• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MUSIK TIUP DALAM KEBUDAYAAM MASYARAKAT BATAK

4.7 Proses Upacara Adat Saur Matua

4.7.3 Tahap Sesudah Upacara Adat

Perlakuan masyarakat Batak Toba dalam memberikan jambar pada musisi musik tiup sudah dimulai sejak tahun 1970-an. Hal ini dilakukan untuk memberi penghormatan sesuai adat Batak Toba kepada pihak dalihan natolu paopat sihal-sihal. Tetapi perlu diketahui, hal itu hanyalah kebijaksanaan dari hasuhuton (pelaksana upacara), bukan menjadi suatu syarat dan sering hal itu tidak dilaksanakan. Setelah para pemain musik tiup mengakhiri tugasnya, keluarga yang mengundang (hasuhuton), tidak meminta gondang lagi bagi pemain musik tiup,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kecuali hanya memberikan uang pelunasan yang telah disepakati bersama. Pemusik musik tiup tidak perlu mengadakan suatu upacara singkat seperti yang dilakukan pargonsi dalam gondang sabangunan. Setelah semua itu, maka upacara adat tersebut sudah dianggap selesai.

Dengan demikian, penggunaan musik tiup pada upacara adat tidak serumit gondang. Para pemain musik tiup tidak diwajibkan mengetahui ruhut-ruhut ni adat (seluk-beluk adat). Sebab pemain musik tiup tidak berperan sebagai “pengendali”

terlaksananya upacara adat tersebut. Bagi pemain musik tiup yang penting adalah melaksanakan pekerjaan mengiringi setiap tortor (tarian) dan memainkan musik sesuai permintaan pelaksana upacara. Posisi tempat duduk dari pemusik tiup pada upacara adat tidak harus ditentukan secara adat, seperti pargonsi gondang sabangunan yang harus didudukkan di pantar-pantar (tempat yang khusus dibangun dengan ketinggian lantai diatas kepala para peserta upacara) atau pengaturan tempat seperti posisi duduk hula-hula di siamun (sebelah kanan) dan boru di hambirang (sebelah kiri) pihak hasuhuton.

Posisi para pemusik musik tiup dapat ditentukan sesuai dengan kondisi tempat, sedangkan bagi para pargonsi, letak duduk harus diatur berdasarkan adat yang sudah ditetapkan. Letak posisi duduk itu sangat penting dalam upacara adat karena pada masyarakat Batak Toba ada suatu kepercayaan lama yang mengatakan bahwa tempat di sebelah kanan ada hubungannya dengan kekuatan yang dapat memberi berkat.

Dalam tradisi gondang sabangunan, pemain taganing disebut Batara Guru Humundul, dan pemain sarune disebut Batara Guru Humuntar. Namun perlu diingat, sebutan (status) ini hanya berlaku pada saat penyajian musik. Dalam

kehidupan sehari-hari, mereka sama seperti manusia biasa lainnya yang mempunyai status sesuai dengan bidang pekerjaannya apakah itu petani, pedagang, atuapun pegawai dalam pemerintahan. Status mereka (musisi musik tiup) tidak berubah, ataupun menjadi lebih tinggi dari masyarakat pada saat penyajian musik. Dengan kata lain, tidak ada panggilan khusus yang diberikan pada musisi musik tiup sebagaimana halnya terhadap pemain taganing dan pemain sarune. (Tetty 1992:113)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB V

ANALISA STRUKTUR MUSIK TIUP

DALAM UPACARA ADAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

5.1 Transkripsi

Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja yang disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.

Walaupun kegiatan mentranskripsi musik tradisional dalam bentuk notasi visual sejak lama telah dianggap sebagai tugas yang esensial, berat dan sukar bagi para etnomusikolog/musikolog/musisi seniman, namun untuk melihat dan memahami bunyi musik sebagai produksi dari tata tingkah laku masyarakat pemiliknya dalam bentuk visual, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan transkripsi terhadap bunyi musik yang akan dideskripsikan itu.

Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang digunakan ialah notasi konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal yang diteliti tidak tersedia sistem penulisan notasi musik.

Dari pengamatan yang dilakukan oleh beberapa ahli, memang terdapat kelemahan yang serius terhadap hasil transkripsi yang menggunakan notasi musik (Barat) yang konvensional. Hal ini disebabkan:

a. Pertama, notasi ini terlalu subyektif, yaitu telinga manusia tidak mampu menerima atau menangkap apa saja yang disajikan (dalam musik yang akan ditranskripsi), sekalipun rekaman itu diulang berkali-kali, dan juga ketajaman persepsi individual dari si pentranskripsi yang berbeda-beda.

b. Kedua, notasi musik Barat bukan didesain untuk musik tradisi lisan (lihat Seeger, 1958).

c. Ketiga, sejauh ini belum ada satu notasi visual pun yang dirancang, termasuk notasi Barat dengan tanda-tanda khusus untuk nada-nada non-konvensional dan lain-lain, yang dapat mewakili, seperti kualitas suara yang asli, cara-cara yang penting dalam memproduksi bunyi vokal atau intrumental, dan sebagainya

Untuk itu keterbatasan notasi musik Barat haruslah disadari apabila kita hendak melakukan suatu transkripsi yang detail, sebagaimana di kemukakan oleh Singer. “The limitations of our Western musical notation must be taken into consideration, particularly when attempting a detailed transcription”.11

Nettl dalam bukunya (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan ciri-ciri yang mendasari musik yang diteliti, notasi konvensional Barat dapat digunakan, tetapi dengan membubuhkan tanda-tanda khusus yang berguna untuk memberikan kejelasan pada musik yang ditranskripsikan itu.12Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pandora Hopkins, bahwa kita menggunakan notasi karena adanya keinginan untuk menunjukkan bahwa notasi itu adalah sebagai fenomena yang telah memiliki arti bagi pemakainya, dan dengan notasi dapat memberikan materi yang bernilai untuk perbandingan. Lagipula, “Transcription, therefore, are needed to visualize what we near, to enable us to study musics comparatively and in detail, and to help us communicate to others what we think we heard”.13 Demikianlah Phylis M. May berpendapat bahwa transkripsi diperlukan untuk memvisualisasikan apa yang didegar

11Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113.

12Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts (Chicago:

University Press, 1983), 16

13Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 109.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang memungkinkan untuk membantu mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta membantu untuk mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar itu. Meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik ke dalam bentuk visualisasi tidak akan pernah bisa sama persis sebagaimana ketika musik itu disajikan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan transkripsi terdapat dua jenis notasi musik berdasarkan tujuan dan penggunaannya. Kedua notasi itu ialah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif, dan karena itu pentranskripsian pun dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris: prescriptive) dan transkripsi deskriptif (Inggris: descriptive).

Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal ke dalam lambang notasi dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini umumnya dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat pembantu untuk si penyaji supaya ia dapat mengingat (apa yang telah dipelajarinya secara lisan).

Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan bunyi musikal ke dalam lambang notasi (konvensional Barat) secara detail menurut apa yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran si transkriptor dengan maksud untuk menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.

5.2 Analisis

Dalam Webster’s Third New International Dictionary of the American Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesatuan ke dalam

unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen.34 Tujuannya ialah untuk menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, atau pun wujud. Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas sifat-sifat sebuah objek,

baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah. Selanjutnya, dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan, menerangkan, mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum, mengikuti logika keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas.14

Membincangkan analisis musikal sama halnya dengan membincangkan setiap unsur-unsur bermakna yang tertuang di dalam sebuah musik. Dilakukannya analisis terhadap masing-masing unsur musikal itu ialah karena ada tujuan untuk menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun sebagaimana dikatakan oleh Nicolas Cook, bahwa hingga saat ini belum ada metode analisis oral maupun formal tunggal yang sudah baku dan berlaku secara umum yang dapat dipakai untuk menganalisis musik secara menyeluruh.

There is not any one fixed way of starting an analysis. It depends of the music, as wel as on the analyst and the reason the analysis is being done. But there is a presequisite to any sensible analysis, an this is familiarity with the music.15

Berkenaan dengan gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel mengatakan bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat berhubungan dengan struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah bentuk (Inggris:

form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama (Inggris:rhythm).

Dalam melakukan analisis, dapat juga dikombinasikan dengan metode weighted scale (bobot tangga nada) dari William P. Malm serta langkah-langkah description of musical compositions yang ditawarkan oleh Bruno Nettl. Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang tidak terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi berkaitan dengan ruang, dimana setiap nada dalam

14Philip B. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American Language (New York: The World Publishing Company, 1966), 77.

15Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (London & Melbourne: J.M. Dent & Sons Ltd, 1987), 237.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

garis melodi bergerak sesuai dengan tinggi rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada mempunyai durasi secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan unsur dari ritme. Dengan perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana setiap nada dalam melodi memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan durasi itulah tercipta gerak melodi yang harmonis. Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari: (1) tangga nada (Inggris: modus), (2) nada dasar (Inggris: pitch centre), (3) wilayah nada (Inggris: range), (4) jumlah nada-nada, (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa, (7) formula-formula melodik, (8) kontur, (9) durasi, (10) ritme, (11) frase dan kalimat, serta (12) periode atau siklus.

Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu: (1) tempo, (2) pulsa, (3) ketukan, (4) pola dan motif, serta (5) birama.

Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut: (1) perbendaharaan nada, (2) tangga nada (Inggris: modus), (3) tonalitas, (4) interval, (5) kantur melodi, (6) ritme, (7) tempo, dan (8) bentuk.

5.3 Pemilihan Sampel Lagu

Dalam kaian analisis transkripsi ini, peneliti memilih tiga buah sampel lagu untuk dianalisis berdasarkan metode weighted scale (bobot tangga nada) dari Willian P.

Malm. Namun dari seluruh unsur yang dikemukakan oleh Malm, peneliti hanya mengambil beberapa unsur pokok saja, yaitu: 1) Tangga nada, 2) Modus, 3) Wilayah nada, 4) Interval, 5) Pola kadensa, 6) Formula melodi (bentuk), 7) Identifikasi tema (thematic material) dan 8) Kontur melodi.

Untuk itu peneliti akan mengambil tiga contoh lagu yang akan peneliti gunakan dalam hal mentranskripsikan dan menganalisis struktur musik tiup yang digunakan.

Tiga lagu tersebut merupakan repertoar yang sering dimainkan oleh para pemusik dalam mengiringi upacara adat kematian. Ketiga lagu tersebut berjudul Marnini Marnono, Horbo Paung dan Hasahatan.

5.4 Model Notasi

Dalam pemilihan model notasi, para pemusik tiup lebih cenderung menggunakan sistem angka Nashville. Sistem Angka Nashville adalah sebuah metode menulis atau membuat sketsa dari ide musik dengan menggunakan nomor dan untuk mewakili posisi akor dalam huruf menjadi angka. Contohnya dalam nada dasar C Mayor, akord dm7 dapat ditulis dengan 2m7 atau ii7. Dalam Nashville Number System setiap nada di sebuah tangga nada mayor diberi penomoran dari 1 hingga 7, seperti nada dasar dalam akor C Mayor berikut: C:1, D:2, E:3, F:4, G:5, A:

6, B:7.

Begitu juga progresi akor misalnya ditulis C…│F…│G…│C…│dalam notasi angka Nashville akan menjadi 1…│4…│5…│1…│.

Metode notasi ini memungkinkan seorang musisi yang telah mengerti teori musik untuk memainkan lagu yang sama dengan nada dasar yang berbeda dengan mudah. Seorang pemain musik harus berpikir tentang sebuah lagu melalui angka-angka.

Gambar 5.1: Tangga nada C Mayor C-D-E-F-G-A-B-C16

16 NNS: Nashville Number System dan SR: System Romawi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

I = tonic iii = mediant V = dominant VII= subtonic ii = supertonic IV = subdominant vi = submediant

Selain menggunakan angka 1-2m-3m-4-5-6m-7 untuk melambangkan setiap tangga nada dalam Nashville Number System, dalam teori musik Barat juga digunakan angka-angka Romawi (Roman numeral), yaitu I-ii-iii-IV-V-vi-VII dimana angka kecil untuk melambangkan akor minor. Sistem ini disebut dengan upper-case Roman untuk Mayor (misalnya I = mayor) dan lower-case Roman untuk minor (misalnya ii = mayor dan minor). Dalam angka Nashville number system sebuah lagu dapat dituliskan seperti contoh sederhana berikut:

1 6- 5 4 dalam angka romawi I vi V IV 1 5/7 6- 5 I V/VII vi V Setiap angka menunjukkan satu birama, contoh di atas terdiri dari delapan birama dan tanda kurang menunjukkan akor minor. Sedangkan garis miring menunjukkan akor dimainkan pada root yang berbeda. Jika dituliskan kedalam tangga nada C Mayor maka akor di atas adalah sebagai berikut:

C Am G F

C G/B Am G

Begitu juga jika contoh akor di atas di ubah dan dimainkan dalam tangga nada D Mayor, maka hasilnya sebagai berikut:

D Bm A G

D A/C# Bm A

Bila kita menuliskan perubahan akor dari tangga nada C Mayor ke tangga nada D Mayor kedalam huruf maka kita harus menulis ulang huruf tersebut,

sedangkan dalam notasi Nashville Number System hal tersebut tidak perlu dilakukan. Pola harmoni dalam angka tetap tampak sama walau dalam nada dasar yang berbeda. Karena itu Nashville Number System akan lebih mudah dimengerti bagi pemain musik yang telah menguasai tangga nada secara teoritis. Hal ini akan mempermudah bagi pemain musik untuk mengetahui lagu dalam berbagai nada dasar yang berbeda.

5.5 Penggunaan Lagu Dalam Musik Tiup

Dalam upacara adat yang dilaksanakan masyarakat Batak Toba. Musik yang digunakan dalam konteks musik barat terbagi atas dua bagian, pertama disebut dengan musik lengkap atau disebut juga dengan musik na balga untuk menyebut ensembel musik tiup dan kedua disebut musik na gelleng untuk menyebut keyboard sulim. Kepentingan dari keduanya tidaklah berbeda memiliki esensi yang sama sebagai pengiring acara adat. Musik tiup yang digunakan fungsinya bukan untuk mengiringi pesta dalam skala besar atau upacara-upacara besar, atau musik keyboard sulim dipakai untuk pesta berskala kecil atau untuk acara-acara adat kecil, lebih kepada fungsi dan kegunaan alat musik itu.

Namun dalam permainannya kedua kelompok musik ini, mereka mengetahui lagu-lagu yang dibawakan berkisar pada dua hal. Pertama, untuk mengiringi lagu rohani yang berhubungan dengan pesta adat merupakan lagu yang diiringi berdasarkan buku ende gereja Batak atau lagu rohani lainnya. Kedua, untuk mengiringi lagu dalam upacara adat merupakan lagu yang berhubungan dengan iringan tarian Batak yang dinyanyikan dengan tempo cepat dengan irama yang variatif seperti, cha cha, rumba dan pop. Atau untuk lagu-lagu permintaan pelaku

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pesta yang tidak digunakan untuk mengiringi tortor (tarian). Bisa saja irama yang digunakan adalah pop dan ballada.

