• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak

PROFIL MANAJEMEN PEMELIHARAAN DAN POTENSI PENINGKATAN POPULASI SAPI BALI DI KABUPATEN

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak

Salah satu faktor penting yang menentukan cara pengelolaan usaha tani ternak yaitu umur peternak. Berdasarkan hasil pengamatan umur peternak di kedua subak sebagian besar berusia produktif (18-54 tahun) yaitu sebesar 66,67%, sedangkan untuk usia peternak non-produktif sebesar 33,33%. Hal ini menunjukan bahwa kedua subak tersebut memiliki cukup potensi tenaga kerja produktif di sektor peternakan. Usia produktif peternak menunjukan tingkat kemampuan dalam penyediaan pakan dan penerapan manajemen pemeliharaan ternak yang baik. Fatati (2001) menyatakan semakin muda umur seseorang maka semakin resposif terhadap perubahan dari luar, senantiasa mencoba sesuatu yang baru dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam diversifikasi usaha.

Tabel 2. Karakteristik peternak responden di Subak Penasan dan Subak Dawan Kabupaten Klungkung

No Parameter Jumlah (orang) Presentase (%) 1 Pendidikan Terakhir a. Tidak Tamat SD 3 12,5 b. SD 10 41,67 c. SMP 4 16,67 d. SMA 6 25 e. Perguruan Tinggi 1 4,17 2 Umur Responden a. 18-54 tahun 14 66,67 b. > 54 tahun 7 33,33

78 3. Pengalaman Beternak a. 1-5 tahun 2 9,52 b. 6-10 tahun 1 4,76 c. 11-15 tahun 4 19,05 d. 16-20 tahun 3 14,29 e. > 20 tahun 11 52,38

4. Jumlah Kepemilikan Ternak

a. 1-2 ekor 16 76,19

b. 3-4 ekor 4 19,05

c. 5-6 ekor 1 4,76

Pengalaman beternak di Subak Penasan dan Subak Dawan sebagian besar sudah sangat berpengalaman lebih dari 20 tahun (52,38%) (Tabel 1). Pengalaman beternak yang sudah sangat lama merupakan modal untuk pengembangan pengelolaan ternak Sapi Bali dengan baik seperti melakukan recording, penggunaan hijauan pakan dengan kuantitas dan kualitas yang baik dan manajemen kesehatan ternak yang sesuai. Pengalaman beternak berbanding lurus dengan keterampilan dan tingkat pengetahuan tentang manajemen pemeliharaan yang lebih baik (Febrina dan Liana, 2008). Berdasarkan jenis pekerjaan, usaha ternak di Subak Penasan dan Subak Dawan merupakan usaha sampingan. Seluruh peternak responden di kedua subak memiliki pekerjaan tetap sebagai petani. Hal ini selaras dengan cara penyediaan pakan dengan memanfaatkan lahan pertanian untuk menanam hijauan pakan.

Pendidikan terakhir peternak responden didominasi lulusan sekolah dasar sebesar 41,67%, SMA 24% dan SMP 16,67%. Tingkat pendidikan seseorang menentukan tingkat keterampilan dan pengetahuan dalam mengaplikasikan teknologi untuk pengembangan usaha ternaknya. Rata-rata kepemilikan ternak dalam kajian ini yaitu 2,29 ekor (Tabel 2). Skala kepemilikan ternak cenderung rendah diindikasikan sebagai akibat usaha ternak Sapi Bali di kedua subak bukan sebagai usaha tani utama melainkan sebagai usaha sampingan. Tingkat pendidikan dan pengalaman beternak tidak berhubungan nyata dengan skala kepemilikan ternak. Nilai signifikasi hubungan tingkat pendidikan dengan skala kepemilikan ternak adalah 0,578 (P>0.05). Tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan skala kepemilikan ternak disebabkan karena pendidikan formal yang ditempuh tidak secara langsung mengajarkan secara spesifik tentang usaha tani ternak (Utami et al., 2016). Pengalaman beternak juga tidak berhubungan langsung dengan skala kepemilikan ternak dengan nilai signifikansi 0,088 (P>0.05). Penempatan usaha ternak sebagai usaha sampingan mengakibatkan pengalaman beternak tidak menentukan skala ternak yang dipelihara. Hal ini juga didukung dengan data yang menunjukan keseluruhan peternak responden memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Karakteristik pekerjaan utama responden yang tidak sesuai dengan bidang usaha menyulitkan proses penyerapan informasi dalam adopsi inovasi (Supriadi et al., 2017).

Komponen Manajemen Pemeliharaan Ternak

Sistem pemeliharaan yang diterapkan dikedua subak yaitu sistem pemeliharaan intensif. Hal ini tercermin dari ketersediaan kandang dan tidak lagi melakukan kegiatan penggembalaan ternak. Beberapa komponen manajemen pemeliharaan disajikan pada

Tabel 3. Seluruh responden yang diamati tidak memiliki pekerjaan utama sebagai peternak. Usaha ternak diposisikan sebagai pekerjaan sampingan setelah bertani dan buruh. Supriadi et al., (2017) menyatakan bahwa pekerjaan utama yang tidak sesuai dengan bidang usaha menyulitkan proses penyerapan informasi dalam adopsi inovasi. Beberapa responden menyatakan tergabung dalam kelompok ternak (Tabel 3). Kelompok ternak diharapkan dapat dijadikan sarana untuk bertukar dan berbagi informasi inovasi teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan usaha ternak sapi. Kelompok tani di Indonesia memiliki peranan penting untuk meningkatkan indeks dan mendorong penyebarluasan teknologi melalui kegiatan kursun, pelatihan dan penyuluhan pertanian (Suyitman et al., 2009).

Pada kajian ini menunjukan bahwa keikutsertaan peternak responden dalam kelompok ternak berhubungan positif dengan kegiatan pelatihan manajemen pemeliharaan (P=0,03). Ini mendukung bahwa peternak responden yang tergabung dalam kelompok ternak akan lebih mudah memperoleh informasi mengenai manajemen pemeliharaan yang baik melalui kegiatan pelatihan. Komponen manajemen pemeliharaan yang telah diajarkan selama pelatihan perlu dilakukan analisa lebih lanjut terkait dengan tingkat penerapannya dalam usaha ternak. Beberapa komponen manajemen pemeliharaan telah dilakukan oleh peternak responden seperti melakukan kegiatan recording. Kegiatan recording memegang peranan penting dalam perbaikan mutu genetic ternak terutama pada Sapi Bali sebagai plasma nutfah Indonesia. Adanya recording ternak yang baik dan berkesinambungan dapat memberikan informasi tentang keadaan dan kondisi ternak secara individu maupun dalam kelompok ternak sehingga memudahkan proses seleksi ternak unggul pada tingkat petani (Hakim et al., 2010).

Komponen manajemen pemeliharaan lain yang telah diterapkan yaitu proses inseminasi buatan, dan penambahan vitamin dan mineral pada ternak yang dipelihara (P<0,05; Tabel 3). Inseminasi buatan termasuk dalam program pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan populasi ternak unggul tanpa harus memelihara pejantan. Program inseminasi buatan akan lebih berhasil apabila didukung dengan faktor pakan, kuantitas dan kualitas inseminator (Koibur, 2005). Berdasarkan data populasi ternak dikedua subak didominasi oleh sapi betina sebanyak 30 ekor dengan jumlah betina produktif (umur sapi betina dibawah 4 tahun) sebanyak 20 ekor (Tabel 4). Di lain sisi populasi sapi jantan dikedua subak hanya 15 ekor. Perbandingan jantan dan betina dilokasi kajian yaitu 1:2, hal ini menunjukan perkawinan alami dapat dilakukan karena secara alami pejantan mampu mengawini 30-50 betina (Arifiantini et al., 2005). Akan tetapi tingkat keseragaman umur dan lokasi yang terpencar menjadi kendala untuk melakukan perkawinan alami sehingga akan lebih efisien apabila dilakukan perkawinan melalui metode inseminasi buatan. Aspek kecukupan nutrien juga turut menentukan keberhasilan sistem reproduksi indukan dan pejantan. Pada kajian ini pemberian vitamin dan mineral telah dilakukan dengan harapan mampu meningkatkan performa produksi dan reproduksi ternak.

Komponen manajemen pemeliharaan yang belum diterapkan secara optimal yaitu beberapa peternak responden masih menjual betina produktif. Hal ini disebabkan karena alasan ekonomi dan gangguan sistem reproduksi. Suardana et al., (2013) menyatakan hasil pengamatan pada dua rumah potong hewan (RPH) di Provinsi Bali yaitu RPH Pesanggaran dan Mambal sebagian besar menyembelih betina produktif dengan jumlah presentase sebesar 99% untuk RPH Pesanggaran dan 67,49% untuk RPH Mambal.

