DOMINASI NEGARA DAN PERLAWANAN ORANG MENTAWAI
D. Identitas Budaya: Ambivalensi Orang Mentawai
Kita telah melihat bagaimana dominasi negara berhadapan dengan aliran
kepercayaan lokal sabulungan di Siberut. Bagaimana juga para sikebukat memilih jalan untuk melakukan perlawanan di bawah permukaan untuk mempertahankan tradisi
mereka. Telah diperlihatkan pula bentuk-bentuk revitalisasi budaya yang diupayakan baik
oleh para sikebukat, pemerintah daerah melalui pendidikan, dan Gereja Katolik dengan konsep inkulturasinya. Pada bagian ini penulis akan mengangkat munculnya ambivalensi
dalam menghidupi identitas budaya orang Mentawai.
Jika merujuk kembali ke masa lalu, sebelum hadirnya agama-agama resmi di
Siberut, sabulungan menjadi sebuah cara hidup orang Mentawai. Dalam tradisi yang telah
45 Meskipun gagasan tentang Ulamanua lebih dekat dengan tradisi sabulungan dan memiliki makna lebih luas dari istilah Taikamanua, saat ini justru istilah Taikamanua yang umum digunakan dalam
96
mengakui kehadiran alam fisik dan sesuatu yang transenden di alam membentuk sebuah
pola relasi yang selaras antara manusia dan alamnya. Berbagai ritual, tabu dan pantangan
mengatur perilaku manusia terhadap alam bertujuan untuk menjaga keselarasan tersebut.
Tradisi sabulungan memberikan gambaran bagaimana manusia melihat alam lingkungannya bukan sebagai milik mereka. Mereka memperoleh segala yang diperlukan
dari alam namun mereka tetap menjaga kesadaran untuk berterima kasih – dengan menjaga hubungan – dengan roh-roh yang ada di alam. Relasi antara manusia dan hutan di Siberut memberikan sumbangan pada pembentukan identitas budaya orang Mentawai.
Seiring perjalanan waktu, dengan masuknya pemerintah dan program
pembangunan (agama dan pendidikan), tampak perubahan yang terjadi yang
mempengaruhi cara pandang orang Mentawai di Siberut terhadap identitas budayanya.
Pola relasi antara manusia dan hutan yang sebelumnya dipenuhi dengan aturan
sabulungan berganti dengan relasi produksi demi kepentingan ekonomi. Pemanfaatan hasil hutan yang semula hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan ritual-ritual
beralih menjadi upaya memenuhi permintaan pasar. Ladang-ladang baru di buka untuk
menanam coklat dan cengkeh, kayu-kayu dari pohon yang besar ditebang dan dijual,
hingga tanah-tanah yang di jual kepada para pendatang, memperlihatkan perubahan cara
pandang orang Mentawai di Siberut terhadap hutan. Aman Pagetai (wawancara di dusun
Maseppaket) menceritakan keprihatinannya seperti berikut:
Sekarang orang buka ladang, tebang pohon, begitu gampangnya. Ambil gergaji mesin, tebang begitu saja. Dulu tidak dibuat. Mereka buat buluat dulu (Panaki sia). Mereka memberitahukan kepada roh-roh alam untuk meminta ijin saat menebang pohon. Selain itu buluat itu juga untuk membeli pohon itu dari roh-roh hutan. Dulu kalaupun berburu simakobu, dia di atas pohon, dan kita harus menebang pohon itu untuk mendapat monyet, itupun harus dibayar pohonnya. Sekarang itu tidak ada lagi yang
97
membuat panaki itu. Tapi walau begitu, akan ada akibat buruknya sama kita.
