BAB 5. HASIL PENILAIAN STATUS EAFM SDI DEMERSAL
5.4 Hasil Penilaian EAFM WPPNRI 713
Dari enam indikator yang dinilai pada domain sumber daya ikan, hasilnya menunjukan skor penilaian yang bervariasi. Indikator CpUE Baku menunjukan skor penilaian baik dimana beberapa data menunjukan peningkatan produksi tangkap ikan demersal di WPP 713 maupun peningkatan produksi tangkap oleh nelayan-nelayan lokal. Data-data tersebut, misalnya:
99
a) Produksi perikanan tangkap ikan demersal di WPP 713 selama tiga tahun terakhir (2012-2014) terus meningkat (statistik perikanan tangkap, 2015).
b) Hasil tangkapan dan CpUE ikan kerapu terjadi penurunan dengan semakin dekatnya dari garis pantai (Ernaningsih, 2014)
c) Produksi perikanan tangkap lokal utk ikan demersal juga meningkat dalam tiga tahun terakhir periode 2012-2014 (Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2015)
d) Hasil tangkap nelayan untuk jenis ikan demersal juga meningkat (sumber: wawancara nelayan)
Pada tahun 2005 produksi tangkap ikan demersal di WPP 713 sebesar 129,2 ribu ton dan meningkat menjadi 164.8 ribu ton pada tahun 2014. Data ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan produksi tangkap ikan demersal dalam satu dekade terakhir. Sementara kenaikan produksi ikan demersal dalam satu tahun terakhir (2013-2014) adalah sebesar 0.9 persen yakni sebesar 8,3 ribu ton.
Gambar 5.8 Perkembangan Produksi Tangkap Ikan Demersal di WPPNRI 713 Periode 2005-2014
Ditingkat lokal, produksi perikanan ikan demesal di Kalimantan Timur yang merupakan salah satu area perairan di WPP 713 juga memperlihatkan trend pertumbuhan produksi ikan demersal yang baik, meskipun sedikit terjadi penurunan produksi pada satu tahun terakhir sebesar 373 ton.
Demikian juga trend pertumbuhan produksi perikanan ikan demersal di Provinsi Nusa Tenggara Barat (jenis kerapu dan bawal bintang) juga menunjukan peningkatan dalam tiga tahun terakhir.
Adapun perkembangan produksi perikanan ikan demersal di Provinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat seperti disajikan pada gambar-gambar dibawah ini.
100
Gambar 5.9 Perkembangan Produksi Tangkap Ikan Demersal di Prov. Kalimantan Timur Tahun 2005-2014
Gambar 5.10 Perkembangan Produksi Tangkap Ikan Demersal (Kerapu dan Bawal Bintang) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Periode 2012-2014.
Untuk indikator trend ukuran ikan, menunjukan bahwa ukuran ikan demersal yang ditangkap dalam tiga tahun terakhir (2014-2016) relatif sama. Terutama untuk ikan kerapu, kakap, dan Layur (sumber: wawancara dengan nelayan). Data ini memperlihatkan bahwa indikator trend ukuran ikan berada pada kategori sedang. Selanjutnya, proporsi ikan yuwana yang tertangkap berada pada kategori baik, yang dinilai berdasarkan data (i) Perbandingan antara ikan target dengan ikan yuwana yang ditangkap, lebih banyak ikan target dengan proporsi sekitar 20% ikan yuwana; serta (ii) Umumnya ikan demersal ditangkap dengan alat tangkap yang cukup selektif seperti bubu, gill net dasar dan rawai dasar sehingga proporsi ikan yuwana cukup sedikit (sumber: hasil FGD).
Penilaian terhadap indikator komposisi hasil tangkapan ikan demersal menunjukan hasil pada kategori baik, dimana menurut hasil wawancara dengan nelayan bahwa proporsi ikan target yang ditangkap lebih besar dari ikan non target, terutama untuk jenis alat tangkap bubu, gill net dasar, serta rawai dasar (> 30%). Untuk indikator range collpase sumber daya ikan menunjukan hasil pada kategori sedang. Data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan serta
101
hasil FGD menunjukan bahwa (i) Menangkap ikan demersal relatif tetap terutama untuk pengoperasian alat tangkap bubu dan gill net dasar; serta (ii) Penangkapan ikan menggunakan rawai dasar semakin mudah (sumber: wawancara nelayan). Sementara untuk wilayah fishing ground menunjukan bahwa (i) wilayah penangkapan ikan demersal seperti ikan kakap dan kerapu relatif; sedangkan penangkapan ikan menggunakan rawai dasar semakin dekat di perairan pesisir.
Penilaian terhadap individu ETP menunjukan penilaian pada kategori baik. Hasil wawancara dengan nelayan menunjukan bahwa terdapat individu ETP yang tertangkap seperti dugong dan penyu. Beberapa nelayan sudah memahami perlindungan individu ETP dan melepaskannya, dan sebagian masih diperjual belikan (hasil wawancara nelayan dan FGD). Gambaran penilaian terhadap indikator-indikator pada domain sumber daya ikan seperti disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.37 Hasil Penilaian EAFM Domain Sumber Daya Ikan Demersal Di WPPNRI 713
Indikator Kriteria Data isian Skor
1. CpUE Baku 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun)
· Produksi perikanan tangkap ikan demersal selama tiga tahun terakhir (2012-2014) terus meningkat (statistik perikanan tangkap, 2015).
· Hasil tangkapan dan CpUE ikan kerapu terjadi penurunan dengan semakin dekatnya dari garis pantai (Ernaningsih, 2014)
· Produksi perikanan tangkap lokal utk ikan demersal juga meningkatdalam tiga tahun terakhir periode 2012-2014 (Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2015)
· Hasil tangkap nelayan untuk jenis ikan demersal juga meningkat (sumber:
wawancara nelayan)
3 2 = menurun sedikit (rerata
turun < 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat
2. Tren ukuran ikan
1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil;
Ukuran ikan demersal yang ditangkap dalam tiga tahun terakhir (2014-2016) relatif sama. Terutama untuk ikan kerapu, kakap, dan Layur (sumber:
wawancara dengan nelayan)
2
2 = trend ukuran relatif tetap;
3 = trend ukuran semakin besar
3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
1 = banyak sekali (> 60%) · Perbandingan antara ikan target dengan ikan yuwana yang ditangkap, lebih banyak ikan target dengan proporsi sekitar 20% ikan yuwana;
· Umumnya ikan demersal ditangkap dengan alat tangkap yang cukup selektif seperti bubu, gill net dasar
3 2 = banyak (30 - 60%)
3 = sedikit (<30%)
102
Indikator Kriteria Data isian Skor
dan rawai dasar sehingga proporsi ikan yuwana cukup sedikit (sumber:
hasil FGD) 4. Komposisi
spesies hasil tangkapan
1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume) 2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume)
3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume)
Proporsi ikan target yang ditangkap lebih besar dari ikan non target, terutama untuk jenis alat tangkap bubu, gill net dasar, serta rawai dasar (Sumber:
Wawancara dengan nelayan).
3
5. "Range Collapse" sumber daya ikan
1 = semakin sulit, tergantung spesies target
· Menangkap ikan demersal relatif tetap terutama untuk pengoperasian alat tangkap bubu dan gill net dasar (sumber: wawancara nelayan dan FGD);
· Penangkapan ikan menggunakan rawai dasar semakin mudah (sumber:
wawancara nelayan)
2 2 = relatif tetap, tergantung
spesies target 3 = semakin mudah, tergantung spesies target
1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target
· Wilayah penangkapan ikan demersal seperti ikan kakap dan kerapu relatif (wawancara nelayan dan FGD);
· Penangkapan ikan menggunakan rawai dasar semakin dekat di perairan pesisir (wawancara nelayan)
3
2= fishing ground jauh, tergantung spesies target 3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target
6. Spesies ETP 1= terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas;
Terdapat individu ETP yang tertangkap seperti dugong dan penyu;
Beberapa nelayan sudah memahami perlindungan individu ETP dan melepaskannya, dan sebagian masih diperjual belikan (hasil wawancara nelayan dan FGD).
2 2 = tertangkap tetapi dilepas
3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap
Berdasarkan hasil analisis serta penilaian terhadap indikator-indikator pada domain sumber daya ikan di atas, maka diperoleh nilai agregatnya hanya 2,58. Nilai agregat ini mecapai kategori baik dengan indikator yang memiliki nilai baik antara lain CpUE Baku, Proporsi ikan yuwana yang ditangkap, serta komposisi hasil tangkapan. Sedangkan indikator tren ukuran ikan serta spesies ETP memiliki nilai sedang. Indikator lainnya seperti Range collapse nilainya 2,5 artinya berada pada kategor cukup baik. Indikator tren ukuran ikan yang bearada pada kategori sedang berperan besar (bobot dari indikator ini cukup tinggi : 20). Adanya indikator tren ukuran ikan yang
“tetap” diduga akibat dari tingginya tingkat eksplotasi sumber daya ikan demersal. Upaya untuk
103
meningkatkan tren ukuran ikan bila asumsinya benar maka perlu dilakukan pengurangan armada penangkapan ikan demersal. Sementara indikator spesies ETP yang bobotnya hanya 5 hanya 2,0 dan masuk kategori Sedang.
Tabel 5.38 Nilai Agregat Domain Sumber Daya Ikan Demersal di WPPNRI 713
Indikator Nilai
1. CpUE Baku 3,0
2. Tren ukuran ikan 2,0
3. Proporsi ikan yuwana yang ditangkap 3,0
4. Komposisi spesies hasil tangkapan 3,0
5. "Range Collapse" sumber daya ikan 2,5
6. Spesies ETP 2,0
Nilai Aggregat 2,58
5.4.2. Keragaan Domain Habitat dan Ekosistem
Penilaian terhadap indikator-indikator pada domain “Keragaan Habitat dan Ekosistem” juga memperlihatkan penilaian yang bervariasi. Berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari FGD dan data sekunder lainnya, bahwa indikator kualitas perairan memperlihatkan kondisi yang berada pada kategori sedang. Data-data pendukung penilaian dimaksud sebagai berikut:
a) Bahwa kasus pencemaran perairan oleh aktifitas bisnis dari perusahaan-perusahaan tambang serta perkebunan sangat tinggi. Pencemaran limbah industri ini mencemari perairan pesisir Kalimantan Timur melalui Sungai Mahakam. Pada tahun 2013 terdapat jumlah kasus pencemaran lingkungan sebanyak 39 kasus, sbb: Kukar: 26 kasus; Kutim: 5 kasus; Berau: 5 kasus; Paser: 1 kasus; Bulungan: 1 kasus; serta Nunukan: 1 kasus.
b) Perairan pesisir Sulawesi Selatan meliputi Teluk Bone, Teluk Pare-Pare, Tanjung Bunga, serta Muara Sungai Tallo mengandung logam berat melebihi ambang batas yang ditetapkan (Setiawan, 2013 serta Setiawan 2015);
c) Perairan lepas, yang agak jauh dari perairan pesisir tidak tercemar (sumber: hasil FGD) Data-data di atas secara langsung menunjukan bahwa lingkungan perairan pesisir yang umumnya menjadi domain habitat ikan demersal, udang, dan kepiting sudah tercemar melebihi baku mutu. Meskipun radius pencemarannya tidak meluas sampai ke perairan lepas pantai.
Data-data berikut ini memperlihatkan tingkat pencemaran perairan pesisir di beberapa perairan di WPP 713.
104
Tabel X12. Akumulasi logam berat pada tumbuhan mangrove di Perairan Pesisir Sulawesi Selatan
Lokasi stasiun
penelitian Jenis Mangrove Kandungan logam berat (ppm)
Pb (Lead) Cu (Cuprum) Cd (Cadmium) Tanjung Bunga Avicennia marina 9,1 ±2,69 42,8 ±2,64 8,8 ±0,68 Muara Sungai Tallo Rhizopora mucronata 36,1 ±6,22 41,0 ±5,12 29,3 ±0,32 Teluk Pare-Pare Sonneratia alba
Avicennia marina 35,4 ±1,46 30,9 ±1,66 0,04 ±0,02 Teluk Bone Sonneratia alba
Avicennia marina 31,6 ±3,45 28,66 ±1,62 11,6 ±2,37 Sumber: (Setiawan, 2013)
Tabel X13. Kandungan logam berat pada air di Perairan Pesisir Sulawesi Selatan Lokasi stasiun penelitian Kandungan logam berat (ppm)
Pb (Lead) Cu (Cuprum) Cd (Cadmium)
Tanjung Bunga 0,11 0,10 0,03
Muara Sungai Tallo 0,10 0,16 0,73
Teluk Pare-Pare 0,05 nd* nd*
Teluk Bone 0,09 0,14 0,72
Nilai ambang batas untuk pelabuhan 0.05 0.05 0.01
Nilai ambang batas untuk wisata bahari 0.005 0.05 0.002
Nilai ambang batas untuk kehidupan biota 0,008 0.008 0.001
Sumber: (Setiawan, 2013)
Untuk penilaian terhadap indikator status ekosistem padang lamun berada pada kategori sedang.
Beberapa riset yang dilakukan di perairan pesisir untuk memetakan struktur komunitas lamun yang dikomparasi dengan data survei, menunjukan kondisi tutupan ekosistem lamun sebagai berikut:
a) Tutupan lamun di perairan Kalimantan Timur seperti di Pulau Derawan berkisar antara 8 – 39% (Nurzahraeni, 2014);
b) Kondisi tutupan lamun beragam dari kerapatan lamun jarang (< 25 tegakan/m2 ) hingga tutupan lamun sangat rapat dengan tutupan ≥ 625 tegakan/m2(Nurzahraeni, 2014);
c) Kondisi tutupan lamun di Pesisir Tanjung Luar Lombok Timur, NTB digolongkan pada kategori sedang antara 1,35% – 69,8% (Syukur et al, 2011);
d) Kondisi tutupan ekosistem lamun di WPP 713 berada pada level sedang (hasil FGD).
Sementara untuk kondisi keanekaragaman jenis pada ekosistem padang lamun yang diteliti menunjukan hasil sebagai berikut:
a) Komposisi jenis lamun di perairan Kepulauan Derawan Kaltim cukup beragam. Terdiri dari Cymodocea rotundata, Thalasia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Syringodium isoetifolium. Kerapatan lamun berkisar antara 65 tegakan/m2 hingga 800 tegakan/m2(Nurzahraeni, 2014);
b) Di temukan 9 jenis lamun di perairan pesisir Tanjung Luar Lombok Timur, NTB (Syukur et al, 2011).
105
c) Ditemukan tiga jenis lamun di Perairan Pulau Baranglompo, Sulawesi Selatan yakni Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, C.
serulata, Halodule uninervis, H. pinifolia dan Siringodium isoetifolium (Supriadi et al, 2012);
d) Rata-rata kondisi keanekaragaman ekosistem lamun di WPP 713 berada pada level sedang (sumber: hasil FGD).
Penilaian terhadap indikator status ekosistem hutan mangrove di WPP 713 menunjukan hasil sedang. Dimana untuk kondisi tutupan berada pada level buruk, sedangkan kondisi kerapatan pada level sedang. Adapun data yang mendukung penilaian kondisi tutupan hutan mangrove adalah sebagai berikut:
a) Sekitar 70 persen hutan mangrove di sulawesi selatan rusak disebabkan konversi lahan ke sektor tambang dan pembukaan lahan pertanian(Mangrove Action Project-International, 2011);
b) Kerusakan kawasan hutan mangrove di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sudah mencapai 75 persen atau 685.277 hektare (Ha).luas hutan mangrove di Kaltim mencapai 883.379 Ha. Dari luasan itu, sejumlah 6855.277 Ha mengalami kerusakan, dengan rincian 329.579 Ha rusak berat dan 328.695 Ha rusak sedang (DPRD Prov. Kalimantan Timur, 2011);
c) Rata-rata tutupan mangrove di selat makassar dan daerah wpp 713 lainnya relatif rendah dan semakin menipis seiring dengan massifnya aktivitas industri di kawasan pesisir Sebaliknya bahwa kondisi kerapatan ekosistem mangrove, menunjukan bahwa; (i) Tingkat kerapatan mangrove rendah sebagai akibat dari tingginya laju konversi hutan mangrove di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur; serta (ii) Program rehabilitasi ekosistem mangrove di kedua wilayah dalam lima tahun terakhir berhasil meningkatkan luas dan kerapatan jenis.
Untuk penilaian terhadap indikator status ekosistem terumbu karang di wilayah perairan WPP 713 berada pada kategori sedang. Penilaian ini didasarkan pada hasil riset yang dilakukan oleh beberapa lembaga terhadap kondisi terumbu karang di beberapa perairan di wilayah WPP 713, sebagai berikut:
a) Tutupan karang di Perairan Makasar (P. Baranglompo, Samalona, dan Barrang Caddi) dikisaran 32% (MSDC dan Reef Check, 2016);
b) Secara umum kondisi terumbu karang di Kabupaten Kutai Timur (Kec. Sangkulirang dan Sandaran berada pada kisaran kondisi buruk/rusak hingga baik, yang secara rata-rata tergolong pada kategori sedang/moderat (HCL=45,9%). (Yasser, 2013)
c) Secara umum bahwa tutupan karang di WPP 713 tergolong sedang (Hasil FGD)
Selanjutnya bahwa kondisi keanekaragaman jenis terumbu karang pada lokasi perairan yang diteliti memperlihatkan data-data sebagai berikut: (i) Keanekaragaman terumbu karang berada pada level sedang (Yasser, 2013; serta MSDC dan Reef Check, 2016; serta (ii) Keaneragaman ekosistem terumbu karang di WPP 713 berada pada level sedang (Hasil FGD).
106
Gambar 5.11 Kondisi Terumbu Karang di Makasar Tahun 2012-2015
Grafik diatas memperlihatkan trend penurunan populasi terumbu karang di tiga pulau yang diteliti oleh MSDC Unhas (2015). Pada 2015, terumbu karang di seluruh pulau menunjukkan penurunan rata-rata 30-an persen, yang berarti berada dalam kualitas buruk. Kondisi ketertutupan karang rata-rata di angka 30-an persen, yang berarti termasuk dalam kategori buruk.”Untuk Pulau Barrang Caddi, kondisi terumbu karangnya sempat mengalami kenaikan pada tahun 2013, yaitu 67 persen, dari sebelumnya yang hanya 56 persen. Namun, pada tahun 2014 menurun menjadi 47 persen. Pada tahun 2015 kembali mengalami penurunan hingga 33 persen.
Di Pulau Barrang Lompo, dari tahun 2012 – 2015 trennya terus menurun. Jika pada tahun 2012 populasi ketertutupan sekitar 62 persen, turun menjadi 50 persen di tahun 2013, lalu turun lagi ke angka 34 persen di tahun 2014. Pada tahun 2015 turun drastis ke angka 29 persen, yang merupakan angka terendah dari seluruh pulau yang diteliti.Trend penurunan yang sama terjadi di Pulau Samalona. Jika ada tahun 2012 kondisi ketertutupan yang direkam sebesar 57 persen, menurun menjadi 56 persen di tahun 2014, lalu ke angka 49 persen di tahun 2014. Penurunan drastis terjadi di tahun 2015 menjadi 35 persen.
Penilaian terhadap indikator-indikator dalam domain Keragaan habitat dan Ekosistem seperti disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 5.39 Hasil Penilaian EAFM Domain Habitat dan Ekosistem di WPPNRI 713
Indikator Kriteria Data isian Skor
1. Kualitas
perairan 1= tercemar; · Menurut hasil FGD bahwa kasus
pencemaran perairan oleh aktifitas bisnis dari perusahaan-perusahaan tambang serta perkebunan sangat tinggi. Pencemaran limbah industri ini mencemari perairan pesisir Kalimantan Timur melalui Sungai Mahakam.
Pada tahun 2013 terdapat jumlah kasus
2 2=tercemar sedang;
3= tidak tercemar
107
Indikator Kriteria Data isian Skor
pencemaran lingkungan sebanyak 39 kasus, sbb:Kukar: 26 kasus; Kutim: 5 kasus; Berau:
5 kasus; Paser: 1 kasus; Bulungan: 1 kasus;
serta Nunukan: 1 kasus;
· Perairan pesisir Sulawesi Selatan meliputi Teluk Bone, Teluk Pare-Pare, Tanjung Bunga, serta Muara Sungai Tallo
mengandung logam berat melebihi ambang batas yang ditetapkan (Setiawan, 2013 serta Setiawan 2015);
· Perairan lepas, yang agak jauh dari perairan pesisir tidak tercemar (sumber: hasil FGD) 1= > Melebihi baku mutu
sesuai KepMen LH 51/2004;
· Analisis lingkungan terhadap perairan pesisir yang umumnya menjadi domain habitat ikan demersal, udang, dan kepiting sudah melebihi baku mutu;
· Wilayah perairan laut bebas seperti Selat Makasar serta Perairan lepas lainnya di WPP 713 belum tercemar
2
2= Sama dengan baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004;
3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004
1= konsentrasi klorofil a
< 2 µg/l; · Tingkat keragaman terumbu karang sedang, memungkinkan fotosintesis berjalan baik. Hal ini dimungkinkan konsentrasi klorofil a cukup tersedia;
· Konsentrasi klorofil a tergolong tinggi (> 5 µg/l). Ini menunjukkan perairan WPPNRI 713 (selat makassar) subur.
3 2= konsentrasi klorofil a
2-5 µg/l;
3= konsentrasi klorofil a
> 5 µg/l 2. Status ekosistem
lamun 1=tutupan rendah,
≤30%; · Tutupan lamun di perairan Kalimantan Timur seperti di Pulau Derawan berkisar antara 8 – 39% (Nurzahraeni, 2014);
· Kondisi tutupan lamun beragam dari kerapatan lamun jarang (< 25 tegakan/m2 ) hingga tutupan lamun sangat rapat dengan tutupan ≥ 625 tegakan/m2(Nurzahraeni, 2014).
· Kondisi tutupan lamun di Pesisir Tanjung
· Luar Lombok Timur, NTB digolongkan pada kalagori sedang antara 1,35% – 69,8%
(Syukur et al, 2011)
· Kondisi tutupan ekosistem lamun di WPP 713 berada pada level sedang (hasil FGD)
2 2=tutupan sedang, ≥ 30
- <60%;
3=tutupan tinggi, ≥ 60%
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H'
< 1), jumlah spesies < 3
· Komposisi jenis lamun di perairan Kep.
Derawan Kaltim cukup beragam. Terdiri dari Cymodocea rotundata, Thalasia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Syringodium isoetifolium. Kerapatan lamun berkisar antara 65 tegakan/m2 hingga 800 tegakan/m2(Nurzahraeni, 2014).
2
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3 - 5
108
Indikator Kriteria Data isian Skor
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies >
5
· Di temukan 9 jenis lamun di perairan pesisir Tanjung Luar Lombok Timur, NTB (Syukur et al, 2011).
· Ditemukan tiga jenis lamun di Perairan Pulau Baranglompo, Sulawesi Selatan yakni Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, C.
serulata, Halodule uninervis, H. pinifolia dan Siringodium isoetifolium (Supriadi et al, 2012);
· Rata-rata kondisi keanekaragaman ekosistem lamun di WPP 713 berada pada level sedang (Hasil FGD)
3. Status ekosistem mangrove
1=tutupan rendah, <
50%; · Sekitar 70 persen hutan mangrove di sulawesi selatan rusakdisebabkan konversi lahan ke sektor tambang dan pembukaan lahan pertanian(Mangrove Action Project-International, 2011);
· Kerusakan kawasan hutan mangrove di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sudah mencapai 75 persen atau 685.277 hektare (Ha).luas hutan mangrove di Kaltim mencapai 883.379 Ha. Dari luasan itu, sejumlah 6855.277 Ha mengalami
kerusakan, dengan rincian 329.579 Ha rusak berat dan 328.695 Ha rusak sedang (DPRD Prov. Kalimantan Timur, 2011);
· Rata-rata tutupan mangrove di selat
makassar dan daerah wpp 713 lainnya relatif rendah dan semakin menipis seiring dengan massifnya aktivitas industri di kawasan pesisir
1 2=tutupan sedang, ≥ 50
- <75%;
3=tutupan tinggi, ≥ 75 %
1=kerapatan rendah
(<1000 pohon/ha); · Tingkat kerapatan mangrove rendah sebagai akibat dari tingginya laju konversi hutan mangrove di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur;
· Program rehabilitasi ekosistem mangrove di kedua wilayah dalam lima tahun terakhir berhasil meningkatkan luas dan kerapatan jenis
2 2 = kerapatan sedang
(1000-1500 pohon/ha);
3 = kerapatan tinggi (>
1500 pohon/ha)
4. Status ekosistem
terumbu karang 1=tutupan rendah,
<25%; · Tutupan karang di Perairan Makasar (P.
Baranglompo, Samalona, dan Barrang Caddi) dikisaran 32% (MSDC dan Reef Check, 2016);
· Secara umum kondisi terumbu karang di Kabupaten Kutai Timur (Kec. Sangkulirang dan Sandaran berada pada kisaran kondisi buruk/rusak hingga baik, yang secara rata-rata tergolong pada kategori sedang/moderat (HCL=45,9%). (Yasser, 2013)
2 2=tutupan sedang, ≥ 25
- < 50%;
3=tutupan tinggi, ≥ 50%
109
Indikator Kriteria Data isian Skor
· Secara umum bahwa tutupan karang di WPP 713 tergolong sedang (Hasil FGD)
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H'
< 1);
· Keanekaragaman terumbu karang berada pada level sedang (Yasser, 2013; serta MSDC dan Reef Check, 2016;
· Keaneragaman ekosistem terumbu karang di WPP 713 berada pada level sedang (Hasil FGD)
Habitat unik seperti habitat penyu di Gugus Kepulauan Spermonde (Pulau Pamanggangan) serta perairan Kalimantan Timur dan sudah dikelola dengan baik (Hasil FGD)
3 2=diketahui adanya
habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik;
3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan
> State of knowledge
level : · Kajian tentang dampak perubahan iklim telah dilakukan di beberapa lokasi seperti riset tentang pemutihan karang (coral bleaching) di perairan Sulawesi Selatan dan Bali oleh beberapa LSM dan perguruan tinggi;
· Kajian-kajian ini diikuti dengan program-program advokasi kepada masyarakat serta kegiatan-kegiatan transplantasi terumbu kerang (NDR Foundation, 2015)
3 1= belum adanya kajian
tentang dampak perubahan iklim;
2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
> state of impact (key indikator menggunakan terumbu karang):
· Terjadi pemutihan terumbu karang (coral bleaching) di Perairan Tanjung Bira dan perairan Pulau Liukang Loe, Kabupaten Bulukumba mencapai 50% (MSDC Unhas, 2016);
· Terumbu karang di sejumlah titik perairan di Pulau Bali mengalami pemutihan terjadi di Menjangan, Pemuteran, Pantai Kerobokan Buleleng, Lovina, Les, Tulamben, Jemeluk, Lipah, Labuan Amuk, Sanur, Manta Bay, Manta Point, Lembongan Bay, Serangan, Pantai Mengiat, Pantai Samuh dan Tanjung Benoa (Coral Triangle Centre, 2016);
· Sebanyak 40 persen terumbu karang di Bali mengalami pemutihan.Kerusakan terumbu
110
Indikator Kriteria Data isian Skor
karang paling parah terjadi sepanjang 120 km garis pantai diantara daerah Pemuteran, Gerokgak hingga Amed, Karangasem (Sumber: Reef Check Indonesia, 2009).
Berdasarkan hasil analisis dan penilaian di atas, maka domain Habitat dan Ekosistem mempunyai nilai agregat 1,97 yang masuk dalam kategori sedang. Dalam domain ini ada indikator Habitat Unik khusus yang ditemukan, seperti habitat penyu di Pulau Pamanggangan Kab. Pangkajene Kepulauan. Dalam domain Habitat dan Ekosistem peran dari indikator ini kurang penting secara ekologis, padah nilai bobotnya tertinggi kedua (20) setelah kualitas perairan (25). Indikator yang perlu mendapat perhatian adalah status ekosistem mangrove yang memiliki kategori buruk dengan penilaian 1.0. Indikator yang mendapat nilai sedang pada domain yang dibahas antara lain; kualitas perairan (2,3), status ekosistem terumbu karang (2,0), Indikator perubahan iklim juga penting untuk diperhatikan karena dalam bberapa riset yang dijelaskan sebelumnya ditemukan dampak perubahan iklim terhadap habitat dan ekosistem perairan pesisir.
Indikator kualitas perairan yang secara ekologis cukup penting masih baik kualitasnya.
Tabel 5.40 Nilai Agregat Domain Habitat dan Ekosistem di WPPNRI 713
Indikator Nilai
1. Kualitas perairan 2,3
2. Status ekosistem lamun 2,0
3. Status ekosistem mangrove 1,0
4. Status ekosistem terumbu karang 2,0
5. Habitat unik/khusus 3,0
6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat 1,5
Agregat 1,97
5.4.3. Keragaan Domain Teknik Penangkapan Ikan
5.4.3. Keragaan Domain Teknik Penangkapan Ikan