G. KERANGKA TEORI
2. Resistensi Orang Siberut dalam Praktik Sabulungan
perlawanan yang tampak kecil-kecilan bisa menjadikan analisis terhadap gerakan
perlawanan kaum petani itu menjadi kurang lengkap. Keputusan Scott untuk menggali
konflik kelas di Sedaka dari sudut pandang kelompok minoritas menjadi penting untuk
menggali apa yang terjadi di bawah permukaan situasi sosial yang terjadi.
Penelitian Scott di Sedaka memberikan sumbangan gagasan mengenai pembedaan
antara public transcript dan hidden transcript. Apa yang tampak di permukaan, seperti relasi kuasa antara petani dan dominasi para pemilik lahan, dipandang sebagai ‘public transcripts’. Sementara perlawanan dan protes para petani yang dilakukan di bawah
permukaan itulah yang disebut ‘hidden transcript’. Bentuk resistensi yang dilakukan para petani bisa muncul dalam kegiatan gosip, pencurian dan sabotase kecil-kecilan, mogok
kerja atau bermalas-malasan. Menurut Scott perlawanan yang sifatnya frontal dan
dilakukan dalam skala besar tidak mungkin terjadi dan hanya akan berakhir sia-sia
melawan kaum pemilik tanah yang kaya dan didukung oleh pemerintah. Kelas petani
menurut Scott seringkali berada dalam posisi yang ironis dalam konflik antar kelas.
Segala bentuk revolusi dan perlawanan terbuka akan dengan mudah ditindak dengan
tegas oleh pemerintah dan kelas yang mendominasi. Bahkan ketika para petani memberi
dukungan mereka kepada salah satu kelompok partai, tidak memberikan jaminan
kepastian bahwa nasib mereka kelak akan diperjuangkan. Bayang-bayang akan
pembunuhan massal, penindasan, serta kehancuran moral yang disebabkan oleh
pemberontakan menjadikan kaum petani cenderung menghindari konfrontasi secara
terbuka (Scott, 1985:29-30).
2. Resistensi Orang Siberut dalam Praktik Sabulungan
Ada beberapa pokok pemikiran Scott dalam penelitiannya yang penulis gunakan
22
pemikiran tersebut adalah: hegemoni dalam konflik ideologi, model perlawanan simbolik
dan gagasan mengenai narasi terselubung (hidden transcript).
a. Hegemoni dalam Konflik Ideologi
Jika dalam penelitian James Scott kaum petani berhadapan dengan dominasi para
pemilik tanah dengan latar belakang revolusi hijau, orang Mentawai di Siberut dalam
penelitian ini berada di posisi serupa berhadapan dengan dominasi negara dan para
pewarta agama pasca kemerdekaan Indonesia. Barker (2014:119) secara singkat
menjelaskan hegemoni sebagai upaya memproduksi seperangkat makna, gagasan,
ide-ide, dan juga ideologi, oleh golongan yang berkuasa dan kemudian secara otoriter
golongan tersebut berupaya menjaga dan mempertahankannya. Menurut Gramsci,
ideologi sendiri bisa dipandang sebagai ide-ide, gugus makna, dan praktik yang fungsinya
mendukung kekuasaan kelas sosial tertentu (Barker, 2014:138). Dalam konteks konflik
di Sedaka, wujud hegemoni tersebut tampak dalam pertarungan ideologi yang terjadi
antara tuan tanah dan kaum petani. Para pemilik tanah yang kaya – karena kedudukan sosialnya – dan diperkuat oleh dukungan pemerintah memiliki kuasa untuk memaksakan gagasan dan ide-ide mereka tentang bagaimana sebaiknya perilaku para petani. Namun
tidak demikian dengan kelas petani. Mereka selalu berada di posisi subordinat yang tidak
menguntungkan untuk memaksakan ide-ide mereka terhadap orang kaya (Scott, 1985:
315).
Situasi yang serupa terjadi di Siberut pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Negara muncul sebagai pihak yang mendominasi gagasan dan ide-ide mengenai warga
negara modern. Dominasi ideologi tersebut muncul dalam kebijakan pemerintah di P.
