• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran film video untuk memperlancar proses pembinaan iman kaum muda di wilayah ST. Paulus Sambeng, Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Peran film video untuk memperlancar proses pembinaan iman kaum muda di wilayah ST. Paulus Sambeng, Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERAN FILM VIDEO

UNTUK MEMPERLANCAR PROSES PEMBINAAN IMAN

KAUM MUDA DI WILAYAH ST. PAULUS SAMBENG,

PAROKI ST. PETRUS DAN PAULUS KELOR,

GUNUNGKIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama

Katolik

Oleh:

MM. Nining Wijayanti

NIM: 021124037

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

4

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada seluruh pendamping/pembina kaum muda yang selalu mengusahakan masa depan Gereja dan juga kepada semua kaum

(5)

5 MOTTO

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”.

(Flp 4:13)

(6)

6

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 Maret 2007 Penulis,

(7)

7 ABSTRAK

Skripsi ini berjudul ”Peran Film Video untuk Memperlancar Proses Pembinaan Iman Kaum Muda di Wilayah St. Paulus Sambeng, Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Judul tersebut dipilih penulis berdasarkan fakta besarnya pengaruh media terhadap kehidupan masyarakat termasuk kaum muda. Di tengah maraknya dunia media tersebut, penulis juga melihat fakta lain mengenai kaum muda di Wilayah St. Paulus Sambeng, yakni kurang relevannya model pembinaan iman bagi kaum muda. Fakta lain yang ditemukan penulis adalah sulitnya melibatkan kaum muda dalam tugas dan kegiatan Gereja.

Mudika St. Paulus Sambeng merupakan wadah yang tepat untuk mengumpulkan kaum muda katolik di Wilayah St. Paulus Sambeng. Belakangan ini wadah tersebut justru tidak berfungsi efektif untuk memperkembangkan iman kaum muda. Banyak umat khususnya pengurus wilayah yang mengeluhkan semangat dan keterlibatan kaum muda generasi sekarang. Kaum muda mengalami penurunan kualitas dibandingkan dengan Mudika angkatan sebelumnya. Sebenarnya permasalahan tidak hanya terletak pada kaum muda sendiri, tetapi juga karena kurangnya pembinaan bagi mereka. Metode pembinaan iman yang selama ini dilaksanakan belum mampu menyentuh pengalaman iman kaum muda. Di sisi lain dunia media telah mempengaruhi segala segi kehidupan termasuk budaya dan berpengaruh dalam pembentukan karakter kaum muda.

(8)

8 ABSTRACT

The title of this thesis is "The Role of Video Film to Make the Process of Faith Formation Among The Young Generation in St. Paul Community of Sambeng, St. Peter and Paul Parish of Kelor, Gunungkidul, Special Region of Yogyakarta, Goes Smoothly”. This title is chosen based on reasons that the impact of media communication to the society is very strong expecially among young generation. The writer saw other fact about the young generation in St. Paul community of Sambeng, that there is lack of faith formation among young generation. The other fact is lack involvement of young generation in church activity.

The group of young catholic generation in St. Paul community of Sambeng is a best place for collect young catholic generation. Recently, that this group is not effective to young generation for faith formation. Many people, expecially fungsionaries of St. Paul community of Sambeng complain that the zeal and involvement of the young generation in the church activity is very weak. In fact, the problem is not on their hand, but the problem is caused by the lack faith formation for them. The method of faith formation being done among them until now doesn’t touch their faith experience. On the other side, the media already influenced all aspects of human life, expecially the culture and the character of young generation.

(9)

9

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan karena rahmat cinta dan kesetiaanNya. Dalam kesempatan ini penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Peran Film Video untuk Memperlancar Proses Pembinaan Iman Kaum Muda di Wilayah St. Paulus Sambeng, Paroki St. Petrus dan

Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan baik tanpa campur tangan dan bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menghaturkan terima kasih yang mendalam kepada:

1. Drs. Y.I. Iswarahadi S.J., M.A. selaku pembimbing utama dan dosen penguji I yang dengan sepenuh hati, sabar dan setia mendampingi penulis serta mendukung skripsi ini dari awal hingga akhir.

2. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen pembimbing akademik dan sekaligus dosen penguji II yang selalu mendampingi penulis selama kuliah di IPPAK serta memberikan dukungan dan dorongan untuk semakin berkembang. 3. P. Banyu Dewa H.S., S.Ag., M.Si. selaku dosen penguji III atas kesediaan

beliau mengoreksi dan membantu menyempurnakan skripsi ini.

4. Y. Kristianto, SFK dan Drs. Y.a. C.H. Mardiraharjo serta segenap dosen dan karyawan yang telah banyak membantu penulis selama belajar di IPPAK. 5. J.S. Setyakarjana, SJ. selaku pimpinan bagian perpustakaan serta A. Bambang

(10)

10

yang telah membantu penulis mengusahakan buku-buku sebagai sumber utama penulisan skripsi ini.

6. Kedua orangtua dan kakak-kakak penulis yang tercinta, yang telah memberi segala kebutuhan penulis selama studi baik materi, dukungan, perhatian maupun cinta, serta Paulus Budi Santoso yang banyak membantu penulis untuk belajar membuat film.

7. Teman-teman Mudika St. Paulus Sambeng di bawah koordinator Yohanes Nugraha Ike Santoso yang telah berpartisipasi dan membantu penelitian penulis.

8. Teman-teman angkatan 2002-2003 yang selalu memotivasi dan memberi dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi serta adik-adik tingkat yang dengan segala caranya masing-masing memberi warna tersendiri bagi penulis.

Penulis menyadari segala keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap segala masukan dan saran bagi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi pihak-pihak lain, tidak hanya sebagai persyaratan kelulusan.

Yogyakarta, 30 Maret 2007 Penulis,

(11)

11 DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan... 7

E. Metode Penulisan ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. DUNIA AUDIO VISUAL DAN PEMBINAAN IMAN KAUM MUDA ... 11

A. Dunia Media dan Kaum Muda ... 13

1. Arti Budaya Media ... 14

2. Fungsi Media ... 17

3. Kaum Muda dan Problematikanya... 18

(12)

12

b. Perkembangan Kaum Muda ... 19

c. Problematika Kaum Muda ... 22

B. Pewartaan Iman di Zaman Modern melalui Media Audio Visual ... 28

1. Prinsip-prinsip Kristiani dalam Komunikasi ... 29

a. Menciptakan Komunitas ... 30

BAB III. HASIL PENELITIAN SITUASI KAUM MUDA DI WILAYAH ST. PAULUS SAMBENG, PAROKI ST. PETRUS DAN PAULUS KELOR, GUNUNGKIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN KEMUNGKINAN USAHA PEMBINAAN IMAN MELALUI FILM VIDEO ... 58

A. Latar Belakang Penelitian dan Gambaran Situasi Kaum Muda di Wilayah St. Paulus Sambeng Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor ... 59

1. Jumlah Kaum Muda Katolik di Wilayah St. Paulus Sambeng ... 62

2. Situasi Kaum Muda dan Permasalahannya ... 62

3. Kegiatan Pembinaan Iman yang Sudah Dilaksanakan ... 64

4. Penanggung Jawab Kaum Muda ... 66

B. Permasalahan dalam Penelitian ... 67

C. Tujuan Penelitian ... 67

(13)

13

BAB IV. PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN KAUM MUDA DI WILAYAH ST. PAULUS SAMBENG, PAROKI ST. PETRUS DAN PAULUS KELOR, GUNUNGKIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MELALUI FILM VIDEO ... 100

A. Program Pembinaan Iman kaum Muda ... 100

1. Pengertian Program Pembinaan Iman Kaum Muda ... 101

2. Tujuan Penyusunan Program ... 101

3. Program Pembinaan Iman Kaum Muda Wilayah St. Paulus Sambeng ... 103

4. Alasan Pemilihan Tema ... 104

(14)

14 di Wilayah St. Paulus Sambeng,

Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor melalui Film Video ... 117

1. Pelaksanaan Pembinaan Iman Kaum Muda I ... 118

2. Evaluasi Pelaksanaan Pembinaan Iman Kaum Muda I ... 124

3. Pelaksanaan Program Pembinaan Iman Kaum Muda II ... 125

4. Evaluasi Pelaksanaan Program Pembinaan Iman II ... 131

C. Kesimpulan ... 138

D. Refleksi Kegiatan ... 138

BAB V. PENUTUP ... 140

A. Kesimpulan ... 140

B. Saran ... 142

DAFTAR PUSTAKA ... 145

LAMPIRAN ... 147

Lampiran 1: Hasil Observasi ... (1)

Lampiran 2: Hasil Wawancara ... (4)

Lampiran 3: Pernyataan Responden ... (6)

Lampiran 4: Angket Penelitian ... (7)

Lampiran 5: Lembar Evaluasi Evaluator Pertemuan I ... (11)

Lampiran 6: Lembar Evaluasi Peserta Pertemuan II ... (13)

Lampiran 7: Lembar Evaluasi Evaluator Pertemuan II ... (16)

Lampiran 8: Foto-foto Pembinaan Iman ... (18)

(15)

15

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

B.Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AN : Aetatis Novae, Instruksi Pastoral Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial tentang Tantangan Komunikasi Dewasa ini, 2 Februari 1992.

