• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.8 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan pada upacara kematian adat Batak Toba. Lokasi ini mencerminkan bagaimana orang-orang Batak Toba di perkotaan terutama Medan, melakukan kegiatan upacara-upacara yang menggunakan musik tiup di dalamnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA TERMASUK DI KOTA MEDAN

2.1. Geografi Batak Toba

Wilayah Batak Toba atau yang sering disebut dengan istilah Tanah Batak, meliputi wilayah yang cukup luas, yang terdiri dari: Daerah Tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae, dan Habinsaran. Wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 meter di atas permukaan laut (Siahaan, t.t.).

Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Mandailing-Angkola, deskripsi secara umum letak geografi dan etnografi masyarakat Sumatera Utara dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak Dairi-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa.

Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.

The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups

(suku-suku) ... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities-Pakpak-Dairi, Toba, Angkola Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus clans) and related languages, but important social, religious and linguistic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast.

Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan suku-suku.

Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, antara lain: Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun, Mandailing-Angkola. Ke-lima komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus.

Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda.

Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan Barat dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini.

Jumlah masyarakat Batak Toba yang berada di luar wilayah yang disebut Tanah Batak lebih besar lagi, dibanding tanah asal ini. Dengan berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Batak Toba ada suatu kebiasaan untuk merantau (meninggalkan tanah asal). Hal ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak, atau pendidikan.

Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi (Siahaan, 1982:48).

2.2 Asal Usul Masyarakat Batak Toba

Dalam mengkaji asal-usul masyarakat Batak Toba, dapat ditinjau dari berbagai hal (disebabkan minimnya data-data yang tertulis). Dalam mengaji tentang asal-usul masyarakat Batak Toba dapat dilihat dari tiga hal, yaitu: (1) Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah mengenai Batak, dan; (3) Kisah/cerita yang berkembang di masyarakat, yang dalam penulisan ini disebut mitologi tentang lahirnya suku Batak.

2.2.1 Pengertian Batak

Menurut J. Warneck seperti yang tertulis dalam Lumbantobing (1996:1) mengatakan bahwa Batak berarti “penunggang kuda yang lincah” tetapi menurut H.N. Van dier Tuuk batak berarti ‘kafir’, dan ada juga yang mengartikan ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’. Namun pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti dan memuaskan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi Sumatera Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan arti dari pembatak adalah perampok/penyamun.

Keterangan tersebut di atas tidak memastikan yang mana arti Batak yang sesungguhnya. Tetapi yang jelasnya apabila orang mendengar kata Batak, tanggapannya adalah suatu etnis yang berdiam/berasal dari Sumatera Utara.

2.2.2 Sejarah Batak

Beberapa penulis telah melakukan kajian sejarah dan menulis beberapa catatan yang memuat asal-usul nenek moyang orang Batak Toba yang bermukim di Sumatera ini. Salah satunya Ypes (1932 dalam Simanjuntak, 2006:11), menyebut bahwa suku Batak Toba berasal dari dua tempat asal. Menurutnya yang pertama asal-usul orang Batak Toba adalah dari Asia Utara menuju Kepulauan Formosa, kemudian Filipina, dan turun ke arah selatan di Sulawesi bagian selatan menjadi komunitas Toraja, Bugis, dan Makasar. Ada pula yang kemudian bergerak hingga sampai di Lampung, Sumatera Selatan, sesudah itu menyusuri pantai Barat Sumatera, hingga Barus dan perjalanan akhirnya naik ke pegunungan Bukit Barisan, yang berpusat di Pusuk Buhit kawasan Danau Toba.

Masih menurut Ypes, pendapat kedua menyebutkan bahwa orang Batak berasal dari India yang bermigrasi ke kawasan Asia Tenggara, tepatnya di negeri Muang Thai (Thailand sekarang), Burma (Myanmar), kemudian turun ke Tanah Genting Kera di belahan utara Malaysia. Lantas bergerak melayari Semenanjung Malaya menuju pantai timur Sumatera, hingga di pantai Batubara (pesisir Timur Sumatera bahagian Utara). Dengan menyusuri sungai Asahan menuju hulu di kawasan Danau Toba. Atau rute lain yang dipilih adalah dari Semenanjung Malaya menuju pantai Barat Aceh, dan selanjutnya menuju Singkil, Barus atau Sibolga hingga menetap di Pusuk Buhit (Harahap dalam Simanjuntak, 2002:75).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pedersen, yang juga merupakan ahli sejarah migrasi Batak Toba menyebutkan, bahwa persebaran Batak berawal dari Indochina yang melakukan perpindahan secara besar-besaran pada zaman bangsa Melayu Tua (lihat juga Cunningham, 1956 dalam Simanjuntak 2002:75). Perpindahan dialami orang Batak pada zaman ini, tentu saja menyulitkan para peneliti sejarah untuk mengungkap kebenaran asal-usul Batak sacara pasti. Dalam realitasnya kini semua orang Batak hingga kini, mutlak mengakui kebenaran akan silsilah masing-masing (Rajamarpodang, 1995:12).

