• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fir`aun Globalisas

C. RAHWANA GLOBALISASI: MASSIFIKASI KEMISKIN AN VERSUS JANJI KEMAKMURAN

2. Fir`aun Globalisas

Fir`aun adalah raja Mesir yang sangat berkuasa. Saking berkuasa- nya ia mengklaim bisa melakukan apa pun yang dikehendakinya. Ke- kuasaannya yang tiranik dan hegemonik ingin mencengkeram dan menguasai seluruh rakyatnya. Semuanya harus tunduk dan menghamba pada kekuasaannya. Fir`aun merupakan simbol penguasa atau rezim despotik, tiranik, dan hegemonik yang siap memangsa siapa pun. Ke- kuasaannya berfungsi untuk memperkokoh diri dengan cara memper- daya rakyatnya yang lemah.

Simbol Fir`aun dalam konteks globalisasi bisa disaksikan pada para pemegang kekuasaan politik melalui mana kekuasaan itu mem- benar kan dominasi globalisme atas negara-negara atau bangsa-bangsa di bawah kredo politik adikuasa. Penguasaan se macam ini dapat meng- gunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk mempertaruhkan globalisme demi kejayaan mereka di atas penderitaan negara-negara dan bangsa- bangsa yang dikuasainya.

Presiden Amerika Serikat Harry S. Turman adalah representasi penguasa model Fir`aun. Dengan memanfaatkan barisan Haman, yaitu kelompok intelektual tukang yang siap mengabdi untuk kekuasaan, ia berperan dalam memapankan penindasan dan eksploitasi melalui glo- balisasi ekonomi. Truman memerintahkan kepada para intelektual tukang

ini untuk memberikan rasionalisasi, justifikasi, dan legitimasi apa pun

demi memberikan keuntungan kepada rezim politik dan ekonomi global. Salah satu gerakan yang dilakukan oleh Truman bersama intelek- tual tukangnya adalah menciptakan teori developmentalisme dan mo- der nisasi. Gagasan developmentalisme dimulai pada 1940-an, khusus- nya pada tanggal 20 Januari 1949, yakni pada saat Presiden Amerika Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahannya. Gagas- an ini dimaksudkan sebagai jawaban atas penolakan Dunia Ketiga atas kapitalisme dan ketertarikan rakyat Dunia Ketiga terhadap keberhasilan Uni Soviet sebagai kekuatan baru. Jadi, developmentalisme sesungguh- nya merupakan kemasan baru dari kapitalisme (Gendzier, 1985).

Developmentalisme disebarkan ke Dunia Ketiga dan yang me- megang peranan penting dalam diskursus ini adalah para intelektual tukang yang ahli ilmu-ilmu sosial pada 1950-an dan 1960-an. Mereka ber-

of Technology (MIT). W.W. Rostow mengembangkan teori pertumbuhan (Growth Theory, 1960), sementara McLelland dan Inkeles (1974) me- nemukan teori modernisasi. Keduanya dijadikan pilar utama bagi ke- bijakan dan kepentingan dari program bantuan dan politik luar negeri Amerika. Namun ternyata teori developmentalisme dan modernisasi yang menjadi arus utama teori dan praktik perubahan sosial justru men- ciptakan berbagai persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan kemiskin- an.

Di samping Harry S. Truman, ada dua tokoh penting dari rezim penguasa yang membuat kekuatan globalisme ekonomi makin tumbuh dengan pesat. Mulai dekade 1980-an, aliran kanan baru yang diwakili oleh Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepat- nya pada 1990-an, kapitalisme neo-liberal pasar bebas dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.

Dua teori di atas — developmentalisme dan modernisasi — di- paksakan untuk diterapkan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Sejak pembangunan nasional di mulai melalui tahapan-tahap- an lima tahunan (repelita dan pelita), Soeharto, bapak developmentalis- me Indonesia, mulai membuka investasi asing dan menggalakkan pem- bangunan di bidang ekonomi. Tahapan-tahapan pembangunan lima tahunan tampaknya menyerupai apa yang direncanakan dalam skenario developmentalisme dari Rostow. Harmoko adalah salah satu menteri yang paling senang mengucapkan dalam pidatonya bahwa bangsa Indo- nesia sedang memasuki era lepas landas, tahap ketiga menurut teori Rostow.

Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional didu kung oleh sejumlah intelektual tukang, yang sering dikenal dengan sebutan

mafia Berkeley. Yaitu sejumlah ekonom alumni Berkeley yang dengan

bangga mendukung dan menopang penerapan developmentalisme di negeri ini. Hasil dari 32 tahun membangun di bawah hegemoni deve- lop mentalisme, dengan daya dukung penguasa tiran Soeharto dan

intelektual tukang mafia Berkeley, akhirnya negara dan bangsa ini harus

merasakan pahitnya tetap “tinggal di landasan”. Satu kegagalan yang tidak pernah terbayangkan oleh penguasa dan para kaki tangannya.

Pasca Soeharto, kini pemerintah dan penguasa negeri ini tidak jauh-jauh dari pendahulunya. Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono adalah “Fir`aun” baru yang menghamba pada globalisasi ekonomi. Ia menerbitkan Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan, pada 4 Pebruari 2008. Peraturan mem- buka peluang kepada perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia untuk mengeksploitasi hutan lindung. Peraturan ini bisa dimanfaatkan sebagai license to kill and destruct (ijin membunuh dan meng -

hancurleburkan) kekayaan dan keanekaragaman hayati baik flora mau-

pun fauna yang tumbuh dan berkembang di hutan-hutan lindung yang dieksploitasi. Kompas (6 Pebruari 2008) menyebut peraturan ini sebagai kelanjutan dari “rezim deforestasi terpimpin” yang sudah dimulai sejak 1967 ketika pembangunan nasional mulai dirintis. Dapat diduga bahwa yang bermain di balik lahirnya keputusan ini adalah perusahaan-peru- sahaan pertambangan multinasional yang mendesak pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang No 1 Tahun 2004 (yang diterbitkan oleh Presiden Megawati) yang mengijinkan mereka melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Tiga belas peru- sahaan itu antara lain: Freeport Indonesia Comp. (tambang emas dan tembaga), Karimun Granit, INCO Tbk (nikel), Indomico Mandiri (Batu- bara), Aneka Tambang Tbk (nikel), Natarang Mining (emas), Nusa Halmahera Minerals (emas), Pelsart Tambang Kencana (emas), Interex Sacra Raya (batubara), Weda Bay Nickel (nikel) Gag Nikel, Sorikmas Mining (emas), dan Aneka Tambang Tbk (nikel).

Tentu saja penerbitan peraturan pemerintah ini sangat berten- tangan dengan komitmen bangsa-bangsa di dunia untuk mengatasi pe- manasan global dan perubahan iklim yang dilahirkan dalam Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCC) di Bali beberapa waktu lalu. Disamping itu, peraturan ini merupakan cermin dari perselingkuhan dan persekongkolan jahat antara Fir`aun dan Qarun globalisasi dengan konsensi dan kompensasi tertentu yang dilakukan di bawah meja. Wajar jika pemerintahan SBY mencari kambing hitam dengan berlindung dalam lipatan peraturan sebelumnya yang telah dikeluarkan oleh rezim Megawati. Pada saat yang sama pemerintah telah melakukan kebohongan publik dengan bermuka dua: di satu sisi mereka berargumen bahwa

PP No 2/2008 ini hanya diperuntukkan bagi 13 perusahaan tambang

di atas, namun di sisi lain tidak disebutkan secara definitif 13 nama pe-

rusahaan itu di dalam peraturan tersebut. Jelas bahwa peraturan ini dibuat hanya untuk keuntungan sepihak, yaitu keuntungan bagi pe- merintahan SBY yang sedang kebingungan untuk mencari anggaran

tam bahan bagi defisit APBN; keuntungan bagi perusahaan-perusahaan

tambang multinasional untuk mengeruk pundi-pundi alam nusantara tanpa batas dan dengan pajak yang sangat kecil. Sementara itu, rakyat Indonesia tidak memperoleh keuntungan apa pun dari penerbitan PP itu, bahkan sebaliknya mereka harus bersiap-siap untuk menerima dampak kerusakan lingkungan yang makin parah. Tampaknya pemerintah SBY sedang menggaungkan kembali semboyan kampanyenya “Bersama Kita Bisa Merusak Lingkungan”.