CP : Communio et Progressio, Instruksi Pastoral tentang Sumbangan Media bagi Kemajuan Umat Manusia serta Komitmen Orang Katolik terhadap Media, 23 Mei 1971.

CT : Cathechesi Trandendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Katekese, 16 Oktober 1979.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.

(16)

16

C. Singkatan Lain

APP : Aksi Puasa Pembangunan BIL : Bina Iman Lanjut

CD : Compact Disk EKM : Ekaristi Kaum Muda

FKIP : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fr : Frekuensi

IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Jml : Jumlah

KAS : Keuskupan Agung Semarang KK : Kepala Keluarga

KV II : Konsili Vatikan Kedua

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

L : Laki-laki

Mdk : Mudika Misdr : Misdinar MTV : Musik Televisi MUDIKA : Muda Mudi Katolik

N : Responden

No : Nomor

(17)

17

P : Perempuan

PIA : Pendampingan Iman Anak

PKKI II : Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan se-Indonesia yang ke-2 PNS : Pegawai Negeri Sipil

PT : Perguruan Tinggi PUSKAT : Pusat Kateketik

SAGKI : Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia SAV : Studio Audio Visual

s.d : Sampai dengan

SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama

SOTARAE : Situasi, Obyektif, Tema, Analisis, Rangkuman, Aksi, Evaluasi St : Santo

Th : Tahun

TV : Televisi

USD : Universitas Sanata Dharma VCD : Video Compact Disk

WACC : World Association for Christian Communication WK : Wanita Katolik

(18)

18 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Informasi dan hiburan merupakan bagian kebutuhan manusia yang tidak dapat dihindari. Ada waktu-waktu tertentu dimana manusia ingin melepaskan kelelahan dan ketegangan. Pada saat inilah mereka membutuhkan hiburan. Demikian pula ketika mereka haus akan informasi dari dunia luar, media dapat digunakan sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang diharapkan.

Manusia yang hidup di tengah dunia yang serba modern dewasa ini tidak perlu bersusah payah untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan membanjirnya produk-produk media, masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dan hiburan yang mereka kehendaki. Televisi menjadi salah satu media informasi dan hiburan yang dibutuhkan masyarakat.

(19)

19

95.850.000 buah (Iswarahadi, 2006: 16). Jumlah ini sekaligus menunjukkan sebuah realitas antusiasme penduduk Indonesia terhadap media televisi.

Mengapa televisi begitu banyak diminati oleh masyarakat? Apa yang membuat masyarakat kecanduan dengan program-program televisi? Ada daya tarik tersendiri yang membuat televisi mampu merebut hati pemirsanya.

Lukas Batmomolin dan Fransiska Hermawan memberikan gagasannya sehubungan dengan mengapa televisi begitu digemari oleh masyarakat.

Televisi mampu menjawab apa yang menjadi kebutuhan mereka. Kehadirannya merupakan sarana paling efektif yang mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan real maupun imajiner manusia. Televisi mampu memenuhi kebutuhan real akan hiburan dan informasi. Sekaligus mampu memenuhi kebutuhan imajiner akan sebuah kehidupan serba mewah tanpa masalah yang bisa kita temukan dalam sinetron atau film-film (Batmomolin & Hermawan, 2003: 82).

Melalui program televisi sinetron atau film pemirsa dapat menemukan kehidupan yang tidak terbatas, mudah, enak, dan tanpa masalah. Kecantikan dan keindahan para pemain beserta figur-figur idola menjadi daya tarik tersendiri yang mempesona. Apalagi jika film atau sinetron yang disimak berkisah tentang kehidupan nyata yang dekat dengan mereka.

(20)

20

Kepemudaan KAS, 2004: 20). Pada akhirnya mereka menjadi pecandu media. Generasi yang masih dalam proses pencarian jati diri dan pembentukan pribadi ini banyak mengalami perubahan akibat perkembangan media.

Perubahan yang paling terasa dalam kebiasaan kaum muda adalah saat film “Ada Apa Dengan Cinta” ditayangkan kemudian menyusul “Jelangkung”, “Eifel I’m in love”, “Kisah Romantis” dan sederetan film-film remaja lainnya. Film-film yang diputar di bioskop-bioskop ini menarik jutaan kaum muda untuk berbondong-bondong mengantri selembar tiket. Sebelumnya mereka cukup menonton acara televisi di rumah. Akhirnya ritual di luar rumah dan berkelompok menjadi kebiasaan baru. Fenomena kaum muda ini adalah dampak dari daya tarik musik, bahasa tubuh, ekspresi, kecantikan serta kegantengan figur-figur yang ditawarkan sebuah film (Garin Nugroho, 2005: 101).

Selama ini kaum muda dididik melalui media, belajar melalui media dan berelasi melalui media. Modernisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta merebaknya produk-produk media mau tidak mau membawa dampak perubahan tata nilai dan pola hidup. Konsumerisme, hedonisme, individualisme, meningkatnya kejahatan, penyalahgunaan narkotika, aborsi dan free sex merupakan bagian dari gaya hidup modern yang menjangkiti kaum muda (Komisi Kepemudaan KAS, 2004: 16).

(21)

21

telah memberikan apa yang mereka butuhkan (hiburan, film, musik, informasi), namun benarkah mereka sudah mendapatkan kekayaan spiritualitas dan rohani?

Meskipun banyak memberi dampak yang negatif, televisi atau media-media modern tidak selamanya buruk. Media pada umumnya dapat digunakan sebagai sarana efektif dalam pelayanan (pewartaan). Media dapat menyampaikan pesan-pesan dan kekayaan spiritual sehingga kekayaan Injil dapat lebih dipahami (Iswarahadi, 2003: 27). Pewartaan iman kristiani yang ditujukan bagi kaum muda akan lebih mengena apabila bahasa media digunakan sebagai sarana.

Gereja dituntut tanggap dengan situasi generasi penerusnya dan perlu mempersiapkan diri untuk mengimbangi kekuatan media komunikasi. Gereja dihadapkan pada kenyataan bahwa media komunikasi sosial adalah penting dalam kehidupan.

Dalam salah satu dokumen Konsili Vatikan II, Gereja secara tegas menyadari tugas dan tanggung jawabnya, yakni dengan mengeluarkan gagasan:

Gereja Katolik didirikan oleh Kristus Tuhan demi keselamatan semua orang, maka merasa terdorong oleh kewajiban untuk mewartakan Injil. Karena itulah Gereja memandang sebagai kewajibannya untuk juga dengan memanfaatkan media komunikasi sosial menyiarkan warta keselamatan dan mengajarkan bagaimana manusia dapat memakai media tersebut dengan tepat. Maka pada hakikatnya Gereja berhak menggunakan dan memiliki semua jenis media sejauh diperlukan atau berguna bagi pendidikan Kristen dan bagi seluruh karyanya demi keselamatan manusia (IM, art. 3).

(22)

22

muda di Wilayah St. Paulus Sambeng, Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kaum muda di Wilayah Sambeng yang terhimpun dalam organisasi Mudika di seputar Paroki Kelor adalah salah satu yang masih aktif mengadakan kegiatan dan pertemuan. Seperti kaum muda yang lain, dunia hiburan seperti televisi, film (televisi/bioskop), dan musik menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Tidak heran jika obrolan mereka juga seputar sinetron atau lagu-lagu yang sekarang ini baru booming.

Kegiatan sarasehan masa adven atau prapaskah jarang diselenggarakan, dan yang biasa ada hanya sarasehan bulan Kitab Suci, itu pun tidak rutin. Pada masa adven dan prapaskah Mudika sibuk mempersiapkan tugas dalam rangka ekaristi Natal atau Paskah. Apabila diadakan pendalaman iman dengan metode Biblis, banyak yang mengeluh: “membosankan dan bikin ngantuk”. Komentar inilah yang muncul ketika mereka disodori Kitab Suci atau jika seseorang berbicara tentang norma pergaulan kaum muda, demikian pula dengan kegiatan latihan koor yang sering diadakan untuk tugas-tugas tertentu. Kaum muda mengalami kebosanan dalam hidup menggereja, terutama yang berkaitan dengan metode pembinaan iman. Mereka membutuhkan sebuah pembinaan yang sesuai dengan bahasa dan situasi mereka.

(23)

23

Melihat gambaran kehidupan, harapan serta kemungkinan bahasa media inilah penulis dalam tulisannya memilih judul skripsi: “Peran Film Video untuk Memperlancar Proses Pembinaan Iman Kaum Muda di Wilayah St. Paulus

Sambeng, Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah

Istimewa Yogyakarta”.

B. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang di atas penulis menemukan beberapa permasalahan: 1. Apakah sebenarnya “media audio visual”?

2. Sejauhmana Gereja memanfaatkan media dalam usaha pewartaan iman? 3. Bagaimanakah gambaran situasi kaum muda berhadapan dengan media

audio visual?

