• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MUSIK TIUP DALAM KEBUDAYAAM MASYARAKAT BATAK

4.2 Sejarah Musik Tiup

4.2.1 Masuknya Musik Tiup di Tanah Batak

Musik tiup Batak Toba yang dikomersilkan lahir dan berawal dari desa Tambunan Balige, Toba Samosir. Pada awalnya alat musik tiup yang dipakai untuk ibadah di gereja, kemudian dipakai untuk mengiringi pesta bersifat hiburan maupun dalam konteks upacara adat. Dan ini menjadikan para pemusik tiup di gereja memperoleh pekerjaan sebagai sumber pancaharian yang memadai dan membuat kelompok musik tiup memiliki sumber mata pencaharian baru. Anggapan itu terbukti ketika beberapa pesanan untuk undangan-undangan banyak yang datang dari luar kota dan dari luar propinsi datang memesan kelompok musik ini, bahkan mereka pernah diundang ke sebuah pesta adat di pulau Jawa.

Tambunan Group Musik adalah kelompok musik tiup Batak Toba pertama yang dapat dicatat pada komunitas Batak Toba. Sesuai dengan namanya, grup ini lahir di desa Tambunan Balige yang kemudian hijrah ke kota Medan. Kehadiran kelompok musik ini tentunya membuat para pemusik yang belum punya pekerjaan namun memiliki pengetahuan dan bakat musik bergabung dengan mencari induk semang untuk membentuk kelompok musik tiup baru.

Pada tahun 1987 di Kota Medan terbentuk kelompok musik tiup bernama Duma Musik yang dikelola seorang pengusaha penerbit buku Masco pimpinan S.

Situmorang. Kelompok ini merupakan kelompok musik tiup pertama yang ada di

kota Medan. Kelompok ini didirikan dengan latar belakang untuk mengisi konsumsi pemakaian dalam acara-acara adat. Para pemainnya didatangkan dari Balige yang berasal dari personil Tambunan Musik Balige ke kota Medan.

Dari beberapa sumber yang ada mengatakan bahwa istilah musik tiup yang muncul pada masyarakat Batak Toba dikarenakan keseluruhan instrumen yang digunakan dalam ensambel tersebut awalnya adalah instrumen musik yang ditiup.

Sampai sekarang ini musik tiup pada masyarakat Batak Toba telah berkembang cukup pesat dan menyebar serta terdapat di berbagai tempat seperti Balige, Pematang Siantar, Tarutung dan Medan. Para masyarakat Batak Toba sangat antusias dan senang akan kehadiran musik tiup ini, terbukti pada perkembangan penggunaannya karena dalam waktu relatif singkat sudah menjadi “tradisi” bagi beberapa kalangan masyarakat Batak Toba yang menggunakannya sebagai bagian dari acara adat.

Perkembangan musik tiup yang sekarang ini di tengah masyarakat Batak Toba menurut para informan awal mula hadir dan berkembang adalah di desa Tambunan Balige, Tapanuli Utara. Hal itu tidak sulit dibuktikan karena kehadiran musik tiup di daerah ini sebagai musik yang dikenal masyarakat masih relatif baru, yakni sekitar tahun 1930-an.

Penyebaran agama Kristen Protestan di tanah Batak oleh para missionaris melalui zending Jerman, membuat mereka turut membangun sarana-sarana seperti pendidikan dengan membuka sekolah, sarana kesehatan dengan membuka rumah sakit dan balai pengobatan maupun membangun sarana transportasi dan lainnya.

Pekerjaan yang dilakukan para zending Jerman melalui missionaris tersebut membuat semakin berakarnya agama Kristen di hati masyarakat Batak Toba.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Perubahan itu dapat berjalan pesat karena prinsip hidup Batak Toba, yakni hamoraon (kekayaan), hagabeon (memiliki keturunan yang berhasil), dan hasangapon (kemuliaan atau kehormatan), dirasakan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dalam waktu relatif singkat maka kehidupan kerohanian dalam konteks kekristenan dapat berkembang pesat, sehingga kebaktian di gereja menjadi kebiasaan masyarakat bahkan gereja menjadi fokus perhatian masyarakat tempat bersatu dan berintegrasi. Situasi ini juga berlaku pada masyarakat Batak Toba di kawasan Tapanuli. Perhatian masyarakat Batak Toba terhadap eksistensi gereja juga didorong oleh pengetahuan tambahan terhadap pengenalan musik-musik rohani gereja yang berasal dari Eropa.

