• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMPERTEGAS VISI KEBERPIHAKAN: AL-MAUN SEBAGAI OPTION FOR THE POOR

Perubahan iklim global dan globalisasi kemiskinan menengarai dimulainya suatu masa penuh kekacauan. Keduanya bersumber dari sistem ekonomi dan sistem politik yang bukan hanya gagal, bahkan juga hancur. Kita kini hidup dalam suatu masa yang paling “menakjubkan” sepanjang pengalaman manusia. Sebagai suatu spe sies, kita sedang meng- hadapi ancaman bagi seluruh spesies manusia dan non-manusia, peluang sekaligus keniscayaan untuk menerima tanggung jawab dan peran dalam membawa dunia ini agar bekerja untuk semua manusia dan alam semesta. Ada tantangan bersama yang dihadirkan oleh tatanan ekonomi global dan anak kandungnya berupa disintegritas lingkungan dan ke ti dakadilan. Lebih tepatnya dapat dikatakan ada hubungan antara globalisasi kapital dengan kehancuran lingkungan hidup dan keti dak- adilan.

Bersamaan dengan para politisi di negara-negara maju melaku- kan pemotongan pajak bagi orang-orang kaya dan melancarkan pre- emptive war atas terorisme, Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan jumlah penduduk yang menderita kelaparan kronis. Suatu jumlah yang menurun pada dekade 70an dan 80an, namun meningkat dekade sejak 90an. Departemen Pertanian Amerika memperkirakan pada 2008 dua pertiga penduduk Sub Sahara Afrika mengalami kekurangan makan. Empat puluh persen kekurangan makan dialami Asia, dan Indonesia menyumbang bagian besar dari kemiskinan di kawasan ini. Satu-satunya cara untuk mengakhiri kemiskinan adalah meredistribusi sumber daya yang tersedia demi kesinambungan penduduk planet bumi.

Upaya memahami kemiskinan dan cara-cara manusiawi untuk mengatasinya adalah pekerjaan besar. Karena itu, penting pembahasan tentang beberapa aspek penting terkait dengan perlunya trans formasi kebudayaan dan institusi-institusi dominasi yang bukan hanya merupa- kan imperatif moral bahkan suatu prasyarat yang harus ada bagi survival bersama. Pemahaman ini sangat mendasar jika kita hendak menjadi agen

Islam transformatif yang efektif, beritikad baik untuk menjadi “pejuang anti-kemiskinan” sekaligus “pembela orang-orang miskin”.

1. Pendusta Agama: Sistem Ekonomi Kemaruk

Ada pertarungan sengit antara Libertarianisme dan Keynesian isme mengenai seberapa besar alam semesta ini memiliki kemam pu an untuk menyediakan sumber daya bagi penduduk planet bumi. Kaum liber- tarian mengklaim bahwa dalam alam ini ter kandung sumber daya yang tanpa batas untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginan manusia. Mereka, karena itu, tidak mempertimbangkan sumber daya alam dan lingkungan sebagai satu faktor untuk menentukan pendapatan nasional dan pembangunan berkesinambungan. Sementara itu, kaum Keynesian memandang sumber daya yang tersedia dalam alam ini terbatas untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. Paradoksnya, mereka juga tidak memasukkan faktor sumber daya alam dan lingkungan dalam memperhitungkan pendapatan nasional dan pembangunan ber- ke lanjutan. Intinya dua sistem ekonomi kontemporer ini sama-sama mendukung terjadinya eksploitasi dan konsumsi tanpa batas atas sumber daya alam dan lingkungan, yang berakibat pada kelaparan dan keku- rangan gizi bagi ratusan juta umat manusia.

Konsumsi manusia modern telah menghabiskan kapital alam, baik kapital yang tidak dapat diperbarui (non-renewable capital), seperti bahan bakar minyak fosil, dan kapital yang dapat diperbarui (renewable capital), seperti hutan, perikanan, tanah, air, dan sistem iklim. Sekitar 85% dari kapital yang tersisa telah diambil alih oleh 20% orang yang beruntung dari penduduk dunia untuk mendukung pola konsumsi yang seringkali boros dan berlebihan. Sekitar 20% penduduk dunia yang tidak beruntung harus berjuang keras untuk tetap survival dengan kapital lebih dari 1%. Sayang sekali, kebanyakan orang lupa tentang implikasi yang se- sungguhnya dari kesenjangan dan ketidakadilan karena mereka mabuk oleh cara berpikir tentang uang sebagai kekayaan. Uang adalah klaim tentang kekayaan. Hanya angka yang ada dalam otak sebagian besar penduduk dunia sekarang ini. Gambaran berikut me nunjukkan suatu sistem ekonomi kemaruk yang beraliansi dengan kepentingan-kepen- tingan korporasi, daripada aliansi dengan kepen tingan kemanusiaan dan lingkungan alam.

Trio lembaga-lembaga Bretton Woods — World Bank, IMF, WTO — adalah pemain utama dalam menuliskan aturan-aturan eko- nomi global yang sesuai dengan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan. Ketiga nya mengklaim berdedikasi untuk menghilangkan sebab-sebab kemiskinan. Namun, coba perhatikan kebijakan-kebijakan dan aksi-aksi mereka yang keblinger, memandang suatu negara ideal adalah negara yang aset-aset dan sumber dayanya dimiliki oleh korporasi asing yang memproduksi untuk ekspor dengan tujuan untuk memperoleh foreign exchange guna membayar hutang-hutang internasional. Negara ideal menurut mereka adalah yang tidak memiliki jasa layanan publik. Energi listrik, air, pendidikan, pelayanan kesehatan, jaminan sosial dan jasa keuangan semuanya dimiliki dan dijalankan oleh korporasi asing untuk

mengeruk profit atas dasar bayaran berbasis layanan. Makanan dan barang-

barang lain untuk konsumsi domestik semuanya diimpor dari luar dan membayarnya dengan uang yang dipinjam dari bank-bank asing.

Apa yang ada dalam otak trio Bretton Woods kemaruk ini bukan tentang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penduduk, apalagi orang- orang miskin. Otak mereka hanya bicara mengenai konsentrasi ke- kuasaan secara leluasa di tangan-tangan lembaga-lembaga keuangan global yang mengendalikan korporasi-korporasi yang terus memonopoli sumber daya dunia, pasar, pekerjaan, informasi, uang, dan politik untuk tujuan-tujuan mereka sendiri.

Sistem semacam ini tak dapat dimungkiri telah merampas kekayaan dan kekuasaan dari mayoritas ke minoritas; menciptakan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan yang terus meningkat, sehingga mendorong gaya hidup extravagan yang mubadzir, boros dan sia-sia pada sebagian kecil orang, dan pada saat yang sama melahirkan deprivasi dan perbudakan bagi bilyunan orang; dan mempercepat kehancuran kekayaan alam yang telah merampas kehidupan bilyunan penduduk bumi. Kecenderungan semacam ini akan menjegal nasib umat manusia jika dibiarkan terus ber- lanjut.

2. Shalat yang Memihak

Gambaran seperti di atas menyerupai, meski dengan repre- sentasi yang lebih sederhana, konteks historis turunnya surat al-Maun. Sebagaimana trio Bretton Woods, symptom masyarakat Mekkah pra

Islam mengenal “trio jahiliyah” – Abu Sufyan, Abu Jahl, dan al-`Ash Ibn Walid (Shihab, 2002: vol. 15, 545). Mereka adalah tokoh-tokoh yang memiliki sifat kemaruk harta dan kekayaan dan gemar berfoya-foya secara mencolok di hadapan mayoritas penduduk yang miskin dan serba kekurangan. Mereka juga tidak memiliki kepekaan sama sekali atas keter tindasan kaum papa.

Kutukan sebagai pendusta agama ditujukan kepada individu, ke- lompok, dan sistem yang apatis dan tidak memiliki solidaritas sosial atas

kaum mustadh`afin. Karakteristik yang mudah dikenali pada diri mereka

adalah suka menghardik, menakut-nakuti, meng ancam, menindas individu, kelompok, masyarakat dan negara “yatim” yang tidak berdaya secara sosial, ekonomi dan politik; mereka juga tidak peduli kepada kemiskinan dan pemiskinan; bahkan mereka sendiri pelaku pemiskinan dan penindasan atau kompradornya; melakukan “pembiaran” (yutm) atas kemiskinan dan pemiskinan; serta tidak berdiri dalam posisi memihak kepada kaum dhuafa.

Hal serupa berlaku bagi kaum agamawan, kaum Muslim yang rajin melakukan shalat lima waktu sehari semalam. Shalat mereka tidak menye- lamatkan diri mereka sendiri dari api neraka pada hari akhir, karena toh mereka juga tidak berbuat apa-apa, tidak menyelamatkan orang lain yang yatim dan miskin selama hidup di dunia. Ini merupakan sifat “shalat yang mencelakakan” sebagai akibat mereka “lalai, abai” terhadap problem kemiskinan dan penindasan yang kasat mata di hadapan mereka. Kaum agamawan dan para penegak shalat yang celaka adalah juga mereka yang “menghalangi, menghambat” individu, kelompok, atau sistem yang ber- usaha memberikan bantuan, pertolongan dan pemberdayaan kepada kaum miskin.

Oleh karena itu, perlawanan atas sistem yang rakus dan menindas hanya dapat muncul dari kesadaran keagamaan dan “shalat yang me- mihak”, yakni shalat yang memihak keadilan dan demokrasi – hak setiap orang untuk bicara dan hak atas sarana-sarana kehidupan dan peng- hidupan. Siapa yang berjuang untuk mempertahankan kehidupan dari rezim perompak ini, memberikan bantuan karitas, dan pemberdayaan kapasitas dan otoritas kepada kaum miskin, itulah dia yang “shalatnya menyelamatkan” kema nusia an, ia mujahid anti-kemiskinan dan pembela kaum miskin; ia juga siap mati syahid dalam membela hak-hak kaum

miskin dari para begundal kapitalis-neoliberalis dan kaki tangannya yang “jahil murakab” (triple idiots).

B. MENCERDASKAN VISI AL-TAKATHUR: