• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUSTADH`AFIN KONTEMPORER: BUKAN SEKADAR PENERIMA ZAKAT

Kemiskinan dan ketertindasan selalu ada dan menjadi bagian dari problem yang tidak pernah usai dibahas dan mencoba dipecahkan oleh banyak pakar. Bahasan ini akan melihat lebih jauh bagaimana Islam memahami masalah ini. Islam memiliki pandangan khas tentang ke- miskinan. Islam sering menyebut istilah kemiskinan dan ketertindasan dengan dua payung kata kunci, yakni dhuafa atau mustadh`afin. Yang per- tama lebih merujuk kepada “orang yang lemah” dalam arti bawaan sejak lahir atau karena musibah dan kecelakaan (QS. al-Tawbah 9:91), yang ter- akhir merujuk kepada “orang-orang yang dilemahkan/ditindas” oleh pihak lain yang lebih berkuasa dan kuat (QS. al-Anfal 8:26).

Dalam konteks kontemporer, pemahaman tentang kemiskinan dan ketertindasan lebih banyak berkaitan dengan problem otoritas dan

struktural. Oleh karena itu, penyebutan kemiskinan dan ketertindas-

an lebih tepat menggunakan ungkapan “mustadh`afin kontemporer”. Karakteristik kaum mustadh`afin antara lain: Pertama, mereka adalah individu dan atau kelompok sosial yang berada dalam posisi “minoritas” (qalil) baik secara kuantitatif dan atau kualitatif. Kedua, mereka merupakan individu dan atau kelompok sosial yang menderita kerentanan terhadap penindasan terstruktur baik oleh kebijakan politik, ekonomi dan sosial (istidh`af). Ketiga, mereka adalah individu dan atau kelompok sosial yang belum terbebas dari rasa takut (khawf) dan karenanya juga tidak memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan terhadap penindasnya.

Dalam kenyataannya kini, kehadiran orang-orang miskin dan ter- tindas (termiskinkan) seperti gelandangan, pengangguran, dan kaum marjinal lainnya di tengah-tengah gelombang globalisasi tidak hanya menunjukkan krisis politik dan ekonomi, namun juga krisis spiritual. Dalam sebuah masyarakat yang terobsesi dengan kekayaan, kekuasaan,

dan imperatif kesuksesan material, kaum mustadh`afin telah terstigma

sebagai manusia yang secara moral mengalami degenerasi, tidak berdaya dan penuh kegagalan.

Pengalaman keseharian bergelut dengan kaum tertindas dapat

mem perluas kesadaran kesengsaraan mereka, dan signifikansi ke tidak -

berdayaan, ketidakpastian serta kelangkaan sebagai batu pijak mem- bangun fondasi etis keberpihakan kepada orang-orang tertindas dan termiskinkan.

Populasi kaum mustadh`afin kontemporer yang merupakan

produk dari kecenderungan politik dan ekonomi struktural selama tiga dekade terakhir, akan terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah periode krisis ekonomi yang meluas. Keadaan semacam ini membuat populasi mereka akan menjadi subkultur yang menyebar mulai dari krisis perumahan dan pekerjaan, penyusutan besar dalam belanja sosial, per- ubahan-perubahan pada level makro ekonomi, strategi pembangunan kembali potensi lokal, dan sejumlah sebab-sebab lain. Bahkan banyak teorisi kontemporer yakin bahwa ledakan kemiskinan yang telah mulai adalah intrinsik dalam kemajuan Kapitalisme dan neo-liberalisme itu sendiri yang menganut falsafah Libertarian.

Intinya sistem perekonomian kontemporer telah melahirkan banyak kategori kemiskinan dan ketertindasan yang menuntut dua hal: Pertama,

perlunya perluasan kategori mustadh`afin yang mencakup kelompok-

kelompok “korban baru”, yang belum dikenal dalam konsep-konsep yang selama ini berkembang. Kedua, bagaimana proses redistribusi secara sistemik dapat mengangkat derajat mereka yang kurang beruntung itu dari ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaan.

Mempertimbangkan tuntutan pertama, pengembangan kate gori ke-

lompok-kelompok dhuafa dan mustadh`afin (ashnaf) tidak hanya meng- arah pada kelompok-kelompok yang selama ini disebut sebagai penerima zakat sebagaimana dipahami selama ini: faqir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (QS. al-Tawbah 9:60). Di samping kelompok- kelompok di atas, ada tiga kelompok penting lainnya, seperti orang yatim, peminta-minta (sa’il), dan mahrum. Berikut adalah kelompok-kelom pok

mustadh`afin kontemporer:

1. Faqir. Definisi faqir sering tumpang tindih dengan miskin. Untuk membedakan faqir dari miskin, setidaknya ada dua ciri utama mereka yang masuk dalam kategori faqir ini: orang yang tidak me mi liki apa pun, dan orang-orang yang memiliki cacat jasmani (al-Mawardi, tt.: vol. 2, 374). Dua ciri ini menandakan bahwa faqir adalah orang yang cacat jasmani (karena bawaan atau aksiden), atau cacat ketrampilan dan dengannya ia tidak memiliki penghasilan, tidak produktif atau rendah produktivitasnya (unproductive/low productivity).

2. Miskin. Orang miskin adalah mereka yang sehat jasmaninya dan memiliki harta namun tidak mencukupi (al-Mawardi, tt.: vol. 2, 374-376). Ciri lain orang miskin adalah lemah dalam hal pekerjaan (al-Tabari, 1992: vol. 6, 396). Dua ciri ini menunjukkan bahwa apa yang disebut miskin adalah orang-orang yang secara jasmani sehat sehingga memungkinkan untuk bekerja secara normal namun pendapatan mereka jauh dari mencukupi kebutuhan yang layak. Kategori ini dapat diperluas mencakup mereka yang rendah pen- dapatannya (low income), dan akibatnya rendah permintaannya akan kebutuhan-kebutuhan (low demand), dan rendah investasinya (low investment), serta tidak memiliki pasar (marketless).

3. Amil. Amil adalah mereka yang memiliki tanggung jawab khusus mengurus zakat, sejak mengumpulkan sampai men distribusikan.

Amil bisa berupa individu maupun lembaga resmi yang mengelola pengambilan sekaligus pemanfaatan zakat. Kini lembaga-lembaga pengelola zakat telah berbentuk badan hukum dan diakui ke- absahannya melalui undang-undang zakat. Tentu saja manajemen berhak untuk mengambil sebagian hasil zakat itu untuk menggaji pegawainya.

4. Mu’allaf. Sebutan mu’allaf ditujukan kepada mereka yang memper- oleh atau menerima pemberian zakat dengan maksud untuk men- jinakkan, membujuk atau melembutkan hati mere ka terhadap Islam. Menurut al-Mawardi, mereka terbagi ke dalam dua kelompok: yakni 1) kaum Muslim: yang niatnya untuk memeluk agama Islam masih lemah, kemudian diberi bagian zakat agar niatnya semakin bertambah; dan mereka yang niatnya memeluk agama Islam sudah bagus sehingga untuk mendorong mereka agar memisahkan diri dari kemusyrikan lalu diberi bagian zakat; 2) kaum Musyrik: yang ber niat melukai atau memusuhi kaum Muslim, kemudian diberi bagian zakat dengan maksud agar mereka mengurungkan niatnya; dan mereka yang condong ke Islam kemudian diberi bagian zakat agar menjadi Muslim (al-Mawardi, tt.: vol. 2, 374-376). Dengan demikian mu`allaf adalah orang-orang yang perlu dibujuk dan jinak- kan hatinya melalui pemberian sesuatu untuk kepentingan ke- maslahatan kaum Muslim secara umum.

5. Riqab. Riqab adalah bentuk jamak dari raqabah. Kata ini berarti budak atau hamba sahaya yang dibeli dengan cara diundi. Ungkapan wa fi al-riqab dimaknai sebagai aspek-aspek yang berhubungan langsung dengan kemasalahatan umum (al-mashalih al-`ammah), yakni bahwa peruntukan zakat dapat disalurkan untuk memerdekakan budak, atau diberikan kepada orang Muslim yang tidak memperoleh peng- hasilan memadai untuk menebus dirinya sendiri kepada majikannya meski ia telah bekerja keras dengan segala daya (al-mukatabun) (al- Zuhayli, 1991: vol. 9, 261; 271). Islam berbicara tentang budak ter kait dengan perintah untuk memerdekakan mereka melalui berbagai cara: seperti membayar diyat pembunuhan, kafarat melanggar sumpah, kafarat bagi mereka yang menarik kembali zihar terhadap istri. Meskipun sistem perbudakan sudah dihapuskan, praktik-praktiknya secara terselubung ma sih terus hidup hingga

sekarang. Kebutuhan zaman dan tingkat kompleksitas perbudakan

kontemporer, oleh karena itu definisi riqab perlu diperluas meliputi

mereka yang menjadi korban trafficking, yakni jual beli anak-anak maupun kaum pe rempuan, terutama untuk pekerja seks komersial dan kejahatan lain nya.

6. Gharim. Gharim adalah orang yang terjerat oleh hutang. Hutang bisa untuk kepentingan konsumtif maupun produktif. Hutang di mana jumlahnya sudah terlampau berat dan si gharim tidak me- miliki kekayaan apa pun untuk menutupi hutangnya karena pailit, maka hutang semacam ini dapat dibayar dari pembiayaan zakat (zakat fund) tanpa memandang apakah hutang tersebut berada di bawah kontrak untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan umum. Beberapa contoh hutang dalam kontrak pertama adalah pin jaman untuk orang sakit, menikah, kerugian dalam bisnis atau kepemilikan, dan sebagainya. Contoh-contoh untuk hutang dalam kontrak jenis kedua bisa berupa kasus-kasus di mana jaminan pem bayaran atas nama orang lain, seperti hutang karena kewa- jiban membayar uang tebusan atau diyat untuk pembunuhan tak disengaja, ganti rugi, dan orang tersebut tidak memiliki cukup ke- kayaan untuk memenuhi tanggung jawabnya. Dalam sejarah kita mengenal bahwa orang-orang Yahudi, Roma, dan Arab pra-Islam biasa mengijinkan perbudakan atas mereka yang tidak mampu mem bayar hutang. Islam tegas melarang praktik demikian, dan bahkan selama perbudakan mereka menerima zakat untuk menu tupi hutangnya. Inilah keunikan zakat dan kita sering tidak menyadari bahwa sistem jaminan sosial yang berkembang saat ini sesung- guhnya paralel dengan pembagian hak bagi mereka yang ber hutang dalam zakat.

7. Sabilillah. Pada umumnya Sabilillah dipahami sebagai orang-orang yang berperang di jalan Allah dan tidak memperoleh hak atau bagian dalam dewan tentara, atau orang-orang yang mengajarkan al- Qur’an dan al-Sunnah (al-Zuhayli, 1991: vol. 9, 261; 273). Mereka ini berkorban harta dan jiwa dalam perang itu, karenanya wajar jika mereka memperoleh bagian zakat. Dalam konteks sekarang. Sabilillah bisa diperluas maknanya mencakup mereka yang berjuang secara sukarela (voluntarisme) untuk kebaikan kemanusiaan dan lingkungan.

Mereka juga berkorban dengan harta dan jiwa, rela meninggalkan keluarga untuk mendedikasikan tenaga dan pikiran mereka bagi ke- pen tingan orang lain. Individu dan lembaga semacam ini sekarang terus berkembang.

8. Ibnu Sabil. Ibnu Sabil biasa dipahami sebagai orang-orang yang dalam perjalanan dan tidak memiliki nafkah atau kehabisan per- bekalan. Kelompok ini diberikan jaminan secukupnya dari pem- biayaan zakat sehingga ia mampu kembali pulang ke tempat tinggal- nya. Untuk konteks kontemporer, makna ibnu sabil sudah tidak

tepat dimaknai sebagai musafir, karena musafir saat ini adalah

orang-orang yang cukup mampu untuk melakukan perjalanan. Ibnu sabil kontemporer adalah mereka yang disebut tuna wisma atau gelandangan, hidup terlunta-lunta, tidak punya tempat tinggal untuk berteduh dari terik matahari dan siraman hujan, dan para buruh migran yang rentan atas penindasan dan membutuhkan perlu mendapatkan perlindungan hukum dan sosial, juga para pengungsi

akibat bencana, konflik dan peperangan.

9. Sa’il dan Mahrum. Dua kelompok itu merujuk pada orang melarat dan papa, bedanya yang pertama “berani” meminta belas kasihan dari orang lain dan karenanya pantas disebut sebagai pengemis; sementara yang terakhir masih memiliki harga diri untuk tidak meminta-minta. Keduanya memiliki hak terhadap harta orang kaya. 10. Yatim. Yatim adalah bagian dari kaum mustadh`afin. Pengerti an

umum dari kelompok ini adalah anak-anak yang ditinggalkan oleh salah satu atau kedua orang tuanya karena meninggal dunia. Kini keberadaan yatim semakin meluas sesuai dengan perkembangan zaman. Mereka yang dapat dimasukkan dalam kategori ini men- cakup juga anak-anak yang kelahirannya tidak dikehendaki (unwanted children) oleh kedua orang tuanya dengan berbagai alasan, seperti alasan reproduksi dan ekonomi dan anak-anak yang kurang asuh (nurturing) dari kedua orang tuanya. Untuk kasus pertama, orang tua biasanya sudah tidak memiliki keinginan untuk mempunyai keturunan. Untuk itu, mereka mempergunakan alat kontrasepsi, namun terjadi kegagalan dalam usaha mereka mencegah kehamilan. Anak-anak semacam ini bisa juga lahir dari hubungan di luar nikah yang tidak dikehendaki, karena alasan menutup rasa malu atau

ketidaksiapan secara mental dan ekonomi, mereka sengaja dibuang atau dititipkan ke individu maupun lembaga sosial tertentu. Semen- tara pada kasus kedua, anak-anak lahir dari keinginan orang tua, namun karena satu atau lain hal, mereka tidak memperoleh asuhan, belas kasih dan sayang dari orang tuanya.

Kompleksitas kemiskinan dan ketertindasan seperti yang disaksi- kan pada milenium ketiga ini, tentu saja membutuhkan lebih dari sekadar keprihatinan atas fenomena ketidakberdayaan, ketidakpastian

dan kelangkaan kaum dhuafa dan mustadh`afin. Individu dan atau

kelompok-kelompok tertindas dan termiskinkan itu juga jangan sampai direduksi menjadi sekadar golongan-golongan yang berhak menerima zakat. Yang dibutuhkan ialah sikap, perilaku, dan kebijakan yang men- cerminkan keberpihakan kepada kaum lemah dan tertindas ini sekaligus upaya konkret memperkuat posisi sosial, ekonomi dan politik mereka.

Populasi kaum dhuafa dan mustadh`afin dalam satu dekade terakhir akan

terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah periode krisis ekonomi yang meluas. Reformasi tanpa arah yang jelas menambah ruwet penye- lenggaraan negara untuk menye jahterakan warganya. Keadaan se macam ini membuat populasi kaum tertindas dan termiskinkan terus meluas. Orang-orang miskin di perkotaan maupun pedesaan semakin tertekan dan tidak punya cukup kemampuan untuk melompati gerbang harapan (treshold of hope) yang membawa mereka lepas dari jurang ke melaratan dan penindasan struktural. Dominasi dan hegemoni sistem ekonomi- politik neo-kapitalis sama sekali tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk menentang ketidakadilan sekaligus melakukan per ubahan. Nasib mereka makin terjepit. Kesengsaraan dan deprivasi sis temik semakin terasa setidaknya dalam beberapa hal berikut ini.

Pertama, Orang-orang miskin dibuat mati menyedihkan karena kelaparan dan gizi buruk justru terjadi ”di lumbung padi” sendiri. Ada ”busung lapar di pusat penghasil padi terbesar” di wilayah Indonesia bagian tengah. Pada saat yang sama, penyakit ”lapar korupsi” juga terus menjangkiti para pejabat di Nusa Tenggara Timur, di mana angka pen derita gizi buruk dan busung lapar sangat tinggi. Kematian satu jiwa adalah tragedi. Sayangnya, di negeri ini kematian banyak jiwa lebih dipandang sebagai angka statistik, meminjam Stalin. Akankah ke miskinan dan kematian akibat kelangkaan kebutuhan dasar dan pelayanan kesehatan yang mendera sebagian saudara kita, dibiarkan seperti adanya? Tidak ada

BAB

jaminan dari negara atas pemenuhan kebutuhan hidup minimum bagi orang miskin. Mereka yang hidup di bawah garis subsistens ini ”harus” terus sehat. Jangan sakit, karena obat mahal, jasa dokter setinggi langit. Kartu jaminan kesehatan bagi kaum miskin bukan jaminan atas pe layanan medis yang memadai. Boleh jadi, justru jadi pangkal dis kri minasi.

Kedua, situasi deprivasi orang-orang miskin bukan semata pada urusan perut dan kesehatan. Untuk jadi orang melek huruf sekalipun mereka sulit setengah hidup. Kasus-kasus siswa-siswi gantung dan bunuh diri karena malu menunggak SPP, tidak mampu bayar iuran ketram- pilan sekolah, belakangan makin kerap terjadi. Negara seolah lari dari tanggung jawab ”mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai bagian dari tujuan luhur negara ini diproklamirkan. Banyak orang miskin tidak sanggup menyekolahkan anak-anaknya secara layak. Angka putus sekolah dari tahun ke tahun terus me ningkat. Dalam pada itu, sekolah-sekolah unggulan, terpadu, internasional, berbiaya mahal terus tumbuh bagai jamur. Sebuah paradoks yang mencolok mata. Pendidikan inklusi ber basis

pada filosofi education for all. Sayangnya, pendidikan ini tidak termasuk terbuka bagi mereka papa. Pendidikan inklusi bukan untuk orang miskin yang berat bayar uang gedung dan SPP. Alhasil, sudah miskin bodoh lagi. Dijamin indeks pembangunan sumberdaya insani negeri ini makin karut marut.

Ketiga, orang-orang miskin dibuat nelangsa oleh keadaan dan struktur karena mereka tidak punya pekerjaan, kehilangan pekerjaan, atau menjadi setengah pengangguran. Padahal pekerjaan merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup setiap warga. Kewajiban negara menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap orang dan membuka lapangan kerja bagi yang membutuhkan. Namun, karena pertumbuhan ekonomi kurang bagus, bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan dalam prosentasi cukup drastis (tahun 2005 dan 2008), jumlah pekerjaan men- jadi semakin berkurang. PHK tak terelakkan. Sementara jumlah pen- duduk usia produktif mesti bertambah. Ratusan ribu sarjana baru lahir tiap tahunnya. Pengangguran intelektual otomatis meningkat. Jumlah pendaftar pegawai negeri membludak. Bursa kerja dikerumuni insan- insan pencari lowongan kerja.

Berbekal ijazah sarjana jauh dari cukup untuk memperoleh pe- kerjaan bagus dengan gaji bagus pula. Ijazah hanya syarat administratif.

Selanjutnya sistem koneksi berlaku. Jaringan jauh lebih efektif untuk mengisi lowongan. Nah, mereka yang sekolah tinggi saja sulit dapat kerjaan, lebih-lebih orang miskin sekaligus bodoh dan sakit-sakitan. Mereka tidak punya cukup kapasitas, apalagi otoritas. Bekal pengetahuan dan ketrampilan yang minim membuat mereka terus tergilas. Partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan dan mengontrol jalannya imple- mentasi kebijakan jauh panggang dari api. Orang miskin harus puas dengan pekerjaan kasar, dengan upah rendah, jongos yang selalu siap jadi ”keranjang sampah” sumpah serapah para majikan kapitalis.

Keempat, beribadah menuntut syarat ”kemampuan”, baik fisik, material, dan psikis. Berpuasa di bulan Ramadan hukumnya wajib bagi Muslim. Di beberapa daerah yang memberlakukan syariat Islam, razia atas orang tidak berpuasa sering dilakukan. Mereka yang tertangkap ke- banyakan pekerja kasar, buruh bangunan, kuli panggul, dan tentu saja miskin. Akhirnya Pemda melepaskan mereka. Mereka hutang puasa. Batal puasa harus diganti pada hari lain. Di bulan Ramadan saja mereka sulit berpuasa, apalagi harus bayar puasa di luar Ramadan. Mana tahan, karena puasa di lain hari hampir mustahil karena tantangannya jauh lebih

berat. Kalau tidak mengganti dengan puasa, bisa diganti fidyah. Tapi mana mungkin bayar fidyah, buat makan sehari-hari saja susah minta

ampun. Membayar zakat juga ibadah. Tapi apa yang akan dizakati dari orang miskin. Kebutuhan minimal sehari-hari pun sudah senin-kamis. Memberi infak dan sedekah rasanya juga jauh dari kenyataan. Bahkan mereka hidup dari uluran tangan orang lain. Demikian juga menunaikan haji ke tanah suci. Wah, yang ini persis seperti mimpi di siang bolong.

Nelangsanya menjadi orang miskin. Sudah jatuh tertimpa tang- ga, sengsara murakab (berlapis-lapis). Inilah “rukun Islam kaum dhuafa

dan mustadh`afin”: harus selalu sehat karena sakit biayanya mahal; siap

menjadi ”manusia bodoh” karena pintar ongkosnya selangit; menerima kerja kasar dengan upah pas-pasan, karena kerja bagus butuh kolusi dan uang suap; dan marjinal dalam perebutan ”kapling surga” karena ibadah butuh modal.

Dalam situasi dan kondisi semacam ini, umat manusia dituntut untuk menunjukkan solidaritas dan keberpihakan yang nyata un tuk membela mereka yang selalu menjadi korban ketimpangan dan kebo- brokan sistem ekonomi, sosial, dan politik. Dengan keber pihakan ini,

kita dapat berbuat demi hidup dan kehidupan kaum miskin dan ter- miskinkan secara lebih layak dan manusiawi.

A. MEMPERTEGAS VISI KEBERPIHAKAN: AL-MAUN