4. Apa peran media audio visual khususnya film video dalam usaha pembinaan iman kaum muda di Wilayah St. Paulus Sambeng, Paroki St Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan:

1. Mengetahui apa yang dimaksudkan dengan media audio visual.

2. Mengetahui sejauhmana Gereja memanfaatkan media dalam pewartaan iman.

(24)

24

Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam berhadapan dengan media audio visual khususnya film video.

4. Melihat peran media audio visual khususnya film video dalam proses pembinaan iman kaum muda di Wilayah St. Paulus Sambeng, Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

5. Secara administratif akademis, penulisan skripsi ini adalah sebagai persyaratan kelulusan Sarjana Strata I (S1) Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Sanata Dharma.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan karya ini diharapkan dapat berguna untuk: 1. Gereja

• Menemukan alternatif media yang tepat bagi pembinaan iman kaum muda dan sesuai dengan budaya serta bahasa mereka.

• Memberikan sumbangan bagi karya pewartaan dengan model katekese audio visual melalui film video.

2. Kaum Muda

(25)

25

• Melatih kepekaan kaum muda terhadap situasinya sendiri serta situasi di sekitarnya.

• Membantu membina dan memperteguh iman kaum muda kepada Yesus Kristus.

3. Penulis

• Mempererat relasi dengan kaum muda.

• Belajar serta menambah pengetahuan sehubungan dengan pewartaan iman, media dan pembinaan iman.

• Belajar serta menambah kreativitas sebagai pewarta baik dari segi metode pewartaan, pengetahuan, dan sarana.

• Belajar mengenal dan memahami kaum muda terutama di Wilayah St. Paulus Sambeng.

E. Metode Penulisan

Metode penulisan skripsi ini adalah deskriptif analitis dan argumentatif didasarkan pada studi pustaka dan eksperimen sederhana. Penulis terlebih dahulu melakukan observasi terhadap objek yang diteliti, kemudian mengadakan eksperimen program pembinaan dengan media film video. Dari eksperimen tersebut diperoleh data mengenai peran film video dalam pembinaan iman kaum muda.

(26)

26 G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab besar. Adapun garis besar bab tersebut dapat dirincikan penulis dalam uraian di bawah ini.

Bab I merupakan bagian pendahuluan. Bab tersebut berisikan pokok-pokok latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II berbicara mengenai dunia audio visual dan pembinaan iman kaum muda. Dalam bab II ini penulis menguraikan tiga hal pokok. Bagian pertama menguraikan dunia media dan kaum muda, bagian kedua menguraikan pewartaan iman di zaman modern melalui media audio visual, dan bagian ketiga menguraikan pembinaan iman kaum muda melalui film video.

Bab III berbicara mengenai situasi kaum muda di Wilayah St. Paulus Sambeng, Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bab ini berisikan perencanaan dan pelaksanaan penelitian di Wilayah St. Paulus Sambeng, Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pokok-pokok yang dibahas adalah seputar situasi yang terjadi berkaitan dengan kaum muda di wilayah tersebut, hasil penelitian dan analisis.

(27)

27

dan Paulus Kelor, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta melalui media film., kesimpulan serta refleksi kegiatan.

(28)

28 BAB II

DUNIA AUDIO VISUAL DAN PEMBINAAN IMAN KAUM MUDA

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini memberi banyak pengaruh terhadap kehidupan manusia. Salah satu pengaruh tersebut adalah perkembangan media massa baik elektronik maupun cetak. Media massa yang berkembang pesat ini membuat informasi dan hiburan semakin mudah diakses oleh masyarakat luas (Purwa Hadiwardoyo, 2006: 57).

Fenomena dunia hiburan dan informasi terutama didominasi oleh stasiun-stasiun televisi dan didukung dengan mengudaranya 11 televisi swasta nasional di Indonesia. Masing-masing stasiun televisi tersebut melakukan siaran ± 20 jam setiap harinya. Acara hiburan yang berbentuk film seperti sinetron, film kartun, drama komedi, telenovela menduduki prosentase terbanyak di televisi swasta, yakni mencapai 50-60%. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan program siaran berita yang rata-rata hanya 13%. Metro TV adalah stasiun televisi yang menyediakan program berita lebih banyak, yakni 50-60% dari keseluruhan jam siarannya (Sunardian Wirodono, 2005: 10-11).

(29)

29

mengiklankan handphone, masyarakat lebih sering menggunakan handphone sebagai sarana berkomunikasi.

Perubahan budaya tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan harga yang harus dibayar masyarakat terhadap perubahan karakter, kepribadian dan kemandirian seseorang akibat televisi. Anak-anak terlalu banyak menyaksikan sinetron yang bergaya seperti orang dewasa dan seperti karakter tokoh dalam sinetron. Anak-anak muda senang melihat video musik “dugem” (dunia gemerlap) tanpa mendengarkan orang lain yang berbicara termasuk orangtuanya. Hal tersebut menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap segala sesuatu di sekitarnya akibat keasikan menikmati media sebagai hiburan (Sunardian Wirodono, 2005: 158).

Dilihat dari sudut pandang manfaat, keberadaan televisi memang memberi muatan wawasan dan ilmu yang semakin bermutu. Di sisi lain perlu disadari dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh sebuah media. Perubahan budaya masyarakat dan gaya hidup yang terlalu memuja modernisme sebagai dampak negatif perlu diperhatikan. Sindrom hedonisme, konsumerisme, materialisme dapat menjangkiti siapa saja. Oleh karena itu, sebagai penikmat media hendaklah selektif dan kritis dalam menanggapi media (Bahan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005, 2006b: 218).

(30)

30

agar sarana-sarana tersebut mampu merangkul umat (Komisi Kateketik KWI, 2000: 147). Dalam beberapa pokok pikiran di bawah ini akan dibahas apa yang dimaksudkan dengan media dan bagaimana pengaruhnya bagi kaum muda khususnya kaum muda katolik.

A. Dunia Media dan Kaum Muda

Kaum muda merupakan salah satu dari sekian banyak sasaran produk media baik elektronik maupun cetak. Kaum muda mempunyai karakter sebagai pribadi-pribadi yang masih dalam proses pencarian jati diri dan terbuka terhadap perubahan. Alasan tersebut membuat kaum muda mudah dipengaruhi budaya modernisme.

Perubahan budaya masyarakat dari yang tradisional ke modern membius sebagian kaum muda menjadi generasi yang gila akan kenikmatan, konsumtif, tidak mau hidup susah dan serba instan. Mereka cenderung meninggalkan nilai-nilai moral kristiani yang penuh semangat pengorbanan, ketekunan dan penderitaan (Susilo Suwartana, 2006: 2).

(31)

31

yang ditampilkan MTV, namun mereka juga meniru gaya penyanyi yang membawakannya. Channel tersebut masuk ke Indonesia sekitar tahun 2000. Seperti halnya di Amerika, di Indonesia peminat program ini juga didominasi oleh kaum muda dan berpengaruh terhadap kebiasaan mereka yang tidak dapat lepas dari budaya musik dan lagu (Eko Budi Santoso, 2004: 24).

Lewat media yang mereka nikmati sehari-hari kaum muda terjebak dalam budaya baru yang tidak jarang berdampak negatif. Pola hidup yang menawarkan sikap konsumeristis, hedonistis, individualistis, dan materialistis menjadi sebuah gaya hidup yang berkembang dalam diri kaum muda berhadapan dengan modernisme.

Fenomena tersebut adalah wajah umum kaum muda dewasa ini, namun apakah semua yang terjadi pada kaum muda dan gejolak yang mereka alami adalah murni kesalahan mereka? Di sisi lain mereka adalah pribadi-pribadi yang membutuhkan sentuhan dan sapaan dari orang-orang yang lebih dewasa. Mereka membutuhkan seseorang yang bersedia mengenal dan mendampingi mereka dalam menghadapi gejolak modernisme terutama gejolak media yang semakin mempengaruhi kehidupan (Susilo Suwartana, 2006: 2).

1. Arti Budaya Media

(32)

32

serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan juga diartikan sebagai hasil akal budi dari alam sekeliling dan dipergunakan bagi kesejahteraan hidupnya (Moeliono, 1990: 130-131).

Lukas Batmomolin dan Fransiska Hermawan (2003: 26) menyatakan bahwa budaya adalah “Pengetahuan, pengalaman-pengalaman, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, perilaku-perilaku, makna-makna, hirarki, agama, waktu dan berbagai objek material serta segala sesuatu yang diperoleh sekelompok orang dari generasi-generasi baik secara individual maupun kelompok”.

Sedangkan pengertian media dalam ilmu komunikasi adalah sarana untuk mengirim pesan (Adeline, 2005: 66). Kamus Besar Bahasa Indonesia juga memberi pengertian yang sama yakni “media adalah alat (sarana) komunikasi seperti majalah, radio, televisi, film, poster dan spanduk” (Moeliono, 1990: 569). Melalui media, pesan yang disampaikan dapat tepat sampai pada sasaran yang dituju serta dapat menyuarakan apa yang ingin disampaikan kepada audience.

Budaya media bukanlah sesuatu yang tercipta secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari kreasi manusia dan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Perkembangan yang dimaksud adalah kemajuan dalam bidang teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi yang merevolusi teknik-teknik berkomunikasi (Batmomolin & Hermawan, 2003: 31).