23
diwacanakan secara dangkal melalui penghayatan atas ‘agama resmi’12 – di mana tampak bahwa kepercayaa-kepercayaan tradisional seperti sabulungan tidak termasuk dalam kategori tersebut – hidup dalam desa-desa yang dibentuk pemerintah, dan mengenyam pendidikan. Dan sebagaimana para petani kecil di Sedaka, penghayat
sabulungan di Siberut berada dalam posisi yang tidak memungkinkan memaksakan gagasan mereka sendiri terhadap negara sebagai kelas yang berkuasa. Konflik ideologi
yang terjadi di Siberut inilah yang kemudian menyebabkan diskriminasi kelompok
tertentu sehingga memicu munculnya perlawanan. Dalam hal ini perlawanan dipahami
bukan semata-mata sebagai perilaku ofensif yang berusaha membalikkan tatanan kelas
sosial melainkan juga sebagai upaya protes serta negosiasi yang terjadi di dalam relasi
kekuasaan itu sendiri. Resistensi orang Mentawai di Siberut bukan terwujud dalam
perilaku menentang program pemerintah dan menolak segala bentuk peraturan yang
diberikan, tetapi justru terjadi melalui negosiasi dengan segala perubahan tersebut.
b. Model Perlawanan Simbolik.
Suatu tindakan atau aksi seseorang atau sekelompok orang lahir dari kehendak yang
dipengaruhi oleh kesadaran mereka. Scott berpendapat bahwa aksi perlawanan dan
pemikiran (mengenai) perlawanan selalu berhubungan secara dialogis. Kesadaran untuk
melakukan aksi tersebut tidak selalu muncul dalam bentuk yang sama. Ada kalanya garis
aksi yang muncul bisa berupa hal yang mustahil dan unik (Scott, 1985: 38). Menganalisis
kesadaran intensional yang ada di balik tindakan resistensi suatu kelompok menjadi
penting untuk memahami bentuk protes dalam wujud keseharian.
24
Bentuk perlawanan simbolik kelas tertentu tidak bisa dilepaskan dari gagasan
mengenai ‘mistifikasi’ atau ‘kesadaran palsu’ yang muncul dari hegemoni simbolis pula.
Dalam hal ini Scott mengutip pemikiran Gramsci mengenai tindakan kelompok dominan
yang berkuasa mengendalikan sektor-sektor idiologis dari masyarakat seperti agama,
pendidikan, dan media massa. Mereka dengan demikian berusaha membangun
gagasan-gagasan yang indah, ideal, dan tampak asli. Apa yang dilakukan negara di daerah-daerah
seperti di Siberut merupakan wujud hegemoni simbolis tersebut. Gagasan yang dibangun
adalah bahwa warga negara yang baik adalah mereka yang menerima sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dan hal itu dinyatakan dengan dianutnya agama tertentu. Gagasan lain
yang dibangun adalah bahwa masyarakat yang merdeka dan modern meninggalkan segala
bentuk tradisi animisme. Gagasan mengenai cara hidup bermasyarakat yang berpusat
pada wilayah administratif sebagaimana diakui pemerintah juga merupakan
konsep-konsep yang diwacanakan oleh pemerintah. Bagi Gramsci, sebagaimana ditulis Scott,
mereka yang merupakan kelas yang didominasi lebih diperbudak dalam tataran pemikiran
daripada dalam tataran praktik dan perilaku (Scott, 1985: 39).
Hegemoni simbolik negara di atas dengan demikian berhadapan dengan ideologi
orang Mentawai di mana relasi keduanya tidak pernah sejajar. Bentuk-bentuk ritual,
tradisi, simbol-simbol budaya, serta norma-norma tradisional yang telah dihidupi orang
Mentawai sekian lama telah membentuk semacam ideologi yang tidak bisa begitu saja
dihilangkan. Bahwa kemudian orang-orang Mentawai di Siberut berduyun-duyun
menganut agama sebagaimana diharapkan pemerintah dengan demikian tidak
semata-mata memperlihatkan tidak adanya perlawanan. Ritual-ritual sabulungan yang masih dihidupi sekelompok orang Mentawai di Siberut bisa jadi merupakan wujud
25
kelompok yang dikuasai begitu saja oleh tatanan sosial yang diupayakan oleh para
penguasa.
c. Narasi Terselubung
Konflik yang terjadi di antara kelas tuan tanah dan petani miskin di Sedaka
berlangsung seperti di atas ‘pentas’. Relasi antara para petani dan tuan-tuan tanah yang kaya tampak berjalan normal. Para petani menghormati kedudukan para pemilik lahan
dan mengiyakan apa yang mereka harapkan dari kaum mereka. Demikian pula para
pemilik lahan juga menjalankan peran sosial mereka dengan memberikan zakat dan
sumbangan kepara orang-orang miskin pada hari-hari besar keagamaan. Namun situasi di
bawah pentas justru berbeda. Perlawanan yang berlangsung justru terjadi ‘di bawah permukaan’. Sifat bermalas-malasan, kepatuhan palsu, gosip di kedai-kedai kopi, dan sabotase peralatan produksi pertanian, terus berlangsung. Gerakan di bawah pentas ini
merupakan bentuk narasi yang terselubung (hidden transcript) yang oleh Scott dibedakan dengan situasi kehidupan umum yang tampak di permukaan (public transcript) (Scott, 1990:4).
Pemikiran Scott mengenai hidden transcript yang diterapkannya dalam penelitian terhadap petani di Sedaka diuraikan secara detail dalam bukunya Hidden Transcripts: Domination and And The Arts of Resistance (1990). Segala bentuk tingkah laku, perbincangan, praktik-praktik yang dilakukan kelompok subordinat di ‘luar pentas’ tersebut sama sekali bertentangan dan mampu mengubah apa yang tampak di ‘atas pentas’. Istilah hidden transcript ini digunakan Scott untuk memperlihatkan bahwa apa
yang terjadi di ‘luar pentas’ benar-benar berada di luar pengamatan para pemegang kekuasaan atau kelas yang mendominasi (Scott, 1990:4). Maka untuk melihat bagaimana
26
antara hidden transcript dan public transcript (Scott, 1990: 5). Ada 3 karakteristik hidden transcript menurut Scott (1990: 14) yang penting untuk diperhatikan. Pertama, narasi terselubung (hidden transcript) secara khusus diperuntukkan bagi kelas sosial tertentu dan terhadap seperangkat tindakan tertentu. Dengan demikian narasi kelas sosial tersebut
diuraikan dalam ‘publik terbatas’ dan oleh karena itu ‘tersembunyi’ bagi golongan kelas
tertentu. Dalam kisah petani di Sedaka, apa yang dilakukan para petani tersembunyi bagi
kelompok tuan tanah dan pemerintah. Sedangkan dalam kasus di Siberut, praktik
sabulungan tersembunyi bagi pemerintah dan para pewarta agama. Kedua, narasi terselubung tidak hanya berwujud wacana, cerita-cerita, tetapi juga mencakup
serangkaian praktik dan tindakan. Tindakan para petani di Sedaka bekerja sambil
bermalas-malasan, pencurian, menghindari pajak, merupakan hal yang tak terlepas dari
konsep narasi terselubung. Hal yang mirip terjadi pula dikalangan orang Mentawai di
Siberut, yang menghindari istilah sabulungan dan lebih memilih menggunakan kata
‘budaya’ serta menjalankan pula kewajiban hidup beragama sebagaimana dianjurkan
agama masing-masing. Karakteristik ketiga dari narasi terselubung adalah situasi yang
memperlihatkan bahwa perbatasan antara public transcript dan hidden transcript tidak selalu jelas. Perbatasan tersebut selalu menjadi bagian dari wilayah perjuangan
terus-menerus antara kelompok yang mendominasid an kelompok subordinat.
Pemikiran Scott ini juga yang akan digunakan untuk melihat fenomena yang terjadi
di Siberut. Bagaimana orang Mentawai dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
umum mengikuti arahan pemerintah untuk menganut agama resmi dan meninggalkan
tradisi sabulungan? Namun situasi yang terjadi di bawah pentas memperlihatkan hal yang berbeda. Di sini lah teori Scott mengenai hidden transcript bisa memberikan kontribusi
27
untuk melihat fenomena yang terjadi di kalangan orang Mentawai di Siberut yang masih
menjaga tradisi sabulungan dalam kehidupan mereka saat ini.