Di satu sisi masih ada keinginan untuk menjaga tanah-tanah mereka dan menghidup
tradisi nenek moyang, namun di sisi lain mereka melihat bahwa hasil hutan dan penjualan
tanah bisa menghasilkan pendapatan yang lebih besar dan cepat. Situasi tersebut makin
tampak jelas dengan mulai memudarnya tradisi sabulungan dengan segala nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Situasi ambivelensi juga tampak dari upaya menghidupi
sabulungan itu sendiri. Praktik kepercayaan lokal itu tampak berada di posisi koma, antara hidup dan mati. Hadirnya pembangunan, pendidikan, dan agama mengubah pola
kehidupan juga. Tuntunan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah atau di kantor, tidak
memungkinkan waktu yang leluasa untuk mengadakan ritual-ritual yang tentu
memerlukan persiapan yang panjang. Tuntutan biaya pendidikan anak dan rumah tangga
menggeser pula pelaksanaan upacara adat yang juga membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Masih ada ketakutan akan ditimpa musibah dan kemalangan jika ritual seperti
eneget, pangurei, dan panunggru misalnya tidak dilaksanakan. Aman Pagetai misalnya mengatakan mengapa saat ini ritual-ritual tersebut mulai berkurang pelaksanaanya:
Sudah berkurang. Bukan karena tidak mau, tetapi karena butuh biaya. Jadi acara-acara lia itu kami raba-raba lagi. Karena tidak ada lagi orangtua yg mengajarkan kepada kami. Ukerei, apa lagi, itu tidak tahu. Dulu saya ingin mukerei (menjadi sikerei), tapi sekarang ya sudah saya lupakan. Karena saya sudah tua.
Hal yang serupa terjadi dalam kehidupan beragama. Mereka yang telah beragama
– misalnya Katolik – di satu sisi mereka merasa telah meninggalkan tradisi sabulungan. Mereka hadir di Gereja pada hari Minggu dan mengadakan upacara-upacara keagamaan.
98
dengan baptisan bayi di Gereja. Pak Thomas menceritakan bagaimana perubahan itu
dialami. Menurutnya tidak semua ritual tersebut dihilangkan. Hanya saja bergantung
apakah keluarga yang bersangkutan ingin mengadakannya atau tidak. Akan tetapi
sejumlah keluarga merasa sudah lengkap jika anak mereka sudah dipermandikan.
Upacara yang dulu dibuat di sungai agar simagre si bayi diperkenalkan dengan lingkungannya dan tumbuh dengan kuat tidak diadakan lagi. Namun di sisi lain, punen eneget yang diadakan ketika anak mulai remaja, masih dilaksanakan. Hal ini dibuat agar si anak bisa tumbuh sehat dan tidak mudah terkena penyakit. Dalam hal ini tampak
bagaimana upaya mereka untuk tidak meninggalkan keduanya, agama dan budaya
sabulungan tersebut – karena keduanya memiliki tuntutan masing-masing yang harus tetap dipenuhi. Apa yang dikatakan Teu Jablai mungkin bisa memberikan gambaran
mengenai hal tersebut :
Waktu kita pakai alat-alat budaya dalam kegiatan di Gereja, itu tidak menghina agama Katolik, dan juga tidak menghina budaya Mentawai. Tapi kalau kita bilang gak usah kita ke gereja, gak usah-lah kita beragama, di situlah kita bersalah. Sama halnya juga dalam sabulungan, misalnya kita sedang melakukan puliaijat, dan kita melanggar pantang, di situlah kita kena. Di Katolik ada keikeinya (pantangannya), di budaya Mentawai ada juga keikeinya
Fenomena dalam dunia pariwisata juga memperlihatkan bagaimana orang
Mentawai di Siberut tengah mengalami ambivalensi. Kegiatan-kegiatan seperti membuat
membuat tato, mengadakan tarian tradisional (turuk laggai), mencari ikan di sungai, dan kehidupan di rumah-rumah ladang dengan busana zaman dulu (menggunakan kabit dan
segala aksesorisnya bagi laki-laki), menjadi konsumsi para wisatawan. Kegiatan yang
sebenarnya sudah bisa ditinggalkan karena masyarakat telah hidup desa-desa dan bekerja
99
Masyarakat tersebut telah mengenal teknologi modern: memanfaatkan listrik,
menggunakan telepon genggam, dan memiliki kendaraan bermotor. Namun mereka
berusaha tetap memperlihatkan keaslian budaya dengan cara hidup tradisional karena hal
itu juga bisa mendatangkan penghasilan.