(33)

33

Budaya media sebagai satu bentuk budaya tekno (techno-culture) yang menggabungkan budaya dan teknologi ke dalam bentuk-bentuk dan konfigurasi baru. Perpaduan ini menghasilkan tipe masyarakat yang di dalamnya media dan teknologi menjadi prinsip yang mengorganisir. Budaya media mencakup semua jenis audio-visual. Terdiri dari semua sistem radio dan reproduksi suara, film beserta semua bentuk pendistribusiannya, sistem pers dan televisi yang kini merupakan pusat dari budaya media.

Gagasan ini menjelaskan kepada penikmat media bahwa yang dimaksudkan budaya media tidak hanya terbatas pada media yang ditampilkan, namun lebih luas daripada itu, yaitu keseluruhan kerja yang membentuk media. Antara lain suara, gambar, film beserta bentuk pendistribusian dan sistem pers (Batmomolin dan Hermawan, 2003: 38).

Beberapa pandangan Lukas Batmomolin dan Fransiska Hermawan (2003: 38) mengenai budaya media adalah sebagai berikut:

• Budaya media merupakan perpaduan yang mengagumkan antara gambar (image) dan suara (sound) yang dikemas sedemikian rupa, sehingga mampu menciptakan hal-hal yang serba spektakuler dari keseharian kita.

• Budaya media dari segi isinya adalah bentuk budaya komersial dan produk-produk yang merupakan komoditas yang didesain sedemikian rupa, hingga mampu menarik perhatian secara ekonomis demi profit.

(34)

34

• Dapat diambil kesimpulan bahwa budaya media mencakup berbagai produk industri budaya seperti musik, film dan sinetron, sistem organisasi media itu sendiri serta faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi proses produksinya, dan sarana komunikasi massa lewat mana ia disebarluaskan.

2. Fungsi Media

Media komunikasi sosial dengan segala daya tariknya merupakan bagian penting dalam kehidupan umat manusia dewasa ini. Keberadaannya melampaui segala keterbatasan ruang dan waktu. Di mana pun seseorang berada dan kapan pun mereka dapat memperoleh informasi dan segala kebutuhan akan hiburan serta pendidikan. Media komunikasi menjadi sumber utama informasi dan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat (Iswarahadi, 2000: 2).

Menurut Iswarahadi (2003: 115-117) terdapat empat fungsi media yang penting untuk diketahui.

• Media berfungsi korelatif: yakni jika media tersebut dapat menimbulkan rasa bangga dan memperteguh identitas suatu kelompok serta mampu meningkatkan “sense of belonging” seseorang.

(35)

35

• Ketika media mampu menggerakkan massa sehingga mereka terdorong untuk melakukan sesuatu, media tersebut memenuhi fungsinya untuk memobilisasi. Dengan fungsi mobilisasi ini media mengambil peran dalam menggerakkan masyarakat untuk peduli terhadap kehidupan.

• Fungsi media untuk memberikan hiburan merupakan fungsi yang paling menonjol. Kejenuhan terhadap pekerjaan dan aktivitas kehidupan menuntut seseorang untuk beristirahat dan melakukan relaksasi untuk dirinya. Saat inilah masyarakat membutuhkan media komunikasi untuk menikmati hiburan dan melepaskan kelelahan mereka. Melalui televisi, internet, video dan berbagai media lainnya kebutuhan mereka akan hiburan dapat teratasi.

3. Kaum Muda dan Problematikanya

a. Pengertian Kaum Muda

Kata “kaum”dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menunjuk pada suatu kelompok atau golongan tertentu. Jadi kata “kaum muda” menunjuk golongan yang disebut “muda” (Moeliono, 1990: 397). Sedangkan definisi “kaum muda” dalam Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda adalah “mereka yang berusia 13 s.d. 30 tahun dan belum menikah” (Komisi Kepemudaan KWI, 1993: 8).

(36)

36

Dilihat dari segi keadaan dan perkembangannya, kaum muda adalah mereka yang secara psikologis dan fisiologis sedang mengalami tahap-tahap perkembangan menuju pembentukan manusia yang lebih dewasa dan matang. Dalam usianya ini mereka berkembang dengan karakter tersendiri. Mereka mempunyai pola pikir dan prinsip hidup yang berbeda dengan orang-orang tua.

b. Perkembangan Kaum Muda

Kaum muda dengan segala gejolaknya merupakan makhluk yang masih dalam proses bertumbuh dan berkembang. Dari segi fisik mereka mengalami perkembangan, yakni terjadi perubahan bentuk dan ukuran tubuh. Demikian pula dari segi sosial, emosi, mental, moral, dan hidup beriman, usia yang semakin bertambah dan pergaulan yang semakin luas membuat segi-segi tersebut semakin berkembang. Dalam perkembangan tersebut mereka mengalami pergulatan hidup, mempertanyakan mana yang benar dan mana yang salah serta mempertanyakan identitas dirinya. Mangunhardjana (1986b: 12) mengemukakan pendapat yang kurang lebih sama, yakni: “kaum muda sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sebagai manusia yang mendekati masa dewasa, kaum muda sedang mengalami proses pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, emosional, sosial, moral dan religius dengan segala permasalahannya”.

(37)

37 1) Pertumbuhan Fisik

Gejala yang paling nampak pada kaum muda ditandai dengan pertumbuhan fisik. Ciri-ciri kaum muda sebagai laki-laki dan kaum muda perempuan semakin terlihat. Misalnya, suara pada mereka yang laki-laki semakin menggelegar, dan badan berotot. Sedangkan sebagai perempuan, mulai terlihat lekuk-lekuk pada tubuhnya (Mangunhardjana, 1986b: 12-13).

Gara-gara pertumbuhan fisik inilah mereka mengalami kegelisahan. Kegelisahan tersebut diakibatkan oleh cepatnya pertumbuhan dan tingkah laku atau sebaliknya pertumbuhan yang lambat. Mereka juga mempersoalkan baik buruknya hasil pertumbuhan fisik. Kadang pertumbuhan fisik yang diharapkan tidak sesuai dengan yang mereka terima. Tanda-tanda kewanitaan atau kepriaan mereka tidak teratur. Misalnya, pinggang terlalu lebar, tumbuh bulu pada dagu. Seiring dengan pertumbuhan tersebut mereka juga mengalami ketertarikan terhadap lawan jenis. Secara biologis mereka memang cukup matang, namun untuk bertanggungjawab atas pengalaman seksualitas ke sebuah perkawinan belum bisa (Mangunhardjana, 1986b: 12-13).

2) Perkembangan Mental

(38)

38

diperhatikan atau dipelajari dan dijadikan miliknya akibat kurang pengalaman dan belum tercapainya kematangan berpikir (Hendropuspito, 1983: 67). Mereka belum berhasil mencapai keseimbangan yang ideal. Mereka membutuhkan bimbingan dari angkatan tua. Di satu pihak mereka ingin dibimbing, namun di pihak lain mereka tidak mau diikat oleh tradisi atau pemikiran orang lain.

3) Perkembangan Emosional

Perkembangan emosional mereka tampak dalam semangat yang meletup-letup. Perubahan gejolak hati yang cepat dan muncul sikap-sikap masa bodoh, keras kepala dan tingkah laku yang tidak jarang hingar-bingar. Mudah memahami perasaan-perasaan bahagia, senang, bersemangat, puas, berani, cinta, optimis, percaya diri, terharu, terdukung, bangga, sedih, takut, pesimis, cemas, bingung, marah, dan malu. Permasalahan yang mereka (kaum muda) hadapi adalah tidak bisa menilai baik buruk emosi yang dialami dan bagaimana menguasai serta mengarahkannya (Mangunhardjana, 1986b: 13-14).

4) Perkembangan Sosial

(39)

39 5) Perkembangan Moral

Orang muda pada usia ini tahu apa dan bagaimana tindakan baik dan buruk. Mereka banyak mempertanyakan dasar-dasar mengapa hal-hal dan tindakan-tindakan itu baik atau buruk. Hal ini berakibat pada masalah pencarian patokan moral mana yang harus dipegang sebagai patokan hidup. Tidak jarang kaum muda mengalami berbagai ketegangan batin akibat situasi mereka ini (Mangunhadjana, 1986b: 14-15).

6) Perkembangan Religius

Perkembangan ini menyangkut hubungan dengan yang mutlak. Ketika usia anak-anak, kaum muda menerima segala hal yang berkaitan dengan hal-hal religius seperti teladan dari orangtua, namun sebagai orang muda mereka sering mempertanyakan untuk mendapat kejelasan mengenai kesejatian dalam hubungan dengan yang di atas (Mangunhardjana, 1986b: 15-16).

c. Problematika Kaum Muda

(40)

40

Penyebabnya dapat muncul dari bermacam-macam tempat di mana kaum muda tersebut berada. Keluarga sebagai tempat kaum muda bertumbuh dan berkembang membawa pengaruh munculnya problem dengan orangtua dan saudara. Lingkungan masyarakat sebagai tempat kaum muda berinteraksi juga menjadi tempat memungkinkan munculnya problem kaum muda, demikian pula Gereja sebagai tempat kaum muda memperkembangkan hidup rohani. Problem-problem seputar hidup rohani dan relasi dengan orang-orang di seputar Gereja menjadi bagian dari ketegangan yang dialami kaum muda. Perkembangan teknologi dan informasi juga menambah daftar problematika yang dialami oleh kaum muda. Benturan antara kebutuhan informasi dan hiburan, ketidakmampuan untuk menyeleksi dan mengkritisi perkembangan teknologi menjadi problem tersendiri bagi mereka.

