• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MUSIK TIUP DALAM KEBUDAYAAM MASYARAKAT BATAK

4.5 Deskripsi Instrumentasi Ensambel Musik Tiup

4.5.7 Instrumen Gitar String

Instrumen gitar strings yang dipakai dalam kelompok musi tiup, digunakan sebagai rhytem mendampingi keyboard dalam mengisi progresi akord dari lagu-lagu yang dimainkan. Namun adakalanya instrumen ini berfungsi untuk mengisi melodi secara bergantian dengan instrumen lain. Gitar strings ini dapat berbunyi karena amplitude dari sebuah TR (monitor) khusus untuk alat musik ini sendiri.

Gambar 4.7: Gitar Melodi Sumber: Dokumentasi Pribadi 4.5.8. Instrumen Gitar Bas

Peranan gitar bas dalam permainan musik tiup ini adalah hal terutama memberi penegasan kepada bunyi dari bas drum. Sebelum dipergunakannya gitar bas, peranannya diambil alih oleh sousaphone. Permainan gitar bas adalah sebagai root dari perjalanan akord lagu-lagu yang dimainkan. Seorang pemain bas dapat juga bermain sebagai drummer karena memiliki hubungan koneksitas sebuah ensembel combo band yang persis dimainkan oleh musik tiup. Amplitude untuk gitar bas adalah sebuah keharusan untuk mengeluarkan bunyi. TR yang dipergunakan untuk gitar bas biasanya sudah dirakit khusus untuk instrumen ini.

Gambar 4.8: Gitar Bass Sumber: Dokumentasi Pribadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.5.9 Instrumen Taganing

Taganing adalah drum set melodis (drum-chime), yaitu terdiri dari lima buahgendang yang gantungkan dalam sebuah rak. Bentuknya sama dengan gordang, hanya ukurannya bermacam-macam. Yang paling besar adalah gendang paling kanan, dan semakin ke kiri ukurannya semakin kecil. Nadanya juga demikian, semakin ke kiri semakin tinggi nadanya. Taganing ini dimainkan oleh satu atau dua orang dengan menggunakan dua buah stik, tetapi dalam musik tiup taganing biasanya hanya dimaikan oleh satu orang. Dalam musik tiup, taganing berfungsi sebagai pembawa ritem seperti drum.

Gambar 4.9: Taganing Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.6 Peranan Musik Tiup dalam Upacara Adat Saur Matua

Selain untuk mengiringi lagu-lagu gereja, grup musik tiup milik gereja pun mulai melayani masyarakat secara cuma-cuma, apabila diminta untuk mengiringi acara kebaktian dalam upacara perkawinan masyarakat Batak. Dalam hal ini lagu-lagu yang akan dibawakan ditentukan oleh pihak yang berpesta termasuk lagu-lagu-lagu-lagu popular. Seni populer dalam keadaan tertentu mengambil alih seni tradisional dengan berbagai cara: ada yang muncul sebagai tiruan dan kontinuitas dari seni

tradisional, ada pula yang muncul dalam bentuk baru. Seni rakyat juga menjadi seni popular dalam konteksnya tersendiri (Kaplan, 1967:317).

Kadang-kadang bentuk seni populer disesuaikan dengan kesadaran dan kehendak masyarakat umum. Seperti halnya dalam musik pengiring upacara adat pada masyarakat Batak Toba yang mengalami perubahan itu dikehendaki oleh masyarakat dan menjadi kajian dalam tulisan ini. Tradisi upacara adat Batak Toba yang diiringi oleh musik tiup ini masih terus dipertahankan sampai sekarang.

Kedudukan musik tiup yang dimiliki secara pribadi dan sifatnya pun berubah menjadi grup musik komersil dan populer. Grup-grup musik komersil seperti ini pada saat sekarang diundang untuk mengiringi upacara perkawinan. Di lain pihak, gereja dianggap sudah tidak mampu lagi untuk mendanai pembentukan suatu grup musik tiup milik gereja secara mandiri.