Turuk laggai yang dulunya diadakan dalam pesta-pesta tradisional – seperti pernikahan atau pendirian uma – sebagai ungkapan syukur dan kebahagiaan, saat ini selalu diadakan dalam acara penyambutan wisatawan, pejabat pemerintahan atau festival
budaya. Penyambutan dengan turuk laggai menurut Thomas Tatebburuk dan Mikael
Sabbagalet misalnya tidak digunakan sebagai tarian penyambutan pada masa lalu. Akan
tetapi turuk laggai tersebut akan tampak lebih menarik sebagai pertunjukan jika dilakukan oleh sikerei ‘asli’. Mateus Sakukuret yang telah cukup lama berkecimpung
dalam kegiatan pariwisata dan sanggar budaya menceritakan bagaimana banyak
permintaan menampilkan sikerei dalam turuk laggai. Meskipun tampaknya tarian
tersebut telah menjadi komoditi pariwisata, unsur ‘keasliannya’ tetap dipertahankan
dengan mengadakan ritual-ritual persiapan tertentu seperti misalnya ritual paruak. Ritual ini umumnya dilakukan oleh sikerei ketika mendatangi tempat yang baru atau berjumpa dengan sikerei dari daerah lain. Jika tidak diadakan ritual tersebut, sikerei yang bersangkutan akan mengalami demam, sakit, dan tidak bisa melanjutkan atraksi turuk laggai yang diharapkan.
Melalui paparan di atas tampak bagaiman situasi ambivalen yang dialami orang
Mentawai di Siberut. Tradisi sabulungan yang kemudian direduksi dalam ungkapan
‘budaya’ Mentawai di satu sisi ingin ditampilkan kembali. Namun di sisi lain, terputusnya pengetahuan budaya dari generasi pendahulu akibat rangkaian peristiwa diskriminasi di
100
kembali. Hingga saat ini upaya menegaskan kembali identitas budaya orang Mentawai
101 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Program pembangunan pemerintah yang berlangsung pasca kemerdekaan
Indonesia rupanya memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat lokal di
daerah-daerah, termasuk juga di P. Siberut, Mentawai – salah satu kawasan terluar di barat Indonesia. Semangat merayakan kemerdekaan dengan berdasar pada sila pertama
Pancasila, yakni: Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam praktiknya sebagaiman tertera dalam
UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 justru dipandang diskriminatif bagi sejumlah penghayat
aliran kepercayaan. Meskipun tercantum dalam konstitusi bahwa negara menjamin
kemerdekaan setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan
kepercayaannya masing-masing, tidak semua bentuk agama dan kepercayaan mendapat
kedudukan yang setara. Pendisiplinan dan penertiban sejumlah agama dan aliran
kepercayaan atas nama menjaga stabilitas negara justru membuat para panghayat tradisi
lokal yang telah ada sebelum kemerdekaan merasa terancam dan termarginalkan.
