• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DARI SUATU SEBAB

ANATTALAKKHAöA SUTTA Bagian Keempat

HASIL DARI SUATU SEBAB

Kita telah menggunakan ungkapan “Sesuai situasi dan kondisi.” Maksudnya adalah situasi dan kondisi yang menyebabkan akibat-hasil tertentu; juga berarti bahwa sebab yang baik akan memberikan hasil yang baik; sebab yang buruk akan berakhir pada akibat yang buruk. Tidak ada akibat-hasil yang dapat dimunculkan hanya melalui keinginan. Akibat-hasil tertentu akan muncul dari sekelompok sebab tertentu apakah seseorang menyukainya atau tidak. Akibat-hasil dihasilkan dari sebab masing-masing yang bersesuaian dan tidak dapat dikendalikan dan diatur. Oleh karena itu, jelas bahwa mereka adalah bukan diri, bukan inti diri seseorang. Oleh karena itu, Sang Bhagavà menyebutkan bahwa kesadaran pikiran adalah bukan diri, karena tidak menuruti kehendak seseorang. Sang Bhagavà telah mengajarkan demikian agar seseorang dapat menyingkirkan kemelekatan Sàmi atta yang menganut bahwa ada diri, di dalam tubuh seseorang, yang dapat dikendalikan dan diatur sesuai kehendak seseorang. Ketika kemelekatan Sàmi atta disingkirkan, maka kemelekatan Nivàsī

atta yang mempercayai bahwa ada diri yang permanen berdiam dalam tubuh seseorang juga tersingkirkan pada saat yang sama. Ketika dipahami bahwa kesadaran-hasil dikembangkan

hanya dari sebab-sebab yang mengondisikan dan bahwa ia segera lenyap begitu ia muncul, maka menjadi jelas bahwa tidak ada diri yang bertahan secara permanen. Misalnya kesadaran-mata hanya muncul ketika ada mata dan obyek penglihatan. Demikian pula kesadaran-telinga hanya dapat muncul ketika ada hidung dan bau-bauan; kesadaran-lidah hanya dapat muncul ketika ada lidah dan kecapan; kesadaran- badan, hanya ketika ada badan dan obyek sentuhan; dan kesadaran-pikiran, hanya ketika ada landasan pikiran dan obyek pikiran. Ketika sebab-sebab yang mengondisikan bagi munculnya akibat-akibat yang bersesuaian ini dikenali, maka gagasan tentang entitas yang permanen, kemelekatan Nivàsī atta akan tersingkirkan.

Yogī yang mencatat fenomena nàma, råpa pada saat munculnya akan melihat dengan jelas bahwa, bergantung pada kondisi- kondisi seperti mata dan penglihatan, kesadaran seperti kesadaran mata muncul dan lenyap bergantian. Melihat demikian, Yogī itu dengan jelas memahami bahwa tidak ada diri atau entitas hidup yang memunculkan tindakan melihat dan sebagainya. Ia memahami bahwa hanya ada kesadaran- mata yang muncul ketika kondisi yang tepat tersedia. Dengan demikian, Yogī melepaskan kemelekatan Karaka atta, yang mempercayai bahwa semua perbuatan, jasmani, ucapan dan pikiran, adalah dilakukan oleh diri, inti diri.

Bagi mereka yang melalui pencatatan yang penuh kewaspadaan, tidak dapat melihat sifat sejati dari kesadaran sebagaimana adanya, maka bentuk Sàmi atta, Nivàsī atta atau Kàraka atta

digenggam erat. Terlihat bahwa gugus kesadaran lebih melekat kuat daripada gugus-gugus lainnya. Pada masa sekarang ini, ia dianggap sebagai jiwa atau entitas hidup. Dalam bahasa sehari-hari, ini lebih sering dibicarakan daripada vedanà,

sa¤¤à dan saïkhàra, walaupun pendamping-pendamping

pikiran sendiri, umumnya tidak dibicarakan. Orang-orang membicarakan seolah-olah pikiran yang merasakan sensasi-

sensasi, yang mengenal hal-hal atau menyebabkan tindakan- tindakan.

Pada masa Sang Buddha, ada seorang siswa bernama Sàti yang secara keliru menganggap kesadaran sebagai atta, kemelekatan pada pandangan keliru tentang diri. Kami akan menceritakan secara singkat kisah tentang Sàti ini.

KISAH BHIKKHU SâTI

Bhikkhu Sàti sedang menyatakan bahwa ia telah memahami dan menangkap apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. Ia menyatakan bahwa Sang Buddha telah mengajarkan:

‘Tadevidam viññæ¼am sandhævati samsaræti anaññam.’ “Adalah kesadaran yang sama yang berpindah dan mengembara dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya.

Bukan kesadaran yang lain.

Ini adalah pemahamannya terhadap ajaran Sang Buddha. Ia mendasarkan pandangannya pada kisah-kisah Jàtaka seperti Raja Vessantrà yang menjadi Sang Buddha, Raja Gajah Chaddan yang menjadi Sang Buddha, Raja Nàga Bhåridat yang menjadi Sang Buddha, dan sebagainya. Dalam kehidupannya yang terakhir sebagai Sang Buddha, tidak ada gugus materi dari Raja Vessantrà, juga tidak ada dari Raja Gajah dan Raja Naga. Tetapi kesadaran dari kehidupan sebagai Sang Buddha adalah sama dengan yang ada sebelumnya sebagai Raja Vessantrà, Raja Gajah, Raja Naga, dan sebagainya; tetap ada tidak terhancurkan, bertahan, stabil di sepanjang lingkaran kehidupan. Ini adalah bagaimana ia memahami dan bagaimana ia menceritakan kembali ajaran Sang Buddha. Kepercayaannya adalah kemelekatan Nivàsī atta terhadap kesadaran.

untuk menjelaskan kepadanya bahwa pandangannya keliru, tetapi Sàti tetap berkeras bahwa ia memahami Dhamma lebih baik daripada para bhikkhu lain. Bukanlah tugas yang mudah untuk menunjukkan Dhamma yang benar kepada mereka yang menganut pandangan keliru. Mereka cenderung memandang rendah orang yang mendorong mereka menjadi baik sebagai sudah usang dan ketinggalan zaman (dalam hal mengartikan Dhamma) tidak seperti pemimpin mereka yang mengembangkan ajaran baru tentang Dhamma. Sesungguhnya, siapa saja yang mengaku sebagai berkeyakinan Buddhis harus merenungkan baik-baik untuk melihat apakah pandangannya sesuai dengan ajaran Buddha. Jika seseorang menggenggam pandangan yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha, maka ia sebenarnya berada di luar pengajaran Buddha.

Gagal membujuk Sàti agar meninggalkan pandangan kelirunya, para bhikkhu lain pergi dan melaporkan persoalan itu kepada Sang Bhagavà yang kemudian memanggil Bhikkhu Sàti. Ketika ditanya oleh Sang Bhagavà, Sàti mengulangi pandangannya: “Berdasarkan kisah-kisah Jàtaka seperti yang diceritakan oleh Sang Bhagavà, kesadaran yang sekarang adalah sama dengan kesadaran yang ada dalam kehidupan sebelumnya. Kesadaran itu tidak hancur tetapi berlanjut dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya. Inilah yang kupahami.” Sang Buddha bertanya kepadanya apa yang ia maksudkan dengan kesadaran.

Ia menjawab, ‘Sang Bhagavà, kesadaran adalah apa yang mengungkapkan, merasakan, yang mengalami buah dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk dalam kehidupan ini, dalam kehidupan itu.’

“Kepada siapakah, engkau dungu,” marah Sang Bhagavà, “mendengarkan Aku membabarkan ajaran dengan cara ini? Aku menjelaskan bahwa kesadaran muncul karena kondisi- kondisi; bahwa tidak ada kemunculan kesadaran tanpa

kondisi-kondisi. Sebaliknya engkau secara keliru mengartikan ajaran-Ku dan menimpakan pandangan keliru itu kepada-Ku. Engkau telah menyebabkan munculnya banyak perbuatan jahat; menganut pemahaman keliru atas ajaran-Ku dan melakukan perbuatan salah dengan membicarakannya akan menyebabkan kesusahan dan penderitaan kepadamu selama waktu yang lama.”

Akan tetapi, Sàti, menolak melepaskan pandangan itu yang ia anggap benar. Pandangan Dogmatis adalah menakutkan. Sàti adalah seorang Bhikkhu siswa Sang Buddha. Ia mengikuti Ajaran Buddha dan mengaku telah memahaminya. Namun kita lihat ia dengan keras kepala menolak melepaskan pandangan kelirunya bahkan ketika dinasehati oleh Sang Buddha sendiri, yang tentu saja, berarti tidak memiliki keyakinan pada Sang Buddha. Masa sekarang juga, ada beberapa ajaran dari ‘guru- guru spiritual’ yang mengajarkan tidak perlu menjalankan lima sīla dan tidak perlu mempraktikkan meditasi. Cukuplah dengan mengikuti dan memahami ajarannya.’ Ketika orang- orang yang baik dan terpelajar berusaha menunjukkan ajaran sesungguhnya kepada guru tersebut, yang telah menyesatkan konsep dari ajaran Buddha, mereka menjawab dengan nada menghina bahwa mereka tidak akan meninggalkan pandangan mereka bahkan jika Sang Budha sendiri yang datang dan mengajarkan kepadanya.’

Ada banyak contoh di mana non-Dhama dianggap sebagai Dhamma. Adalah penting untuk menyelidiki ajaran demikian agar dapat memisahkan, apa yang bukan ajaran, pernyataan singkat tentang hal ini adalah sebagai berikut: