentawai yang berakar dari tradisi sabulungan masih bisa dijumpai. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya penghayatan sabulungan masih dihidupi oleh orang Siberut. Masyarakat masih percaya bahwa penyakit tertentu disebabkan karena roh

(simagre) tertinggal di suatu tempat atau berjumpa dengan roh yang ada di alam. Mereka juga percaya nasib sial yang terus menimpa dikarenakan ada ritual tertentu seperti eneget atau pangureijat belum dilaksanakan. Misalnya anak yang belum menjalani ritual eneget akan kurus, atau sering sakit, demam, dan tampak tidak bersemangat. Punen panunggru bagi orang yang meninggal dunia juga masih dipraktikkan kerena diyakini akan

menjauhkan mereka dari nasib sial. Bagi mereka yang menjadi sikerei pantangan seperti memakan sejenis belut atau monyet berbulu putih jika dilanggar akan menyebabkan

penyakit dan bahkan kematian. Hal itu tampak dalam apa yang disampaikan Thomas

Tatebburuk – yang ayahnya adalah seorang sikerei – di Dusun Puro:

Selama jadi sikerei, selama seumur hidup, tidak boleh makan itu. Kecuali ada juga yang tidak mau makan belut itu, seperti kita kan. Saya tidak mau makan. Karena ada apa itu, masih ada bau-bau sikerei pada saya. Kalau saya makan timbul penyakit. Jadi ndak boleh dimakan. Kecuali, hanya belut yg tidak boleh dimakan sama saya. Kalau joja (salah satu primata endemik) yang simabulau (putih) dan lain-lain boleh dimakan. Itu pantangnnya. Paling pantang itu belut itu.

Upaya revitalisasi tampak dalam peran para sikebukat yang memahami budayanya dan merasa perlu untuk menurunkannya kepada generasi muda. Para sikebukat dalam hal tertentu masih turut berperan dalam ritual-ritual adat. Mereka menjadi penghubung antara

generasi orang Mentawai terdahulu dan generasi muda saat ini. Dengan hadirnya para

sikebukat keturunan mereka masih bisa menyaksikan bagaimana upacara-upacara tersebut dibuat. Di desa yang jauh dari pusat kecamatan ritual-ritual budaya masih sering

92

dengan terbatasnya sekolah di dusun-dusun, anak-anak Mentawai sering harus pergi ke

pusat desa atau kecamatan dan tinggal di sana selama masa sekolah. Hampir seluruh

kehidupan mereka dihabiskan di asrama pelajar atau kediaman sanak saudara mereka

yang jauh dari kampung halaman. Situasi ini menjadikan anak-anak tersebut tidak

mengalami lagi kehidupan tradisional di kampung mereka.

Kehidupan di kota kecamatan lebih modern dan maju. Ritual-ritual tradisional yang

masih sering dilaksanakan di kampung halaman mereka tidak ditemui di kota kecamatan.

Masyarakat di kecamatan juga lebih heterogen. Anak-anak ini akan bertemu dengan

teman-teman mereka yang datang dari berbagai kampung yang jauh dan bahkan dari

daerah-daerah di luar pulau Siberut. Perbedaan masing-masing daerah dipersatukan oleh

kesamaan bahwa mereka adalah orang Mentawai dan oleh karena itu mengenal budaya

Mentawai secara umum menjadi hal yang penting dalam proses pendidikan mereka.

Upaya revitalisasi yang lain muncul dari orang-orang yang merasa penting

mengajarkan nilai-nilai budaya Mentawai melalui pendidikan formal. Selama berada

dalam wilayah administratif Padang Pariaman, yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah

budaya Minangkabau dengan pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau). Di Siberut,

sekolah milik Yayasan Prayoga, SD St. Maria, pada tahun 1990-an telah mulai

mengajarkan budaya Mentawai atau yang kemudian disingkat ‘Bumen’ secara mandiri

dan dimasukkan dalam bahan pengajaran muatan lokal. Hal ini dilakukan agar para

peserta didik mengenal budaya Mentawai. Dalam bahan pengajaran Bumen tersebut

diperkenalkan mengenai dimensi geografi, sosial, dan budaya Mentawai. Kebijakan ini

muncul dari kalangan orang-orang yang peduli terhadap pelestarian nilai-nilai budaya

93

dominan dengan kebudayaan Minangkabau, orang Mentawai memiliki budayanya sendiri

yang perlu juga dipelajari dan dilestarikan.

Kini setelah terbentuk Kabupaten Kepulauan Mentawai dan banyak orang

Mentawai yang duduk di pemerintahan, pengajaran muatan lokal Budaya Mentawai

(Bumen) di sekolah makin dikembangkan. Saat ini menurut keterangan yang penulis

peroleh dari kepala cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Siberut Selatan, Bumen telah

menjadi bahan pengajaran wajib bagi siswa-siswa sekolah dasar di seluruh kabupaten.