Masyarakat Batak Toba yang tertarik akan musik dalam ibadah gereja, akan diajarkan pengenalan terhadap lagu-lagu melalui notasi barat. Bersamaan dengan itu juga para zending akan memperkenalkan instrumen musik tiup yang terdiri dari:

trumpet, trombone dan sousaphone. Instrumen tersebut dipakai untuk mengiringi nyanyian-nyanyian rohani saat upacara gereja.

Pendidikan ini mendapat perhatian besar dari masyarakat gereja. Mereka memiliki alasan, bahwa memainkan musik tiup lebih gampang dari permainan orgel atau poti marende yang dianggap cukup rumit. Zending juga mengajarkan bagaimana cara memainkan alat musik tersebut kepada sekolompok warga jemaat yang dianggap sungguh-sungguh mengikuti ajaran agama Kristen dan mempunyai minat dan perhatian yang tinggi untuk bermain musik. Mereka diajar untuk mengenal notasinotasi musik barat yang ada. Melalui proses belajar yang cukup

lama dari hari ke hari, akhirnya beberapa warga jemaat mahir memainkan musik tiup tersebut dengan baik.

Pada 14 Mei 1862, Nomensen tiba di Padang. Perjalanan pertamanya ke pedalaman dimulai 25 Oktober 1862. Dalam menjalankan misinya Nommensen mencoba menempatkan adat Batak ke dalam cara hidup Kristen yang baru. Cara-cara baru dalam pola hidup orang Kristen baru adalah termasuk menggantikan musik tradisional Batak dengan nyanyian gereja yang diiringi oleh orgel (organ pipa) dan musik trumpet untuk mengiringi lagu gereja dengan buku panduan lagu Posaunen Buch. Tetapi ia mempertahankan banyak kebiasaan-kebiasaan pernikahan adat yang diatur oleh struktur dalihan natolu. (Butar-butar, : 2012)

Missi Nommensen untuk terus memperluas penyebaran agama Kristen ini ternyata diwariskan oleh anaknya sendiri bernama Berausgeben Von D. Johansen R.

Nommensen. Sama seperti ayahnya, Johansen terpanggil untuk menjadi seorang missionaris di Tanah Batak. Jadi selama beberapa tahun lamanya kedua missionaris ini telah banyak bekerja sama untuk mengembangkan agama Kristen di Tanah Batak. Johansen pada saat itu dikenal dengan kemahirannya dalam memainkan orgel harmonium (sejenis akkordion). Kemampuannya dalam memainkan orgel diabdikannya dengan menjadi pengajar alat musik organ di Sekolah Guru Huria (Guru Jemaat).

Selain itu Johansen juga memiliki kemampuan memainkan alat musik trumpet yang digunakan dalam acara kebaktian di gereja Silindung9. Inilah untuk pertama sekali musik tiup terompet masuk ke Tanah Batak, yaitu sekitar abad ke-19.

9Lihat Barita ni D. theol. L. Nommensen dalam parsorion dohot na ni ulana, hal 95. Edisi bahasa Batak. 2004. Jakarta. Tulus Jaya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Proses belajar dimulai oleh badan zending dengan mengumpulkan pengetua gereja di bawah asuhan RMG di sebuah tempat pelatihan di Jetun Silangit Siborong-borong Tapanuli Utara pada tahun 1929 hingga 1931. Pendidikan musik ini langsung dibawah asuhan Berausgeben Von D. Johansen R. Nommensen dikenal dengan tuan Pdt. Berzchauer.

Ternyata alat musik trumpet ini memiliki kelebihan dibanding dengan orgel.

Penggunaan trumpet dalam mengiringi lagu-lagu gereja lebih bersifat menggugah dan memberikan semangat dalam bernyanyi dengan volume yang lebih kuat.

Akhirnya alat musik trumpet ini menjadi salah satu mata pelajaran di Sekolah Guru Jemaat. Dengan demikian kemampuan untuk memainkan organ dan meniup trumpet wajib diketahui oleh para guru jemaat

Setelah masuknya Kristen oleh para Zending Belanda dan Jerman, Ludwig Ingwer Nommensen melarang masyarakat Batak memainkan gondang karena permainan gondang dianggap mengandung unsur-unsur magis yang ditujukan kepada arwah para leluhur. Pada saat ini penggunaan alat musik tiup telah digunakan bersama-sama dengan alat musik yang lain seperti halnya dengan sulim, didalam mengiringi upacara adat dan acara kebaktian di gereja.

