• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. DUNIA AUDIO VISUAL DAN PEMBINAAN IMAN

B. Pewartaan Iman di Zaman Modern melalui Media Audio Visual

3. Gereja dan Media Audio Visual

Media audio visual menjadi salah satu alternatif yang dipakai oleh Gereja untuk dapat mewarta di jaman modern. Menurut Iswarahadi yang mengutip pendapat Pierre Babin, “getaran yang ditimbulkan oleh audio visual dapat membuat orang merasa ikut ambil bagian dalam suatu peristiwa atau cerita yang dilihatnya” (Iswarahadi, 2002: 29-30). Pewartaan Injil memanfaatkan media supaya dapat mempermudah dialog antarumat dalam mengkomunikasikan imannya. Diharapkan komunikasi yang terbangun dapat saling meneguhkan serta membangun persaudaraan antarumat beriman (Iswarahadi, 2002: 27).

Dokumen resmi Gereja yang berbicara mengenai media komunikasi sosial adalah dekrit Inter Mirifica yang merupakan bagian dokumen Konsili Vatikan II

50

yang diterbitkan pada tanggal 4 Desember 1963. Dokumen ini merupakan dekrit yang berbicara mengenai upaya-upaya komunikasi sosial serta masalah-masalah yang terjadi berkaitan dengan komunikasi sosial (Eilers, 2002: 19-21). Dokumen ini lebih-lebih mengagumi keunggulan teknik modern dalam bidang komunikasi dan tanggung jawab penggunaannya (Hofmann, 1987: 11). Gagasan yang disampaikan mengenai perlunya penggunaan media yakni:

Di antara penemuan-penemuan itu yang paling menonjol ialah upaya-upaya, yang pada hakikatnya mampu mencapai dan menggerakkan bukan hanya orang-orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia; misalnya: media cetak, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang karena itu memang tepatlah disebut media komunikasi sosial (IM, art. 1).

Dalam dokumen Inter Mirifica artikel ke-2, para pemimpin Gereja Katolik di seluruh dunia yang mengikuti Konsili Vatikan II menyadari bahwa media massa jika digunakan dengan tepat dapat berjasa besar bagi umat manusia. Oleh karena itu perlu dihindari penyalahgunaan media yang dapat merusakkan tatanan dalam masyarakat (Purwa Hadiwardoyo, 2006: 64).

Mengenai perlunya media bagi pewartaan, dokumen yang sama dalam artikel yang lain juga mengemukakan:

Gereja Katolik didirikan oleh Kristus Tuhan demi keselamatan semua orang, maka merasa terdorong oleh kewajiban untuk mewartakan Injil. Karena itulah Gereja memandang sebagai kewajibannya untuk juga dengan memanfaatkan media komunikasi sosial menyiarkan warta keselamatan dan mengajarkan bagaimana manusia dapat memakai media tersebut dengan tepat. Maka pada hakikatnya Gereja berhak menggunakan dan memiliki semua jenis media sejauh diperlukan atau berguna bagi pendidikan Kristen dan bagi seluruh karyanya demi keselamatan manusia (IM, art. 3).

51

Dengan kesadaran demikian diharapkan Gereja dapat memberikan apa yang menjadi harapan bersama, yakni mewujudkan keselamatan bagi umat manusia. Dokumen tersebut juga menyampaikan beberapa hal pokok berkaitan dengan mereka yang terlibat dalam usaha pewartaan.

Hendaknya semua putra-putri Gereja serentak dan secara sukarela mengusahakan, agar upaya-upaya komunikasi sosial dengan cekatan dan seintensif mungkin dimanfaatkan secara efektif dalam aneka macam kerasulan, menanggapi tuntutan situasi setempat dan semasa...hendaklah para gembala di bidang ini pun dengan tangkas menunaikan tugas mereka, karena tugas ini berhubungan erat dengan kewajiban harian mereka mewartakan Injil. Para awam pun, yang berperanan dalam penggunaan media itu, hendaknya berusaha memberi kesaksian tentang Kristus, terutama dengan menunaikan tugas mereka masing-masing penuh keahlian dan kewajiban kerasulan… (IM, art. 13).