Problematika dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang menyimpang dan berakibat buruk bagi orang-orang yang terlibat (Tangdilintin, 1984: 24). Yosef Lalu menyatakan bahwa problem utama kaum muda adalah identitas dirinya. Mereka masih kebingungan dan berusaha untuk mencari dan memantapkan identitasnya. Siapa saya? Mau jadi apa saya? Dan banyak pertanyaan yang sebenarnya mereka tujukan untuk diri sendiri (Lalu, 1986: 22-23).

(41)

41

diperbandingkan dengan realitas sekarang yang serba modern. Orang tua sering menyalahkan orang muda perihal tingkah laku yang tidak umum berlaku di antara mereka. Cara berpakaian, bertutur kata dan bersikap kaum muda menjadi sorotan orang tua pada waktu menilai mereka (Komisi Kepemudaan KAS, 2004: 14-15).

Situasi sosial dan politik masyarakat yang serba tidak menentu sebenarnya juga menjadi salah satu faktor mengapa kaum muda mengalami guncangan dan ketidaktentuan dalam bersikap dan bertingkah laku. Budaya masyarakat yang penuh dengan kekerasan, korup dan kekacauan (chaos) membuat kaum muda mau tidak mau ikut ambil bagian di dalamnya, yakni menjadi salah satu oknum tindakan tersebut.

Melihat situasi yang dialami kaum muda secara umum dan didukung pendapat dari beberapa tokoh yang bergerak dan mengamati kehidupan kaum muda, dapat dikemukakan beberapa problem mendasar yang dialami oleh kaum muda, yakni:

1) Problematika Kaum Muda dalam Keluarga

Masalah utama yang dialami anak muda dalam keluarga adalah sehubungan dengan relasi komunikasi dengan orangtua (Lalu, 1986: 16). Permasalahan ini bermula dari proses dialog yang tidak sehat. Kadang orangtua dengan idealismenya yang mengagungkan masa lalu sering memaksa anak muda untuk mengikuti apa yang orangtua inginkan dan yang telah mereka lakukan.

(42)

42

akan sangat berbeda dan menyebabkan ketegangan. Problem lain adalah karena kesibukan orangtua dalam bekerja memaksa mereka untuk acuh terhadap anak (Tangdilintin, 1984: 26-28).

2) Problematika Kaum Muda dalam Masyarakat

Modernisme yang menjadi budaya masyarakat menjadi penyebab munculnya permasalahan-permasalahan baru bagi kaum muda. Budaya baru yang dipengaruhi oleh kuasa modal ini menjadikan materi sebagai faktor penentu dalam kehidupan masyarakat. Hedonisme, konsumerisme, free sex, materialisme, dan kekerasan muncul dalam budaya kaum muda. Hal ini terjadi akibat keinginan kaum muda untuk selalu mengikuti perkembangan jaman dan mode. Sumbernya bisa melalui televisi, internet, media cetak dan media-media lainnya. Sedangkan masyarakat sebagai tempat kaum muda berinteraksi tidak mampu menawarkan nilai-nilai yang mampu dijunjung tinggi. Moral dan etika yang semakin merosot otomatis mempengaruhi gaya hidup mereka (Tangdilintin, 1984: 29-34).

3) Problematika Kaum Muda dalam Gereja

(43)

43

orang tua. Keadaan ini membuat kaum muda memilih untuk pasif saja daripada dirinya menjadi manusia lain bentukan orang tua (Tangdilintin, 1984: 34-37).

Hendropuspito menyampaikan permasalahan kaum muda dalam hal hidup religius dan beragama. Terhadap iman dan agama mereka masih menyimpan tanda tanya yang belum terjawab secara meyakinkan. “Krisis iman yang melanda seluruh dunia keagamaan dewasa ini menemukan sasaran yang luas dalam kalangan manusia dari kategori kaum muda” (Hendropuspito, 1983: 67). Hal ini terbukti dengan banyaknya mereka (kaum muda) yang meninggalkan iman kristiani. Alasan yang muncul dapat bermacam-macam. Ada yang karena jodoh, pergaulan atau juga pengalaman hidup yang kurang menyenangkan. Ada pula yang memandang bahwa ajaran agama yang diterima belum bisa menjawab kebutuhan mereka. Meninggalkan Gereja dan mencari keteduhan di tempat lain menjadi realitas kaum muda dewasa ini. Gereja menjadi tempat yang tidak strategis lagi untuk mereka. Bisa saja karena tradisi dan praktik agama yang kuno (Hendropuspito, 1983: 67). Sebagai gantinya media (televisi, internet, video film, video game, video musik) menjadi “tuhan” yang baik bagi mereka.

4) Problematika Kaum Muda dalam Bermedia

(44)

44

mencari dan mencoba sesuatu yang baru. Demikian pula dengan kemajuan teknologi dan informasi yang serba canggih, kaum muda merasa telah menemukan apa yang mereka cari (Hendropuspito, 1983: 67). Dunia baru mereka temukan lepas dari campur tangan pemikiran kolot orang tua. Tanpa mereka sadari modernisme yang selama ini menjadi makanan mereka sehari-hari telah mengubah gaya hidup, pola pikir serta tata nilai (Komisi Kepemudaan KAS, 2004: 14).

Banyak hal dapat dimanfaatkan dari media jika seseorang kritis dan selektif dalam menanggapi dan mempergunakannya. Seperti yang dijelaskan dalam bagian fungsi media di depan, media membuka ruang informasi dan pengetahuan yang luas bagi para peminatnya. Di sisi lain bagi mereka yang kurang kritis dampak buruk media dapat menjangkiti mereka.

Media terutama televisi ikut ambil bagian dalam perubahan tingkah laku dan emosi kaum muda. Di tangan mereka yang berjiwa bisnis dan penguasa, media dapat digunakan sebagai alat kekuasaan dan mendapatkan keuntungan, tetapi di tangan para pejuang kemanusiaan dan orang-orang yang benar media dapat digunakan sebagai tempat untuk beraspirasi dan membangun serta memperkembangkan orang lain (Iswarahadi, 2002: 20).

(45)

45

Melihat realitas televisi seperti itu manusia kurang menyadari dan mengkritisi akibat buruk yang ditimbulkannya. Televisi membentuk segala produk siarannya sebagai sebuah hiburan yang menyenangkan. Tidak mengherankan jika perilaku, cara berpakaian, bahasa, bahkan perilaku seksual yang ditampilkan dalam budaya masyarakat Amerika (yang ditampilkan dalam televisi) menjadi bagian dari kehidupan kaum muda di Indonesia.

Situasi ini mengantar kaum muda menjadi konsumen segala macam produk hiburan yang memandang segala sesuatu sebagai hal yang mudah, tidak ada tantangan, dan enak. Akibat tayangan yang mempengaruhi indera dan otak manusia dalam waktu lama, kesadaran kritis dalam pola berpikir dan hati nurani kaum muda tidak akan tumbuh sehat (Bahan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005, 2006a: 92).

B. Pewartaan Iman di Zaman Modern melalui Media Audio Visual

Dunia berkembang dengan berbagai terobosan dan kemajuan yang begitu cepat, semakin kompleks dan menuntut orang untuk semakin mampu bersaing jika dia tidak ingin dikatakan ketinggalan jaman. Gereja adalah salah satu bagian dalam dunia, hadir dan berinteraksi dengan dunia. Gereja pun punya andil dalam keterlibatan di tengah umat manusia. Oleh karena itu segala perkembangan yang terjadi dalam dunia juga harus diikuti oleh Gereja.

(46)

46

Aetatis Novae. Sebelum itu akan diuraikan terlebih dahulu prinsip-prinsip kristiani dalam kegiatan berkomunikasi.

1. Prinsip-prinsip Kristiani dalam Komunikasi

Perkembangan komunikasi harus disadari sebagai sebuah anugerah dari Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatunya dengan tujuan yang baik. Dewasa ini perlu diupayakan membangun solidaritas dalam kehidupan yang plural. Komunikasi yang sekarang ini marak cenderung merusak, memecah belah, memperlebar jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin, menciptakan penindasan dan mengutamakan dominasi sistem tertentu. Komunikasi semacam itu perlu untuk dikritisi dan diantisipasi, sehingga komunikasi yang terjalin benar-benar murni karena campur tangan Allah.

(47)

47

membebaskan, melestarikan kebudayaan dan bersifat kenabian (Eilers, 2002: 180-187). Prinsip tersebut dijabarkan penulis sebagai berikut:

a. Menciptakan Komunitas

Dewasa ini banyak terjadi perpecahan dan pertikaian, entah dalam bentuk perang suku, ras maupun agama. Masyarakat selalu dihadapkan pada realitas konflik. Melihat fenomena tersebut, komunikasi yang dibangun hendaknya dapat menjembatani situasi ini, yakni menjadi pemersatu kelompok-kelompok dan menciptakan komunitas yang inklusif bagi semua orang.

b. Membangun Partisipasi

Komunikasi dari definisinya berarti peran serta yang merupakan proses dua arah, maka seharusnya media komunikasi dapat memberikan suatu makna yang baru mengenai martabat manusia, suatu pengalaman baru mengenai komunitas, dan suatu sukacita baru bagi hidup yang lebih utuh. Komunikasi harus melibatkan semua pihak tanpa memandang strata sosial.

c. Membebaskan

(48)

48 d. Melestarikan Kebudayaan

Dewasa ini media komunikasi cenderung mengagungkan budaya asing yang modern, canggih dan serba spektakuler, sehingga budaya tradisional terabaikan. Media komunikasi hendaknya mampu melestarikan budaya masyarakat setempat, sehingga orang menemukan identitasnya lewat kebudayaan tersebut.

e. Bersifat Kenabian

Komunikasi hendaknya tidak hanya terbatas pada kata-kata, namun juga disertai perbuatan yang nyata. Tindakan kenabian (profetis) yang dimaksudkan adalah berani menentang penguasa dan tindakan-tindakan yang penuh kebohongan. Komunikasi profetis merangsang orang untuk kritis terhadap kenyataan yang terjadi.

2. Media Audio Visual serta Fungsinya

Maraknya dunia teknologi dewasa ini menuntut adanya penemuan sarana-sarana komunikasi sosial. Salah satunya adalah media audio visual yang sekarang sudah menjamur di tengah masyarakat. Media ini mudah didapat dan memperlancar komunikasi dalam masyarakat.

(49)

49

elektronik. Dewasa ini media tersebut diwarnai dengan maraknya televisi, video, tape, film dan komputer.

Fungsi media ini adalah untuk merangsang seseorang agar dapat melihat, merasakan dan mendengarkan sebuah pesan. Di samping itu penggunaan bahasa audio visual juga dimaksudkan untuk mendorong kebebasan berekspresi seseorang sekaligus menyuarakan pesan yang tidak tersampaikan dalam masyarakat (Eilers, 2001: 228-229).

Media audio visual tidak hanya ditujukan untuk membuat orang berbicara, tetapi melalui getaran yang ditimbulkannya juga dapat menyentuh kedalaman hati seseorang serta menggugah kepekaan perasaannya. Ketika emosi dan rasa seseorang tergugah, akan ada dorongan untuk berbuat sesuatu.

3. Gereja dan Media Audio Visual

Media audio visual menjadi salah satu alternatif yang dipakai oleh Gereja untuk dapat mewarta di jaman modern. Menurut Iswarahadi yang mengutip pendapat Pierre Babin, “getaran yang ditimbulkan oleh audio visual dapat membuat orang merasa ikut ambil bagian dalam suatu peristiwa atau cerita yang dilihatnya” (Iswarahadi, 2002: 29-30). Pewartaan Injil memanfaatkan media supaya dapat mempermudah dialog antarumat dalam mengkomunikasikan imannya. Diharapkan komunikasi yang terbangun dapat saling meneguhkan serta membangun persaudaraan antarumat beriman (Iswarahadi, 2002: 27).

(50)

50

yang diterbitkan pada tanggal 4 Desember 1963. Dokumen ini merupakan dekrit yang berbicara mengenai upaya-upaya komunikasi sosial serta masalah-masalah yang terjadi berkaitan dengan komunikasi sosial (Eilers, 2002: 19-21). Dokumen ini lebih-lebih mengagumi keunggulan teknik modern dalam bidang komunikasi dan tanggung jawab penggunaannya (Hofmann, 1987: 11). Gagasan yang disampaikan mengenai perlunya penggunaan media yakni:

Di antara penemuan-penemuan itu yang paling menonjol ialah upaya-upaya, yang pada hakikatnya mampu mencapai dan menggerakkan bukan hanya orang-orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia; misalnya: media cetak, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang karena itu memang tepatlah disebut media komunikasi sosial (IM, art. 1).

Dalam dokumen Inter Mirifica artikel ke-2, para pemimpin Gereja Katolik di seluruh dunia yang mengikuti Konsili Vatikan II menyadari bahwa media massa jika digunakan dengan tepat dapat berjasa besar bagi umat manusia. Oleh karena itu perlu dihindari penyalahgunaan media yang dapat merusakkan tatanan dalam masyarakat (Purwa Hadiwardoyo, 2006: 64).

Mengenai perlunya media bagi pewartaan, dokumen yang sama dalam artikel yang lain juga mengemukakan:

(51)

51

Dengan kesadaran demikian diharapkan Gereja dapat memberikan apa yang menjadi harapan bersama, yakni mewujudkan keselamatan bagi umat manusia. Dokumen tersebut juga menyampaikan beberapa hal pokok berkaitan dengan mereka yang terlibat dalam usaha pewartaan.

Hendaknya semua putra-putri Gereja serentak dan secara sukarela mengusahakan, agar upaya-upaya komunikasi sosial dengan cekatan dan seintensif mungkin dimanfaatkan secara efektif dalam aneka macam kerasulan, menanggapi tuntutan situasi setempat dan semasa...hendaklah para gembala di bidang ini pun dengan tangkas menunaikan tugas mereka, karena tugas ini berhubungan erat dengan kewajiban harian mereka mewartakan Injil. Para awam pun, yang berperanan dalam penggunaan media itu, hendaknya berusaha memberi kesaksian tentang Kristus, terutama dengan menunaikan tugas mereka masing-masing penuh keahlian dan kewajiban kerasulan… (IM, art. 13).

Artikel ini menjelaskan penggunaan media komunikasi sosial yang perlu memperhatikan konteks jaman serta mampu menanggapi situasi yang terjadi dalam waktu tertentu. Harapannya pewartaan Injil benar-benar mampu menjawab apa yang menjadi kebutuhan umat. Artikel ini juga berbicara mengenai siapa saja yang perlu ikut ambil bagian dalam karya Gereja. Ditegaskan bahwa setiap orang sebagai pengikut Kristus mempunyai kewajiban untuk ikut ambil bagian dalam karya pewartaan iman. Tidak terkecuali kaum awam yang banyak menggunakan media komunikasi sosial dalam kehidupan sehari-hari.

(52)

52

dalam bab-bab selanjutnya dokumen ini mengemukakan komitmen yang harus dibuat oleh orang-orang katolik terhadap keberadaan media (Eilers, 2002: 23-26).

Instruksi pastoral Communio et Progressio merumuskan bahwa tujuan utama dari komunikasi sosial adalah terciptanya persaudaraan semua orang. Hal tersebut diperjelas dalam artikel 8, yakni: “Pada hakikatnya komunikasi sosial ditujukan kepada rasa kebersamaan yang lebih erat dalam hubungan antarmanusia”.

Dalam salah satu artikelnya yang lain dijelaskan bahwa “komunikasi itu berarti tidak sekedar hanya mengungkapkan gagasan dan perasaan, komunikasi itu berarti menyerahkan diri penuh kasih…komunikasi dari Kristus adalah roh dan hidup” (CP, art. 11). Artikel tersebut memberi penekanan bahwa dalam komunikasi sosial bukan semata-mata kehebatan peralatan yang digunakan. Relasi sebagai satu saudara dalam Kristus menjadi pokok komunikasi itu sendiri.

Commmunio et Progressio juga mengemukakan pentingnya komunikasi sosial melalui media. “Media komunikasi itu bagaikan pasar di mana berita dari mana-mana ditukar dan bermacam-macam pendapat diungkapkan dan saling dipadukan. Dengan demikian kehidupan bersama diperkaya dan perkembangannya dipercepat” (CP, art. 24).

(53)

53

Gereja. Sebaliknya Gereja mulai terbuka terhadap perkembangan dunia komunikasi sosial serta berusaha memanfaatkan demi tercapainya dialog persaudaraan dalam kehidupan (Hofmann, 1987: 13-14).

Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial pada tanggal 22 Februari 1992 mengeluarkan instruksi pastoral yang diberi nama Aetatis Novae. Instruksi ini terlebih dahulu melihat konteks budaya yang terjadi di tengah dunia. Kemudian dokumen ini berbicara mengenai tantangan dewasa ini, perlunya sikap kritis, komunikasi dan pembangunan serta hak atas informasi (Eilers, 2002: 27-29).

Aetatis Novae dalam artikelnya ke-8 menegaskan bahwa: “Mereka yang mewartakan Sabda Allah haruslah memperhatikan dan berusaha untuk memahami ‘kata-kata’ dari bermacam-macam bangsa dan kebudayaan, agar tidak hanya belajar dari mereka tetapi juga membantu mereka untuk mengetahui dan menerima Sabda Allah” (EN, 1992a: 27-28).

(54)

54

4. Katekese Audio Visual

Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran apostolik Catechesi Trandendae artikel 18 memberikan pandangannya sehubungan dengan maksud katekese, yakni: “Katekese ialah pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup kristen“ (CT, art.18).

Unsur-unsur yang terkandung dalam katekese seperti yang dikemukakan di atas adalah pewartaan, pengajaran, pendidikan, pendalaman, pembinaan, pengukuhan serta pendewasaan. Dengan memasukkan unsur-unsur tersebut Gereja sebagai pewaris tugas pengajaran ingin membantu umat untuk benar-benar memahami, menghayati, dan mewujudkan iman umat dalam kehidupan sehari-hari. Paus Yohanes Paulus II juga mau menegaskan bahwa katekese penting diusahakan untuk semua orang beriman kristiani demi tercapainya iman yang hidup di tengah jemaat. Dengan kata lain iman yang dijiwai oleh Roh Kudus membuat hidup umat menjadi penuh dengan kedamaian dan keseimbangan (hidup rohani dan jasmaninya), sehingga umat mencapai kepenuhan hidup (Telaumbanua, 1999: 4).

(55)

55

Kegiatan katekese bersifat eklesial. Artinya selalu berhubungan dengan tugas Gereja. Tugas pewartaan iman merupakan salah satu tugas tersebut. Tugas ini diwariskan Yesus Kristus kepada Gereja di masa sekarang sebagai kelanjutan dari tugas-Nya sebagai ”Guru” bagi jemaat yang digembalakan-Nya. Gereja sendiri adalah semua orang yang percaya pada Kristus. Oleh karena itu tugas mewartakan Kabar Gembira dan pengajaran iman menjadi tugas dari semua orang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus.

Tanpa mengesampingkan tujuan yang lain, katekese sebagai komunikasi dan pertemuan iman lebih-lebih ditujukan pada persatuan dengan Yesus Kristus. Tentu saja segi pengajaran dan dialog iman tetap dipentingkan dalam proses katekese. Katekese berusaha untuk memperkenalkan dan mendekatkan umat pada Yesus Kristus yang telah menjadi poros hidup kristiani. Umat dibawa pada kelahiran baru sebagai orang yang telah bertobat dan menyambut kehadiran Kristus yang menyelamatkan, sehingga mereka memiliki relasi mesra dengan Yesus Kristus (Komisi Kateketik KWI, 2000: 67-68).

(56)

56

dewasa ini berpengaruh pada perubahan sosial dan spiritual seseorang bahkan sampai pada seluruh kehidupan seseorang (Komisi Kateketik KWI, 2000: 20). Contoh sederhana adalah perubahan gaya hidup masyarakat dari tradisional ke modern, bahasa sehari-hari; kaum muda begitu melihat televisi tertular bahasa gaul (seperti kata “elu”, “gue”), cara berpakaian (minimalis, seksi dan serba ketat), cara berpikir yang serba ingin praktis dan pola hidup instan.

(57)

57

Katekese memerlukan sebuah pembaharuan dalam hal metode dan sarana. Usaha pewartaan yang dulunya bersifat doktriner tidak mungkin lagi diterapkan dalam dunia modern. Oleh karena itu perlu diupayakan sebuah katekese yang mampu menyentuh kedalaman perasaan dan pribadi seseorang sesuai perkembangan dan budaya jaman modern. Salah satunya adalah katekese audio visual.

Adisusanto (2001: 4) menyampaikan gagasannya mengenai dampak perubahan bidang media sampai pada perubahan peradaban umat manusia serta dampaknya bagi pewartaan: “penyebab utama terjadinya perubahan dalam suatu peradaban tertentu ialah perubahan dalam bidang media komunikasi. Bila kita hubungkan dengan pewartaan, hal ini berarti media komunikasi berubah. Pewartaan juga berubah, sebab warta ada bersama peradaban”.

Peradaban umat manusia telah mengalami perubahan. Gereja sekarang perlu memperhatikan segi perubahan tersebut dengan ikut ambil bagian dalam perkembangan media komunikasi sebagai sarana untuk menyampaikan pewartaannya. Gereja perlu memberikan dukungan terhadap keberadaan media gambar dan suara sebagai bahasa modern yang mampu menyentuh umat. “Media audio-visual merupakan bahasa tersendiri yang mampu menyatakan realitas iman kepercayaan” (Adisusanto, 2001: 16). Untuk dapat mewartakan iman di jaman yang serba modern ini diperlukan media komunikasi audio-visual sebagai sarana.

(58)

58

2001: 7), terutama dalam usaha memperdalam iman masing-masing pribadi manusia.

Katekese audio visual yang diusahakan dewasa ini merupakan sebuah upaya penyampaian pengalaman pribadi sebagai orang kristiani. Adapun tujuan katekese audio visual ini adalah untuk mempererat dan memperdalam persaudaraan dalam kelompok orang yang percaya pada Kristus. Usaha ini bukan semata-mata untuk memperoleh pengetahuan intelektual atau doktrin-doktrin Gereja saja. Inti dari katekese ini adalah keterbukaan, saling menyapa dari hati ke hati serta timbulnya usaha pertobatan dari dalam diri seseorang (Adisusanto, 2001: 8).

Katekese audio visual memberi kesempatan besar untuk membentuk suatu kelompok orang beriman, dimana komunikasi antar anggota lebih kuat dan lebih mendalam. Dalam konteks iman Kristiani Yesus sendiri merupakan medium sekaligus message. Artinya, Yesus merupakan pembawa pesan sekaligus sebagai pesan itu sendiri. Di zaman yang serba canggih dan maju ini pewartaan Gereja ditantang untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, sehingga pewartaan benar-benar mampu menyentuh hati banyak orang.

(59)

59

Perhatian yang kedua adalah tempat berkatekese. Unsur ini penting untuk diperhatikan. Untuk dapat mengadakan katekese audio visual dengan baik perlu dipilih tempat yang benar-benar sesuai dan mendukung. Keluarga, lingkungan dan wilayah menjadi alternatif tempat yang baik untuk katekese audio visual. Sekolah juga dapat dipakai, namun kadang di sekolah anak-anak merasa terikat oleh kewajiban belajar secara formal. Rasa takut terhadap guru serta motivasi terhadap nilai tentu sangat berpengaruh bagi siswa, sehingga untuk mencapai sebuah dialog iman yang terbuka masih agak sulit.

Ketiga adalah bahan atau materi katekese audio visual yang akan digunakan. Banyak bahan katekese dijual di toko-toko, media komunikasi dan banyak materi dapat diakses dari situs-situs internet. Bahan-bahan tersebut belum tentu sesuai dalam rangka katekese yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu katekis perlu selektif dalam memilih bahan (Adisusanto, 2001: 9-10).

5. Sarana dalam Katekese Audio Visual

(60)

60 a. Sound Slides

Slides merupakan gambar yang dihasilkan dari pemotretan maupun lukisan tangan seseorang. Gambar tersebut ditampilkan ke layar putih dengan menggunakan proyektor (Hamzah Suleiman, 1981: 159). Supaya gambar yang dihasilkan lebih hidup, perlu diberi efek suara sebagai pelengkap. Setelah keduanya digabungkan, sarana ini disebut sound slide. Sarana ini menjadi salah satu alternatif dalam berkatekese. Sebagai contoh cerita tentang Musa, pemandu katekese dapat membuat gambar-gambar mengenai tokoh Musa, kemudian mengatur sedemikian rupa sehingga dapat ditampilkan ke layar dengan baik, sambil diiringi dengan musik dan narasi.

b. Film

(61)

61

kecantikan dan keindahan, baik dari pemain, cerita maupun unsur musik dan lagu yang disajikan.

Josef Eilers (2001: 188) menyampaikan pendapat mengenai film, yakni: “Film cenderung menjadi sebuah karya seni untuk mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemahaman dalam cara yang lebih artistik, yang membutuhkan perhatian khusus karena kemungkinan pertumbuhannya yang cepat”.

Josef Eilers (2001: 189) dalam buku yang sama menyampaikan peran film sebagai suatu sarana komunikasi sosial, yakni “film sebagai media pertunjukan pengalaman sosial, informasi, dan hiburan”. Film merupakan media audio visual yang bekerja dengan gambar-gambar dan suara. Mengenai bahasa yang dipakai dalam sebuah film Josef Eilers (2001: 189) berpendapat bahwa: “Simbol-simbol dan tanda-tanda visual merupakan unsur-unsur dasar penyajiannya, sedangkan suara dan kata-kata hanya berperan mendukung dan penyatuan kedua unsur tersebut menghasilkan bahasa audio visual yang baru”.

Heru Effendy (2002: 11-14) menyampaikan beberapa jenis film dilihat dari sudut pandang keperluan sebuah film diproduksi (mengapa film dibuat). Film tersebut terdiri dari film dokumenter, film cerita pendek (short films), film cerita panjang (feature-length films), film-film jenis lain (corporate profile), iklan televisi, program televisi, dan video klip.

