• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINGKASAN DHAMMA SEJAT

ANATTALAKKHAöA SUTTA Bagian Keempat

RINGKASAN DHAMMA SEJAT

1. Sabba pæpassa akæranam. Menghindari segala perbuatan jahat, kejahatan secara fisik seperti membunuh, mencuri, dan perilaku salah harus dihindari. Perbuatan jahat berbohong,

memfitnah, menggunakan kata-kata kasar juga harus dihindari. Memikirkan pikiran-pikiran jahat juga harus ditinggalkan. Pikiran-pikiran jahat dapat ditinggalkan hanya dengan mempraktikkan meditasi konsentrasi dan Vipassanà. ‘Menghindari semua perbuatan jahat, secara fisik, ucapan dan pikiran merupakan Ajaran Pertama dari Sang Buddha.’

2. Kusalassa upasampadæ. Mengembangkan segala bentuk

perbuatan baik seperti memberi dana, menjalankan sīla dan mempraktikkan meditasi. Sehubungan dengan menjalankan sīla, ini dapat dipenuhi hingga batas tertentu dengan menghindari kejahatan dalam melaksanakan ajaran pertama. Tetapi seseorang tidak dapat kokoh dalam Ariyamagga Sīla, sila yang menuju Jalan Mulia, hanya dengan mempraktikkan penghindaran. Ini dapat dicapai hanya melalui praktik meditasi Vipassanà hingga jalan itu dicapai; atau praktik meditasi konsentrasi atau meditasi pencerapan.

Beberapa orang meremehkan meditasi konsentrasi. Akan tetapi Sang Bhagavà sendiri mengajarkan untuk melatih meditasi konsentrasi juga. Ketika konsentrasi jhàna dicapai, konsentrasi itu dapat digunakan sebagai dasar yang ideal bagi meditasi Vipassanà. Atau, jika tingkatan jhàna tidak dapat dicapai, maka konsentrasi pendahuluan boleh dicoba dan konsentrasi ini, ketika tercapai, dapat digunakan sebagai dasar bagi meditasi Vipassanà. Jika bahkan konsentrasi pendahuluan juga tidak dapat dicapai, maka seseorang harus berusaha menggunakan konsentrasi sesaat dari meditasi Vipassanà. Begitu tercapai, pandangan terang Vipassanà akan terkembang dalam urut- urutannya hingga Jalan Mulia tercapai.

Dalam masa pengajaran Buddha, tugas yang paling penting adalah memperoleh manfaat baik dari konsentrasi Vipassanà dan pandangan terang Vipassanà, karena Jalan dan Buah Mulia tidak dapat tercapai tanpa meditasi Vipassanà. Demikianlah untuk mendapatkan manfaat dari Jalan dan Buah Mulia,

perbuatan baik meditasi Vipassanà harus dikembangkan. Kita tidak boleh mengabaikan bentuk apapun dari perbuatan baik, sebagai ajaran kedua Sang Buddha yang menghalangi pemenuhan seluruh tiga jenis perbuatan baik.

Kita mendengar tentang adanya ‘ajaran baru’ yang bertentangan dengan ajaran pertama dan kedua dari para Buddha ini. Pengemuka ‘ajaran baru’ itu berkata, ‘kekotoran yang tidak bermanfaat (akusala kilesà) tidak ada secara permanen; karenanya, tidak diperlukan usaha untuk menyingkirkannya. Juga tidak diperlukan usaha untuk melakukan perbuatan baik dan menjalankan sīla dan mempraktikkan meditasi konsentrasi dan pandangan terang. Semua usaha ini adalah percuma dan hanya menghasilkan penderitaan. Harus dipahami benar bahwa ajaran-ajaran baru ini secara frontal bertentangan dengan ajaran sejati dari Sang Buddha.

3. Sacitta pariyadapanam. Untuk menjaga agar pikiran seseorang tetap murni. Melalui praktik Vipassanà, Sang Jalan harus dikembangkan. Dengan Sang Jalan terkembang demikian, Buah akan tercapai, pikiran benar-benar bebas dari kekotoran dan karenanya benar-benar murni. Menurut Komentar, tingkat kemurnian yang dicapai tidak lebih rendah dari seorang Arahat. Penjelasan Komentar ini selaras dengan Ajaran Sang Buddha yang terdapat dalam Pàëi Text. Akan tetapi, mereka yang menyebabkan cacat dan luka pada pengajaran adalah merendahkan praktik menjalankan sīla, mengembangkan meditasi konsentrasi dan Vipassanà, mengatakan bahwa itu adalah usaha sia-sia yang hanya memberikan penderitaan. “Bersantailah, tidak perlu melakukan aktivitas apapun. Letakkan di tempat kosong dalam dirimu di mana tidak ada aktivitas-aktivitas buruk berkembang. Dengan cara ini pikiran akan tetap murni.” Ini adalah ajaran yang sama sekali tidak beralasan, tidak memiliki landasan dan dukungan. Merendahkan praktik sīla, samàdhi, dan bhàvanà adalah merusak Pengajaran Sang Buddha. Adalah tidak mungkin

menjaga pikiran seseorang tetap murni tanpa praktik meditasi konsentrasi dan pandangan terang. Kesadaran adalah bersifat tanpa inti, tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diatur. Menyatakan bahwa pikiran dapat dipertahankan sesuai kehendak seseorang tanpa bantuan meditasi adalah menyangkal Anattalakkhaõa Sutta yang menyebutkan bahwa tidaklah mungkin mengatakan tentang kesadaran, ‘Biarlah kesadaran seperti ini (baik); biarlah kesadaran tidak seperti ini (tidak baik).’ Ini adalah suatu hal yang harus direnungkan dengan baik.

Kalimat terakhir dari pernyataan ringkas Ajaran ini adalah: “Etam Buddhàna Sàsanam.’ “Tiga ini yaitu, menghindari kejahatan, melakukan kebajikan, menjaga kemurnian pikian, adalah Ajaran, nasehat dari semua Buddha.”

Demikianlah Pengajaran Buddha diringkas menjadi tiga faktor yang disebutkan di atas. Agar Pengajaran ini bertahan lama, makmur, semua perbuatan jahat harus dihindari sejauh mungkin oleh seseorang, orang lain harus diajarkan agar sebisa mungkin menghindari kejahatan. Seseorang harus melakukan perbuatan baik sebanyak mungkin dan mengajarkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jika menemukan seseorang yang mengajarkan bukan-Dhamma, ‘Jangan menghindari perbuatan jahat, jangan melakukan perbuatan baik,’ maka seseorang harus berusaha sebaik mungkin untuk mencegahnya mengajarkan pandangan keliru demikian. Seseorang harus memurnikan pikirannya dengan mempraktikkan bhàvanà

dan menasehati orang lain untuk melakukan hal yang sama. Adalah demi tujuan untuk menjaga Pengajaran Buddha dan memajukan kemakmurannya kita menunjukkan ajaran keliru dan menjelaskan bagaimana mereka telah menyimpang dari yang benar.’

Kita telah sedikit menyimpang dari kisah Sàti dengan membahas bahaya dari ajaran keliru bagi Pengajaran Buddha.

Sekarang untuk melanjutkan kisah Sàti: ketika Sàti tetap keras kepala mempertahankan pandangan kelirunya, Sang Bhagavà berkata kepada para Bhikkhu:

“Pernahkan kalian mendengar aku membabarkan Dhamma dengan cara seperti yang diungkapkan Sàti?”

“Tidak, Bhagavà. Kami hanya mendengar bahwa kesadaran muncul karena kondisi-kondisi; dan bahwa tidak ada kemunculan kesadaran tanpa kondisi-kondisi.” Kemudian Sang Bhagavà menjelaskan lebih lanjut;

“Masing-masing kesadaran muncul karena kondisi-kondisinya masing-masing.”

‘Kesadaran diberi nama sesuai dengan kondisi yang memunculkannya; sehubungan dengan mata dan obyek- obyek terlihat muncullah kesadaran dan ini disebut kesadaran- mata; sehubungan dengan telinga dan suara-suara muncullah kesadaran dan ini disebut kesadaran-telinga; sehubungan dengan hidung dan bau-bauan muncullah kesadaran dan ini disebut kesadaran-hidung; sehubungan dengan lidah dan rasa kecapan muncullah kesadaran dan ini disebut kesadaran-lidah; sehubungan dengan badan dan obyek-obyek sentuhan muncullah kesadaran dan ini disebut kesadaran- badan; sehubungan dengan pikiran dan obyek-obyek pikiran muncullah kesadaran dan ini disebut kesadaran-pikiran; misalnya, api dapat membakar karena ada kayu dan ini disebut api kayu, dapat membakar karena adanya serpihan bambu, rumput, kotoran sapi, kulit padi, sampah; maka ini disebut api serpihan bambu, api rumput, api kotoran sapi, dan seterusnya. Demikian pula, kesadaran diberi nama sesuai dengan bagaimana ia dikondisikan.’

Dalam Sutta ini sehubungan dengan pandangan Sàti, Sang Bhagavà juga membabarkan Hukum Sebab Akibat Yang Saling

Bergantungan secara komprehensif. Kita tidak memiliki waktu untuk membahas ini. Kita akan membatasi dengan membahas selengkapnya dengan perumpamaan api.

Ketika ada suatu api hutan, mungkin berasal dari sampah yang terbakar atau daun-daun kering yang terbakar. Jika ada persediaan (bahan bakar) terus-menerus dan tidak ada orang yang memadamkan api, kebakaran itu akan meliputi bermil- mil ke sekeliling. Terlihat sepertinya api yang sama terus- menerus membakar sepanjang tahun. Tetapi pengamatan yang saksama akan mengungkapkan bahwa api yang membakar sampah tidak sama dengan api yang membakar rumput; demikian pula api rumput tidak sama dengan api daun. Juga api daun, api yang membakar daun tertentu adalah bukan api yang sama dengan yang membakar daun lainnya.

Demikian pula kesadaran-mata dan kesadaran-telinga yang terlihat seperti satu dan sebagai kesadaran yang sama bagi orang-orang biasa akan terlihat oleh pengamat yang penuh kewaspadaan sebagai kesadaran yang terpisah dan berbeda yang kemunculannya bergantung pada kondisi-kondisi. Ketika kita mempertimbangkan bahkan hanya satu bentuk kesadaran saja, misalnya kesadaran-mata, kita akan melihat kesadaran yang berbeda muncul dari warna yang berbeda, putih, hitam, dan sebagainya. Dengan mempersempit hingga satu warna saja, misalnya putih, Yogī yang terus-menerus mencatat dan yang telah maju hingga ke tingkat udayabbaya

¤àõa dan bhaïga ¤àõa akan melihat bahwa yang terlihat seperti satu kesadaran tunggal dan terus-menerus dari warna putih, sebenarnya adalah kesadaran sebelumnya yang terpisah dan berbeda dari kesadaran yang setelahnya.

Perbedaan lebih jelas dalam kasus mendengar daripada melihat; demikian pula, dalam hal mencium dan mengecap, masing-masing kesadaran tercatat secara terpisah dan berbeda. Pencatatan yang paling sering adalah dalam fenomena

menyentuh dan perbedaan antara masing-masing kesadaran juga paling jelas di sini.

Ketika merasa sakit, pencatatan yang penuh kewaspadaan sebagai ‘sakit, sakit’ memungkinkan seseorang melihat dengan jelas masing-masing kesadaran sakit, sebagian demi sebagian saat munculnya. Demikian pula kesadaran pikiran dan gagasan-gagasan dapat dicatat pada saat masing-masing kesadaran muncul secara terpisah. Jika pikiran atau gagasan apapun muncul mengganggu sewaktu mencatat naik dan turunnya perut, ini juga harus dicatat pada saat munculnya. Biasanya pikiran atau gagasan yang mengganggu itu akan lenyap, segera setelah kemunculannya dicatat oleh sang Yogī, tetapi jika pikiran itu tetap muncul dikondisikan oleh obyek pikiran yang sama, maka harus diamati kemunculannya setahap demi setahap secara berurutan. Ketika pikiran bergerak kepada obyek pikiran lainnya, munculnya kesadaran yang terpisah akan sangat jelas teramati.

Ketika Yogī dapat melihat munculnya masing-masing kesadaran yang berbeda dengan pencatatan yang berbeda, ia akan menyadari secara pribadi sifat ketidak-kekalan dari kesadaran, sifat penuh penderitaan karena terus-menerus muncul dan lenyap, sifat tanpa-inti karena terjadi menurut kondisinya, tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat diatur. Adalah sangat penting untuk mencapai pemahaman pribadi demikian.

Kami telah menjelaskan selengkapnya bagaimana lima gugus yaitu, jasmani, vedanà, sa¤¤à, saïkhàra dan vi¤¤àõa adalah bukan diri. Kita akan merangkum dengan ingatan tentang empat jenis kemelekatan atta dan tentang bagaimana kesadaran adalah bukan diri.

INGATAN

Menganggap bahwa ada inti yang hidup dalam diri 1.

seseorang, dapat diatur dan menuruti kehendak seseorang adalah kemelekatan Sàmi atta.

Menganggap bahwa inti diri adalah kekal dan abadi adalah 2.

kemelekatan Nivàsī atta.

Menganggap bahwa seluruh tiga jenis aktivitas jasmani, 3.

ucapan dan pikiran adalah dilakukan oleh inti diri adalah kemelekatan Kàraka atta.

Menganggap bahwa inti hidup ini yang mengalami semua 4.

sensasi baik dan buruk adalah kemelekatan Vedaka atta. RANGKUMAN DARI TERJEMAHAN MYANMAR DARI

PâìI TEXT

“Para bhikkhu, kesadaran adalah bukan diri, jika kesadaran adalah diri, ia tidak akan menyakiti dan adalah mungkin untuk mengatakan tentang kesadaran, ‘Biarlah kesadaran seperti ini (baik); biarlah kesadaran tidak seperti ini (tidak baik).”

Sebenarnya, kesadaran adalah bukan diri. Karena alasan ini maka kesadaran cenderung menyakiti dan adalah tidak mungkin untuk mengatakan tentang kesadaran, ‘Biarlah kesadaran seperti ini (baik); biarlah kesadaran tidak seperti ini (tidak baik), dan adalah tidak dapat diatur sesuai kehendak. Setelah menjelaskan selengkapnya bagaimana lima gugus adalah bukan diri, kami akan memberikan, demi kemajuan kalian, ilustrasi lebih lanjut sehubungan dengan lima gugus, yang dikutip dari Pheõapiïóåpama Sutta dari Khandavagga, Samyutta Pàëi Text:

Phe¼api¼ðþpamam rþpam, vedanæ pubbulþpamæ Maricikþpamæ saññæ, sa³khæræ kadalupamæ Mæyþpamañca viññæ¼am desitædiccabandhunæ.

RæPA ADALAH SEPERTI BUIH

Råpa adalah seperti buih, yang terlihat terapung di sungai dan saluran air, terdiri dari gelembung-gelembung udara, terjebak di dalam tetes-tetes air. Tetes-tetes air ini, tertiup oleh gelembung udara, berkumpul menjadi busa air, sebesar sekepalan tangan manusia, kepala manusia, sebesar manusia atau bahkan lebih besar lagi. Sepintas, bongkahan busa ini terlihat seperti memiliki inti suatu zat tertentu. Ketika diamati dengan teliti, ternyata tanpa inti, tidak berguna untuk apapun. Demikian pula, tubuh manusia lengkap dengan kepala, badan, tangan dan kaki, dalam bentuk pria, dalam bentuk wanita, sepertinya sangat memiliki inti; sepertinya permanen, terlihat indah dan baik, tampak seperti suatu entitas hidup.