Materi pengajaran Bumen disusun oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan LSM

Yayasan Citra Mandiri (YCM). Inilah yang menjadi salah satu upaya pemerintah daerah

Mentawai untuk merevitalisasi nilai-nilai budaya Mentawai. Sabulungan sebagai suatu cara hidup tradisional orang Mentawai memang tidak akan muncul lagi seperti masa lalu.

Akan tetapi nilai-nilai budaya lokal yang terkandung di dalamnya diusahakan agar tidak

lenyap dan dilupakan.

Selain dalam bidang pendidikan upaya untuk merevitalisasi nilai-nilai budaya

tampak dalam inkulturasi Gereja Katolik. Hal ini dilakukan sejak awal kehadiran Gereja

Katolik di Siberut. Para misionaris awal berusaha mempelajari bahasa, budaya, serta cara

hidup orang Mentawai. Bersama para guru agama setempat, para misonaris mengadakan

pembinaan tentang inkulturasi dan bagaimana nilai-nilai Kristiani diajarkan

menggunakan sarana-sarana budaya. Sebenarnya upaya ini telah dimulai oleh para

zending Protestan yang berjasa menyusun Kitab Suci dalam bahasa Mentawai.

Dalam Kitab Suci bahasa Mentawai dan kemudian dalam bahasa yang digunakan

dalam peribadatan Kristen, istilah Taikamanua dan Ulaumanua digunakan sebagai

padanan kata ‘Allah’. Memang ada sedikit perbedaan antara kata Taikamanua dan Ulaumanua. Taikamanua (Mentawai, tai: orang; manua: langit) merujuk pada roh-roh

94

yang ada di langit. Konsep serupa yang digunakan untuk menyebut roh-roh misalnya

yang ada di laut (taikakoat) dan hutan (taikaleleu). Sementara itu, istilah Ulaumanua (Mentawai, ulau: luar, terang) mengacu pada sesuatu yang beradi di luar, melampaui, manusia dan alam. Konsep mengenai Ulaumanua sangat erat dengan alam pikiran sabulungan. Ulaumanua dipandang sebagai roh yang paling tinggi (melampaui Taikamanua) dan keberadaannya tak terjangkau manusia. Penjelasan Selester Sagurujuw (wawancara di Desa Muntei) mengenai dasar cara hidup orang Mentawai sebelum hadir

agama-agama bisa memberi gambaran mengenai gagasan atas Ulamanua: Sebenarnya yang hakiki adalah, ketika sebelum agama ada, sudah diyakini adanya ulaumanua. Ulaumanua menurut keyakinan orangan Mentawai adalah yang mengetahui segala-galanya, yang kuat, yang lebih tinggi dari mereka. Itu yang terjadi. Ketika ada praktik budaya dibuat kepada saudaranya, kepada ulaumanua, kita akan masuk surga, kita akan panjang umur.

Hal ini juga diperjelas oleh Aman Pagetai ketika bercerita mengenai tujuan segala bentuk

keikei (pantangan) dan ritual-ritual budaya orang Mentawai. Ia mengatakan demikian: Semua keikei, semua pekereijat, semuanya itu kepada

Ulaumanua tujuannya. Tidak ada yang lain. Ulaumanua le taloulougi (Hanya pada Ulaumanua saja manusia mengabdi).

Bagi orang Mentawai gagasan mengenai Ulaumanua tidak terlepas dari tradisi sabulungan. Memasukkan unsur sabulungan dalam pewartaan agama Kristen tampak sebagai akulturasi budaya.

Dalam Gereja Katolik proses akulturasi tersebut berkembang pada tahapan

inkulturasi. Konsep inkulutrasi bisa dipahami sebagai upaya Gereja Katolik untuk masuk

dan menjadi bagian dari budaya setempat. Gagasan ini lah yang menjadi latar belakang

95

ditolak begitu saja. Selain penggunaan konsep Ulaumanua45 para misionaris Katolik juga mencoba menjaga ritual-ritual sabulungan dan memasukkannya dalam peribadatan Katolik. Hal itu bisa dilihat dari disusunnya Buko Panukanan (Buku Pemberkatan) pada tahun 1979. Buku tersebut berisikan beragam tata ibadat Katolik yang digunakan dalam

perayaan-perayaan yang khas bagi orang Mentawai. Ritual-ritual sabulungan seperti: punen eneget (inisiasi anak), tinungglu (pembukaan ladang baru), punen laggai, punen lalep (pesta rumah baru), punen abak sibau (‘pemberkatan’ sampan baru), hingga ritual -ritual bagi peristiwa kematian – dimasukkan dalam tata peribadatan Katolik di buku tersebut. Upacara-upacara yang telah lama dijalankan oleh orang Mentawai di masa lalu

dengan demikian tidak begitu saja dilarang dan ditinggalkan, tetapi dihidupi dengan cara

baru. Dalam proses inkulturasi ini budaya setempat mendapat pengakuan.