Fir`aun globalisasi juga mewujud dalam isu global governance yang menjadi istilah payung bagi berbagai macam regulasi internasional. Sejumlah lembaga global governance bermunculan seperti jamur selama 30 tahun terakhir dan seterusnya dengan regulasi perdagangan dan ke- uangan yang terbuka bagi pelembagaan global dan menghilangkannya dari arena domestik. Governance (tata kelola) kini merupakan gejala yang lebih menyita perhatian ketimbang pemerintahan (government). Ia men- cakup lembaga-lembaga pemerintahan, mekanisme informal, meka nisme non-pemerintahan. Sangat mungkin menerima tata kelola tanpa peme- rintahan – mekanisme regulasi di wilayah aktivitas yang berfungsi efektif meskipun tidak diberi otoritas formal (Rosenau dan Czempiel, 1992).

Di bidang lingkungan, sejumlah kesepakatan internasional tentang lingkungan telah muncul. Ekonomi global dan tata kelola politik yang secara struktural menentukan tata kelola lingkungan, membawa pada pertimbangan-pertimbangan ekologis yang memihak mereka yang selama ini sudah diuntungkan dan kurang memahami hubungan antara masya rakat dan lingkungannya. Ini artinya tata kelola global terjadi di tengah-tengah ketiadaan pemahaman mengenai ketergantungan masya- rakat terhadap fondasi-fondasi ekologis. Jadi dapat dijelaskan bahwa tiadanya prioritas ekologis dalam WTO sebagai sistem tata kelola ekonomi global kurang memberi perhatian pada Dunia Ketiga. Meskipun Bank Dunia meletakkan kebijakan lingkungan pada agendanya, ini dilaku- kan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang mengasumsi-

kan pertumbuhan tanpa batas dan menolak realitas-realitas mendasar tentang keadilan lingkungan dan akses sumber daya. Sebagian besar per - debatan akademik tentang tata kelola global fokus pada perubahan peran negara dalam sistem internasional, penurunan kedaulatan negara dan bagaimana aktor-aktor lain akan berpotensi menggantikan negara se bagai aktor paling penting dalam sistem.

Pada saat yang sama, kekuasaan negara-negara industri atau Utara sebenarnya telah membangun benteng melalui lem baga-lembaga tata kelola ekonomi global yang hingga saat ini mencerminkan kepentingan- kepentingan negara-negara kaya di atas negara-negara miskin. Jelas bahwa kerangka ekonomi-politik global dilegitimasi oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga global yang menyediakan suatu sistem bagi tran-

sfer sumber daya secara efisien dari wilayah-wilayah pinggiran ke wilayah

pusat, dan karenanya juga mendukung kelangsungan kebijakan-kebijak an ekspo litasi yang lebih keras dan langsung. Pada saat yang sama, meskipun meningkat retorika lingkungan dalam bentuk wacana pembangunan ber - kelanjutan (Redclift, 1987), sebetulnya tidak ada upaya nyata untuk mem berlakukan pembatasan bagi tata kelola korporasi global dalam kaitannya dengan sumber daya alam dan lingkungan, dan ini terjadi dalam dua tingkatan. Pertama, kebangkitan perusahaan-perusahaan mul ti nasional terjadi setelah meningkatnya liberalisasi perdagangan dan pelembagaan sistem keuangan global melalui organisasi-organisasi inter nasional (Newell, 2001). Ada perubahan-perubahan struktural me- nuju iklim korporasi yang beragam dan dapat dijelaskan sebagai tata kelola korporasi meskipun entitas korporasi jelas bukan merupakan legitimator bagi tata kelola itu sendiri. Kedua, perusahaan-perusahaan multi nasional telah menyusun di kalangan mereka sendiri aturan-aturan yang mengikat sebagai bentuk swa tata kelola. Swa tata kelola ini mem- fasilitasi standarisasi yang menjadi kesempatan baik bagi mereka untuk melakukan ekspansi bahkan monopoli. Bentuk-bentuk swa tata kelola terlihat dari penerapan Organisasi Standar Internasional (ISO) seperti ISO 9001 dan ISO 14001. Standar-standar ini diperkenalkan seiring dengan perusahaan-perusahaan multinasional ini terancam oleh kondisi-kondisi kerja yang membahayakan bagi produk mereka yang biasanya diproduksi oleh sub-kontraktor. Standar ini diciptakan oleh perusahaan-perusahaan itu sendiri yang peduli untuk mengawasi kondisi-kondisi kerja di pabrik-

pabrik mereka, dan mereka bertanggung jawab dalam implementasinya. Jadi, tata kelola korporasi global telah memfasilitasi bagi mapannya pasar- pasar global namun menghindarkan diri dari regulasi yang berhubung an dengan degradasi lingkungan dan sosial (Kütting, 2004).

Rupanya ada repon yang sangat kuat terhadap meningkatnya iklim korporasi global dan tata kelola berbasis pasar dari masyarakat sipil global. Masyarakat sipil global berupaya melakukan reformasi bentuk- bentuk lain tata kelola. Alasan di balik semua ini adalah bahwa negara- negara Utara atau Barat makin melucuti peran mereka sendiri dalam me ningkatkan kesejahteraan sosial dan menjadi perwakilan atau pen- jaga dari kepentingan-kepentingan pasar global. Karena itu, peran se- bagai polisi yang dulu diambil oleh negara-negara, kini diambil alih oleh aktor-aktor non-negara. Akibatnya para aktor baru ini makin ber peran besar di arena internasional.

Singkat kata, dalam hal hubungan masyarakat-lingkungan, proses tata keola global telah menjadi lebih pluralistik dan transnasional sebagai akibat globalisasi. Namun ini tidak mesti membawa pada meningkatnya pertimbangan-pertimbangan keniscayaan lingkungan pada skala global. Meskipun ada beberapa kelompok aktor dan lembaga yang bekerja di wilayah lingkungan, ini terjadi dalam subordinasi dari sistem tata kelola ekonomi global. Dan dapat dikatakan bahwa sistem manajemen ling- kungan global bukan merupakan sistem tata kelola lingkungan global. 3. HAMAN GLOBALISASI

Haman adalah nama seorang sahabat Fir`aun. Ia adalah seorang ilmuwan. Ia merupakan simbol ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa rezim Fir`aun berkuasa, Haman adalah tangan kanannya yang se- lalu taat mengikuti perintah. Ia ahli membuat bangunan-bangunan yang tinggi dan canggih, sehingga Fir`aun berharap lewat gedung pencakar langit itu ia dapat melihat Tuhan. Ia merupakan sosok intelektual tukang yang siap melayani penguasa politik maupun ekonomi tiranik dengan legitimasi teoretik dan ilmiahnya.

Haman dalam konteks globalisasi adalah inovasi teknologi dan revolusi informasi. Teknologi merupakan kendali utama globalisasi. Se- lama dua dekade yang lalu, globalisasi dipercepat oleh lompatan dengan

bantuan teknologi. Produksi teknologi secara global dan perdagangan internasional dalam teknologi tingkat tinggi telah memberikan per- tumbuhan luar biasa pada 1975-1986, melipatgandakan produksi sekitar enam dan sembilan kali dari tahun-tahun sebelumnya. Ramalan pada umumnya memperkirakan bahwa teknologi akan menyebar ke negara- negara terbelakang dan dapat memproduksi “keuntungan digital” yang gagal diwujudkan dalam bentuk materi, bahkan ia telah melahirkan ke- senjangan digital. Ramalan ini gagal karena didasarkan pada asumsi

yang salah. Perkembangan teknologi terbukti membawa profit bagi

perusahaan-perusahaan raksasa multinasional dan memberi indi vidu- individu di dalamnya hadiah atau keuntungan yang jauh lebih besar dari- pada perusahaan-perusahaan kecil dan individu-individu miskin. Akibat- nya, globalisasi telah berjasa memperlebar ke senjangan antara kaya dan miskin. Konsep “kesenjangan digital” kini sering disebut sebagai sumber tipu muslihat pasar dalam percaturan globalisasi yang digunakan oleh golongan kaya dan negara-negara yang memperoleh berkah globalisasi untuk memelihara kekuatan globalisasi yang tak dapat diawasi.

Menurut Laporan Pembangunan Sumber daya Manusia PBB (2002), negara-negara industri dengan hanya 15% penduduk dunia, merupakan tempat bagi 88% para pengguna internet. Asia Selatan dengan 23% pen duduk dunia memiliki kurang dari 1% pengguna internet. Di Asia Teng gara, setiap 500 orang terdapat 1 pengguna internet. Situasi ini lebih buruk lagi di Afrika. Dengan penduduk 739 juta, hanya ada 14 juta seluran telepon, lebih sedikit dari jumlah yang ada di New York dan Paris. Ini jelas bahwa ada proses marjinalisasi atas penduduk miskin di dunia dari revolusi informasi. Isu transfer teknologi ke negara-negara Selatan dalam banyak kasus yang terjadi adalah transfer eknologi yang sudah usang dan tidak dibutuhkan lagi oleh negara-negara Utara serta tidak cocok untuk lingkungan dunia ketiga. Setelah semua transfer teknologi gagal, banyak negara di dunia berkembang kini melakukan pencurian atas karya-karya teknologi Utara.

Situasi lebih buruk terjadi di domain pertanian. Kebanyakan negara berkembang masih tertingal langkah dari mitra mereka di Utara dalam hal pertanian mekanik. Terlampau jauh kesenjangannya, seperti tahap agraris dalam pembangunan ekonomi yang ditandai dengan alat-alat per tanian primitif dan teknik pertanian tradisional mudah dijumpai

di negara-negara terbelakang. Pertanian mekanik meskipun lebih di- arahkan untuk tujuan ekspor ke negara-negara industri Utara dengan mengorbankan produksi pangan. Akhirnya, banyak negara-negara ter- belakang kini mengimpor pangan dari negara-negara industri dengan harga mahal karena kelaparan dan kekeringan.

Sebagian kritikus mempertanyakan peran perusahaan-per usahaan multinasional dalam bidang pertanian di negara terbelakang dan ber- kembang. Perusahaan-perusahaan itu enggan melakukan investasi di negara-negara yang ekonominya sedang berkembang. Dalam beberapa hal, di mana mereka berinvestasi di negara-negara ekonomi berkembang, mereka memberlakukan teknik-teknik pro duksi padat modal sehingga seringkali memberangus penciptaan lapangan pekerjaan dan kreati vitas ahli-ahli lokal dan menjadi penghalang bagi revolusi industri dan akibat nya merusak industri-industri yang baru lahir di negara-negara ber kembang.

Informasi cepat seperti internet, TV kabel, dan transportasi modern juga terlibat dalam mendiseminasikan teknologi-tekno logi baru yang me mengaruhi secara mendalam atas politik, masyarakat, kebudayaan, dan kehidupan keseharian warga negara yang hidup di negara-negara berkembang. Tekanan ruang-waktu yang diproduksi oleh teknologi-tek- nologi media dan komunikasi baru mengatasi batasan-batasa ruang dan waktu, menciptakan desa budaya global dan penetrasi dramatis dari kekuatan-kekuatan global ke dalam setiap aspek kehidupan di kawasan-kawasan dunia. Telekomunikasi menciptakan permisa global. Transportasi menciptakan desa global. Banyak orang biasa menyaksikan MTV, mereka menggunakan celana jin, dan mendengarkan radio Sony berjalan ketika mereka pergi menuju tempat-tempat kerja mereka. Ke- budayaan global ini termasuk penyebaran teknologi media yang terbukti telah menciptakan mimpi tentang desa global, meminjam istilah Marshall Mcluhan. Teknologi-teknologi ini membiarkan media dan informasi transnasional menyebar secara global. Pro ses ini telah membawa ke- pada perayaan informasi global baru yang serba cepat dan sementara itu sebagian orang menentang gelombang media baru ini sebagai impe- rialisme budaya dalam kehidupan mereka. Tujuan globalisasi dalam konteks ini adalah agar masyarakat-masyarakat non barat diharapkan me nanggalkan kebudayaan tradisional mereka dan berasimilasi dengan cara-cara hidup orang barat yang secara teknologi dan moral superior.

Tidak semua orang percaya terhadap asumsi globalisasi tersebut. Kesan bahwa kita sedang bergerak menuju keseragaman McWorld se- bagian bersifat ilusi. Kebudayaan adalah suatu proses perubahan yang berkesinambungan, namun meskipun terus ada perubahan, kebudayaan masih tetap memberikan identitas, martabat, kesinambungan, kenya- manan bagi komunitas dan ikatan masyarakat bersama (Manenji, 1998). Globalisasi di Afrika melibatkan satu proyek fundamental, yaitu mem buka ekonomi negara-negara secara bebas dan luas terhadap pasar global dan kekuatan-kekuatannya. Dari paparan ini tampak bahwa bagai- mana inovasi teknologi dan informasi mengkombinasikan diri untuk memperluas dan memperlebar jarak kesenjangan antara orang-orang kaya dan miskin. Teknologi memainkan peran utama dalam drama

massifikasi kemiskinan, ketidakadilan, dan telah membuat situasi men-

jadi lebih buruk.

Penderitaan dan kesengsaraan makin terus menggelembung. Sekitar 1,3 bilyun penduduk bumi ini (sepertiga) hidup kurang dari satu dollar perhari. Jika mereka diberikan pilihan, tentu mereka akan mengutamakan dapat makan dengan baik, memiliki rumah, pakaian, pendidikan yang lebih baik, dan memiliki pekerjaan. Untuk memenuhi kebutuhan-ke- butuhan dasar (basic needs), jutaan orang di dunia ini tanpa keraguan siap untuk menghempaskan rintangan dan melakukan kekerasan.

Teknologi modern di era globalisasi juga membawa persoalan ling- kungan. Lingkungan yang merupakan warisan bagi seluruh umat ma- nusia telah direduksi sedemikian rupa hanya sekadar kepentingan nasional. Melalui teknologi, eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan melaju tanpa kendali. Wajar bila para kritikus yang peduli perlindungan ling- kungan menyatakan bahwa bahaya mutakhir seperti pemanasan global disebabkan oleh minimalisasi regulasi tentang sumber daya alam untuk tujuan-tujuan kaum kapitalis. Dengan kata lain, aktivitas perekonomian yang didukung oleh teknologi modern tanpa regulasi dan pembatasan dapat membawa pada kerusakan lingkungan dalam skala luas (The Levin Institute, http://www.globalization101.org).

Dua fenomena kerusakan lingkungan pada skala global dapat di- sebutkan di sini. Pertama, menipisnya lapisan ozon stratosfer di berba- gai kawasan bumi. Ini disebabkan oleh aerosol CFC yang diperguna- kan untuk spray dan sistem pendingin, yang ketika lepas ke atmosfer

mengakibatkan rusaknya lapisan ozon. Bila ini terus terjadi, kehidupan di muka bumi menghadapi masa depan penuh ketidakpastian. Kedua, ancaman lingkungan global adalah pemanasan global yang disebabkan oleh penggunaan secara massif bahan bakar minyak bumi yang telah melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca di atmosfer bumi. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemanasan global ini memengaruhi dan mengubah pola iklim yang membahayakan baik bagi manusia maupun spesies lainnya di planet ini (Oosthoek & Gills, 2005).

Dua fenomena kerusakan lingkungan di atas melahirkan tantangan

kepada umat manusia untuk meredefinisi kemajuan. Apakah kemaju-

an hanya berarti perkembangan teknologi yang pesat, meski pada saat yang sama teknologi itu juga mempercepat kerusakan bagi makhluk ma nusia dan non-manusia pada skala global? Bila ini yang dimaksud, itu maknanya kemajuan dibatasi pada asumsi bahwa sumber daya alam dan lingkungan adalah disediakan untuk dieksploitasi guna memenuhi ke butuhan sekaligus keinginan manusia. Dengan kata lain kita sedang hidup dalam situasi krisis luar biasa mengenai gagasan kemajuan. Krisis ini disebabkan oleh kegagalan yang sangat nyata paradigma ekonomi dan teknologi yang kini sedang berkuasa, bukan hanya berkaitan dengan lingkungan global, bahkan juga dalam banyak hal dengan perdamaian dan keamanan manusia, perluasan masif kemiskinan dan kesenjangan. Karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah perubahan pada level ga- gasan, mentalitas individu dan kolektif bahwa kesadaran lingkungan perlu memainkan peran utama dan positif untuk mengendalikan tekno- logi, dan mengeliminasi ekonomi politik usang yang lebih berpihak pada tujuan-tujuan material dan kekeliruan dalam penggunaan sumber daya alam dan lingkungan.