Setelah masa pemerintahan jajahan Belanda berakhir (sekitar tahun 1943) maka zending Jerman juga meninggalkan tanah Batak, tetapi aktivitas kerohanian masih tetap dijalankan sebagaimana mestinya. Anggota-anggota jemaat yang berada di seluruh wilayah Tapanuli, tetap melaksanakan ajaran Kristen yang telah diterima dan berakar dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Para pendeta dan evangelis pribumi yang telah diajar akan pengenalan musik oleh zending mengambil alih para pemimpin rohani di gereja dan menjalankan tugas-tugas sebagaimana layaknya

seorang pendeta termasuk mengajarkan musik dengan sistem four part harmony pada tangga nada Barat.

Ketika itu selain keperluan tata ibadah di gereja, musik tiup dipergunakan mengiringi pasukan Jepang yang hendak perang. Hal ini terjadi pada masa pendudukan Jepang dan dilakukan atas perintah dari kerajaan Jepang dalam rangka pemberangkatan tentara Jepang; dengan diiringi oleh musik tiup maka semangat juang para tentara semakin meningkat. Peralatan musik yang dipakai bukan bersala dari gereja, melainkan peralatan yang dibawa oleh Jepang sendiri.

Pada saat yang sama penggunaan musik tiup di beberapa gereja sudah tidak dipakai lagi disebabkan kerusakan pada instrumen musik tiup yang sudah cukup lama. Perangkat alat musik brass itu disimpan oleh pengurus gereja di dalam gudang, karena tidak ada dana membeli instrumen yang baru, disamping sulit mencarinya, juga sangat mahal harganya.

Pemakaian musik tiup di luar gereja, awalnya muncul pada tahun 1930-an oleh seorang ahli musik bernama Adian Silalahi dari desa Tambunan Balige bersama seorang rekannya, yakni Ismail Hutajulu (penggubah lagu-lagu nasional, rakyat). Mereka memainkan perangkat instrumen musik tiup di pada kegiatan acara perkawinan. Adian Silalahi telah belajar bermain musik tiup dari Pdt. Berzchauer seorang missionaris Jerman. Ketertarikan orang terhadap musik tiup ini, menjadikan beberapa pemuda belajar secara non formal/otodidak kepada Adian Silalahi.

Keberhasilan yang dicapai oleh kelompok kecil ini, menjadikan seoang pengusaha di Balige membelikan perangkat musik tiup ini dari Amerika, dan terbentuklah ensembel musik tiup pertama sekali di tanah Batak. Konteks pemakaiannya kala itu adalah mengiringi kebaktian gereja dan hiburan. Pemakaian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pertitur dalam membaca notasi balok pada lagu-lagu gereja sangat ditekankan kepada semua pemain musik ini. Tetapi Adian Silalahi juga mengajarkan beberapa lagu-lagu rakyat yang dihafal oleh setiap pemain untuk kebutuhan acara-acara hiburan seperti pertandingan olah raga di wilayah Balige. Anggota dari kelompok pemain musik tiup ini bukan hanya terdiri dari para pemuda, tetapi juga para orang tua yang dulunya aktif dalam permainan musik tiup di gereja.

Pada masa kemerdekaan usai tahun 1945, keberadaan musik tiup di Balige telah dikenal sebagai sarana hiburan, yaitu untuk menghibur para pemain olah raga yang hendak bertanding juga dalam seni pertunjukan opera. Para pemain opera dengan pemain musik tiup bekerja sama menyelaraskan iringan lagu rakyat dengan musik tiup ini. Dalam hal ini musik musik tiup hanya dianggap sebagai pengiring permainan musik tradisi untuk mengiringi jalannya cerita-cerita rakyat yang dibawakan. Inilah awal, beberapa repertoar lagu-lagu rakyat dimainkan oleh musik tiup. Kesamaan tangga nada diatonis, tidak menyulitkan bagi para pemain musik tiup untuk menyelaraskan lagu-lagu rakyat yang dibawakan.

Instrumen yang dimainkan dalam kelompok musik tiup ini, terdiri dari trumpet sopran dan alto (trumpet klep, bukan trumpet peston), trombone bariton dan trombone tenor, tuba, contra bass atau bassoon ditambah dengan bass drum double headed. Instrumen ini kemudian yang dipakai dalam kegiatan di luar kebaktian gereja.

Selain penggunaan tersebut di atas, musik tiup juga dipergunakan untuk menyambut kedatangan tamu negara yang datang ke Balige. Misalnya, ketika diadakan penyambutan atas kedatangan presiden R.I pertama Soekarno ke Balige di tahun 1950. Ketika itu masyarakat menyambut dengan iringan musik tiup. Sejak

hadirnya guru Adian Silalahi dan Ismail Hutajulu, sejak itu pula lahirlah kelompok musik musik tiup profesional. Kelompok itu disebut Verenighing Music Silalahi yang berlokasi di desa Tambunan. Kelompok musik ini beranggotakan warga masyarakat yang mempunyai bakat musik, dan mereka diberi pelajaran notasi musik dan teknik memainkan brass band. Ada juga kelompok musik tiup yang didirikan secara komersil tahun 1952 di Balige oleh pengusaha toko mas dengan nama Surabaya Musik dan menyusul Bethesda Musik dengan mengambil nama kelompok Mannen Koor (paduan suara bapak) Bethesda di HKBP Balige. Kelompok-kelompok musik tiup pertama ini adalah cikal bakal berdirinya Kelompok-kelompok serupa di berbagai tempat hingga sekarang ini.

