• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan dan menambah keilmuan dalam bidang Ilmu Administrasi Publik khususnya yang berkaitan dengan Implementasi Prinsip Partisipasi dalam Pembuatan Akta Kelahiran.

2. Secara akademik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan menjadi referensi tambahan dalam kajian keilmuan khususnya dalam bidang Ilmu Administrasi Publik.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menyumbangkan beberapa masukan dan saran dalam hal memahami permasalahan yang berkaitan dengan Implementasi Prinsip Partisipasi dalam Pembuatan Akta Kelahiran yang diselenggarakan pemerintah saat ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Implementasi

Sesuai dengan judul penelitian ini, maka definisi implementasi sangat diperlukan oleh peneliti agar dapat memahami dan menjawab rumusan masalah yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Berikut ini adalah definisi implementasi berdasarkan pemikiran beberapa ahli :

Van Meter dan Van Horn (dalam Suaib, 2015:81) merumuskan mengenai proses implementasi sebagai :

“those action by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions”

Makna perumusan di atas ialah bahwa implementasi mengandung pengertian tindakan yang dilakukan individu atu pejabat maupun swasta yang mengarah pada tujuan yang ditetapkan.

Suaib (2015:83) implementasi merupakan pelaksanaan kebiasaan dasar.

Dalam hal ini, dapat berupa undang-undang, perintah-perintah, atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting ataupun keputusan-keputusan badan peradilan. Conten dan context di dalamnya, berupa identifikasi masalah yang hendak dicapai dengan melalui berbagai cara untuk menstruktur/mengatur proses implementasinya.

Adapun tahap-tahap dalam proses implementasi yaitu :

a. Output kebijakan (keputusan-keputusan) dari badan pelaksana b. Kepatuhan dari kelompok sasaran terhadap keputusan dimaksud c. Dampak nyata keputusan-keputusan badan-badan pelaksana d. Persepsi terhadap dampak keputusan dimaksud

e. Evaluasi sistem politik terhadap undang-undang yakni berupa perbaikan mendasar dalam content-nya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa, proses implementasi sebagai satu tahapan dalam kebijakan publik juga memiliki tahapan-tahapan tersendiri, yang dimana pada pelaksanaannya seringkali mengakibatkan

permasalahan yang baru sehingga menghambat tercapainya tujuan dari kebijakan ataupun keputusan yang telah ditetapkan.

Mulyadi (2015:12), implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan. Tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga merupakan upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah program dilaksanakan.

Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:

1. Tahapan pengesahan peraturan perundangan.

2. Pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana.

3. Kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan.

4. Dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki maupun tidak.

5. Dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana.

6. Upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.

Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:

1. Penyiapan sumber daya, unit dan metode.

2. Penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan dijalankan.

3. Penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin.

Pendapat di atas juga mengemukakan mengenai tahapan yang ada dalam proses implementasi yang tidak jauh berbeda dari pendapat yang telah dipaparkan sebelumnya. Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa sebelum implementasi suatu kebijakan ataupun program dilaksanakan, terdapat proses persiapan implementasi yang perlu diperhatikan guna mendukung keberhasilan dari implementasi tersebut.

Grindle (dalam Mulyadi, 2015:47) implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.

Gordon dalam Mulyadi (2015:24) implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program.

Wahyu (dalam Mulyadi, 2015:50), studi implementasi merupakan studi untuk mengetahui proses implementasi, tujuan utama proses implementasi itu sendiri untuk memberi umpan balik pada pelaksanaan kebijakan dan juga untuk mengetahui apakah proses pelaksanaan telah sesuai dengan rencana atau standar yang telah ditetapkan, selanjutnya untuk mengetahui hambatan dan problem yang muncul dalam proses implementasi. Shafritz dan Russel (dalam Santosa, 2010:42) mengemukakan bahwa :

“Implementation is the process of putting a government program into effects, it is the total process of translating a legal mandate, wheter an executive order or an enacted statute into approriate program directives and structures that provide services or creative goods”

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa implementasi adalah proses menempatkan program pemerintah ke dalam efek, adalah proses total menerjemahkan mandat hukum, apakah perintah eksekutif atau undang-undang yang diberlakukan ke arahan program yang tepat dan struktur yang menyediakan layanan atau produk kreatif.