Di dalam kehidupan sehari-hari, bahwa peranan musik sangat penting dalam memberikan arti bagi kehidupan bertata ibadah di gereja, dan bukan saja musik berkembang dalam kehidupan manusia, tetapi kehidupan musik juga berkembang di gereja. Karena pada dasarnya musik dapat dipakai sebagai daya tarik dalam kegiatan atau aktivitas gereja. Sejalan dengan itu, Pandopo (1983:28) berpendapat bahwa musik mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pendidikan dan etika, sehingga semua anggota para jemaat di gereja merasakan secara langsung apa itu fungsi musik dalam ibadah. Sehubungan dengan hal itu fungsi musik dalam arti yang lebih luas adalah membantu, memandu tata ibadah menjadi lebih hidup dalam menyanyikan nyanyian yang ada di gereja.

Penggunaan ensembel musik tiup pada masyarakat Batak Toba dapat dilakukan dalam dua konteks yaitu keagamaan dan adat. Dalam konteks keagamaan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ensembel musik tiup mulai digunakan untuk turut mengiringi lagu-lagu rohani dalam kebaktian gereja dimana ensembel musik tiup bergabung dengan organ gereja. Sedangkan dalam konteks adat, baik pada upacara perkawinan maupun upacara kematian, ensembel musik tiup digabungkan dengan alat musik tradisional Batak Toba yaitu gondang dan alat musik perkusi disebut brass band. Brass band ini dikenal masyarakat Batak Toba dengan musik tiup. Sebuah pemahaman budaya (reinterpretasi culture) yang dipergunakan hingga sekarang ini.

Saat ini perangkat musik tiup yang digunakan dalam upacara adat tersebut telah merupakan alat musik yang memasyarakat bagi seluruh kalangan orang Batak Toba karena hampir seluruh golongan usia dari anak-anak sampai orangtua, mengenal dan mengetahuinya. Mereka sangat menikmati dan menyukainya. Musik tiup yang digunakan dalam upacara adat Batak Toba, kadang-kadang menunjukkan gejala paradoks.

Pemakaian musik tiup tersebut dipergunakan untuk memainkan lagu Batak dan sekaligus mengiringi tarian adat Batak Toba. Muncul juga anggapan, khususnya dari kalangan orangtua, yang mengatakan bahwa musik tradisional Batak Toba (Gondang Sabangunan) sudah tidak pernah lagi digunakan, dan musik tiup sangat berpeluang memberi arti lain pada adat-istiadat Batak. Anehnya, ketika sedang menari (manortor) dalam iringan alat musik tiup tersebut, justru mereka sangat menikmati irama musik yang muncul. Banyak tanggapan yang muncul di kalangan masyarakat Batak Toba, masing-masing dari sudut pandang pribadi mereka.

Pandangan dan asumsi yang telah disebutkan di atas merupakan bagian dari pendekatan emik yang merupakan salah satu unsur penting dalam penelitian kualitatif.

Sejak masuknya pengaruh agama Kristen di Tanah Batak yang dibawa oleh Nommensen dari Badan Zending RMG Jerman, Nommensen tidak memperkenankan masyarakat Batak menggunakan gondang dalam setiap upacara yang mereka laksanakan, baik upacara adat maupun upacara gereja.

Secara teknis, sebenarnya disebabkan karena gondang mempunyai tangga nada pentatonis sehingga tidak bisa memainkan lagu-lagu gereja yang menggunakan tangga nada diatonis, dan pada saat itu penggunaan gondang dianggap mengandung unsur magis dalam kepercayaan masyarakat Batak. Pada saat itu (sebelum masuknya Kristen) gondang Batak sering digunakan untuk memanggil roh-roh nenek moyang diikuti dengan suatu pertarungan antara datu yang sering memakan korban jiwa.

Gondang Batak ini dikenal dengan nama tortor begu atau tortor guru (tarian hantu atau tarian para datu). Inilah yang menjadi alasan bagi Nommensen untuk melarang digunakannya gondang.

Seperti yang kita ketahui dan rasakan tekanan proses modernisasi yang tanpa arah jelas itu mengakibatkan pelunturan dan degradasi nilai-nilai yang dikandung di dalam kehidupan ritual dan spiritual. Namun hal itu sebenarnya bukan hanya diakibatkan oleh proses kebudayaan yang nasionalisasi. Jauh sebelumnya, daerah kultur Batak mengalami guncangan akibat politik kebudayaan yang diterapkan oleh kekuatan agama, Badan Zending RMG (Rheinische Mission Gesellschaft), yang menganggap bahwa kehidupan seni tradisi yang ada di tanah Batak bersifat hasipelebeguon, pemujaan terhadap roh leluhur bersifat animisme, dan hal itu mesti disingkirkan agar kehidupan beragama menjadi murni yang dapat dilihat secara periodik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Periode pertama, seperti yang diungkapkan oleh peneliti kebudayaan dan pengamat kehidupan agama di tanah Batak, Schreiner (2002:11) dalam bukunya, Oehoem Parhoeriaon Siingoton ni Angka Huria Kristen Batak, 1924 menyebutkan:

“melarang semua masyarakat Batak mengadakan pertunjukan gondang sabangunan dan tortor dalam upacara pesta bius” dan kebijakan ini dibua oleh pihak missionaris RMG dan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1897, untuk semua pengikut Kristen dan non Kristen di tanah Batak.

Peride kedua, disusun penegasannya terhadap larangan itu oleh kebijakan yang dibuat missionaris RMG Jerman pada tahun 1907 untuk membuat batasan pelaksanaan adat dan lebih tegas pada tahun 1924 RMG bersama kelompok gereja-gereja lokal dalam Mission Batak yang sudah berdiri menyebutkan pada butir (g):

Penyajian gondang sabangunan dan tortor dapat dilakukan harus dengan seizin pejabat gereja di samping larangan-larangan lain yang berimplikasi pada praktek animis (Schreiner, 1994:52).

Periode ketiga, di HKBP sendiri, dibuat aturan tentang pemakaian alat musik gondang sabangunan hasil dari Sinode Godang HKBP Tahun 1952. Disana disebutkan bahwa gondang sabangunan hanya dipakai pada upacara adat Batak yang bersifat hiburan, kalau dipergunakan pada upacara ritual seperti, mangongkal holi, atau saur matua, harus seijin dan persetujuan pengurus gereja. Termasuk pelarangan penyampaian doa-doa pada leluhur atau tonggo-tonggo, karena berkonotasi ke arah hasipelebeguon (menyembah berhala, dan arwah-arwah yang telah meninggal). (Ruhut Parminsangon di Huria Kristen Batak Protestan, Kolportase HKBP, 1952).

Periode keempat, dalam Ruhut Parminsangon di Huria Kristen Batak Protestan, Kolportase HKBP tahun 1962, terdapat keputusan yang melanjutkan aturan yang diberlakukan pada tahun 1952 ditambah dengan penjelasan teknis pemakaian dan waktu pelaksanaan serta repertoar yang diizinkan untuk dimainkan gondang dalam upacara adat kematian.

Dari pendapat tersebut, bahwa penggunaan musik perlu dipertimbangkan dalam kebutuhan di gereja, karena musik merupakan salah satu bentuk ekspresi iman di dalam jemaat atau gereja, sehingga penggunaannya harus disesuaikan dengan maksud dan sifat dan tujuan dari peribadatan itu sendiri.

4.7 Proses Upacara Adat Saur Matua 4.7.1 Tahap Persiapan

Pada setiap upacara adat, selalu dibicarakan hal-hal penting yang berkenan dengan upacara tersebut. Kesepakatan untuk menggunakan musik dinyatakan pada waktu diadakannya rapat bersama keluarga besar yang akan mengadakan upacara.

Setelah diadakan kesepakatan, maka diundanglah kelompok musik tiup untuk dapat mengiringi upacara adat yang akan dilangsungkan. Pada waktu mengundang dan membicarakan biaya pembayaran, dijalankan tidak seperti cara mengundang pargonsi (pemain gondang), yakni dengan memberi demban (daun sirih) yang berisikan berbagai jenis rempah-rempah dan sejumlah besar uang tunai.

Keluarga yang mengundang musik musik tiup hanya memberikan sejumlah uang downpayment (dp) sebagai perjanjian diantara kedua belah pihak. Kadang-kadang perjanjian hanya disepakati melalui telepon dan mengenai pembayaran dapat disampaikan melalui perantaraan atau akan dilunasi saat pesta usai. Kelompok

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemain musik tiup kemudian mempersiapkan anggotanya untuk memenuhi undangan yang telah disepakati bersama dengan orang yang akan mengadakan upacara adat. Misalnya, untuk mengiringi pesta perkawinan, kelompok musik tiup harus latihan agar tidak kehabisan persediaan lagu. Pemain musik tiup akan mencari lagu-lagu dengan suasana upacara adat tersebut. Persipaan bagi pemain musik tiup biasanya dilakukan satu hari penuh untuk menjaga kemungkinan terjadinya kesalahan yang akan terjadi saat mengiringi acara-acara pada saat upacara berlangsung.

Namun bagi kelompok musik tiup lain, proses latihan tidak begitu penting karena anggapan mereka hal itu tidak lagi sebagai hal yang harus dilakukan, karena mereka telah menguasai kegiatan pesta adat dimaksud.

4.7.2 Tahap Pelaksanaan Upacara

Pada tahap ini dibuat berbagai aturan penting sesuai dengan permintaan orang yang mengundang. Ditekankan bahwa peranan musik tiup di dalam upacara tidak merupakan bagian dari adat, walaupun musik tiup itu mengiringi tortor.

Walaupun demikian, ada kalanya protokol yang meminta musik tiup dalam memulai suatu repertoar lagu untuk mengiringi tortor yang sama kedudukannya dengan protokol raja paminta pada ensembel gondang sabangunan. Namun, sebagian peminta gondang dalam musik tiup tidak akan mengucapkan prolog seperti pada gondang sabangunan.

Asumsi yang dikemukakan masyarakat dalam hal ini adalah karena musik tiup tadinya hanya digunakan di gereja beralih kepada nuansa adat, sehingga tidak ada kata-kata yang tepat yang dibuat terhadap acara adat. Istilah-istilah yang

digunakan pada gondang juga digunakan oleh masyarakat Batak Toba terhadap musik tiup pada berbagai upacara adat. Untuk mengetahui gambaran akan hal ini, dapat kita perhatikan prolog pertama yang diucapkan oleh peminta musik tiup pada upacara adat saur matua, seperti berikut ini:

Peminta : Amang parmusik nami, par indahan na suksuk, parlompan na tabo na ni alap manogot tinaruhon botari

Terjemahan : Pemusik kami, pemilik nasi banyak, pemilik lauk yang enak, dijemput pagi hari, diantar saat petang.

Musik Tiup : (dijawab dengan bunyi drum dan simbal)

Peminta : Nunga dison hami nuaeng suhut sihabolonon. Jadi laho pasangaphon natua-natua nami naung parjolo laho on, ba tung baen hamu ma gondang mula-mula jala pasadama tu gondang somba asa husomba hami Amanta Debata dohot naliat nalolo.

Terjemahan : Kami disini pihak keluarga yang melaksanakan upacara. Untuk menghormati orang tua ini yang telah meninggalkan kami, mainkan lah gondang mula-mula dan gondang somba, agar kami sujud menyembah Allah Bapa (di Surga) berikut seluruh undangan kami.

Musik Tiup : (Memainkan gondang mula-mula dan somba dengan irama bertempo cepat)

Pada prolog di atas, istilah perkataan yang digunakan sama dengan istilah dan perkataan pada gondang sabangunan yaitu kata-kata seperti parmusik nami selalu juga dipergunakan dalam meminta repertoar musik tiup. Istilah-istilah yang digunakan tidak memakai bahasa lain, tetapi tetap menggunakan bahasa Batak Toba yang juga digunakan pada gondang sabangunan. Hal ini memberi petunjuk bahwa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

musik tiup yang dipergunakan adalah adaptasi dari prolog permintaan musik gondang.

Dalam keseluruhan prolog yang digunakan pada upacara adat, selalu digunakan pada gondang dan hanya beberapa hal saja yang dikurangi dan diganti jika tidak sesuai lagi dengan keinginan dari yang meminta gondang pada musik tiup.

Istilah pargonsi sering juga diganti dengan istilah parmusik bagi pemain musik tiup pada waktu meminta satu repertoar dalam mengiringi tortor. Misalnya amang pargual pargonsi dapat diganti dengan amang parmusik nami. Tetapi pada umumnya yang menyebuit pemain musik tiup dengan istilah seperti itu sudah dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya dimana kegiatan itu dilaksanakan.