Pelarangan sabulungan di P. Siberut paska 1954 dengan Rapat Tiga Agama muncul dalam upaya pemerintah tersebut. Kehadiran agama-agama samawi sebagai agama resmi
negara ditambah program pembangunan yang dicanangkan untuk membangun identitas
tunggal bangsa menjadikan keragaman dan kearifan lokal tersingkir. Fungsi pengawasan
dan penertiban aliran-aliran kepercayaan yang mengancam stabilitas negara justru
102
tradisi sabulungan yang mengandung nilai-nilai budaya orang Mentawai. Bersamaan dengan itu pula agama-agama resmi negara dipaksa ditawarkan. Memiliki agama – dan agama tersebut harus merupakan agama yang diakui negara – seolah menjadi tanda masyarakat yang sudah merdeka dan maju. Kepercayaan lokal yang sarat dengan
nilai-nilai budaya diposisikan sebagai cara hidup kuno, terbelakang, dan oleh karena itu perlu
ditinggalkan dan diganti. Proses pembaruan dan pemberadaban tersebut sayangnya
dilakukan dengan unsur kekerasan dan perilaku intimidatif oleh kalangan polisi sebagai
representasi negara. Hal itu memunculkan perlawanan dari masyarakat lokal.
Bagi kelompok masyarakat Mentawai di Siberut, melakukan perlawanan secara
terbuka dan frontal hanya akan merugikan mereka. Ancaman hukuman penjara dan
kekerasan fisik menjadikan orang Mentawai memilih bentuk perlawanan yang
terselubung. Tindakan protes sambil menghindar menjadi satu-satunya senjata
perlawanan mereka. Tampak di permukaan bahwa orang Mentawai telah meninggalkan
tradisi sabulungan dan menganut agama resmi pemerintah seperti Katolik, Protestan dan Islam. Dengan menganut agama resmi negara orang Mentawai terbebas dari stigma
sebagai masyarakat penganut animisme yang tertinggal. Namun sejumlah orang dari
generasi tua tidak serta merta melepas dan meninggalkan ritual-ritual budaya masa lalu.
Tradisi yang berakar dari sabulungan ditampilkan kembali sebagai bagian dari budaya Mentawai. Mereka yang telah beragama Katolik mendapat angin segar dengan konsep
inkulturasi yang ditawarkan Gereja melalui para misionaris yang datang di bumi
Mentawai bertepatan dengan peristiwa pelarangan sabulungan tahun 1954. Dengan semangat inkulturatif ritual-ritual budaya Mentawai muncul dengan bentuknya yang baru
beriringan dengan hidup beragama yang tidak secara mentah-mentah ditolak. Setelah
103
Mentawai, dipimpin oleh orang Mentawai. Upaya revitalisasi budaya lokal mulai
diperjuangkan melalui pendidikan dengan memasukkan pelajaran Budaya Mentawai
(Bumen) dalam kurikulum pendidikan dasar. Hal ini dimaksudkan agar generasi muda
orang Mentawai mengenal nilai-nilai budaya mereka sendiri.
Program pembangunan daerah yang terjadi di Siberut masih terus berlanjut hingga
saat ini. Meskipun tidak ada lagi ancaman untuk mengekspresikan kebebasan
melaksanakan tradisi lokal, upaya menghidupkan kembali identitas budaya Mentawai
masih tetap mengalami kendala. Trauma peristiwa pelarangan sabulungan, masuknya agama-agama samawi dan terbukanya wilayah Mentawai akan budaya modern,
memperlihatkan gegar budaya dan situasi ambivalensi. Di satu sisi tradisi budaya masa
lalu yang memperlihatkan keselarasan hidup manusia dan alam ingin dipertahankan.
Namun di sisi lain, masuknya pengaruh agama-agama dan budaya modern melalui
pembangunan dan pendidikan turut andil dalam lunturnya tradisi tersebut. Tuntutan
perkembangan zaman dan modernisasi membuat masyarakat Mentawai di Siberut terus
melakukan upaya negosisasi untuk menegaskan kembali identitas budaya mereka.
B. Tanggapan
Menggunakan pendekatan teori James Scott mengenai perlawanan dalam wujud
sehari-hari dan konsep mengenai hidden transcript sangat membantu penulis melihat peristiwa yang terjadi di Siberut dari sudut pandang yang lain. Konflik ideologi yang
terjadi antara negara dan orang Siberut yang mencoba menghidupi tradisi sabulungan muncul karena ketimpangan relasi kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat lokal.