80 Penyembelihan betina produktif akan berdampak buruk pada populasi ternak terutama Sapi Bali. Tingkat penyembelihan betina produktif yang tinggi perlu diatasi dengan upaya konkrit seperti melakukan penataan tata kelola kelembagaan korporasi perusahaan daerah dalam hal ini adalah rumah potong hewan (Priyanti et al., 2017).

Tabel 3. Karakteristik pekerjaan dan komponen manajemen pemeliharaan di Subak Penasan dan Subak Dawan Kabupaten Klungkung

No. Komponen Manajemen Pemeliharaan Ya Tidak Sig. 1. Pekerjaan Utama 0a 24b P<0.01 2. Ikut serta kelompok ternak 5b 16b P>0.05 3. Kepemilikan Lahan Penggembalaan 1a 20b P<0.01 4. Pelatihan Manajemen Pemeliharaan 14a 86b P<0.01

5. Recording 6b 15b P>0.05

6. Inseminasi Buatan 15b 6b P>0.05 7. Menjual betina produktif 5a 19b P<0.01 8. Kepemilikan alat dan mesin

peternakan 1

a 20b P<0.01 9. Pembersihan Kandang 21b 0a P<0.01 10. Penanganan Limbah Kotoran 9b 12b P>0.05 11. Penambahan konsentrat 4a 17b P<0.01 12. Penambahan Vitamin dan Mineral 8b 13b P>0.05 Keterangan: nilai yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0.05)

Salah satu ciri sistem pemeliharaan intensif yaitu peternak memiliki alat dan mesin peternakan untuk memudahkan proses pemeliharaan. Pada kajian ini seluruh peternak responden tidak memiliki alat dan mesin peternakan untuk membantu pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena usaha ternak bukan merupakan usaha utama sehingga tingkat urgensi kepemilikan alat dan mesin peternakan sangat rendah. Jenis pakan yang diberikan berupa rumput gajah tidak memerlukan alat dan mesin peternakan seperti mesin penggiling atau mesin pencampur pakan. Tingkat kepemilikan alat mesin peternakan yang rendah juga tercermin dari hanya beberapa peternak responden yang memberikan konsentrat sebagai pakan penguat (Tabel 3).

Pemberian konsentrat diperlukan ketika kebutuhan nutrisi tidak dapat dipenuhi dari hijauan pakan. Kebanyakan peternak responden menggunakan rumput gajah dan rumput lapang sebagai pakan utama. Rumput gajah memiliki kandungan nutrientberupa bahan kering 28%, Abu 10%, protein 4,6%, lemak 2,1%, serat kasar 38,2%, Beta-N 45%, sedangkan rumput lapang memiliki kandungan nutrien bahan kering 23,5%, abu 14,3%, protein 8,82%, lemak 1,46%, serat kasar 32,5%, Beta-N 42,8% (Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB, 2012). Berdasarkan kandungan nutrisi rumput gajah dan lapang belum mampu mencukupi kebutuhan nutrisi ternak terutama kandungan protein. Kebutuhan protein untuk sapi jantan dengan bobot badan 150 kg dengan pertambahan bobot badan 0,25 kg/hari memerlukan kandungan protein sebesar 13,3% sedangkan

untuk sapi betina dengan bobot badan dan pertambahan bobot badan yang sama memerlukan protein kasar sebesar 12,5% (Kearl, 1982).

Pengolahan limbah padat dan cair belum dilakukan secara optimal oleh peternak responden di kedua subak. Limbah padat dan cair ternak lebih banyak dialirkan langsung ke kebun tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Pembuangan limbah padat dan cair tanpa melalui proses pengolahan tentunya akan berdampak pada pencemaran lingkungan. Pengolahan limbah padat paling sederhana yaitu mengolah kotoran ternak menjadi pupuk kandang dengan cara dikeringkan akan tetapi masih menimbulkan pencemaran berupa bau yang menyengat. Untuk itu diperlukan aplikasi teknologi pengolahan kotoran ternak secara menyeluruh dengan melibatkan kelembagaan ternak sehingga kotoran ternak dapat bernilai ekonomi.

Karakteristik Ternak dan Aspek Kecukupan Pakan

Pada tabel 4 disajikan populasi ternak Sapi Bali di Subak Penasan dan Dawan beserta kategori umur dan jenis kelamin ternak. Berdasarkan hasil pengamatan populasi Sapi Bali jantan berjumlah 15 ekor dengan rata-rata umur ternak 20,18 bulan, sedangkan untuk populasi Sapi Bali betina berjumlah 30 ekor dengan rata-rata umur 50,88 bulan. Hal ini menunjukan bahwa umur Sapi Bali di Subak Penasan dan Subak Dawan masih tergolong ternak produktif. Sapi Jantan dengan umur 25-36 tahun masih dalam kategori pertumbuhan sehingga masih memerlukan asupan nutrien tinggi. Harmini et al., (2011) menyatakan bahwa umur sapi jantan siap potong yaitu setelah berumur tiga tahun sedangkan sapi betina siap bunting setelah umur dua tahun dan memiliki masa produktif hingga tujuh tahun (Yuliantika et al., 2016).

Asupan pakan menjadi faktor penentu optimalisasi performa produksi dan reproduksi ternak. Pakan utama dalam usaha ternak di Subak Penasan dan Subak Dawan yaitu rumput gajah. Berdasarkan kandungan nutrisi rumput gajah belum mampu memenuhi kebutuhan nutrisi ternak produksi. Rumput gajah dengan kandungan protein 4-7% hanya mampu mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak. Kearl (1982) menyatakan Sapi Jantan dengan bobot badan 200 kg memerlukan protein sebesar 7%. Kandungan protein tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok tanpa adanya pertambahan bobot badan.

Profil umur sapi betina di lokasi kajian masih berada dalam kategori betina produktif. Hal ini menjadi modal untuk meningkatkan populasi sapi di lokasi tersebut akan tetapi keberhasilan peningkatan populasi ternak harus disertai dengan penambahan ketersediaan pakan dan tenaga kerja. Luas lahan garapan peternak responden sebesar 10 ha dengan jumlah ketersediaan tenaga kerja sebanyak 24 orang. Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia merupakan suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk menunjukan kapasitas suatu wilayah untuk menyediakan hijauan makanan ternak yang dipelihara.

Tabel 4. Populasi dan umur Sapi Bali di Subak Penasan dan Subak Dawan Kabupaten Klungkung

No Jenis Kelamin Kategori Umur Jumlah Ternak

82 25-36 bulan 6

37-48 bulan 0 49-60 bulan 1 > 60 bulan 0

Total Jumlah Ternak Jantan 15 ekor

Rata-rata umur ternak 20,18 ± 2,37

2. Betina 1-12 bulan 3 13-24 bulan 2 25-36 bulan 11 37-48 bulan 4 49-60 bulan 4 > 60 bulan 6

Total Jumlah Ternak Betina 30 ekor

Rata-rata umur ternak 50,88±20,35

Total Jumlah Ternak 45

Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia merupakan suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk menunjukan kapasitas suatu wilayah untuk menyediakan hijauan makanan ternak yang dipelihara. Pada Tabel 5 disajikan hasil perhitungan kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR) efektif di subak penasan dan dawan adalah -28,4 ST dan 17,6 ST. Hasil KPPTR efektif di lokasi kajian menunjukan bahwa lokasi tersebut sudah mencapai titik maksimum untuk menampung ternak ditinjau dari ketersediaan lahan untuk menyediakan hijauan pakan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan hijauan pakan yaitu mengatur ketersediaan hijauan pakan setiap musim kemarau dan hujan, memanfaatkan limbah pertanian dan lahan-lahan kosong. Inovasi teknologi yang diperlukan yaitu proses pengawetan hijauan pakan seperti silase, hay dan fortifikasi hijauan pakan.

Tabel 5. Perhitungan kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR) Subak Penasan dan Dawan

Lokasi PMSL PMKK Populasi Riil KPPTR ST SL KK Efektif Subak Penasan dan Dawan 8 ST 54 ST 36,4 ST -28,4 ST 17,6 ST -28,4 ST Keterangan: PMSL = potensi maksimum sumberdaya lahan, PMKK = potensi maksium kepala keluarga, populasi riil = populasi ternak ruminansia, KPPTR (SL) = kapasitas peningkatan populasi ternak ruminasia berdasarkan sumberdaya lahan, KPPTR (KK) = kapasitas peningkatan populasi ternak ruminasia berdasarkan kepala keluarga

KESIMPULAN

Komponen manajemen pemeliharaan yang telah diterapkan yaitu recording, inseminasi buatan dan pemberian vitamin dan mineral, sedangkan komponen manajemen pemeliharaan yang belum diterapkan optimal penjualan betina produktif, rendahnya kepemilikan alat dan mesin peternakan, pengolahan limbah padat dan cair ternak, juga pemberian konsentrat. Lokasi Subak Penasan dan Dawan sudah mencapai titik maksimal peningkatan populasi ditinjau dari ketersediaan lahan.

REFERENSI

Arifiantini, I, Yusuf T.L, Graha, N. (2005). Longivitas dan recovery rate pasca thawing semen beku sapi fresian Holstein menggunakan bahan pengencer berbeda. Buletin Peternakan 29(2): 53-61.

[BPS] Badan Pusat Statistik. Kabupaten Klungkung dalam angka tahun 2018. Klungkung, Bali.

Fatati. (2010). Perilaku petani peternak dalam diversifikasi tanaman kelapa sawit dengan sapi potong di daerah transmigrasi Sungai Bahar Kabupaten Muaro. Jurna Ilmu-Ilmu Peternakan. 4(2) : 29-35.

Febrina, D, Liana, M. (2008). Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ruminansia pada peternak rakyar di Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. Jurnal Peternakan. 5(1): 28-37.

Hakim, L Ciptadi G, Nurgiartiningsih V.M.A. (2010). Model recording data performans sapi potong lokal di Indonesia. J.Ternak Tropika 11(2):61-73.

Harmini R, Winandi A, Juniar A. 2011. Model dinamis sistem ketersediaan daging sapi nasional. Ekonomi Pembangunan. 12(1):128-146.

Kearl, L.C. (1982).Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. Disertasi. Doctor of Philosophy in Animal Science. Utah State University, Logan Utah.

Koibur J.F. (2005). Evaluasi tingkat keberhasilan pelaksanaan program inseminasi buatan pada sapi bali di Kabupaten Jayapura. Buletin Peternakan 29(3): 150-155.

Priyanti A, Inounu I, Ilham N. (2017). Pencegahan pemotongan sapi betina produktif melalui tata kelola lembaga korporasi perusahaan daerah. Wartazoa 27(2)-53-66. Roessali W, Eddt B.T, Murthado A. (2005). Upaya pengembangan usaha sapi potong

melalui entinitas agribisnis “corporate farming” di Kabupaten Grobogan. Jurnal Sosial Ekonomi Peternakan 1(1): 25-30.

Soewardi, B. (1985). Peta potensi wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan. Laporan. Kerjasama Direktorat Penyebaran dan Pengembangan Peternakan, Ditjen Peternakan, Kementerian Pertanian dan Fapet IPB, Bogor.

84 Suardana I.W, Sukada I.M, Suada I.K, Widiasih D.A. (2013). Analisis jumlah dan umur Sapi Bali betina produktif yang dipotong di rumah pemotongan hewan Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. JSV 31(1): 43-48.

Supriadi, Agus, A, Darwin, M, Rijanta, Pertiwiningrum A. (2017). Adopsi inovasi peternakan terintegrasi studi kasus: Desa Argorejo dan Argosari Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul Provinsi D.I Yogyakarta. Buletin Peternakan 41(3):338-348.

Suyitman, S.H., Sutjahjo, Herison C, Muladno. (2009). Status keberlanjutan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan. Jurnal Agro Ekonomi. 27(2):165-191.

Utami, L.S, Baba, S, Sirajuddin, S.N. (2016). Hubungan karakteristik peternak dengan skala usaha ternak kerbau di Desa Sumbang Kecamatan Curio Kabupaten Enkarang. JITP 4(3): 146-150.

Yuliantika I.M.Y, Adnyana I.B.W, Sukada I.M. (2016). Profil umur, jenis kelamin, berat badan dan jejas eksternal pada kulit Sapi Bali yang disembelih di rumah potong hewan Kota Denpasar Periode Mei-Juni 2015. Indonesia Medicus Veterinus. 5(4): 376-387.

STRATEGI PENGEMBANGAN AGROWISATA PADA