Pada setiap upacara adat seringkali pengngunaan istilah tidak sama di dalam berbagai upacara adat yang memakai musik tiup. Hal ini disebabkan istilah yang digunakan sering harus disesuaikan dengan permintaan orang yang mengundang.

Kondisi ini menimbulkan ketidak seragaman pemakaian istilah dalam upacara adat.

Dalam tahapan ini ada beberapa bentuk perlakuan untuk memberi nama pada ensembel ini (dalam upacara perkawinan di Toba Holbung-Tobasa), antara lain :

a) Mengadakan upacara adat dengan urutan dan tata cara seperti pada penggunaan gondang untuk mengiringi tortor, yaitu dengan menggunakan prolog tertentu dalam bentuk perumpamaan/peribahasa dan kalimat tersebut untuk meminta repertoar gondang. Kemudian setelah selesai upacara adat dilanjutkan dengan upacara gereja atau kebaktian, dimana musik tiup dipergunakan sebagai pengiring lagu-lagu gereja.

b) Mengadakan upacara gerejawi, setelah itu diserahkan kepada orang yang mengadakan upacara adat. Dalam hal ini musik tiup hanya mengiringi upacara gerejawi.

c) Menggunakan musik musik tiup hanya sebagai pengiring dalam arti hiburan pada upacara adat tersebut, dan tidak ada kaitannya secara langsung dengan cara kebaktian gereja maupun upacara adat.

d) Menggunakan musik tiup dengan gondang sabangunan sekaligus pada upacara adat. Hal ini jarang sekali dilakukan.

Jenis-jenis pelaksanaan upacara adat tersebut tergantung pada keinginan hati masyarakat yang melaksanakan upacara. Tidak ada peranan dari kelompok musik tiup untuk mencampuri jalannya upacara adat, karena kelompok musik tiup ini hanya berhak memainkan musik tiup sejauh mana diminta oleh orang yang mengundang. Menurut keterangan yang diperoleh, bahwa kelompok musik tiup sudah sering memperoleh perlakuan seperti pemain gondang sabangunan, yaitu menerima jambar.

4.7.3. Tahap Sesudah Upacara Adat

Perlakuan masyarakat Batak Toba dalam memberikan jambar pada musisi musik tiup sudah dimulai sejak tahun 1970-an. Hal ini dilakukan untuk memberi penghormatan sesuai adat Batak Toba kepada pihak dalihan natolu paopat sihal-sihal. Tetapi perlu diketahui, hal itu hanyalah kebijaksanaan dari hasuhuton (pelaksana upacara), bukan menjadi suatu syarat dan sering hal itu tidak dilaksanakan. Setelah para pemain musik tiup mengakhiri tugasnya, keluarga yang mengundang (hasuhuton), tidak meminta gondang lagi bagi pemain musik tiup,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kecuali hanya memberikan uang pelunasan yang telah disepakati bersama. Pemusik musik tiup tidak perlu mengadakan suatu upacara singkat seperti yang dilakukan pargonsi dalam gondang sabangunan. Setelah semua itu, maka upacara adat tersebut sudah dianggap selesai.

Dengan demikian, penggunaan musik tiup pada upacara adat tidak serumit gondang. Para pemain musik tiup tidak diwajibkan mengetahui ruhut-ruhut ni adat (seluk-beluk adat). Sebab pemain musik tiup tidak berperan sebagai “pengendali”

terlaksananya upacara adat tersebut. Bagi pemain musik tiup yang penting adalah melaksanakan pekerjaan mengiringi setiap tortor (tarian) dan memainkan musik sesuai permintaan pelaksana upacara. Posisi tempat duduk dari pemusik tiup pada upacara adat tidak harus ditentukan secara adat, seperti pargonsi gondang sabangunan yang harus didudukkan di pantar-pantar (tempat yang khusus dibangun dengan ketinggian lantai diatas kepala para peserta upacara) atau pengaturan tempat seperti posisi duduk hula-hula di siamun (sebelah kanan) dan boru di hambirang (sebelah kiri) pihak hasuhuton.

Posisi para pemusik musik tiup dapat ditentukan sesuai dengan kondisi tempat, sedangkan bagi para pargonsi, letak duduk harus diatur berdasarkan adat yang sudah ditetapkan. Letak posisi duduk itu sangat penting dalam upacara adat karena pada masyarakat Batak Toba ada suatu kepercayaan lama yang mengatakan bahwa tempat di sebelah kanan ada hubungannya dengan kekuatan yang dapat memberi berkat.

Dalam tradisi gondang sabangunan, pemain taganing disebut Batara Guru Humundul, dan pemain sarune disebut Batara Guru Humuntar. Namun perlu diingat, sebutan (status) ini hanya berlaku pada saat penyajian musik. Dalam

kehidupan sehari-hari, mereka sama seperti manusia biasa lainnya yang mempunyai status sesuai dengan bidang pekerjaannya apakah itu petani, pedagang, atuapun pegawai dalam pemerintahan. Status mereka (musisi musik tiup) tidak berubah, ataupun menjadi lebih tinggi dari masyarakat pada saat penyajian musik. Dengan kata lain, tidak ada panggilan khusus yang diberikan pada musisi musik tiup sebagaimana halnya terhadap pemain taganing dan pemain sarune. (Tetty 1992:113)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB V

ANALISA STRUKTUR MUSIK TIUP

DALAM UPACARA ADAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

5.1 Transkripsi

Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja yang disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.

Walaupun kegiatan mentranskripsi musik tradisional dalam bentuk notasi visual sejak lama telah dianggap sebagai tugas yang esensial, berat dan sukar bagi para etnomusikolog/musikolog/musisi seniman, namun untuk melihat dan memahami bunyi musik sebagai produksi dari tata tingkah laku masyarakat pemiliknya dalam bentuk visual, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan transkripsi terhadap bunyi musik yang akan dideskripsikan itu.

Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang digunakan ialah notasi konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal yang diteliti tidak tersedia sistem penulisan notasi musik.

Dari pengamatan yang dilakukan oleh beberapa ahli, memang terdapat kelemahan yang serius terhadap hasil transkripsi yang menggunakan notasi musik (Barat) yang konvensional. Hal ini disebabkan:

a. Pertama, notasi ini terlalu subyektif, yaitu telinga manusia tidak mampu menerima atau menangkap apa saja yang disajikan (dalam musik yang akan ditranskripsi), sekalipun rekaman itu diulang berkali-kali, dan juga ketajaman persepsi individual dari si pentranskripsi yang berbeda-beda.

b. Kedua, notasi musik Barat bukan didesain untuk musik tradisi lisan (lihat Seeger, 1958).

c. Ketiga, sejauh ini belum ada satu notasi visual pun yang dirancang, termasuk notasi Barat dengan tanda-tanda khusus untuk nada-nada non-konvensional dan lain-lain, yang dapat mewakili, seperti kualitas suara yang asli, cara-cara yang penting dalam memproduksi bunyi vokal atau intrumental, dan sebagainya

Untuk itu keterbatasan notasi musik Barat haruslah disadari apabila kita hendak melakukan suatu transkripsi yang detail, sebagaimana di kemukakan oleh Singer. “The limitations of our Western musical notation must be taken into consideration, particularly when attempting a detailed transcription”.11

Nettl dalam bukunya (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan ciri-ciri yang mendasari musik yang diteliti, notasi konvensional Barat dapat digunakan, tetapi dengan membubuhkan tanda-tanda khusus yang berguna untuk memberikan kejelasan pada musik yang ditranskripsikan itu.12Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pandora Hopkins, bahwa kita menggunakan notasi karena adanya keinginan untuk menunjukkan bahwa notasi itu adalah sebagai fenomena yang telah memiliki arti bagi pemakainya, dan dengan notasi dapat memberikan materi yang bernilai untuk perbandingan. Lagipula, “Transcription, therefore, are needed to visualize what we near, to enable us to study musics comparatively and in detail, and to help us communicate to others what we think we heard”.13 Demikianlah Phylis M. May berpendapat bahwa transkripsi diperlukan untuk memvisualisasikan apa yang didegar

11Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113.

11Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113.