Artikel ini menjelaskan penggunaan media komunikasi sosial yang perlu memperhatikan konteks jaman serta mampu menanggapi situasi yang terjadi dalam waktu tertentu. Harapannya pewartaan Injil benar-benar mampu menjawab apa yang menjadi kebutuhan umat. Artikel ini juga berbicara mengenai siapa saja yang perlu ikut ambil bagian dalam karya Gereja. Ditegaskan bahwa setiap orang sebagai pengikut Kristus mempunyai kewajiban untuk ikut ambil bagian dalam karya pewartaan iman. Tidak terkecuali kaum awam yang banyak menggunakan media komunikasi sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai kelanjutan dari diterbitkannya dekrit Inter Mirifica pada tanggal 23 Mei 1971 dikeluarkan sebuah instruksi pastoral yakni Communio et Progressio. Artikel 6-18 dokumen Communio et Progressio mengakui bahwa komunikasi sosial memberikan sumbangan terhadap kemajuan umat manusia. Kemudian

52

dalam bab-bab selanjutnya dokumen ini mengemukakan komitmen yang harus dibuat oleh orang-orang katolik terhadap keberadaan media (Eilers, 2002: 23-26).

Instruksi pastoral Communio et Progressio merumuskan bahwa tujuan utama dari komunikasi sosial adalah terciptanya persaudaraan semua orang. Hal tersebut diperjelas dalam artikel 8, yakni: “Pada hakikatnya komunikasi sosial ditujukan kepada rasa kebersamaan yang lebih erat dalam hubungan antarmanusia”.

Dalam salah satu artikelnya yang lain dijelaskan bahwa “komunikasi itu berarti tidak sekedar hanya mengungkapkan gagasan dan perasaan, komunikasi itu berarti menyerahkan diri penuh kasih…komunikasi dari Kristus adalah roh dan hidup” (CP, art. 11). Artikel tersebut memberi penekanan bahwa dalam komunikasi sosial bukan semata-mata kehebatan peralatan yang digunakan. Relasi sebagai satu saudara dalam Kristus menjadi pokok komunikasi itu sendiri.

Commmunio et Progressio juga mengemukakan pentingnya komunikasi sosial melalui media. “Media komunikasi itu bagaikan pasar di mana berita dari mana-mana ditukar dan bermacam-macam pendapat diungkapkan dan saling dipadukan. Dengan demikian kehidupan bersama diperkaya dan perkembangannya dipercepat” (CP, art. 24).

Melalui artikel ini Gereja melihat kemungkinan penggunaan media komunikasi sosial dalam usaha pewartaannya. Gereja mengakui gerak media komunikasi yang begitu cepat menyentuh kehidupan manusia dan perannya yang begitu besar dalam memperlancar proses komunikasi. Di sisi lain, Gereja perlu memperhitungkan resiko semakin banyaknya orang modern yang meninggalkan

53

Gereja. Sebaliknya Gereja mulai terbuka terhadap perkembangan dunia komunikasi sosial serta berusaha memanfaatkan demi tercapainya dialog persaudaraan dalam kehidupan (Hofmann, 1987: 13-14).

Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial pada tanggal 22 Februari 1992 mengeluarkan instruksi pastoral yang diberi nama Aetatis Novae. Instruksi ini terlebih dahulu melihat konteks budaya yang terjadi di tengah dunia. Kemudian dokumen ini berbicara mengenai tantangan dewasa ini, perlunya sikap kritis, komunikasi dan pembangunan serta hak atas informasi (Eilers, 2002: 27-29).

Aetatis Novae dalam artikelnya ke-8 menegaskan bahwa: “Mereka yang mewartakan Sabda Allah haruslah memperhatikan dan berusaha untuk memahami ‘kata-kata’ dari bermacam-macam bangsa dan kebudayaan, agar tidak hanya belajar dari mereka tetapi juga membantu mereka untuk mengetahui dan menerima Sabda Allah” (EN, 1992a: 27-28).

Artikel tersebut menegaskan bahwa selain para pewarta belajar bahasa dan budaya masyarakat dewasa ini, mereka juga harus mengantar orang modern pada Sabda Allah. Gereja mengingatkan bahwa pesan yang akan disampaikan adalah Sabda Allah. Sedangkan budaya dan ‘kata-kata’ manusia dewasa ini adalah sarana untuk dapat membantu menerimakan Sabda tersebut dan masuk dalam kehidupan manusia modern. Penegasan tersebut berusaha mencegah adanya penggunaan media yang tidak tepat atau menyimpang dari tujuan semula, yakni Allah yang akan disampaikan. Gereja perlu mewarta dengan cara-cara baru dengan tujuan dapat menyentuh kedalaman hati manusia modern yang hidup di tengah modernisasi, sehingga Yesus Kristus sebagai pusat hidup dapat tersampaikan.

54