PENGARUH PEMBERIAN ISOFLAVON DALAM GLYCINE MAX TERHADAP
3. HASIL PENELITIAN
Sampel penelitian merupakan tikus wistar jantan sejumlah 12 ekor yang diperoleh dari Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang. Sampel penelitian yang digunakan valid karena menggunakan tikus wistar yang memenuhi kriteria inklusi dan dipilih dengan metode simple random sampling. Sampel penelitian pada
kelompok kontrol (K) dan perlakuan (P) mendapatkan pakan dan minum standar secara ad libitum pada siang dan sore hari. Pemberian susu kedelai dengan dosis 300 ml/kgBB pada kelompok perlakuan dilakukan pada pagi hari untuk mengoptimalkan penyerapan etanol dalam saluran cerna yang masih belum terkontaminasi oleh zat-zat lain sehingga dapat dimetabolisme dengan optimal di dalam saluran pencernaan dan segera diabsorpsi ke dalam darah untuk kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh. Dalam penelitian yang dilakukan selama 35 hari berturut-turut ini, tidak didapatkan adanya kriteria eksklusi yaitu kecacatan pada hewan coba maupun kriteria drop-out yaitu kematian hewan coba, sehingga dapat dilakukan terminasi, pengambilan jaringan dan analisis data pada seluruh sampel penelitian. Terminasi dilakukan dengan menggunakan anestesi eter dengan dosis 2 ml secara inhalasi diikuti oleh dislokasi vertebra servikalis yang dilakukan oleh tenaga ahli yang telah
72
JIMKI Volume 5 No.1 | Januari – Agustus 2017
terlatih, berpengalaman, dan telah mendapatkan sertifikat pelatihan sehingga dislokasi verterbra servikalis
dapat dilakukan dengan cepat dan tanpa menimbulkan rasa sakit pada hewan coba.
Pada akhir penelitian, dilakukan pengukuran berat badan tikus, panjang penis, berat testis dan pengambilan kelenjar prostat tikus.
Dari hasil pengukuran berat badan tikus, didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda antara berat badan tikus kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Pada pengukuran panjang penis dari dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan perlakuan juga tidak ditemukan perbedaan bermakna. Berat testis tikus kelompok kontrol dan perlakuan juga tidak memiliki perbedaan signifikan, secara makroskopis juga tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kenampakan testis kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Setelah dilakukan pembuatan preparat kelenjar prostat dan vesikula seminalis tikus, penilaian secara histopatologis dilaksanakan. Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x per lima lapangan pandang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kenampakan secara umum dari kelenjar prostat dan vesikula seminalis kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Namun ditemukan perbedaan pada bentuk epitel duktus vesikula seminalis tikus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol, epitel duktus ditemukan rata-rata berbentuk kolumner simpleks dan kuboid simpleks, sedangkan pada kelompok perlakuan, epitel duktus ditemukan memiliki variasi bentuk, mulai dari kolumner simpleks, kuboid simpleks, dan pipih simpleks
dengan dominasi bentuk pipih simpleks diikuti kuboid simpleks.
Data yang didapatkan dari hasil
skoring integritas mukosa gaster diuji normalitasnya menggunakan uji
Saphiro-Wilk dan didapatkan nilai
normalitas p=0.557 (p>0.05) untuk berat badan tikus, p=0.952 (p>0.05) untuk panjang penis, dan p=0.267 (p>0.05) untuk berat testis sehingga dapat disimpulkan bahwa distribusi data normal, sehingga uji hipotesis yang digunakan adalah uji parametrik yaitu uji t-tidak berpasangan.
Uji t-tidak berpasangan didapatkan p=0.798 (p>0.05) untuk berat badan, p=0.743 (p>0.05) untuk panjang penis, dan p=0.661 (p>0.05) untuk berat testis sehingga disimpulkan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan baik untuk berat badan tikus, panjang penis tikus dan berat testis tikus.
4. PEMBAHASAN
Perbedaan yang tidak signifikan dari berat badan tikus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan kemungkinan dikarenakan pada tikus jantan, reseptor estrogen kurang berefek jika dibandingkan pada tikus betina. Efek estrogen pada umumnya adalah meningkatkan metabolisme dan anoreksik, akan tetapi hal ini hanya ditemukan signifikan pada tikus betina dibandingkan pada tikus jantan seperti yang dikemukakan pada studi oleh National Toxicology Program National Institutes of Health (NIH) pada 2008.
