• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Good Governance

Sinaga (2016:45) menjelaskan Istilah Good Governance pertama kali dipopulerkan oleh Bank Dunia melalui publikasinya yang diterbitkan tahun 1992 berjudul Governance and Development. Thoha (2014:12) Istilah “Governance”

menunjukkan suatu proses dimana rakyat bisa mengatur ekonominya, istitusi dan

sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat.

Pinto (dalam Suaib 2015:144) mendefinisikan bahwa : Governance sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Hardijanto (dalam Istianto 2011:55), pengertian Governance mengandung makna yang lebih luas daripada Government, karena tidak hanya mengandung arti sebagai proses pemerintahan, tetapi termasuk di dalamnya mencakup mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan sektor negara, masyarakat, dan swasta (negara dan non-negara).

Istianto (2011:97) menjelaskan bahwa penerapan prinsip Good Governance bukanlah hanya tugas tanggung jawab pemerintah, tetapi juga organisasi pelaku bisnis di sektor swasta dan organisasi masyarakat madani. Sebagai bagian dari proses reformasi Indonesia, pelaksanaan Good Governance di lingkungan pemerintahan itu sangat menentukan apakah reformasi akan berjalan terus atau berhenti di sini.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa Good Governance memusatkan pada keterlibatan dan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sebagai aktor utama pada seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang meliputi pengelolaan sumber daya, ekonomi, maupun sosial dan buadaya. Makna Governance yang lebih luas dari Government seharusnya menjadi yang bagi suatu negara dalam mencapai tujuannya apabila dapat menerapkan prinsip-prinsip Good Governance dengan baik.

UNDP (dalam Mulyawan, 2009:20-23) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam pemerintahan yang baik (good governance) adalah sebagai berikut Partisipasi

Setiap orang atau warga negara harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.

a. Aturan Hukum (Rule of Law)

Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia

b. Transparansi

Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas

oleh orang-orang yang membutuhkannya, serta informasi harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi.

c. Daya tanggap (Responsivnes)

Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).

d. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation)

Pemerintah yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak.

e. Berkeadilan (Equity)

Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun prempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.

g. Efektifitas dan Efisiensi

Setiap proses dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yg benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dari berbagai sumber yang tersedia.

h. Akuntabilitas

Para pengambil keputusan (decision makers) dalam organisasi sektor pelayanan, dan warga negara madani memiliki pertanggungjawaban (akuntanbilitas) kepada publik (masyarakat umum) sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Pertanggung jawaban tersebut berbeda-beda, tergantung pada jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.

i. Bervisi Strategis

Para pemimpin dan warga negara memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dalam hal pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspek-aspek historis, kultur, dan kompleksitas sosial yang mendasari perspektif mereka.

Penerapan keseluruhan prinsip Good Governance seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan cita-cita setiap negara di dunia. Di Indonesia khususnya, upaya untuk mewujudkan Good Governance terus dilakukan agar praktik birokrasi yang buruk dapat diminimalisir serta pemerintah juga berusaha untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya.

Institute on Governance (dalam Santosa 2012:132), untuk menciptakan Good Governance perlu diciptakan hal-hal sebagai berikut :

1. Kerangka kerja tim (team work) antarorganisasi, departemen, dan wilayah.

2. Hubungan kemitraan antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat negara yang bersangkutan.

3. Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerjasama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.

4. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini secara realistik dapat dikembangkan.

5. Adanya pelayanan administrasi publik yang berorientasi pada masyarakat, mudah dijangkau masyarakat dan bersahabat, nerdasarkan kepada asas pemerataan keadilan dalam setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada kepentingan masyarakat, bersikap profesional, dan tidak memihak (non-partisan)

Terdapat beberapa versi atau indikator dalam menjelaskan prinsip yangdigunakan untuk menilai Good Governance seperti yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Implementasi seluruh prinsip tersebut sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan yang baik (Good Governance), tetapi prinsip utama yang dibutuhkan untuk mewujudkan Good Governance setidaknya harus memenuhi 3 (prinsip), yaitu : Akuntabilitas, Transparansi, dan Partisipasi. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada salah satu prinsip utama dalam mewujudkan Good Governance yaitu prinsip partisipasi dimana pada prinsip inilah keterlibatan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dapat dideskripsikan secara rinci.

2.4.1 Good Governance Dalam Pelayanan Publik

Permasalahan mengenai pelayanan publik masih mengakar kuat di Indonesia. Praktik buruknya birokrasi yang sudah dianggap sebagai budaya oleh sebagian besar masyarakat mengakibatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah kian menipis. Oleh karena itu, paradigma Good Governance diupayakan untuk diterapkan dalam pemerintahan terutama dalam pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan ranah dimana masyarakat dapat secara

langsung merasakan bagaimana kinerja pemerintah dalam melayani kebutuhan masyarakat.

Santosa (2012:130) menjelaskan Governance merupakan paradigma baru dalam tatanan pengelolaan kepemerintahan. Ada tiga pilar Governance yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Sementara itu, paradigma pengelolaan pemerintahan yang sebelumnya berkembang adalah Government sebagai satu-satunya penyelenggaran pemerintahan.

Bergesernya paradigma Government ke paradigma yang baru yaitu Governance seperti yang telah dijelaskan di atas, bertujuan untuk membangun keterlibatan di antara 3 (tiga) pilar Governance yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan negara, sehingga apa yang sedang berkembang dalam suatu negara tidak hanya menjadi urusan yang diketahui dan dikelola oleh pemerintah saja, tetapi juga melibatkan sektor swasta dan masyarakat agar keputusan atau kebijakan yang ditetapkan dapat mencapai tujuannya dengan maksimal.

Istianto (2011:89) menjelaskan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan Good Governance menjadi sangat penting dan strategis, mengingat kemunculannya di saat penyelenggaraan pemerintah Indonesia sedang mengalami distorsi terhadap efektivitas pelayanan kepada publik, dalam arti bahwa sudah bukan menjadi rahasia umum apabila berurusan dengan birokrasi pemerintah yang dialami yaitu berbelit-belit sangat lamban, penuh dengan pungutan liar, dan pelayanan yang kurang baik.

Sabaruddin (2014:1) menjelaskan bahwa pelayanan publik telah menjadi isu kebijakan strategis, karena penyelenggaraan pelayanan publik selama ini belum memiliki dampak yang luas terhadap perubahan aspek-aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa, permasalahan yang muncul pada kegiatan pelayanan publik kepada masyarakat masih tumbuh merajalela dan menghambat terwujudnya Good Governance di Indonesia.

Dwiyanto (2014:20-24) menjelaskan ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan Good Governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah. Dalam ranah ini terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek Good Governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah. Aspek kelembagaan yang selama ini sering dijadikan rujukan dalam menilai praktik governance dapat dengan mudah dinilai dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance(pemerintah, masyarakat, non-pemerintah).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa, pelayanan publik merupakan tolak ukur untuk menilai sejauh mana upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Good Governance. Sinaga (2016:45) menjelaskan bahwa agenda Good Governance di Indonesia hingga kini masih dalam fase penguatan (konsolidasi), dimana proses menuju penguatan tersebut sedang berjalan dihampir setiap line birokrasi. Praktik buruknya pemerintah di Indonesia seperti maraknya kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para pejabat, baik pejabat tinggi hingga ke jenjang yang paling rendah cukup menunjukkan bahwa Good Governancebelum terwujud secara keseluruhan di Indonesia.

2.4.2 Definisi Partisipasi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya prinsip partisipasi merupakan salah satu dari prinsip utama yang harus diterapkan agar dapat mewujudkan Good Governancedi Indonesia. Theresia (2015:196) menjelaskan bahwa pengertian umum dari istilah partisipasi adalah keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dakam suatu kegiatan. Hiplunudin (2017:63) menjelaskan bahwa partisipasi publik sebagai komponen utama dalam demokrasi, harus masuk secara menyeluruh. Proses penyusunan kebijakan publik harus bernilai

partisipatif, atau memberdayakan masyarakat di semua proses kebijakan publik.

Thoha (2014:95) menjelaskan bahwa salah satu wujud tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) itu terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis.

Indradi (2017:64) mengemukakan bahwa bekerja dalam negara yang demokratis merupakan cita-cita semua orang yang ingin hidup di negara yang demokratis akan tetapi pada saat ini masyarakat belum merasakan hal tersebut.

Douglas Yates (dalam Indradi 2017:65) masyarakat yang plural sistem pemerintahan yang demokratis dan amanah itu berangkat dengan asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Bahwa di dalam masyarakat terdapat banyak sekali kelompok-kelompok kepentingan (interest group) yang berbeda satu sama lain dan saling bersaing.

2. Bahwa pemerintah harus menawarkan suatu akses dan sarana partisipasi yang sama kepada kelompok-kelompok kepentingan tersebut.

3. Bahwa pemerintah harus mempunya banyak pusat-pusat kekuasaan yang menyebar bak vertikal maupun horizontal untuk menjamin keseimbangan (a balance of power). Ini berarti bahwa pemerintah harus melakukan prinsip desentralisasi kekuasaan dan kewenangan.