Perbedaan itu, diketahui oleh semua kelompok musik yang mengiringi upacara adat Batak Toba, dan pemilik pesta juga mengetahui dengan mudah dimana letak perbedaan itu. Karena ada kalanya pola permainan dari sebuah kelompok musik, diminta untuk diganti dengan bentuk irama lain yang sesuai dengan permintaan mereka. Bagi kelompok musik tiup pengiring pesta adat, adalah lumrah dalam perubahan-perubahan ini. Karena selera orang yang terlibat dalam sebuah pesta terhadap permainan musik adalah berbeda-beda. Sehingga esensi dari kehadiran musik tiup dalam sebuah pesta adalah hanya sebagai pengiring, mereka disuruh untuk bermain dan siap untuk “tunduk” kepada kemauan pihak pengundang.

Pandangan bahwa musik tiup adalah bagian dari adat, adalah sebuah kekeliruan.

5.5.1. Cara Dalam Penentuan Lagu

Lagu-lagu yang dibawakan musik tiup dalam sebuah upacara adat disesuaikan dengan konteks rangkaian dalam acara yang diiringi oleh kelompok musik tiup. Dalam acara adat perkawinan, musik tiup akan membawakan lagu pujian rohani bertempo cepat ketika acara sibuha-buhai dilakukan dalam menyambut pihak pengantin laki-laki masuk dan keluar ke dan dari rumah pihak perempuan oleh sebagian alat musik dari ensembel musik tiup ini.

Sedang dalam pesta adat, lagu-lagunya sudah ditentukan oleh para pemain musik yang sudah sering didengar oleh khalayak ramai. Sehingga peminta gondang terkadang akan mengkonversi dengan judul lagu untuk satu repertoar. Misalnya, repertoar gondang mangaliat, mereka meminta lagu dengan judul tangan ma

botohon (lagu Simalungun) atau lagu populer lainnya. Kecuali untuk acara di luar konteks adat untuk acara gereja misalnya, maka lagu yang dibawakan akan mengikut kepada lagu yang disusun oleh pihak gereja. Selain itu lagu-lagu yang dibawakan musik tiup dalam acara seremonial atau keagamaan, akan bergantung kepada lagu yang disusun menurut kepentingannya. Dalam ibadah raya Paskah atau perayaan Natal, maka tema-tema lagu disesuaikan dengan konteks acara tersebut.

Dalam penelitian di lapangan peneliti menemukan lagu-lagu yang dibawakan tidak bergantung kepada aturan yang dibuat dalam sebuah acara kegerejaan atau acara adat. Pada acara ibadah di gereja misalnya, pemusik menerima judul lagu hanya beberapa menit sebelum acara dimulai, dan kebiasaan itu tidak menjadi rintangan bagi pemusik, karena mereka sudah mengetahui bahkan “menghafal”

melodi dan key signature dari judul yang disebutkan. Untuk pemain junior yang belum memahami perilaku menghafal dari pemusik senior, mereka membekali dirinya dengan buku ende atau buku logu dalam setiap permainannya.

5.5.2. Penggunaan Nada Dasar (Key Signature)

Dalam musik populer yang yang dikenal dalam harmoni Barat, dikenal 12 nada yang dapat dijadikan nada dasar (key signature) seperti lagu-lagu populer yang dimainkan oleh musik tiup. Tangga nada yang dipakai dalam kelompok ini seluruhnya dalam lingkaran tangga nada Barat. Tetapi dalam praktek permainan kelompok musik tiup di upacara adat, tidak semua nada-nada serialisme itu dipergunakan dalam mengiringi lagu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 5.2 : tangga nada diatonis

Ada beberapa alasan dikemukakan dalam menentukan lagu-lagu yang dibawakan: 1) Lagu-lagu yang dimainkan dalam mengiringi tortor biasanya, dimainkan dalam bentuk instrumen bukan untuk mengiringi nyanyian seseorang yang memakai nada dasar tertentu sesuai wilayah suara (range) penyanyinya. 2).

Kebiasaan dalam teknik bermain para musisi yang membudaya, bermain dalam beberapa nada dasar pilihan yang disepakati misalnya, mereka lebih enjoy ketika bermain dalam E atau dalam F key. 3). Karena dalam musik tiup disertakan instrumen sulim, mereka lebih cenderung ikut dalam tonalitas yang dipergunakan instrumen sulim yaitu in E atau F key. Mereka jarang memainkan nada dasar dari C#

- D# - F# - G# atau A# maupun nada-nada enharmonisnya.

Walaupun pemusik bebas dalam menentukan nada dasar, mereka tidak menggunakannya dalam mengiringi lagu. Mereka jarang bahkan tidak pernah menggunakan nada-nada dasar aksidental dalam menaikkan dan menurunkan key signature sesuka hati untuk mengiringi tarian tortor. Meskipun dalam beberapa lagu dalam iringan nyanyian, mereka selalu berpedoman kepada kemampuan penyanyi yang membawakan lagu. Dalam prakteknya, mereka jarang memakai nada-nada ini dalam iringan gocci-gocci, walaupun dalam mengiring nyanyian ibadah di gereja mereka terkadang memainkan nada dasar itu. Iringan lagu dalam tortor mereka bawakan dengan bentuk permainan penghafalan sebuah lagu dengan mengikut kepada perjalanan progressi akord dari masing-masing alat musik. Karena lagu-lagu

yang mereka mainkan tidak pernah dituliskan dalam transkrip notasi balok, pola permainan mereka berdasar pada sistem akord.

Cara yang dipakai untuk menentukan nada dasar dengan menghindarkan nada aksidental adalah jalan keluar untuk mempermudah pemain musik untuk memainkan lagu-lagu. Karenanya, nada dasar dari tangga nada diatonis kromatis sengaja dihindarkan. Seperti disebutkan sebelumnya, pemain musik tiup terdiri dari musisi yang memiliki latar belakang musikal yang berbeda yang kurang memahami perjalanan melodi atau progresi akord jika dimainkan dari nada dasar kromatis.

Instrumen musik tiup yang terdiri dari beberapa alat yang dimainkan dalam bentuk combo band adalah instrumen yang harus dimainkan dengan teknik bermain berbeda dalam setiap tingkat nada dasar. Jika sebuah judul lagu harus dimainkan dari nada dasar in F, maka semua perangkat musik serta merta memulai progresi akord dari F scale, apakah itu alat musik akustik seperti trumpet, saxophone, trombone dan sulim atau elektronik seperti gitar elektronik strings dan bas. Kecuali untuk instrumen keyboard seperti klaviatur lainnya yang memiliki main program transpose, kemampuan untuk memindahkan nada dasar dari sebuah iringan.

5.5.3. Aspek Estetika Musik

Dalam beberapa kelompok musik yang diteliti penulis, beberapa kelompok musik tiup berusaha untuk meningkatkan kwalitas permainan musiknya sebagai art by metamorphosis, yaitu salah satu cara yang digunakan untuk menambah aspek estetika dalam konteks kepentingan seni pertunjukan. Komodifikasi dilakukan sebagai upaya menarik perhatian orang dalam memandang musik tiup sebagai perangkat budaya yang dapat digunakan dalam upacara-upacara adat Batak Toba.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Aspek estetika ini dirasakan perlu bagi kelompok musik tiup yang memberi perhatian pada kwalitas musik ditengah persaingan yang begitu kuat diantara sesama kelompok musik tiup. Situasi ini dapat penulis lihat dalam penggunaan musik tiup di daerah yang tingkat heterogenitasnya tinggi.

Teknologi elektro pada instrumen musik untuk memudahkan musisi keyboard dalam bermain seperti penggunaan transpose, yang diciptakan untuk

Teknologi elektro pada instrumen musik untuk memudahkan musisi keyboard dalam bermain seperti penggunaan transpose, yang diciptakan untuk