Bagi penulis teori Scott memberi sumbangan konseptual untuk melihat pola perlawanan
104
Scott dengan teorinya menegaskan kembali kenyataan perlawanan yang muncul akibat
adanya dominasi. Perasaan diperlakukan secara tidak adil walaupun dialami oleh
sekelompok masyarakat yang tampak lemah karena keterbatasan sekalipun akan memicu
munculnya gerakan protes.
Dalam penelitian mengenai sabulungan – yang biar bagaimanapun tidak akan muncul lagi dalam bentuknya seperti di masa sebelum hadirnya agama-agama – penting untuk mendengarkan suara-suara masyarakat setempat dengan lebih teliti. Sebab
perkembangan pembangunan yang terjadi di Siberut meskipun dalam beberapa tahun
terakhir berjalan dengan cukup cepat, masih memperlihatkan adanya perbedaan
pemahaman akan tradisi sabulungan di kalangan orang tua dan generasi muda orang
Mentawai. Mengadakan penelitian di wilayah yang telah ‘maju’ karena makin mudahnya sarana transportasi akan berbeda dengan situasi yang akan dijumpai di daerah-daerah
pantai barat misalnya. Perbedaan pemahaman akan sabulungan juga akan berbeda di kalangan orang tua yang seumur hidupnya tinggal di suatu tempat dengan mereka yang
telah mengenyam pendidikan dan bahkan merantau ke wilayah-wilayah lain di luar
Mentawai. Gagasan mengenai semangat menjaga relasi manusia dan alam yang
terkandung dalam tradisi sabulungan bisa menjadi topik kajian yang tetap relevan dan perlu di kembangkan dalam penelitian-penelitian serupa di masa yang akan datang.
Berkaitan dengan tradisi sabulungan penelitian yang mendalam mengenai peran sikerei – yang jumlahnya terus menurun saat ini – bisa menjadi topik penelitian yang menarik dan penting. Sebab dalam sabulungan peran mendasar sikerei tidak tergantikan sehingga tidak berlebihan jika masyarakat Mentawai mempercayai bahwa sikerei inilah yang menjadi sumber pengetahuan mengenai sabulungan dan seluruh makna yang terkandung di dalamnya. Selainitu mengingat bahwa sabulungan menempatkan hutan
105
sebagai sesuatu yang mendasar, penulis melihat adanya ruang yang masih terbuka lebar
untuk menggali lebih dalam peranan hutan dalam pembentukan filosofi hidup dan
identitas budaya orang Mentawai. Hal ini sangat menarik sebab hampir seluruh kebutuhan
hidup orang Mentawai mampu diperoleh dari hutan, mulai dari bahan mendirikan rumah,
makanan, obat-obatn, perlatan rumah tangga, hingga sarana transportasi seperti sampan.
Bagi penulis kendati penghayatan orang Mentawai di Siberut – yang sering dipandang sebagai benteng pertahanan budaya Mentawai – terhadap sabulungan berubah dan praktik-praktik budaya tersebut mulai terkikis, penting untuk mengulas lebih dalam
lagi sumbangan tradisi tersebut terhadap lingkungan hidup. Menjaga relasi yang
seimbang antara manusia dan alamnya yang pada masa lalu sarat dipengaruhi unsur-unsur
supranatural dan kepentingan kelompok tertentu, tetap menjadi sumbangan yang besar
bagi dunia modern saat ini. Filosofi yang terkandung dalam sabulungan yang penting
untuk diingat adalah bahwa manusia sejak semula hadir sebagai ‘pendatang’ di hadapan
alam ini dan bukan merupakan ‘pemilik’ atasnya. Oleh karena itu membangun rasa
hormat dan syukur terhadap alam lingkungan yang telah menyediakan berbagai
kebutuhan bagi kehidupan manusia merupakan semangat yang selalu relevan bagi
106 Lampiran 1: Contoh Topik Wawancara 1. Sabulungan dan siklus kehidupan
Pernikahan, kelahiran, kematian, penyakit, musibah/bencana alam. 2. Sabulungan dan alam
Relasi dengan hutan, cara berburu, bercocok tanam, mengambil hasil alam (hutan/laut), pembagian tanah ulayat, tantangan/ancaman dari luar, perusahaan kayu
3. Penganut sabulungan
Pemipin upacara, sikerei, perannya, pemilihannya, pantangan, cara hidup, pengaruh agama pendatang, pengaruh hadirnya pemerintah, siapa yang masih bertahan, perlakuan dari mereka yang telah menganut agama pendatang, cara berobat saat sakit, kehadiran dokter dan tenaga medis.
4. Sabulungan dan ritual/punen
Ritual utama, pemimpin, sarana yg diperlukan, lokasi/tempat pelaksanaan, ritual yang masih dilaksanakan, pengaruh agama pendatang, turuk laggai
5. Mitos/ legenda tentang sabulungan
Cerita dari nenek moyang tentang sabulungan, bagaimana diwariskan, apakah masih diingat generasi muda
6. Pelarangan atas sabulungan
Motif, latar belakang, kisah yang beredar, bentuk larangan, sosialisasi,cara yang dilakukan, rapat Tiga Agama, pelaku pelarangan, hukuman, reaksi masyarakat, periodisasi waktu sampai kapan, kapan paling gencar, lokasi pelarangan, efeknya saat ini
7. Sabulungan dan agama pendatang
Relasinya dengan agama pendatang, dampak terhadap cara hidup, inkulturasi, tantangan, cara penyebaran, FKUB
8. Sabulungan dan suku pendatang
Relasi dengan pendatang (sasareu), konflik, pengaruh yang dirasakan, perlakuan 9. Sabulungan dan pemerintah
Pembentukan perkampungan, tanah adat, hutan produksi, hunian tetap dinas sosial, pendidikan, agama lokal, pelayanan KTP, KK, kolom agama
10. Sabulungan dan pariwisata
Faktor yang menjadi daya tari, pertunjukkan ritual yg mana, gaya hidup, tabu, tantangan, keuntungan, perkembangannya saat ini, wilayah sering dikunjungi wisatawan
107
Lampiran 2: Contoh Panduan Pertanyaan Wawancara 1. Apa yang Anda pahami mengenai sabulungan ?
2. Apakah Anda melihat praktik sabulungan masih ada di Mentawai ? 3. Bagaimana praktik tersebut dilaksanakan?
4. Ritual apa saja yang masih dilaksanakan dan masih memiliki kaitan dengan kepercayaan sabulungan ?
5. Apakah Anda mengetahui pelarangan sabulungan zaman dulu? 6. Apa pendapat Anda mengenai peristiwa tersebut?
7. Apakah Anda mengetahui (mendengar, membaca) adanya Rapat Tiga Agama tahun 1954?
8. Menurut Anda bagaimana relasi agama-agama dan budaya pendatang dengan sabulungan ?
9. Bagaimana sabulungan di Siberut saat ini?
10.Di mana letak sabulungan dalam hidup orang Mentawai? 11.Apa perbedaan antara sabulungan dan adat-istiadat di Mentawai? 12.Bagaimana posisi sabulungan dengan agama-agama pendatang?
13.Apakah Anda mengetahui bahwa ada usaha supaya penghayat kepercayaan lokal bisa dicantumkan dalam kolom agama di KTP?
14.Bagaimana pihak pemerintah memandang sabulungan?
15.Bagaimana sabulungan bisa diwariskan ke generasi orang muda Mentawai? 16.Bagaimana peran sikerei dalam sabulungan ?
17.Bagaimana peran pemerintah daerah terhadap penganut sabulungan?
18.Bagaimana Anda melihat hadirnya pariwisata di daerah yang masih tradisional di Siberut?
108