Berbagai pendapat yang berbeda dilihat berdasarkan tarombo (silsilah tertulis) orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah satu yaitu Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan penabalan marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba adalah relatif lebih banyak (Schreiner, 2002: 64).

Melihat pendapat di atas maka suku bangsa Batak sebenarnya masih tergolong baru mendiami wilayah Sumatera Utara apabila dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan adanya perpindahan dua gelombang yaitu Proto Malay dan Deutro Malay yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Masehi. Hal ini apabila diurut dari tarombo Batak tersebut, yaitu Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907).

Mendukung pendapat yang berhubungan dengan Si Raja Batak ini, dari kalangan yang sudah mulai meninggalkan mitos, membuat suatu rekayasa sejarah dengan menggabungkan mitos dan data yang dibuat. Di antara pendapat yang ada golongan ini mengemukakan bahwa Si Raja Batak dan rombongannya data dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjurmulamula, lebih kurang 8 km arah barat Pangunguran, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, bahwa Si Raja Batak datang dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba (Sinaga, 1997:13).

Sejarawan Batak yang mengatakan bahwa Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang) atau dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus, yang terdesak akibat serangan Mojopahit. Hal ini diperkirakan berdasarkan batu tertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Nilakantisasi (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) yang menjelaskan bahwa pada tahun 1024 Kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus.

Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, dan Padang Lawas.

2.2.3 Mitologi Batak

Menurut mitologi2 yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba, Si Raja Batak lahir dari perkawinan incest (perkawinan sedarah) kembar Si Raja Ihat Manisia dengan Si Boru Ihat Manisia keturunan Raja Odap-odap kawin dengan Si

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Boru Deak Parujar yang diutus oleh Mulajadi Na Bolon. Kampung kediamannya adalah Sianjur Mula-mula di kaki gunung Pusuk Buhit, di bagian barat pulau Samosir. Setelah Si Raja Batak meninggal, arwahnya menetap di atas gunung Pusuk Buhit. Si Raja Batak mempunyai dua putera, yang sulung bernama Guru Tatea Bulan ahli ilmu tenung dan adiknya Raja Isumbaon, ahli dalam hukum adat. Guru Tatea Bulan mempunyai lima putra, yaitu: (1) Raja Biak-biak atau Raja Uti, (2) Saribu Raja, (3) Limbong Mulana, (4) Sagala Raja, (5) Silau Raja atau Malau Raja dan empat orang putri, yaitu (1) Sarimangaraja, (2) Raja Asiasi, dan (3) Sangkar Somalidang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan marga-marga orang Batak.

Kedua induk marga di atas yang memiliki keturunan dan masing-masing dari generasi anak mereka membuat marga yang terdapat pada masyarakat Batak, adalah sebagai garis generasi pertama lahirnya sebuah marga atau dikenal dengan sundut pertama, seperti marga Silau Raja yang dikenal dengan marga Malau. Namun, tidak semua marga berasal dari garis generasi ini. Misalnya, anak kedua dari Guru Tatea Bulan memiliki anak bernama Saribu Raja, satu garis dengan Silau Raja atau Malau Raja kawin dengan adik perempuannya Si Boru Pareme (incest) dan mempunyai anak bernama Raja Lontung. Raja Lontung sendiri memiliki tujuh orang anak dari istrinya Si Boru Pareme (incest dengan ibunya): (1) Situmorang, (2) Sinaga, (3) Pandingan, (4) Nainggolan, (5) Simatupang, (6) Aritonng, dan (7) Siregar. Generasi ketiga dari garis Saribu Raja ini, memakai nama mereka menjadi marga sebagai sundut generasi pertama hingga generasi sekarang ini.

Silsilah Batak yang bermuatan mitologi dengan status marga setiap orang Batak yang melekat dalam dirinya, dapat dipandang sangat terkait, dan diyakini bahwa setiap orang yang mengklaim dirinya sebagai Batak yang memiliki marga

adalah keturunan atau sundut Si Raja Batak. Asal-usul Si Raja Batak dapat dilihat dari tradisi lisan dalam bentuk mitologi yang bertajuk Si Boru Deak Parujar yang diutus oleh Mula Jadi Nabolon (Tuhan Sang Maha Kuasa). Belum ditemukan, catatan lain yang mengungkap asal-usul Si Raja Batak secara tertulis. Namun, mitos ini tetap hidup di tengah masyarakat Batak Toba sebagai tradisi lisan (oral tradition) yang diceritakan secara turun temurun.

2.3 Struktur Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

Struktur kekerabatan yang dimaksud adalah hubungan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lain. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu disebabkan hubungan darah (consaigunal) dan akibat adanya perkawinal (konjunal).

Oleh karena itu kekerabatan (kinship) menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang (individu) dan antara seorang kelompok (keluarga/kerabat) demikian pula sebaliknya (Kepler, 2002:33).

Sistem kekerabatan ini merupakan suatu dasar yang merupakan titik acuan di dalam proses interaksi dengan sesama orang Batak Toba. Jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba ditentukan oleh garis keturunan pihak laki-laki dan pertalian darah akibat perkawinan.

Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip.

Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut. (1) Perbedaan tingkat umurm yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

adat. (2) Perbedaan pangkat dan jabatan adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan dapat juga dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir, dan lain-lain. (3) Perbedaan sifat keaslian merupakan sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah. (4) Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya. Biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga. Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki.

2.3.1 Kekerabatan Berdasarkan Keturunan

Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada tarombo (silsilah) orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga, dimana marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Segala tata cara kehidupan dimulai dari keluarga sampai pada lingkungan masyarakat diatur dan disusun berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal)5. Dari marga ini akan diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan terhadap orang lain. Marga dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk perempuan disebut boru.

Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berfungsi sebagai pewaris dan penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi keturunannya.

Dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Pria dan wanita yang semarga sangat tidak dibenarkan saling mengawini.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa marga (klan) pada masyarakat Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga (klan) juga sangat berperan dalam kehidupan masyarakat.

2.3.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan

Masyarakat Batak memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri

5Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Patrilineal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak.

Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan kekerabatan dengan marga lain (Siahaan, 1982).

Dalihan Na Tolu merupakan suatu kerangka yang meliputi hubungan hubungan kerabat darah dan juga hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu. Istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga.

Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula, dongan tubu, dan boru (Siahaan, 1982). Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah mertua seorang laki-laki yang memberinya istri.

Hula-hula ini memiliki kedudukan dan fungsi yang paling tinggi dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagian, pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba menyakini bahwa hula-hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orang-orang akan memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya.

Dongan tubu atau dongan sabutuha merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama. Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederejat dengan pihak yang menyelenggarakan pesta (suhut). Dongan tubu mempunyai tugas untuk mengawasi berjalannya acara adat. Fungsi dongan sabutuha

di dalam pelaksanaan suatu upacara adat adalah sama dengan suhut (penyelanggara pesta). Hubungan antara kerabat semarga harus hati-hati dan dijaga sedemikian rupa suaya tetap langgeng dan serasi yang didasari oleh falsafah manat mardongan tubu yang artinya hati-hati terhadap teman semarga, maksudnya ialah harus hati-hati dalam bertindak melaksanakan sesuatu dan juga dalam berbicara. Artinya dalam merencanakan upacara adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri, tetapi harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha.

Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri. Boru adalah orang yang selalu sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai pertemuan atau acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta (adat) adalah perhelatan atau pesta dari pihak hula-hula.

Ketiga dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya. Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula-hula akan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu.

Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” (Gultom 1992:53). Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pihak hula-hula selalu bersikap mangelek (membujuk) dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan tubu.

2.4 Sistem Kepercayaan

Sebelum agama masuk, masyarakat Batak adalah penganut kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan roh-roh orang yang telah meninggal. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya:

gunung, pohon, batu dan benda-benda yang dianggap gaib. Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang telah meninggal ada yang baik dan ada yang buruk. Ada yang bersifat perusak yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia, ada yang bersifat memperbaiki diri ada yang roh yang ditakuti.

Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan.

Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Allah kodrati oleh Mula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon (Situmorang, 2009: 21) yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia. Dalam beberapa tulisan, konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor

Situmorang tentang “Tri Tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebutkan ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mulajadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu: (1) Mulajadi Nabolon, (2) Debata Asi-asi, dan (3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di bumi.

Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang

Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang