• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MUSIK TIUP DALAM KEBUDAYAAM MASYARAKAT BATAK

4.6 Peranan Musik Tiup dalam Upacara Adat

Selain untuk mengiringi lagu-lagu gereja, grup musik tiup milik gereja pun mulai melayani masyarakat secara cuma-cuma, apabila diminta untuk mengiringi acara kebaktian dalam upacara perkawinan masyarakat Batak. Dalam hal ini lagu-lagu yang akan dibawakan ditentukan oleh pihak yang berpesta termasuk lagu-lagu-lagu-lagu popular. Seni populer dalam keadaan tertentu mengambil alih seni tradisional dengan berbagai cara: ada yang muncul sebagai tiruan dan kontinuitas dari seni

tradisional, ada pula yang muncul dalam bentuk baru. Seni rakyat juga menjadi seni popular dalam konteksnya tersendiri (Kaplan, 1967:317).

Kadang-kadang bentuk seni populer disesuaikan dengan kesadaran dan kehendak masyarakat umum. Seperti halnya dalam musik pengiring upacara adat pada masyarakat Batak Toba yang mengalami perubahan itu dikehendaki oleh masyarakat dan menjadi kajian dalam tulisan ini. Tradisi upacara adat Batak Toba yang diiringi oleh musik tiup ini masih terus dipertahankan sampai sekarang.

Kedudukan musik tiup yang dimiliki secara pribadi dan sifatnya pun berubah menjadi grup musik komersil dan populer. Grup-grup musik komersil seperti ini pada saat sekarang diundang untuk mengiringi upacara perkawinan. Di lain pihak, gereja dianggap sudah tidak mampu lagi untuk mendanai pembentukan suatu grup musik tiup milik gereja secara mandiri.

Di dalam kehidupan sehari-hari, bahwa peranan musik sangat penting dalam memberikan arti bagi kehidupan bertata ibadah di gereja, dan bukan saja musik berkembang dalam kehidupan manusia, tetapi kehidupan musik juga berkembang di gereja. Karena pada dasarnya musik dapat dipakai sebagai daya tarik dalam kegiatan atau aktivitas gereja. Sejalan dengan itu, Pandopo (1983:28) berpendapat bahwa musik mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pendidikan dan etika, sehingga semua anggota para jemaat di gereja merasakan secara langsung apa itu fungsi musik dalam ibadah. Sehubungan dengan hal itu fungsi musik dalam arti yang lebih luas adalah membantu, memandu tata ibadah menjadi lebih hidup dalam menyanyikan nyanyian yang ada di gereja.

Penggunaan ensembel musik tiup pada masyarakat Batak Toba dapat dilakukan dalam dua konteks yaitu keagamaan dan adat. Dalam konteks keagamaan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ensembel musik tiup mulai digunakan untuk turut mengiringi lagu-lagu rohani dalam kebaktian gereja dimana ensembel musik tiup bergabung dengan organ gereja. Sedangkan dalam konteks adat, baik pada upacara perkawinan maupun upacara kematian, ensembel musik tiup digabungkan dengan alat musik tradisional Batak Toba yaitu gondang dan alat musik perkusi disebut brass band. Brass band ini dikenal masyarakat Batak Toba dengan musik tiup. Sebuah pemahaman budaya (reinterpretasi culture) yang dipergunakan hingga sekarang ini.

Saat ini perangkat musik tiup yang digunakan dalam upacara adat tersebut telah merupakan alat musik yang memasyarakat bagi seluruh kalangan orang Batak Toba karena hampir seluruh golongan usia dari anak-anak sampai orangtua, mengenal dan mengetahuinya. Mereka sangat menikmati dan menyukainya. Musik tiup yang digunakan dalam upacara adat Batak Toba, kadang-kadang menunjukkan gejala paradoks.

Pemakaian musik tiup tersebut dipergunakan untuk memainkan lagu Batak dan sekaligus mengiringi tarian adat Batak Toba. Muncul juga anggapan, khususnya dari kalangan orangtua, yang mengatakan bahwa musik tradisional Batak Toba (Gondang Sabangunan) sudah tidak pernah lagi digunakan, dan musik tiup sangat berpeluang memberi arti lain pada adat-istiadat Batak. Anehnya, ketika sedang menari (manortor) dalam iringan alat musik tiup tersebut, justru mereka sangat menikmati irama musik yang muncul. Banyak tanggapan yang muncul di kalangan masyarakat Batak Toba, masing-masing dari sudut pandang pribadi mereka.

Pandangan dan asumsi yang telah disebutkan di atas merupakan bagian dari pendekatan emik yang merupakan salah satu unsur penting dalam penelitian kualitatif.