(62)

62

berdurasi waktu pendek ± 30 menit supaya tidak menyita banyak waktu dan membosankan bagi peserta katekese (Eilers, 2001: 188-192).

c. Video

Video merupakan sarana rekam gambar dan suara yang lebih bebas untuk digunakan. Sarana ini dapat digunakan kapan saja dan di mana saja oleh pemiliknya. Video merekam gambar pada pita kaset atau piringan. Pendapat tersebut diteguhkan oleh Josef Eilers yang menyampaikan bahwa: “Video merupakan salah satu sarana teknis terbaru bagi komunikasi visual yang merekam gambar pada pita atau piringan sehingga mudah direkam dan diproduksi kembali” (Eilers, 2001: 192). Dalam rangka katekese, video dapat merekam gambar atau film sesuai tema katekese yang dibuat, sehingga pada saat pelaksanaan piringan pita yang sudah dihasilkan dapat diputar sesuai keinginan pemakai. Sarana ini mulai sering digunakan karena mudah didapat dan cara kerjanya tidak bertele-tele (Eilers, 2001: 192-193).

Penulis dalam bagian skripsinya membatasi jenis video lebih pada film berdurasi pendek. Film dan video merupakan dua hal yang berbeda, namun di tengah perkembangan teknologi yang serba canggih ini keduanya sudah bisa dikombinasikan. Sang kreator dapat melakukan shooting dan editing dalam format video, namun ditayangkan dalam format film (Heru Effendy, 2002: 24).

(63)

63

harus berpikir untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain sehubungan dengan video yang akan dia buat. Dengan bantuan handycam dia sudah dapat menghasilkan film video yang diinginkannya dengan teknologi digital.

Menurut Josef Eilers (2001: 193) ada 4 kemungkinan penggunaan video yakni:

• Video digunakan sebagai pengisi waktu sehubungan program televisi. Sebagai contoh ketika seseorang ingin melihat salah satu program siaran di televisi namun karena ada kepentingan lain, dia tidak dapat melihat secara langsung. Program tersebut dapat direkam kemudian dilihat pada saat dia menginginkan. • Video digunakan sebagai media alternatif. Masalah atau tema tertentu yang

tidak bisa terekam oleh televisi atau tidak terdapat dalam program televisi dapat dibuat dengan media video. Misalnya sebagai bahan untuk pertemuan atau diskusi.

• Video sebagai instrumen rumah tangga untuk keluarga. Kalau dulu masyarakat menggunakan foto sebagai dokumen keluarga, sekarang dengan menambah biaya sedikit mereka dapat menghasilkan gambar bergerak melalui video. Misalnya: dalam pesta pernikahan, ulang tahun, dll.

(64)

64 d. Permainan Teater

Sarana ini merupakan bentuk lain dari drama. Cerita yang diangkat dalam sebuah permainan teater biasanya berangkat dari situasi konkret yang dialami masyarakat atau mengangkat keprihatinan dalam masyarakat pada tempat tertentu. Kisah dalam Kitab Suci dapat sebagai salah satu ide cerita. Sebagai sarana dalam berkatekese, permainan teater yang diangkat juga harus tetap sesuai dengan tema. Dapat digunakan di awal proses sebagai pengantar tema atau di akhir proses sebagai peneguhan sebelum Kitab Suci dibacakan (Tangdilintin, 1984: 73).

e. Wayang

Masyarakat Jawa mengenal wayang sebagai bagian dari kebudayaan dan falsafah hidup. Wayang bisa menjadi salah satu alternatif karena cerita dalam pementasan wayang biasanya memuat nilai-nilai tertentu yang penting dalam hidup manusia. Seorang dalang yang memainkan wayang, seperti seorang guru yang sedang mengajar murid-murid melalui cerita yang diangkatnya. Selain itu tokoh-tokoh wayang biasanya mempunyai keutamaan-keutamaan tersendiri yang patut menjadi teladan hidup. Misalnya, Semar berperilaku sebagai pelayan yang berhati, setia dan bijaksana.

f. Gambar-gambar

(65)

65

rangka pembinaan iman, bahasa foto juga menjadi alternatif sarana yang tepat. Foto-foto tersebut dapat berupa gambar suatu fakta, kejadian aktual, problem aktual, sejarah, pengetahuan, pemandangan, atau objek-objek tertentu (manusia, benda, atau binatang). Foto-foto tersebut dapat digunakan untuk memancing kreatifitas dan kekritisan peserta pembinaan. Proses berpikir dalam sebuah pembinaan dapat diperlancar dan dipermudah serta dijadikan lebih konkrit dengan bantuan bahasa foto (Adisusanto, 2001: 30-31).

g. Kaset Suara/Compact Disk (CD)

Kaset suara dan Compact Disk juga dapat digunakan dalam berkatekese. Melalui suara yang direkam melalui pita suara (kaset suara) atau piringan CD, peserta diarahkan untuk lebih mendalami dan menangkap maksud diadakannya sebuah katekese.

6. Kekuatan dan Keterbatasan Katekese Audio Visual

(66)

66 a. Kekuatan Katekese Audio Visual

Melalui bahasa audio visual dapat dicapai komunikasi iman yang lebih mendalam. Artinya katekese audio visual mampu mengungkapkan apa yang tidak mampu diungkap dalam sebuah doktrin. Dengan kata lain katekese audio visual mampu melampaui batas-batas ketidakmampuan bahasa pengajaran. Sebuah doktrin biasanya hanya mampu menyampaikan pengajaran mengenai sejarah Gereja, Kitab Suci dan ajaran Gereja secara formal, berbeda dengan bahasa audio visual yang menekankan bahasa gambar, suara dan lagu. Melalui media ini pengalaman iman peserta katekese dapat digali secara bebas dan mendalam (Adisusanto, 2001: 6).

Bahasa audio visual mampu mengembangkan emosi seseorang terhadap suatu realitas. Misalnya, ketika katekese menggunakan media film. Melalui film peserta diajak untuk ikut merasakan getaran emosi para pemain. Rasa sedih, senang bahkan jika terlalu sedih peserta dapat ikut menangis. Selain itu bahasa audio visual juga mampu mendorong peserta untuk lebih kreatif.

Melalui film sebagai sarana, katekese dapat mengembangkan kesadaran kritis seseorang dan keterlibatan terhadap sebuah realitas. Misalnya, ketika seseorang diajak untuk melihat film tentang peperangan, mereka didorong untuk dapat menciptakan pertanyaan-pertanyaan seputar mengapa hal ini terjadi, siapa yang salah dan siapa yang menjadi korban (Eilers, 2001: 229-230).

b. Keterbatasan Katekese Audio Visual

(67)

67

Untuk dapat melaksanakan katekese audio visual dibutuhkan persiapan baik dari segi materi maupun segi sarana. Oleh karena itu, jika pemandu tidak mempersiapkan diri dengan baik kemungkinan adanya kekacauan dalam pelaksanaan dapat terjadi. Misalnya, jika akan menggunakan media film, perlu dipersiapkan tindakan antisipasi ketika listrik padam.

Katekese audio visual kadang menjadi kurang jelas dan kurang teliti sebab tuntutan kreativitas, partisipasi dan efektivitas yang seharusnya ada dalam katekese audio visual tidak mampu terpenuhi. Pertama, tuntutan kreativitas mengharuskan pemandu dalam katekese untuk dapat mencari dan menciptakan sarana dan suasana yang sesuai dengan tema yang akan dibahas sekaligus peka terhadap situasi dan kondisi peserta katekese. Masing-masing peserta mempunyai kemampuan sendiri dalam memahami dan menangkap maksud pemandu. Ada yang mengerti tanpa dijelaskan mengapa media (misalnya film) digunakan, tetapi ada juga yang tidak mampu memahami. Dalam katekese bisa terjadi tema dan sarana (film atau lagu) yang digunakan untuk menarik perhatian peserta justru tidak berhubungan.

(68)

68

Tuntutan ketiga dalam penggunaan sarana audio visual adalah efektivitas. Artinya, sarana tersebut harus sungguh-sungguh berguna dan tepat dengan maksud diadakannya pertemuan. Pemandu harus mampu melihat apakah sarana mempunyai nilai guna dalam proses atau hanya sekedar untuk memeriahkan proses. Jangan sampai terjadi pesan yang disampaikan oleh media tidak berbicara apa-apa mengenai peserta tersebut atau tidak menyentuh kehidupan peserta (Adisusanto, 2001: 6).

C. Pembinaan Iman Kaum Muda melalui Film Video

Penggunaan media film video dalam pembinaan iman masih jarang dibuat dan dilaksanakan oleh para pembina atau katekis, terutama di daerah-daerah. Sebenarnya sarana mudah untuk didapat (seperti televisi, VCD/Video Compact Disk), hanya mungkin tidak tahu bahan (film) yang mau dipakai dan sesuai dengan tema. Memang tidak mudah untuk dapat menemukan film yang sesuai jika tidak mempunyai referensi tentang judul-judul film. Selain itu pembinaan iman melalui media film video mempunyai ketergantungan dengan peralatan elektronik dan listrik. Jika mati lampu atau sarana elektronik rusak pada saat digunakan, proses jelas akan terhenti. Di samping itu media film juga mempunyai daya tarik tersendiri bagi kaum muda, selain mudah dan murah. Unsur kreativitas, santai dan menghibur menjadi alasan mengapa media film video tetap perlu digunakan dalam rangka pembinaan iman kaum muda.

Gambar

Tabel 2. Kisi-kisi Angket
Tabel 3. Identitas Responden
Tabel 4. Pembinaan Iman Bagi Kaum Muda
Tabel 5. Film Video
+7

Referensi

Dokumen terkait