2.2 Implementasi Kebijakan Publik

Setiap organisasi baik itu organisasi swasta (non-pemerintah) maupun organisasi pemerintahan dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan memiliki aturan ataupun pedoman. Aturan atau pedoman tersebut harus dipatuhi oleh setiap individu yang ada di dalam organisasi tersebut untuk menjaga keteraturan dan ketertiban bersama. Aturan atau pedoman inilah yang disebut sebagai kebijakan, baik kebijakan khusus (privat) ataupun kebijakan umum (publik). Pada penelitian ini akan dibahas mengenai implementasi kebijakan publik menurut beberapa pendapat ahli, yaitu :

Makmur dan Thahier (2016:36) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan publik sebagai suatu bentuk proses pemikiran dan tindakan manusia yang direncanakan secarara baik, rasional, efisien dan efektif sebagai upaya mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam berbagai tugas negara atau pemerintahan guna menciptakan kesejahteraan bersama berdasarkan pada keadilan dan pemerataan.

Nugroho (dalam Setyawan, 2017:92) implementasi kebijakan publik adalah sebagai suatu cara agar sebuah kebijakan publik dapat mencapai tujuannya.

Merilee S. Grindle (dalam Hiplunudin, 2017:37) menjelaskan implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat birokrasi lebih dari itu menyangkut konflik, keputusan dan siapa memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Wahab (dalam Hiplunudin, 2017:38) kebijakan memiliki resiko gagal yang disebabkan oleh faktor bad execution atau pelaksanaannya yang buruk dan faktor bad policy atau kebijakannya sendiri memang buruk atau bad luck yakni kebijakan itu memang bernasib buruk. Pelaksanaan kebijakan dapat gagal, atau tidak membuahkan hasil, antara lain karena :

1. Teori yang menjadi dasar kebijaksanaan tidak tepat. Dalam hal demikian, maka harus dilakukan reformulation terhadap kebijaksanaan pemerintah itu.

2. Sarana yang dipilih untuk pelaksanaan tidak efektif.

3. Sarana itu mungkin tidak atau kurang dipergunakan sebagaimana mestinya.

4. Isi dari kebijaksanaan itu bersifat samar-samar.

5. Ketidakpastian faktor internal dan/atau faktor eksternal.

6. Kebijaksanaan yang ditetapkan itu mengandung banyak lubang.

7. Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan masalah teknis.

8. Adanya kekurangan akan ketersediaan sumber-sumber pembantu (waktu, uang, dan sumberdaya manusia)

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikemukan bahwa tahap implementasi dalam kebijakan atau program memiliki resiko kegagalan dari segala sisi pendukungnya baik internal maupun eksternal yang berkaitan secara keseluruhan. Kegagalan yang terjadi dalam implementasi merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dan bertanggung jawab didalamnya. Upaya atau tindakan yang harus dilakukan ketika suatu implementasi mengalami kegagalan adalah menghadapi kegagalan tersebut dengan strategi baru yang lebih matang, yaitu dengan turut mempertimbangkan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kegagalan tersebut.

2.3 Model-Model Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan publik merupakan tahapan penting yang harus ada dalam kebijakan publik agar dapat mencapai tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut. Pada tahap implementasi inilah permasalahan-permasalahan akan muncul dan harus dihadapi dengan konsisten agar apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat tercapai. Oleh karena itu, implementasi kebijakan dapat dilkasanakan dengan beberapa pendakatan atau model implementasi.

Setyawan (2017:114) menjelaskan model implementasi kebijakan publik merupakan deskripsi sederhana mengenai aspek-aspek penting yang dipilih dan disusun sebagai upaya meniru, menjelaskan, meramalkan, mencoba, dan menguji hipotesis implementasi kebijakan publik untuk tujuan tertentu. Berikut akan dipaparkan model-model implementasi kebijakan publik tersebut :

2.3.1 Model Van Meter Dan Van Horn

Setyawan (2017:114-115) menjelaskan bahwa model ini berpandangan bahwa kebijakan publik berjalan secara linier, mulai dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Dalam arti kata bahwa dalam implementasi kebijakan publik terdapat variabel-variabel independen yang mempengaruhi hubungan kebijakan publik dan kinerja (prestasi kerja) kebijakan publik.

