SABULUNGAN, PANDANGAN HIDUP DAN RITUS KEHIDUPAN ORANG MENTAWAI
1. Kehidupan yang Diidamkan : Hidup Panjang dan Kematian yang Baik
Dengan alam pemikiran orang Mentawai akan keberadaan roh-roh di alam, manusia
perlu membangun pola hidup yang menjaga relasi yang baik. Bagi orang Mentawai hidup
yang didambakan adalah terhindar dari malapetaka, mencapai usia panjang dan akhirnya
mendapat kematian yang baik.39 Beberapa narasumber yang penulis jumpai mengisahkan
hal yang serupa. Sebagian dari mereka – yang usianya sudah lanjut – masih mempercayai hal ini. Perbincangan penulis dengan Marinus Salolosit di dusun Maseppaket bisa
memberi gambaran bagaimana hubungan antara kehidupan yang baik dan kematian:
38 Orang Mentawai.
66
Yang menentukan adalah cara kita mati. Kek maeruk tamatei, maeruk ketcatta (Kalau kita mati dengan baik, baik juga roh kita). Tak meruk tamatei, takmeruk ketcatta (Kalau kita mati dengan tidak baik, tidak baik juga roh kita). Bojoi-bojoi, pasikatnia (Minta maaf ya, umpamanya) yang matinya kena parang, kena tombak, ah itu kematiaanya sikatai (jelek). Mereka akan jadi sanitu. Jadi ketcatnia itu sifatnya jahat. Makatai le ia. Jadi kalau kita meninggal karena sakit itu wajar. Ketcat mereka yang meninggal karena ditippu (dipukul) orang, itu karena ketcatnia masih marah. Marah kepada kita yg masih hidup ini. Makatai ngangania. Kalau kita meninggal dengan baik, maka ketcat kita juga baik. Tetapi meskipun dia ketcat yang baik, kata-katanya itu berefek buruk kepada kita. Walaupun, maksudnya menegur kita, memberitahu kita, misalnya kita sedang bekerja, lalu kita diingatkan, katat-katanya itu tetap membuat kita sakit.
Malapetaka bisa membawa kematian yang buruk. Meninggal karena tenggelam,
tertimpa pohon, terkena panah ketika berburu, atau terluka karena serangan babi saat
beternak, merupakan hal-hal yang harus dihindari karena itulah contoh kematian yang
buruk. Semua peristiwa itu dipandang sebagai malapetaka yang muncul karena seseorang
tidak melaksanakan pantangan tertentu. Orang Mentawai tidak memandang peristiwa di
atas sebagai ‘kecelakaan’ biasa yang wajar terjadi dan bisa menimpa siapa saja karena faktor kebetulan. Mereka percaya bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan akibat dari
dilanggarnya pantangan tertentu. Hal itu diakibatkan oleh roh-roh di alam yang terganggu
dengan tindakan manusia sehingga mencelakai mereka. Kepercayaan akan keberadaan
roh-roh alam, yang hidup di hutan, sungai, laut, bahkan di setiap tumbuhan, hewan, dan
semua benda, menjadi latar belakang mengapa ada begitu banyak keikei (bhs.Mentawai: tabu, pantangan) dalam kehidupan orang Mentawai (Loeb, 1929: 234-235).
Orang Mentawai memandang hidup yang ideal sebagai hal terhindarnya dari segala
67
dilakukan dan ditaati. Ada banyak sekali keikei (pantangan)di Mentawai40. Dalam bagian ini diperlihatkan bagaimana orang Mentawai masih memiliki keyakinan akan pengaruh
keikei dalam kehidupan mereka. Misalnya beberapa orang yang penulis wawancarai menceritakan bagaimana orang Mentawai berpantang dalam kegiatan berburu. Sebelum
pergi ke hutan mereka perlu meminta ijin kepada roh penjaga hutan. Tujuannya agar
roh-roh hewan buruan itu tidak takut dan mau menunjukkan diri mereka pada manusia.
Mereka juga harus pergi dengan diam-diam dengan tujuan agar roh-roh yang jahat tidak
mendengar rencana kepergian mereka berburu. Jika sampai roh-roh jahat itu mengetahui
mereka hendak pergi berburu, roh-roh itu nantinya bisa saja mencelakai mereka saat
berada di hutan. Mereka juga tidak boleh bertengkar atau marah-marah dalam berburu.
