• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Dalam dokumen SEMINAR NASIONAL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS 2019 (Halaman 126-131)

UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA JENIS BIOPESTISIDA TERHADAP HAMA DAN PENYAKIT SERTA KELAYAKAN USAHA TANI

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Hasil analisis statistik untuk perlakuan uji menunjukkan hasil yang nyata dan tidak nyata untuk parameter teramati. Efektifitas biopestisida terhadap populasi ulat daun, persentase serangan kutu daun, wereng daun, virus krupuk, panjang, lebar, luas, dan hasil rajang kering daun tembakau menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Tabel 1, 2, 4, dan 5). Sementara persentase serangan busuk akar dan populasi musuh alami menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada perlakuan uji (Tabel 3).

Efektifitas biopestisida terhadap populasi ulat daun tembakau tertinggi ditunjukkan pada perlakuan B3 (2,60 ekor) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B2 (2,74 ekor) atau lebih tinggi 17,12% dibanding perlakuan B1 dan B4 (2,22 ekor)(Tabel 1.). Pada Tabel 1. juga terlihat persentase serangan kutu daun, tertinggi ditunjukkan pada perlakuan B3(13,65%) atau lebih tinggi 31,76; 13,37; dan 89,58% di banding perlakuan B1(10,36%); B2 (12,04), dan B4(7,20%).

Tabel 1. Efektifitas Biopestisida terhadap populasi ulat daun (ekor) dan persentase serangan kutu daun tembakau (%)

Perlakuan Parameter

Populasi ulat daun

(ekor) Persentase serangan kutu daun (%)

B1 2,22 ± 0,415 b 10,36 ± 0,958 c B2 2,74 ± 0,336 a 12,04 ± 1,747 b B3 2,60 ± 0,416 a 13,65 ± 0,983 a B4 2,22 ± 0,339 b 7,20 ± 0,2,146 d KK (%) 14,28 16,92 BNT 5% 0,26 1,13

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata pada taraf uji BNT 5%

Persentase serangan wereng daun dan virus krupuk daun tembakau tertinggi ditunjukan pada perlakuan B2 (19,30%) dan perlakuan B3 (15,02%)(Tabel 2.). Serangan wereng daun pada perlakuan B2 juga tidak berbeda nyata dengan perlakuan B3 (18,72%). Namun dibandingkan dengan perlakuan B1 (16,63%) dan B4 (13,97%) seranganya lebih tinggi 16,05 dan 38,15% (Tabel 2). Pada Tabel 2. juga terlihat serangan virus krupuk daun tembakau terendah ditunjukkan pada perlakuan B4 (7,51%) atau lebih rendah 38,88 dan 60,32% dibanding perlakuan B1 (10,43) dan B2 (12,04).

Tabel 2. Efektifitas Biopestisida terhadap persentase serangan wereng (%) dan virus krupuk daun tembakau (%)

Perlakuan Parameter

Persentase serangan wereng

daun tembakau (%) Persentase serangan virus krupukdaun tembakau (%)

B1 16,63 ± 1,606 b 10,43 ± 2,778 c B2 19,30± 3,002 a 12,04 ± 1,832 b B3 18,72 ± 1,582 a 15,02± 0,845 a B4 13,97 ± 1,606 c 7,51 ± 1,075 d KK(%) 16,24 18,75 BNT 5% 1,65 1,31

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata pada taraf BNT 5%

Persentase serangan busuk akar daun tembakau dan populasi musuh alami yang dijumpai menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata pada perlakuan uji (Tabel 3).

Tabel 3. Efektifitas Biopestisida terhadap persentase serangan busuk akar tembakau (%) dan populasi musuh alami (ekor)

Perlakuan Parameter

Persentase serangan busuk akar

tembakau (%) Populasi musuh alami (ekor)

B1 2,14 ±0,206 a 1,36 ± 0,476 a B2 2,10± 0,213 a 1,43± 0,787 a B3 2,11 ± 0,165 a 1,57 ± 0,450 a B4 2,07 ± 0,206 a 1,79 ± 0,393 a KK (%) _ _ BNT 5% _ _

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata pada taraf BNT 5%

Efektifitas biopesitisida berpengaruh nyata pada komponen agronomis yang diamati. Panjang, lebar, luas dan hasil rajang kering daun tembakau tertinggi ditunjukkan pada perlakuan B4 (48,21 cm;24,40 cm; 1,176,43 cm2dan 1,214,29 kg/ha) (Tabel 3 dan 4).

Tabel 4. Efektifitas Biopestisida terhadap panjang dan lebar daun tembakau (cm)

Perlakuan Parameter

Panjang daun tembakau (cm) lebar daun tembakau (cm)

B1 44,14 ±0,289 b 22,75 ±0,174 b

B2 40,51± 0,418 d 21,43± 0,482 c

B3 42,23 ± 0,179 c 20,34 ± 0,331 d

KK(%) 1,06 2,34

BNT 5% 0,25 0,28

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata pada taraf BNT 5%

Pada Tabel 4. terlihat panjang daun tembakau terendah ditunjukkan pada perlakuan B2 (40,51 cm) atau lebih rendah 8,22 dan 4,07% dibanding perlakuan B1 (44,14 cm) dan B3 (42,23). Lebar daun tembakau terendah ditunjukkan pada perlakuan B3 (20,24 cm), atau lebih rendah 10,59;4,48% dibanding perlakuan B1 (22,75 cm) dan B2 (21,43 cm) (Tabel 4.).

Pada Tabel 5. juga terlihat luas daun tembakau terendah ditunjukkan pada perlakuan B3(859,11 cm2) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B2 (868,04 cm2) atau lebih rendah 14,46% dibanding perlakuan B1 (1,004,38 cm2 ). Demikian juga hasil rajang kering daun tembakau terendah ditunjukkan pada perlakuan B3 (855,71 kg/ha) atau lebih rendah 29,53; 25,59; dan 13,24% dibanding perlakuan B4 (1,214,29 kg/ha), B1 (1,150,00 kg/ha) dan B2 (986,29 kg/ha).

Tabel 5. Efektifitas Biopestisida terhadap luas daun tembakau (cm) dan hasil rajang kering daun tembakau (t/ha)

Perlakuan Parameter

Luas daun tembakau (cm) Hasil rajang kering daun tembakau (kg/ha)

B1 1,004,38±5,591 b 11,500 ±19,60 b B2 868,04± 20,045 cd 986±17,84 c B3 859,11 ± 16,317 d 855 ±13,97 d B4 1,176,43 ± 18,970 a 12,143 ± 9,76 a KK(%) 2,46 1,48 BNT 5% 12,48 11,56

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata pada taraf BNT 5%

PEMBAHASAN

Efektifitas biopestisida terhadap hama, penyakit dan komponen pertumbuhan agronomis serta hasil rajang kering daun tembakau menunjukkan hasil yang nyata dan tidak nyata. Populasi ulat daun, persentase serangan kutu daun, wereng daun, virus krupuk, panjang, lebar, luas, dan hasil rajang kering daun tembakau menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Sementara persentase serangan busuk akar dan populasi musuh alami menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada perlakuan uji. Kondisi ini disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan bahan aktif pada masing-masing perlakuan uji.

Biopestisida atau dikenal dengan pestisida nabati dan pestisida hayati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan, bersifat repellent (penolak hama) dan ada pula yang bersifat membunuh dan menghambat perkembangan hama atau yang dikenal dengan agen pengendali hayati (APH). Organisme agen pengendali hayati (APH) dapat berfungsi sebagai pathogen, parasit, dan predator bagi hama tanaman (Subagya, 2013). Astuti (2014)

tanaman penghasil minyak atsiri yang banyak mengandung geraniol. Geraniol merupakan senyawa penyedia oksigen sehingga minyak sereh wangi dimungkinkan dapat digunakan sebagai bio additive gasoline. Bota et al. (2015) menambahkan bahwa senyawa alam yang diperoleh dari tanaman yang berpotensi sebagai zat aktif digunakan untuk menggantikan antibiotika sintesis. Sereh wangi penghasil minyak atsiri Citronella Oil menjadi salah satu komoditas senyawa aktif yang dapat dijadikan sebagai sumber senyawa aktif dari alam yang berpotensi sebagai antibakteri. Sitronellal, geraniol, dan sitronellol adalah kandungan utama pada minyak sereh wangi yang dapat digunakan sebagai antibakteri.

Hasil penelitian Latumahin (2012) menunjukkan aplikasi insektisida serai wangi pada rayap tanah di lapangan dan di laboratorium menunjukan hasil yang sama yakni mortalitas tertinggi terjadi pada minggu ke-2 dengan konsentrasi sebesar 5%. Penggunaan ekstrak batang serai sebagai insektisida botanis merupakan salah pengendalian hama yang ramah lingkungan. Serai wangi mengandung minyak atsiri yang terdiri dari senyawa sitral, sitronela, geraniol, mirsena, nerol, farsenol methil heptenon, dan dipentenayang dapat berfungsi sebagai pengendalian organisme pengganggu tanaman, mempunyai sifat yang toksin terhadap serangga. Shahabuddin et al. (2010) menyatakan bahwa efek dari senyawa ini dapat menghambat perkembangan hidup serangga dalam peletakan telur sehingga secara tidak langsung dapat memperlambat perkembangbiakan serangga. Kandungan serai wangi menurut Setiawati et al. (2010), terdapat sitronella (35,97%), Nerol (17,28%), sitronelol (10,03%), geranyle acetat (4,44%), elemol (4,38%), limonene (3,98%) dan citronnellyle acetate (3,51%). Senyawa sitronella mempunyai sifat racun dehidrasi. Racun tersebut merupakan racun kontak yang dapat mengakibatkan kematian karena serangga akan mengalami kekurangan cairan. Selain sereh wangi pestisida nabati juga bisa dibuat dari tanaman tembakau itu sendiri. Hasil penelitian Tuti et al. (2014) menemukan bahwa ekstrak limbah tembakau berpotensi sebagai racun kontak yang bagus untuk mengendalikan wereng coklat. Ekstrak limbau tembakau bersifat repellent. Semua ekstrak limbah tembakau tidak mematikan predator. Kehidupan predator bergantung pada kelimpahan mangsanya (Shelly et al. 2011).

MS Trichoderma merupakan agensia pengendali penyakit layu. Menurut Dwiastuti et al.(2016), aplikasi Trichoderma spp. sebaiknya digunakan sebagai pencegahan (preventif) dan tidak menunggu sampai tanaman terinfeksi penyakit. Hasil penelitian Dwiastuti et al.(2016), menunjukkan bahwa Trichoderma sp.1 mampu menghambat pertumbuhan Fusarium sp.1 dan Fusarium sp.2 sebesar 49,7 % dan 49,6 %. Isolat Trichoderma sp.2 mampu menghambat pertumbuhan Fusarium sp.1 dan Fusarium sp.2 sebesar 45,8% dan 43,4%. Mekanisme antagonis hasil uji in vitro adalah pembelitan hifa dan intervensi hifa. Hasil penelitian Rizal et al. (2019) menunjukkan bahwa pemberian Trichoderma sp berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi dan jumlah daun tanaman tomat, namun berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang. Semakin tinggi dosis Trichoderma sp yang diberikan, semakin tinggi dan semakin banyak jumlah daun tanaman. Menurut Hanudin et al. (2018), pengendalian hayati lebih efektif digunakan sebagai pencegahan dengan aplikasi sedini mungkin.

Tabel 6. Analisis Usahatani Tembakau/Ha

A Sarana Produksi Vol Unit Harga(Rp) Jumlah(Rp)

Urea 7500 kg 2,000 15,000,000

B Upah

Traktor 100 are 20,000 20,000,000

Potong jerami 100 are 10,000 10,000,000 Membuat bedengan 200 HOK 100,000 20,000,000 membuat persemaian 100 HOK 100,000 10,000,000

Tanam 150 HOK 100,000 15,000,000

Pengairan dan penyiangan 600 HOK 100,000 60,000,000

Memupuk 100 HOK 100,000 10,000,000

Mewiwil 400 HOK 100,000 40,000,000

Panen sampai peram 800 HOK 100,000 80,000,000 Merajang dan penjemuran 700 HOK 100,000 70,000,000

Pengepakan 150 HOK 100,000 15,000,000 Lain-lain 50,000,000 50,000,000 C Pengeluaran 454,700,000 D Produksi (kg) 12,143 kg 80,000 971,440,000 E Pendapatan 516,740,000 R/C ratio 2,13

Hasil analisis usahatani budidaya tembakau menunjukkan, keseluruhan biaya yang dikeluarkan per luasan) sebesar Rp 454.700.000,00. Biaya tersebut dialokasikan untuk sarana produksi, tenaga kerja dan pengeluaran lainnya. Dengan input tersebut hasil tembakau rajang kering diperoleh sebesar 12,143 kg, dengan harga rata-rata Rp 80.000/kg sehingga total penerimaan petani sebesar Rp 971.440.000,00. Setelah dikurangi biaya usahatani sebesar Rp 454.700.000,00. Pendapatan petani sebesar Rp 516.740.000,00. Dalam usahatani ini rasio penerimaan terhadap pengeluaran (R/C ratio) sebesar 2,15 yang berarti usahatani tersebut layak untuk diusahakan (Tabel 6).

KESIMPULAN

Perlakuan pestisida nabati berbasis serai wangi yang dikombinasikan dengan MS Trichoderma + MS P. fluorescent menunjukkan biopestisida yang cukup efektif sebagai pengendali hama dan penyakit serta meningkatkan provitas tanaman tembakau dengan hasil rajang kering tembakau sebesar 12,143 kg/ha dengan nilai R/C ratio sebesar 2,15.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih penulis sampaikan kepada petugas lapang, pekaseh dan kelompok tani Subak Sange - Gianyar, atas lahan yang di pakai sebagai tempat penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuannya, dalam penyelesaian makalah ini.

REFERENSI

Dalam dokumen SEMINAR NASIONAL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS 2019 (Halaman 126-131)