4. Bahwa pemerintahan dan politik harus bisa dipahami sebagai suatu sarana kompetisi di antara kepentingan-kepentingan minoritas.

5. Bahwa ada probabilitas yang tinggi bahwa suatu kelompok yang aktif dan legitimate dalam suatu populasi bisa membuat dirinya mendengar secara efektif terhadap tahapan-tahapan yang krusial dalam proses pembuatan kebijaksanaan.

6. Bahwa kompetisi di antara institusi pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan non-pemerintah bisa menyebabkan terjadinya suatu bargaining dan kompromi, dan juga bisa menghasilkan suatu keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat.

Dengan asumsi tersebut, Yates menyarankan agar birokrasi pemerintah mewujudkan hal-hal sebagai berikut :

1. Menyediakan banyak pusat-pusat kekuasaan sebagai sarana keseimbangan dan untuk mengontrol jika terjadi kekuasaan. Artinya pemerintah sama sekali tidak diperbolehkan memusatkan kekuasaan di salah satu institusi.

2. Memberikan fasilitas atau kemudahan kepada kelompok-kelompok kepentingan agar terwakili dengan menyediakan titik-titik akses yang berlipat ganda.

3. Mempunyai kemauan dan elemen yang kuat untuk melakukan desentralisasi.

4. Pemerintah harus menjadikan dirinya secara internal bisa bersaing.

5. Pemerintah harus terbuka dan partisipatif.

6. Pemerintah harus mampu menghasilkan proses bargaining yang luas.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa partisipasi dalam masyarakat dapat dilakukan apabila pemerintah mau membuka diri dan menetapkan saluran atau wadah partisipasi tanpa membedakan kelompok atau asal-usul masyarakat secara keseluruhan. Partisipasi harus dimulai dari pemerintah yang berupaya untuk menegakkan program ataupun wadah yang digunakan untuk mengumpulkan partisipasi masyarakat serta mengajak masyarakat untuk turut berperan serta dalam pemerintahan. Tanpa adanya upaya yang kuat dari pemerintah maka partisipasi dari masyarakat sulit untuk terlaksana.

2.4.3 Bentuk-Bentuk Partisipasi

Dusseldorp (dalam Mardikanto, 2017:84) mengidentifikasi bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat dapat berupa :

1. Menjadi anggota kelompok-kelompok masyarakat;

2. Melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok;

3. Melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk menggerakkan partisipasi masyarakat yang lain;

4. Menggerakkan sumber daya masyarakat;

5. Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan; dan

6. Memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya Berdasarkan penjelasan mengenai bentuk-bentuk partisipasi di atas, dapat dikemukakan bahwa partisipasi atau keikutsertaan yang dilaksanakan oleh masyarakat adalah peran yang aktif melalui kelompok atau organisasi agar dapat mencapai tujuan dan merasakan hasil atau manfaatnya. Peran yang aktif inilah yang perlu mendapat perhatian dan kerja sama dengan pihak lainnya yaitu pemerintah dan non-pemerintah agar terus berkembang dan sejalan dengan tujuan yang akan dicapai.

2.4.4 Jenis-Jenis Partisipasi

Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat, juga berkaitan dengan keputusan dari penguasa atau pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat bagaimana dan dalam hal seperti apa mereka dapat berpartisipasi.

Raharjo (dalam Mardikanto, 2017:87) mengemukakan ada 3 (tiga) jenis partisipasi, yaitu :

1. Partisipasi Terbatas, yaitu partisipasi yang hanya digerakkan untuk kegiatan-kegiatan tertentu demi tercapainya tujuan pembangunan, tetapi untuk kegiatan tertentu yang dianggap menimbulkan kerawanan bagi stabilitas nasional dan kalangan pembangunan sulit ditangani;

2. Partisipasi Penuh (Full Scale Participation), artinya partisipasi seluas-luasnya dalam segala aspek kegiatan pembangunan;

3. Mobilisasi tanpa partisipasi, artinya partisipasi yang dibangkitkan pemerintah (penguasa), tetapi masyarakat sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mempertimbangkan kepentingan pribadi dan tidak diberi kesempatan untuk turut mengajukan tuntutan maupun mempengaruhi jalannya kebijakan pemerintah.

Berdasarkan penjelasan mengenai jenis-jenis partisipasi yang telah dipaparkan di atas maka dapat dikemukakan bahwa, partisipasi berkaitan erat dengan keputusan dari pemerintah. Dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat khususnya dalam pelayanan publik, pemerintah harus memilih jenis partisipasi yang tepat untuk mencapai kepentingan bersama.