Perbedaan yang tidak signifikan dari panjang penis tikus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dikarenakan perkembangan genitalia eksterna jantan seperti penis tidak hanya dipengaruhi oleh faktor androgen
73
JIMKI Volume 5 No.1 | Januari – Agustus 2017
atau hormonal namun juga dipengaruhi oleh gen. Pemberian terapi tambahan testosteron pada masa postnatal saja tidak akan mempengaruhi ekspresi gen dan axis hipotalamus-pituitari-testis.[13] Paparan fitoestrogen sebagai estrogen eksogenik terhadap tikus jantan tentunya membutuhkan jangka waktu yang lebih panjang dan onset lebih awal untuk menimbulkan efek pada perkembangan organ genital eksterna tikus jantan.
Perbedaan berat testis tikus kelompok kontrol dan perlakuan pada penelitian ini juga tidak signifikan. Pada studi yang pernah dilakukan oleh Cline et al. (2004), di mana tikus alipoprotein E null C57BL/6J diberikan metabolit dari isoflavon yaitu genistein dan daidzein, dibuktikan bahwa terjadi atrofi kelenjar seks asesori.[14] Menurut Spearow et al. (2001), perbedaan hasil yang ditemukan ini dikarenakan adanya perbedaan antar
strain tikus yang digunakan, di mana strain yang berbeda akan merespons
dengan mekanisme yang berbeda akibat adanya perbedaan hepar dan aktivitas testikular transferase.[15] Tikus strain C57BL/6J yang digunakan pada studi oleh Cline et al. (2004) lebih sensitif terhadap senyawa estrogenik dibanding
strain lainnya. Pada studi lainnya
dengan menggunakan mencit ICR yang diberi genistein selama 5 minggu
postweaning, tidak ada perubahan pada
berat kelenjar aksesoris, namun hiperplasia sel Leydig teramati pada pemeriksaan histopatologis. National
Toxicology Program dari NIH pada
tahun 2008 menyatakan bahwa perbedaan hasil dari berbagai studi mengenai efek isoflavon kedelai terhadap organ genital hewan coba berasal dari adanya perbedaan dosis, lama paparan, dan jenis preparat isoflavon kedelai yang diberikan.[16]
Epitel duktus pada kelenjar prostat dan vesikula seminalis normalnya adalah kolumner selapis-kolumner lapis semu. Pada vesikula seminalis, penurunan tinggi sel epitel dikaitkan dengan penurunan sekresi kelenjar vesikula. Namun untuk menimbulkan perubahan yang berarti pada kelenjar prostat dan vesikula seminalis, diperlukan paparan estrogen eksogen yang lebih lama dan lebih kuat sehingga mampu mempengaruhi reseptor hormon androgen dan estrogen dalam tubuh.[17]
.
5. SIMPULAN
Pemberian susu kedelai sebagai sumber isoflavon yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari tidak menimbulkan gangguan dalam perkembangan genitalia eksterna tikus wistar jantan. Namun dalam pengaruhnya terhadap kelenjar seks asesoris seperti kelenjar prostat, isoflavon dalam susu kedelai menimbulkan perubahan morfologi epitel duktus vesikula seminalis dan hal ini dikaitkan dengan perubahan produksi sekresi vesikula seminalis tikus wistar.
SARAN
Pada penelitian selanjutnya, agar dapat menghasilkan hasil yang signifikan maka dapat dilakukan penambahan dosis dengan menambah jangka waktu penelitian yang lebih panjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Irwan, Aep Wawan. 2009.
Budidaya Tanaman Kedelai.
Bandung : Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran.
2. Cahyadi, W. 2007. Kedelai
Khasiat danTeknologi. Jakarta:
Bumi Aksara.
3. Buchori, Imam. 2008. Studi
Pengolahan Susu Kedelai.
Malang : Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. http://skripsi.umm.ac.id/files/di sk1/243/jiptummpp-gdl-s1- 2008-imambuchor-12145-1.+PENDA-N.pdf. [5 Februari 2014] 4. Muchtadi, D. 2010. Kedelai
Komponen Bioktif untuk Kesehatan. Bandung :
Penerbit Alpabeta.
5. Ferlina, S., 2009. Khasiat Susu
Kedelai.
http://www.khasiatku.com [6 Februari
2014].
6. Watanabe S,Gang Zhoo V,Melby MK,Ishiwata N,Kimira
74
JIMKI Volume 5 No.1 | Januari – Agustus 2017
M. 2006. Systematic review of intervention using isoflavon supplement and proposal for further studies.In : Sugono M,editor. Soy in health and
disease prevention. Boca Raton,Florida : CRC Press Taylor & Francis Group LLC. 7. Robertson KM,O’Donnell
L,Simpson ER,Jones MEE. 2002. The phenotype of aromatase knockout mouse
reveals dietary
phytoestrogens impact significantly on testis fuction.
Endocrinology.
8. Salisbury FB, Ross CW. 1995.
Fisiologi Tumbuhan, Jilid 2.
Penerjemah: Lukman DR, Sumaryono. Bandung: Penerbit ITB. Hal:152.
9. Hernawati. 2009. Perbaikan
Kinerja Reproduksi Akibat Pemberian Isoflavon dari TanamanKedelai. Bandung:
Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.
10. Anderson RL, Wolf WJ. 2005. Compositional changes in trypsin inhibitors, phytic acid, saponins and isoflavones related to soybean processing. Jutr. ; 125: 581S–588S.
11. Astuti,S. 2009.Kualitas
SpermatozoaTikus Jantan yang Diberi Tepung Kedelai Kaya Isoflavon. Lampung :
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
12. Paulsen, F, Waschke, J.2010. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Edisi 23.Jakarta:EGC
13. Crozier A, Clifford MN, Ashihara H. 2006. Plant
Secondary Metabolites: Occurrence, Structure and Role in the Human Diet.
Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Hal: 9
14. Dahlan MS. Seri evidence based medicine 1 statistik untuk kedokteran dan kesehatan: deskriptif, bivariat, dan multivariat dilengkapi dengan menggunakan SPSS.
Edisi 4. Jakarta: Penerbit salemba medika, 2009.1-58,83-119.
15. Hugges I,Woods HF. 2003.
Phytoestrogen and Health.
London : Committe on Toxicity of Chemicals in Food,Consumer Product and The Environment.
16. National Cancer Institute. Understanding Estrogen Receptors/SERMs. National Cancer Institute. January, 2005.
17. Puspasari, D. 2007.
Pengaruh Pemberian Ekstrak Kedelai Dosis Bertingkat Terhadap Morfologi Spermatozoa tikus wistar Jantan Strain Balb/C.
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
75
JIMKI Volume 5 No.1 | Januari – Agustus 2017
Penelitian
ABSTRAK
Pendahuluan: Trombosis mendasari patogenesis beragam penyakit. Sambiloto (Andrographis paniculata) dan ruku-ruku (Ocimum tenuiflorum) memiliki efek antitrombosis yang dapat dijadikan sebagai sumber terapi trombosis di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian infus daun A. paniculata (IAP) dan O.tenuiflorum (IOT) terhadap bleeding time dan clotting time mencit.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik eksperimental dengan desain pre- and
post-test. Empat kelompok yang berisi 24 ekor sampel diinduksi akuades (kontrol
negatif), asetosal 40 mg/kg berat badan/hari, IAP 0,1 ml/hari, dan IOT 0,1 ml/hari. Pengujian terhadap bleeding time dan clotting time dilakukan dengan metode Ivy dan metode object glass pada hari ke-0, ke-14, dan ke-28.
Hasil dan Pembahasan: Hasil menunjukkan peningkatan bleeding time pada kelompok IAP dan IOT menjadi 145±35,07 (p=0,017) dan 180±70,99 (p=0,021) detik pada hari ke-14, serta 255±125,50 (p=0,022) dan 250±48,06 (p<0,004) detik pada hari ke-28. Pada kelompok IAP dan IOT, terjadi peningkatan clotting time menjadi 110±15,49 (p=0,034) dan 110±24,50 (p=1,000) detik pada hari ke-14, serta 115±22,58 (p=0,043) dan 140(±30,98) (p=0,203) detik pada hari ke-28.
Kesimpulan: Perubahan clotting time terjadi secara signifikan pada kelompok IAP dan tidak signifikan pada kelompok IOT.
Kata kunci: antitrombosis, Andrographis paniculata, Ocimum tenuiflorum
ABSTRACT
Background: Thrombosis underlies the pathogenesis of various diseases. Bitter (Andrographis paniculata) and basil (Ocimum tenuiflorum) possess antithrombotic potential which can be harnessed as a source of future therapy for thrombosis. This study aims to look at the effect of the infusion of leaves of A. paniculata (IAP) and O.tenuiflorum (IOT) on bleeding time and clotting time of mice.
Methods: This research is analytic experimental with pre- and posttest design. Four groups of 24 male samples were infused with distilled water (negative control), aspirin 40 mg / kg body weight /day, IAP 0.1 ml /day, and IOT 0.1 ml /day. Tests on bleeding time and clotting time with methods Ivy and glass object method were conducted on day 0, day 14, and day 28.
Results and Discussion: Results showed an increase in bleeding time from the group of IAP and IOT to 145±35,07 (p=0,017) and 180±70,99 (p=0,021) seconds on day 14, 255±125,50 (p= 0,022) and 250±48,06 (p<0,004) seconds on day 28. In the group of IAP and IOT, clotting time increased to 110±15,49 (p=0,034) and 110±24,50 (p=1,000) seconds on day 14, 115±22,58 (p=0,043) and 140±30,98 (p=0,203) seconds on day 28. Conclusion: The changes in clotting time occurred significantly in the IAP group and non-significantly in the IOT group.