Sejak masuknya pengaruh agama Kristen di Tanah Batak yang dibawa oleh Nommensen dari Badan Zending RMG Jerman, Nommensen tidak memperkenankan masyarakat Batak menggunakan gondang dalam setiap upacara yang mereka laksanakan, baik upacara adat maupun upacara gereja.

Secara teknis, sebenarnya disebabkan karena gondang mempunyai tangga nada pentatonis sehingga tidak bisa memainkan lagu-lagu gereja yang menggunakan tangga nada diatonis, dan pada saat itu penggunaan gondang dianggap mengandung unsur magis dalam kepercayaan masyarakat Batak. Pada saat itu (sebelum masuknya Kristen) gondang Batak sering digunakan untuk memanggil roh-roh nenek moyang diikuti dengan suatu pertarungan antara datu yang sering memakan korban jiwa.

Gondang Batak ini dikenal dengan nama tortor begu atau tortor guru (tarian hantu atau tarian para datu). Inilah yang menjadi alasan bagi Nommensen untuk melarang digunakannya gondang.

Seperti yang kita ketahui dan rasakan tekanan proses modernisasi yang tanpa arah jelas itu mengakibatkan pelunturan dan degradasi nilai-nilai yang dikandung di dalam kehidupan ritual dan spiritual. Namun hal itu sebenarnya bukan hanya diakibatkan oleh proses kebudayaan yang nasionalisasi. Jauh sebelumnya, daerah kultur Batak mengalami guncangan akibat politik kebudayaan yang diterapkan oleh kekuatan agama, Badan Zending RMG (Rheinische Mission Gesellschaft), yang menganggap bahwa kehidupan seni tradisi yang ada di tanah Batak bersifat hasipelebeguon, pemujaan terhadap roh leluhur bersifat animisme, dan hal itu mesti disingkirkan agar kehidupan beragama menjadi murni yang dapat dilihat secara periodik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Periode pertama, seperti yang diungkapkan oleh peneliti kebudayaan dan pengamat kehidupan agama di tanah Batak, Schreiner (2002:11) dalam bukunya, Oehoem Parhoeriaon Siingoton ni Angka Huria Kristen Batak, 1924 menyebutkan:

“melarang semua masyarakat Batak mengadakan pertunjukan gondang sabangunan dan tortor dalam upacara pesta bius” dan kebijakan ini dibua oleh pihak missionaris RMG dan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1897, untuk semua pengikut Kristen dan non Kristen di tanah Batak.

Peride kedua, disusun penegasannya terhadap larangan itu oleh kebijakan yang dibuat missionaris RMG Jerman pada tahun 1907 untuk membuat batasan pelaksanaan adat dan lebih tegas pada tahun 1924 RMG bersama kelompok gereja-gereja lokal dalam Mission Batak yang sudah berdiri menyebutkan pada butir (g):

Penyajian gondang sabangunan dan tortor dapat dilakukan harus dengan seizin pejabat gereja di samping larangan-larangan lain yang berimplikasi pada praktek animis (Schreiner, 1994:52).

Periode ketiga, di HKBP sendiri, dibuat aturan tentang pemakaian alat musik gondang sabangunan hasil dari Sinode Godang HKBP Tahun 1952. Disana disebutkan bahwa gondang sabangunan hanya dipakai pada upacara adat Batak yang bersifat hiburan, kalau dipergunakan pada upacara ritual seperti, mangongkal holi, atau saur matua, harus seijin dan persetujuan pengurus gereja. Termasuk pelarangan penyampaian doa-doa pada leluhur atau tonggo-tonggo, karena berkonotasi ke arah hasipelebeguon (menyembah berhala, dan arwah-arwah yang telah meninggal). (Ruhut Parminsangon di Huria Kristen Batak Protestan, Kolportase HKBP, 1952).

Periode keempat, dalam Ruhut Parminsangon di Huria Kristen Batak Protestan, Kolportase HKBP tahun 1962, terdapat keputusan yang melanjutkan aturan yang diberlakukan pada tahun 1952 ditambah dengan penjelasan teknis pemakaian dan waktu pelaksanaan serta repertoar yang diizinkan untuk dimainkan gondang dalam upacara adat kematian.

Dari pendapat tersebut, bahwa penggunaan musik perlu dipertimbangkan dalam kebutuhan di gereja, karena musik merupakan salah satu bentuk ekspresi iman di dalam jemaat atau gereja, sehingga penggunaannya harus disesuaikan dengan maksud dan sifat dan tujuan dari peribadatan itu sendiri.

4.7 Proses Upacara Adat Saur Matua