Bahkan ketika berburu dengan membawa anjing, mereka dilarang memukul anjing
pemburu mereka itu. Mereka tidak boleh mandi atau tidur saat membuat racun panah
karena diyakini akan menjadikan racun panah menjadi tawar.
Tidak mendapat buruan menandakan ada pantangan tertentu yang terlewat sehingga
perlu diadakan ritual kembali. Dan jika berhasil mendapatkan hasil buruan, mereka akan
menyisihkan sedikit bagian bagi roh-roh nenek moyang. Daging hewan buruan juga akan
dibagikan untuk dinikmati anggota suku dan pantang untuk dimakan sendiri saja. 41
Tengkorak hewan buruan kemudian digantungkan menghadap ke luar di beranda uma.
Tujuannya agar roh-roh hewan buruan ini bisa memanggil kawan-kawan mereka
sehingga manusia akan mendapatkan hasil buruan kembali. Baik dalam hal berburu,
membuka ladang, pergi memancing ikan di sungai atau di laut, menebang dan mengolah
sagu, membuat sampan, semuanya dipenuhi dengan keikei.
40Lih. Coronesse, 1986, hal. 61-68.
68
Menjaga relasi yang baik dengan roh-roh alam dengan mentaati dan menjalankan
setiap keikei yang ada bagi orang Mentawai akan mendatangkan banyak manfaat. Mereka akan terhindar dari gigitan hewan liar saat berada di hutan dan akan mudah mendapatkan
hewan buruan yang kemudian bisa dinikmati oleh seluruh keluarga dan suku mereka.
Ketika menebang pohon untuk membuka ladang, dengan menjalankan ritual memohon
ijin kepada roh-roh hutan, orang Mentawai percaya bahwa mereka akan terhindar dari
kecelakaan saat bekerja. Tanaman ladang mereka pun bisa terhindar dari hama dan hewan
perusak. Kegiatan berladang mereka juga akan berhasil dan tanaman yang ada di ladang
mereka akan berbuah dengan baik.
Demikian pula ketika mereka hendak memelihara ayam dan babi. Rangkaian
pantangan tetap mereka jaga dan dijalankan. Berbeda dengan keadaan di tempat yang
padat penduduknya, di Mentawai masyarakat setempat secara tradisional memelihara
ayam dan babi dengan melepaskannya di hutan. Untuk ayam mereka hanya menyediakan
kurungan yang digantung di pohon untuk memasukkan ayam-ayam ketika malam hari.
Pagi hari ayam-ayam itu di lepas dan dibiarkan berkeliaran di hutan untuk mencari
makan. Cara itu membuat ayam lebih cepat berkembang besar. Jika dalam beberapa
waktu sejumlah ayam tidak kembali menjelang sore atau mati dimangsa ular, orang
Mentawai akan berpikir ada sesuatu pantangan yang dilanggar sehingga mereka tertimpa
nasib sial. Demikian pula ketika memelihara babi. Umumnya di daerah Siberut hulu,
perkampungan berada berseberangan dengan lahan pemeliharaan babi. Sungai lah yang
menjadi batasnya. Babi-babi peliharaan di lepas di dalam hutan dan sesekali dipanggil
ketika hendak memberi makan. Jika pantangan dalam ritual untuk memelihara babi
dilanggar, babi-babi itu akan hilang di hutan dan menjadi liar. Atau yang lebih parah,
69
ditaati dan dijalankan dengan benar maka babi-babi itu akan pulang kembali ketika
dipanggil dan menjadi jinak. Itulah mengapa orang Mentawai sangat teguh berpegang
pada pantangan-pantangan itu.
Meskipun saat ini mayoritas orang Mentawai di Siberut telah memeluk agama dan
telah mengenyam pendidikan, masih banyak dijumpai peristiwa yang menunjukkan
bahwa keyakinan mereka akan keberadaan roh-roh belum hilang. Beberapa kali penulis
melihat bagaimana seorang yang sakit, jika tidak bisa sembuh dengan pengobatan di
poliklinik atau puskesmas, akan menggunakan cara tradisional. Dan karena mereka
mempercayai bahwa seseorang yang sakit bisa dikarenakan roh-nya (simagre) meninggalkan tubuhnya, dibuatlah upacara pemanggilan roh. Hal ini masih sangat sering
dijumpai di Siberut. Ini memperlihatkan bahwa kepercayaan sebagian orang Mentawai
akan roh-roh di alam masih dipegang hingga saat ini.