Kelompok musik musik tiup yang didirikan oleh masyarakat di Balige telah mengarah menjadi komersial, sebab setiap kali diundang memainkan brass band, maka imbalan materi berupa beras (sejumlah 100 kaleng beras untuk satu kali pertunjukan) atau uang yang setara dengan itu. Oleh karena itu para pemain musik tiup dalam kelompok ini mempunyai anggota kelompok yang tetap dan jarang terjadi penambahan anggota secara tiba-tiba tanpa melalui proses belajar. Selain mendapat perhatian dari masyarakat agar dalam upacara adat yang mereka lakukan dapat mengundang kelompok musik tiup, para pemain musik ini dibayar dengan cukup mahal.

Bagi mereka yang tidak dapat membaca dan mempelajari notasi musik, dilatih dengan feeling. Sehingga ketika mendengar suara musik musik tiup yang dibunyikan, timbul kepekaan untuk dapat menyesuaikan pendengaran setiap hari, menimbulkan ingatan yang dalam, dan menghasilkan permainan yang lebih sempurna.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam beberapa dekade, kelompok musik tiup Tambunan yang ada di Balige mengiringi acara adat di kota Medan. Sama halnya dengan penggunaan yang dipakai pertama sekali di kawasan Toba Samosir. Namun dapat dicatat, sebelumnya di kota Medan sudah ada kelompok musik tiup mengiringi upacara adat kematian, khusus untuk lagu-lagu rohani. Kelompok ini dalam jangka waktu lama melayani kegiatan serupa dengan waktu yang ditentukan oleh pemusik itu sendiri, karena pemusiknya terdiri dari pegawai kepolisian. Kelompok ini disebut dengan Korps Musik Brimob asuhan Detasemen Brigade Mobil Kepolisian Sumatera Utara sekitar tahun 1978 hingga 1986.

Sejak berdirinya musik tiup di kota Medan, instrumen yang digunakan seluruhnya adalah musik tiup dalam arti sebenarnya. Komposisi musiknya terdiri dari: trumpet sopran, trumpet tenor, trombone, tuba, bassoon (contra bass) dan saksophone yang menyusul kemudian. Pada tahun 1990 Immanuel Musik membuat perubahan dengan menyertakan gitar bas sebagai pengganti contra bas atau tuba dengan membuat penguat suara melalui monitor TR bas. Dan pada tahun 1991 Duma Musik menyertakan synthesizer keyboard sebagai pendamping akkord dari gitar string.

Hingga pada Tahun 1992, Tambunan Musik membuat perubahan besar yang diikuti oleh kelompok musik tiup lainnya yaitu dengan membuat perangkat sound system sebagai penguat amplitude semua peralatan musik sekaligus pemakaian mikrophone.

Seperti disebutkan sebelumnya, kelompok musik tiup Duma adalah sebagai pionir berdirinya ensembel musik tiup di Medan, yang disusul dengan berdirinya kelompok musik serupa yang tumbuh secara sporadis. Hingga tahun 1998, di kota

Medan terdapat 21 kelompok musik dimaksud. Namun sekarang ini, keberadaan musik ini sudah tinggal enam kelompok lagi yang masih melakukan aktivitasnya.

Penamaan musik tiup dalam menjelaskan kelompok ini mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Awalnya, ketika musik tiup dipergunakan dengan memakai instrumen yang terdiri dari semua perangkat alat tiup, kelompok-kelompok ini memakainya dengan nama musik tiup menyertai nama kelompok mereka.

Dalam perjalanannya, ketika perangkat musiknya mengalami perubahan, nama musik tiup menjadi ditinggalkan, dan berubah menjadi nama identitas kelompok musik itu sendiri dan tidak menyertakan kata Musik Tiup. Beberapa kelompok musik cenderung memberi nama dalam penyebutan kelompok mereka dengan alasan bahwa identitas musik tiup tidak lagi disertakan karena sudahbercampur dengan alat musik lain di luar musik tiup. dengan contoh: Sopo Nauli Musik, Tambunan Musik dan lainnya.