Hiplunudin (2017:42) Model tersebut menawarkan enam variabel yang membentuk ikatan antara kebijakan dan pencapaian. Model ini tidak hanya menentukan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas dan terikat mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan antara variabel-varibel bebas, berikut varibel-variabelnya :

1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumber daya kebijakan

3. Karakteristik dan agen pelaksana 4. Komunikasi antar organisasi terkait 5. Sikap para pelaksana, dan

6. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik

Gambar di bawah ini menjelaskan bagaimana ke-6 (enam) variabel menurut Van Meter dan Van Horn saling berhubungan dalam proses implementasi suatu kebijakan.

Gambar 2.1 Model Implementasi Van Meter dan Van Horn

Sumber : Winarno (dalam Hiplunudin, 2017:43)

2.3.2 Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (dalam Setyawan 2017:116) peran penting dari analisis implementasi kebijakan negara adalah mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal keseluruhan implementasi.

Mereka berpandangan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan suatu upaya melaksanakan keputusan kebijakan.

Nugroho (dalam Setyawan 2017:117) menjelaskan bahwa Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi ke dalam tiga variabel.

Pertama Variabel Independen, yaitu mudah tidaknya masalah yang ada dikendalikan oleh hal-hal yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang diinginkan.

Kedua Variabel Intervening, yang meliputi dua bagian. Bagian pertama yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber daya, keterpaduan hirarki di antara lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksanaan dan keterbukaan dari pihak luar. Bagian kedua adalah variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator sosio, ekonomi, dan teknologi, dukungan publik, komitmen, dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga Variabel Dependen, yaitu tahapan implementasi dengan lima tahapan, diantaranya : pemahaman dari lembaga/badan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut, atau keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

Anggara (dalam Setyawan, 2017:117) membagi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal keseluruhan implementasi, tidak menggunakan independen, intervening, dan dependen, tetapi menggunakan bahasa yang lebih umum dengan istilah kategori besar, variabel-variabel tersebut antara lai adalah :

a. Mudah tidaknya masalah yang akan dikendalikan, meliputi : 1. Kerumitan dan kesulitan teknis implementasi kebijakan

2. Keragaman perilaku kelompok sasaran kebijakan

3. Persentase kelompok sasaran kebijakan dibandingkan dengan jumlah penduduk

4. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan setelah kebijakan diimplentasikan

b. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya, meliputi :

1. Kejelasan dan konsistensi tujuan

2. Digunakannya teori kausalitas yang kuat 3. Ketetapan alokasi sumber dana

4. Keterbukaan hirarki dalam dan diantara lembaga-lembaga yang melaksanakan

5. Aturan-aturan keputusan dari badan/lembaga pelaksana 6. Rekrutmen pejabat pelaksana

7. Akses formal (keterbukaan bagi) pihak luar

c. Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut, meliputi :

1. Kondisi sosial 2. Dukungan politik

3. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok 4. Dukungan dari pejabat atasan

5. Kemampuan kepemimpinan dan komitmen pejabat-pejabat pelaksana Gambar 2.2 Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

Sumber : Subarsono (dalam Hiplunudin, 2017:45)

2.3.3 Model Merilee S. Grindle

Model ini berkembang pada tahun 1980. Wibawa (dalam Setyawan, 2017:123) menjelaskan bahwa model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar dari model ini adalah bahwa setelah ditransformasikan, kemudian kebijakan diimplementasikan, sehingga keberhasilannya ditentukan oleh derajat keterlaksanaan (implementability) dari kebijakan tersebut. Lebih lanjut dikemukakan mengenai isi kebijakan tersebut meliputi :

1. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan;

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan;

3. Derajat perubahan yang diinginkan;

4. Kedudukan pembuat kebijakan;

5. Siapa pelaksana program; dan 6. Sumber daya yang dikerahkan

Sedangkan konteks implementasinya meliputi :

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat;

2. Karakteristik lembaga dan penguasa; dan 3. Kepatuhan dan daya tanggap

Nugroho (dalam Setyawan, 2017:124) menjelaskan bahwa model ini memiliki keunikan tersendiri, yakni terletak pada pemahaman menyeluruh (komprehensif) akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementator, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

Selain dari tiga model implementasi yang telah dipaparkan, masih banyak model implementasi lainnya yang dapat digunakan untuk menjelaskan tahapan dalam kebijakan publik yaitu pada proses implementasi kebijakan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model implementasi dari tokoh Merilee S.

