• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiskinan Otoritas

B. PERSPEKTIF ISLAM TENTANG KEMISKINAN KONTEMPORER

3. Kemiskinan Otoritas

Kemiskinan otoritas adalah sebentuk ketidakberdayaan akibat marjinalisasi sosial, marjinalisasi partisipasi, marjinalisasi hak-hak asasi, dan marjinalisasi perlindungan hukum.

a. Marjinalisasi Sosial

Marjinalisasi sosial adalah suatu pendekatan yang mirip dengan eksklusi sosial, yang menjelaskan proses marjinalisasi dan deprivasi kaum miskin yang hidup di pinggiran-pinggiran kota. Marjinalisasi ini meru- pakan suatu proses melalui mana individu-individu atau kelompok- kelompok dipinggirkan, dikucilkan dari partisipasi penuh dalam ber- bagai aktivitas masyarakat di mana mereka hidup. Kondisi semacam ini mencerminkan sebentuk de privasi — miskin kuasa — sebagai suatu bentuk kemiskinan yang juga hidup di tengah-tengah masyarakat kon- tem porer dan jauh lebih rumit mengurainya.

Marjinalisasi sosial adalah suatu gambaran “kebungkaman” dan “ketidakberdayaan” yang membawa pada sedikitnya atau tiada nya ke- mungkinan bagi orang miskin untuk memperoleh hak-hak mereka (entitlements), mengorganisir diri mereka sendiri, menciptakan tuntutan dan memperoleh respon terbuka, menerima dukungan untuk mengem- bangkan inisiatif mereka sendiri (Laderchi, Saith, Stewart, 2003). Pe- minggiran sosial semacam ini menciptakan pengalaman diskriminasi dan stigma bagi kaum miskin, dan memaksa mereka terperangkap dalam aktivitas-aktivitas perekonomian dan relasi-relasi sosial yang menge- kalkan kemiskinan mereka.

Marjinalisasi sosial merupakan sesuatu yang dinamis, yang menje- laskan kemiskinan senyatanya, bukan menerangkan tentang banyak orang miskin di sana, dan bagaimana marjinalisasi itu berkaitan dengan situasi sosial, ekonomi dan politik lebih luas di kawasan itu. Marjinalisasi sosial berhubungan dengan proses yang benar-benar menciptakan kemiskinan. Memahami kemiskinan sebagai masalah marjinalisasi sosial ber arti bekerja untuk merestrukturisasi relasi-relasi sosial. Ini artinya meng- upayakan pemberdayaan secara serius; menghadapi proses politik yang sulit dalam menentang lapisan-lapisan diskriminasi dan memerangkap warga dalam kemiskinan. Memahami kemiskinan sebagai suatu masalah eksklusi sosial juga berarti perlunya menekankan intervensi dalam

wilayah-wilayah pedesaan yang memiliki potensi rendah, kawasan- kawasan yang secara politik terpinggirkan dan wilayah-wilayah yang tidak terhubungan secara baik dengan pasar, pelabuhan atau pusat-pusat kota, dan terabaikan. Di wilayah-wilayah itu pula terdapat konsentrasi masyarakat miskin kronis, perumahan kumuh di kota-kota kecil maupun kota-kota besar sekaligus jutaan orang gelandangan yang tidur di jalan- jalan, stasiun, taman, dan tanah-tanah terlantar.

b. Marjinalisasi Partisipasi

Kemiskinan juga disebabkan oleh marjinalisasi partisipasi (ter- masuk miskin jejaring di tingkat keluarga, tetangga, dan asosiasi). Kaum miskin biasanya merana karena mereka tidak memiliki akses untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan dan kebijakan- kebijakan yang penting bagi mereka sendiri. Banyak pemerintahan mau- pun swasta dan lembaga swadaya masyarakat hendak memberikan bantuan kepada mereka, namun seringkali lupa mempertimbangkan partisipasi kaum miskin yang ingin mereka bantu. Maka sangat urgen untuk mempertimbangkan penilaian atas kemiskinan partisipasi karena masalah ini terkait dengan upaya melihat secara dekat sebab-sebab men- dasar dari kemiskinan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas dasar apa yang mereka persepsi. Melalui pertimbangkan partisipasi ini kita bisa memperoleh gambaran nyata tentang pengalaman hidup orang-orang miskin yang menyediakan suatu peluang untuk menangkap dimensi- dimensi lain dari kemiskinan. Pertimbangan atas kemiskin an partisipasi ini memberikan bukti lebih nyata tentang banyak bentuk kemiskinan dan deprivasi yang mereka alami; yang sebagian di antaranya tidak dapat dipahami melalui pemahaman lain tentang kemiskinan dan se- bagian lainnya tidak mungkin diukur secara praktis. Dimensi-dimensi kemiskinan memasukkan kemiskinan pendapatan dan kekurangan material; bahkan juga kemiskinan waktu, seperti hidup dan bekerja di tempat yang buruk, relasi sosial, relasi gender yang buruk; aspek-aspek keamanan, kekhawatiran dan ketakutan; dan juga ketidakberdayaan.

Berbagai fakta menunjukkan bahwa banyak faktor bergabung untuk menjadikan kemiskinan sebagai fenomena yang kompleks, multi- dimensional. Bagi kaum miskin sendiri, kemiskinan biasanya di maknai sebagai kekurangan apa yang menjadi keniscayaan bagi kesejahteraan

material mereka — khususnya makanan dan perumahan, tanah, dan aset-aset lain. Namun lebih dari itu, kaum miskin juga memaknai ke- miskinan dari sisi aspek psiko logis, yaitu suatu kondisi di mana mereka rentan terhadap kekerasan, penghinaan, dan perlakuan-perlakuan tidak manusiawi. Ketidakmampuan mereka untuk berpartisipasi secara penuh da lam kehidupan komunitas membawa kepada hancurnya relasi-relasi sosial. Di samping itu, kaum miskin lebih fokus pada aset daripada pen-

dapatan dan menghubungkan kurangnya aset fisik, kemanusiaan, sosial,

dan lingkungan dengan kerentanan mereka.

Dengan memerhatikan aspek partisipasi dalam memandang ke- miskinan, kita akan memperkenankan kaum miskin untuk meng iden-

tifikasi prioritas-prioritas mereka sendiri. Membuka partisipasi buat

mereka berarti kesiapan untuk “berbagi sejarah dan budaya bersama” sebagai alat untuk membantu menstabilkan komunitas dan melepaskan tekanan-tekanan psikologis kemiskinan.

Pertimbangan partisipasi membutuhkan analisis antropologis yang

melibatkan penilaian atas kelas-kelas masyarakat dalam mendefinisi-

kan kemiskinan dan berupaya untuk membuat skala pengukuran yang secara lokal menentukan dan mencerminkan konteks lokal. Memang, keputusan-keputusan yang berhubungan dengan upaya-upaya intervensi untuk mengentaskan kemiskinan dengan melibatkan partisipasi kaum miskin akan tampak jauh lebih subjektif karena tidak ada seperangkat

definisi atau standar pengukuran, namun ini perlu agar orang-orang

miskin merasa terlibat dan dipertimbangkan suara mereka dalam pem- bangunan.

c. Marjinalisasi Hak-hak Asasi Manusia

Kemiskinan otoritas juga berkaitan dengan marjinalisasi hak-hak asasi manusia: peminggiran/perampasan hak-hak atas hidup, berpikir (pendidikan, informasi), reproduksi sehat, pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan kepemilikan.

Kemiskinan sebagai sebuah bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia sering dipahami bukan sebagai sebentuk kemiskinan per se, bahkan sebagai suatu strategi melalui mana penghapusan kemiskinan dapat dilandaskan pada hukum internasional. Karena itu penting untuk keterlibatan badan-badan PBB dan organisasi-organisasi swadaya inter-

nasional lainnya untuk memformulasi strategi berdasarkan pada hak- hak asasi manusia. Inilah yang disebut sebagai memahami kemiskinan berbasis pada pemenuhan hak-hak asasi manusia.

Menurut sudut pandang kemiskinan hak-hak asasi, seseorang yang sejumlah hak-haknya tidak terpenuhi, seperti hak atas makanan, kese- hatan, pendidikan, informasi, adalah orang miskin. Jadi, kemiskinan lebih dari sekadar kurangnya sumber daya — ia meru pakan manifestasi pe- minggiran dan ketidakberdayaan. Pada hakikatnya, merealisasikan hak- hak asasi manusia tidak berbeda dengan menghapuskan kemiskinan. Meski pemenuhan hak-hak asasi manusia bukan satu-satunya obat mujarab bagi masalah kemiskinan, namun ketika hak-hak asasi tersebut dijamin oleh hukum, orang-orang miskin (dan agensi-agensinya) dapat menggunakan sarana-sarana hukum untuk mengamankan hak-hak mereka atas perumahan, pekerjaan, upah yang adil, kebebasan ber- kumpul, layanan kesehatan publik, pendidikan, tanpa diskriminasi atas dasar etnik, warna kulit, agama, kelas, gender, perlakuan adil di depan pengadilan, hak-hak politik, kebebasan berekspresi, kebebasan ber- agama, dan sebagainya. Nilainya terletak pada ketersediaan kerangka hukum bagi strategi pengurangan kemiskinan. Sejumlah agensi pem- bangunan internasional telah melaksanakan pendekatan ini, di mana kemiskinan dijelaskan dalam kerangka “kewajiban masyarakat” untuk me- respons hak-hak individu yang tidak bisa diabaikan.

Dengan demikian, secara mendasar kemiskinan sebagai tidak ter- penuhinya hak-hak asasi mengklaim bahwa orang-orang yang tidak miskin memiliki kewajiban untuk memfasilitasi terpenuhinya hak-hak asasi dan kebebasan fundamental kaum miskin. Beberapa ciri dari pandangan tentang pentingnya pemenuhan hak-hak asasi kaum miskin sebagai berikut: bekerja menuju hasil akhir dan tujuan proses; mengakui bahwa hak-hak selalu mengimplikasikan kewajiban negara; mengakui bahwa hak-hak hanya dapat diwujud kan dengan pemberdayaan; me- mandang karitas sebagai motivasi yang belum cukup untuk meme- nuhi kebutuhan-kebutuhan; mempertimbangkan sebab-sebab struktural se kaligus manifestasi-manifestasi dan sebab-sebab langsung dari ke- miskinan; dan fokus pada konteks sosial, ekonomi, kultural, sipil dan politik, dan berorientasi kebijakan (After Collins, Pearson & Delany, 2002).

Oleh karena itu, upaya mengentaskan kemiskinan diperlukan in- tervensi bantuan yang bertujuan untuk menyediakan jaring pengaman sosial dan layanan-layanan pubik tradisional lainnya untuk memenuhi hak-hak atas standar kesejahteraan, makanan, perumahan, kesehatan, pendidikan dan atau pengaman sosial yang layak.

d. Marjinalisasi Perlindungan Hukum

Kemiskinan otoritas juga tergambar dari lemah atau kurangnya perlindungan hukum kepada orang-orang miskin. Mereka menjadi ke- lompok masyarakat yang paling rentan terhadap perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang. Sebagai misal, komunitas tenaga kerja Indonesia di Malaysia, Singapura, Hongkong, Arab Saudi, sekadar menyebut beberapa contoh. Mereka banyak mengalami perlakuan buruk dan peng- aniayaan di tempat-tempat mereka mencari naf kah. Ada banyak tenaga kerja Indonesia ilegal di negeri jiran. Di Malaysia saja terdapat 800.000 TKI ilegal pada 2007. Biasanya mereka dikirim melalui agen perorangan dan PJTKI liar yang lebih mengutamakan keuntungan mereka sendiri daripada memikirkan kesejahteraan dan keamanan para pekerja migran itu. Akibatnya TKI yang dikirim hanya berbekal paspor dan visa kun- jungan. Ini tentu saja sudah merupakan bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan secara sistematis, karena visa kunjungan tidak dapat di- pergunakan untuk mencari pekerjaan. Dengan bekal seadanya itu, wajar jika mereka menjadi objek bulan-bulanan para cukong, pengusaha, aparat kepolisian dan hukum yang bejat. Keadaan ini juga dibarengi dengan kurangnya upaya penyadaran, pengawasan, dan penegakkan hukum dari berbagai instansi terkait terhadap mereka yang melakukan pelanggaran selama rekrutmen hingga pengiriman tenaga kerja. Mereka juga tidak memahami dengan baik hak dan kewajibannya sebagai buruh migran. Bila terjadi masalah terkait dengan keadaan mereka di negeri jiran itu, mereka seringkali tidak memperoleh bantuan hukum secara me madai dari pihak-pihak yang berwenang memberikan perlindungan hukum. Artinya, secara umum para tenaga kerja migran itu adalah ke- lompok yang diabaikan oleh perlindungan hukum.

Para pedagang di pasar-pasar tradisional, para pedagang kaki lima dan sektor informal adalah kelompok-kelompok yang menderita kurang nya perlindungan hukum. Pertumbuhan pesat pasar-pasar

modern, seperti swalayan, mal, hipermarket, seringkali mematikan usaha kelompok-kelompok pedagang kecil di pasar-pasar rakyat. Ini karena kemunculan pasar-pasar modern itu sama sekali tidak memper- timbangkan jarak dan hak-hak rakyat untuk berusaha secara layak. Bahkan cukup banyak contoh pasar-pasar tradisional dan rakyat digusur dan digantikan oleh berdirinya pasar-pasar modern yang megah.

Para pedagang kaki lima sering menjadi objek penggusuran atas nama ketertiban dan keindahan. Mereka yang tidak per nah menuntut pemerintah untuk memberikan lapangan ker ja yang nyaman, merasakan penindasan dan hidup selalu da lam ketidakpastian. Para pedagang kaki lima ini tumbuh di tempat-tempat tertentu yang sebenarnya tidak sesuai dengan per untukannya, namun “dilegitimasi” oleh aparat negara dengan kompensasi tertentu. Pemerintah daerah pun mengambil manfaat dari mereka dengan menarik pajak retibusi setiap hari. Namun pada saat yang sama, mereka tidak memperoleh kepastian hukum dari aparat dan negara. Jika penggusuran terjadi, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Jangankan ganti rugi, alternatif pun seringkali tidak ditawarkan kepada mereka. Aset para pedagang kaki lima dan sektor informal ini tidak pernah memperoleh jaminan hukum. Tempat mereka berdagang tidak pernah dilegitimasi, sehingga mereka tidak memiliki agunan apa pun yang dapat dijadikan sarana untuk mengakses sekadar kredit mikro sekalipun. Karenanya wajar jika mereka tidak pernah beranjak dari kemiskinan mereka, bukan mereka tidak punya pendidikan dan ketrampilan hidup, namun lebih disebabkan tidak adanya jaminan dan perlindungan hukum atas usaha mereka dan tiadanya bantuan modal untuk mengembangkan kegiatan perekonomian. Mereka memang secara sistematis diperangkap dalam jerat kemiskinan.