Grindle karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, model implementasi ini memberikan pemahaman secara menyeluruh (komprehensif) mengenai konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementator, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

Sesuai dengan gambar dibawah ini, model implementasi ini juga menjelaskan

bagaimana dampak yang dirasakan oleh masyarakat serta perubahan dan penerimaan dari masyarakat, pemahaman secara menyeluruh sesuai untuk mendeskripsikan implementasi prinsip partisipasi sebagai salah satu prinsip untuk mewujudkan Good Governance yang melibatkan interaksi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

Gambar 2.3 Model Implementasi Merilee S. Grindle

Sumber: Dwijowijoto (dalam Hiplunudin, 2017:48)

2.4 Good Governance

Sinaga (2016:45) menjelaskan Istilah Good Governance pertama kali dipopulerkan oleh Bank Dunia melalui publikasinya yang diterbitkan tahun 1992 berjudul Governance and Development. Thoha (2014:12) Istilah “Governance”

menunjukkan suatu proses dimana rakyat bisa mengatur ekonominya, istitusi dan

sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat.

Pinto (dalam Suaib 2015:144) mendefinisikan bahwa : Governance sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Hardijanto (dalam Istianto 2011:55), pengertian Governance mengandung makna yang lebih luas daripada Government, karena tidak hanya mengandung arti sebagai proses pemerintahan, tetapi termasuk di dalamnya mencakup mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan sektor negara, masyarakat, dan swasta (negara dan non-negara).

Istianto (2011:97) menjelaskan bahwa penerapan prinsip Good Governance bukanlah hanya tugas tanggung jawab pemerintah, tetapi juga organisasi pelaku bisnis di sektor swasta dan organisasi masyarakat madani. Sebagai bagian dari proses reformasi Indonesia, pelaksanaan Good Governance di lingkungan pemerintahan itu sangat menentukan apakah reformasi akan berjalan terus atau berhenti di sini.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa Good Governance memusatkan pada keterlibatan dan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sebagai aktor utama pada seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang meliputi pengelolaan sumber daya, ekonomi, maupun sosial dan buadaya. Makna Governance yang lebih luas dari Government seharusnya menjadi yang bagi suatu negara dalam mencapai tujuannya apabila dapat menerapkan prinsip-prinsip Good Governance dengan baik.

UNDP (dalam Mulyawan, 2009:20-23) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam pemerintahan yang baik (good governance) adalah sebagai berikut Partisipasi

Setiap orang atau warga negara harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.

a. Aturan Hukum (Rule of Law)

Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia

b. Transparansi

Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas

oleh orang-orang yang membutuhkannya, serta informasi harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi.

c. Daya tanggap (Responsivnes)

Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).

d. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation)

Pemerintah yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak.

e. Berkeadilan (Equity)

Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun prempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.

g. Efektifitas dan Efisiensi

Setiap proses dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yg benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dari berbagai sumber yang tersedia.

h. Akuntabilitas

Para pengambil keputusan (decision makers) dalam organisasi sektor pelayanan, dan warga negara madani memiliki pertanggungjawaban (akuntanbilitas) kepada publik (masyarakat umum) sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Pertanggung jawaban tersebut berbeda-beda, tergantung pada jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.

i. Bervisi Strategis

Para pemimpin dan warga negara memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dalam hal pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspek-aspek historis, kultur, dan kompleksitas sosial yang mendasari perspektif mereka.

Penerapan keseluruhan prinsip Good Governance seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan cita-cita setiap negara di dunia. Di Indonesia khususnya, upaya untuk mewujudkan Good Governance terus dilakukan agar praktik birokrasi yang buruk dapat diminimalisir serta pemerintah juga berusaha untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya.

Institute on Governance (dalam Santosa 2012:132), untuk menciptakan Good Governance perlu diciptakan hal-hal sebagai berikut :

1. Kerangka kerja tim (team work) antarorganisasi, departemen, dan wilayah.

2. Hubungan kemitraan antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat negara yang bersangkutan.

3. Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerjasama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.

4. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini secara realistik dapat dikembangkan.

5. Adanya pelayanan administrasi publik yang berorientasi pada masyarakat, mudah dijangkau masyarakat dan bersahabat, nerdasarkan kepada asas pemerataan keadilan dalam setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada kepentingan masyarakat, bersikap profesional, dan tidak memihak (non-partisan)

Terdapat beberapa versi atau indikator dalam menjelaskan prinsip yangdigunakan untuk menilai Good Governance seperti yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Implementasi seluruh prinsip tersebut sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan yang baik (Good Governance), tetapi prinsip utama yang dibutuhkan untuk mewujudkan Good Governance setidaknya harus memenuhi 3 (prinsip), yaitu : Akuntabilitas, Transparansi, dan Partisipasi. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada salah satu prinsip utama dalam mewujudkan Good Governance yaitu prinsip partisipasi dimana pada prinsip inilah keterlibatan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dapat dideskripsikan secara rinci.

2.4.1 Good Governance Dalam Pelayanan Publik

Permasalahan mengenai pelayanan publik masih mengakar kuat di Indonesia. Praktik buruknya birokrasi yang sudah dianggap sebagai budaya oleh sebagian besar masyarakat mengakibatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah kian menipis. Oleh karena itu, paradigma Good Governance diupayakan untuk diterapkan dalam pemerintahan terutama dalam pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan ranah dimana masyarakat dapat secara

langsung merasakan bagaimana kinerja pemerintah dalam melayani kebutuhan masyarakat.

Santosa (2012:130) menjelaskan Governance merupakan paradigma baru dalam tatanan pengelolaan kepemerintahan. Ada tiga pilar Governance yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Sementara itu, paradigma pengelolaan pemerintahan yang sebelumnya berkembang adalah Government sebagai satu-satunya penyelenggaran pemerintahan.

Bergesernya paradigma Government ke paradigma yang baru yaitu Governance seperti yang telah dijelaskan di atas, bertujuan untuk membangun keterlibatan di antara 3 (tiga) pilar Governance yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan negara, sehingga apa yang sedang berkembang dalam suatu negara tidak hanya menjadi urusan yang diketahui dan dikelola oleh pemerintah saja, tetapi juga melibatkan sektor swasta dan masyarakat agar keputusan atau kebijakan yang ditetapkan dapat mencapai tujuannya dengan maksimal.

Istianto (2011:89) menjelaskan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan Good Governance menjadi sangat penting dan strategis, mengingat kemunculannya di saat penyelenggaraan pemerintah Indonesia sedang mengalami distorsi terhadap efektivitas pelayanan kepada publik, dalam arti bahwa sudah bukan menjadi rahasia umum apabila berurusan dengan birokrasi pemerintah yang dialami yaitu berbelit-belit sangat lamban, penuh dengan pungutan liar, dan pelayanan yang kurang baik.

Sabaruddin (2014:1) menjelaskan bahwa pelayanan publik telah menjadi isu kebijakan strategis, karena penyelenggaraan pelayanan publik selama ini belum memiliki dampak yang luas terhadap perubahan aspek-aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa, permasalahan yang muncul pada kegiatan pelayanan publik kepada masyarakat masih tumbuh merajalela dan menghambat terwujudnya Good Governance di Indonesia.

Dwiyanto (2014:20-24) menjelaskan ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan Good Governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah. Dalam ranah ini terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek Good Governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah. Aspek kelembagaan yang selama ini sering dijadikan rujukan dalam menilai praktik governance dapat dengan mudah dinilai dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan

Dwiyanto (2014:20-24) menjelaskan ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan Good Governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah. Dalam ranah ini terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek Good Governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah. Aspek kelembagaan yang selama ini sering dijadikan rujukan dalam menilai praktik governance dapat dengan mudah dinilai dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan