• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. HASIL PENILAIAN STATUS EAFM SDI DEMERSAL

5.6 Hasil Penilaian EAFM WPPNRI 718

Produksi perikanan tangkap di WPPNRI 718 didominasi oleh kelompok SDI demersal.

Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Produksi ikan demersal selama 3 tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Produksi ikan demersal Pada tahun 2013 yaitu sebesar 224.974 ton, produksi tersebut menurun pada tahun 2014 menjadi 194.498 ton dan selanjutnya menurun tajam menjadi 139,738 ton pada tahun 2015.

Penurunan produksi ikan di WPP ini disebabkan oleh kebijakan Morotorium bagi kapal Eks Asing yang selama ini banyak melakukan kegiatan ilegal fishing di laut Arafura khususnya dan di WPP 718 pada umumnya. Artinya bahwa kelompok SDI demersal di WPPNRI 718 memiliki potensi produksi yang sangat dominan untuk dapat dikelola di masa mendatang dengan pendekatan yang integralistik dan holistik. Berikut perkembangan hasil tangkapan ikan demersal di WPP 718 disajikan pada Gambar berikut.

139 Sumber : Data diolah dari DKP Provinsi Maluku, 2015

Gambar 5.13 Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan Demersal Periode 2013-2015

Sebagai gambaran untuk mengetahui CpUE dan pendugaan Potensi Lestari serta Tingkat Pemanfaatan sumber daya perikanan di WPP 718, tim melakukan wawancara dengan nelayan dan FGD di Ambon. Berdasarkan Hasil wawancara dengan nelayan dan data diolah dari berbagai sumber terdapat 22 jenis ikan demersal yang sering ditangkap oleh nelayan, dari ke 22 jenis ikan demersal terdapat 5 jenis yang dominan tertangkap baik dari sisi jumlah maupun periode penangkapan yakni: 1) ikan lencam (Lethrinus sp), (2) ikan kurisi (Etelis spp); (3) ikan kerapu (Epinephelus sp); (4) ikan kakap merah (Lutjanus spp); dan 5) ikan bobara (Caranx sp).

Pemanfaatan sumber daya ikan demersal oleh nelayan di Pulau Ambon menggunakan alat tangkap cukup beragam. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ke-5 ikan demersal dominan adalah rawai, pancing tangan, bubu dan jaring insang. Merujuk hasil penelitian yang telah dilakukan Donald Noija 2014 terkait hasil tangkapan ikan demersal di WPP 718 yang didaratkan di Ambon, hasil perhitungan setiap pendekatan/model terhadap masing-masing jenis ikan menunjukkan bahwa model/pendekatan terbaik untuk jenis ikan lencam (Lethrinus sp) adalah Disequilibrium Schaefer. Model tersebut menghasilkan potensi pada tingkat lestari (MSY:

Maximum Sustainable Yield) 1575 ton pada upaya optimum 184.207 trip. Produksi rata-rata saat ini adalah 314,867 ton. Dengan demikian tingkat pemanfaatan rata-rata ikan Lencam saat ini 19,19 % atau dengan kata lain potensi yang belum dimanfaatkan kurang lebih 80 %. Jika didasarkan pada nilai MSY maka jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk jenis ikan tersebut adalah 1260 ton/tahun.

Selanjutnya model terbaik untuk menduga potensi ikan Kurisi juga sama yakni Disequilibrium Schaefer. Model tersebut menghasilkan potensi pada tingkat lestari (MSY) 67 ton pada upaya optimum 1.527 trip. Produksi rata-rata saat ini 39,984 ton. Dengan demikian tingkat pemanfaatan rata-rata ikan Kurisi saat ini 59,63% atau dengan kata lain potensi yang belum dimanfaatkan 40,37%. Jika didasarkan pada nilai MSY maka jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk jenis ikan ini adalah 53,6 ton/tahun.

140

Model terbaik untuk menduga potensi ikan kerapu (Epinephelus spp) adalah Schaefer. Model tersebut menghasilkan potensi pada tingkat lestari (MSY) 572,02 ton pada upaya optimum 15.753 trip. Produksi rata saat ini 178,919 ton. Dengan demikian tingkat pemanfaatan rata-rata ikan kerapu saat ini 31,27% atau yang belum dimanfaatkan 68,72%. Jika didasarkan pada nilai MSY maka jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk jenis ikan tersebut adalah 457,6 ton/tahun.

Model terbaik untuk menduga potensi ikan kakap merah (Lutjanus spp) adalah Walter-Hilborn/WH. Model tersebut menghasilkan potensi pada tingkat lestari (MSY) 146,83 ton pada upaya optimum 2.631 trip. Produksi rata-rata saat ini 67,704 ton. Dengan demikian tingkat pemanfaatan rata-rata ikan Kakap Merah saat ini 47,47% atau dengan kata lain potensi ikan kakap merah yang belum dimanfaatkan 52,52%. Jika didasarkan pada nilai MSY maka jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk jenis ikan tersebut adalah 117,464 ton/tahun.

Model terbaik untuk menduga potensi ikan bubara (Caranx sp) adalah Walter-Hilborn/WH. Model tersebut menghasilkan potensi pada tingkat lestari (MSY) 270,60 ton pada upaya optimum 3.630 trip dengan produksi rata-rata 72,959 ton. Dengan demikian tingkat pemanfaatan rata-rata ikan Kuwe saat ini 26,96% atau yang potensi ikan kakap merah yang belum dimanfaatkan 73,03%.

Jika didasarkan pada nilai MSY maka jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk jenis ikan tersebut adalah 216,480 ton/tahun. CpUE, Potensi dan tingkat pemanfaatan jenis ikan demersal disajikan pada Tabel berikut

Tabel X14. CpUE, Potensi dan tingkat pemanfaatan jenis ikan demersal di perairan Pulau Ambon

No Jenis ikan CpUE

(kg/trip) MSY

(ton)

Effort optimum

(trip)

Produksi rata-rata

(ton)

1 Lencam 7,94 1.575 184.207 314,864

2 Kurisi 10,07 67,00 1.527 39,984

3 Kerapu 43,67 572,02 15.753 178,919

4 Kakap merah 13,50 146,83 2.631 67,704

5 Bubara 12,27 270,60 3.63 72,959

Sumber: Donald Noija, 2014

Hasil analisis potensi pada Tabel tersebut memperlihatkan bahwa sumber daya ikan demersal cukup potensial dan berpeluang untuk dikembangkan guna meningkatkan ekonomi masyarakat, khususnya nelayan di Pulau Ambon dan nelayan yang menangkap ikan di WPPNRI 718 pada umumnya, dan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan guna pembangunan di daerah.

141

Tabel 5.61 Hasil Penilaian EAFM Domain Sumber Daya Ikan Demersal di WPPNRI 718

Indikator Kriteria Data isian Skor

1. CpUE Baku 1 = menurun tajam (rerata turun >

25% per tahun) · Produksi perikanan tankap ikan demersal selama tiga tahun (2013 - 2015) relatif menurun seiring dengan moratorium kapal asing dan larangan penggunaan pukat hela/trawl

· Hasil Tangkapan nelayan lokal utk ikan demersal juga meningkat dengan semakin dekatnya dengan garis pantai pasca kebijakan moratorium kapal eks asing

3

2 = menurun sedikit (rerata turun <

25% per tahun)

3 = stabil atau meningkat

2. Tren ukuran ikan 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang

ditangkap semakin kecil; Berdasarkan wawancara dengan nelayan bahwa trend ukuran ikan yang tertangkap relatif tetap dan khusus untuk beberapa jenis spesies yang mulai besar seperti kakap dan manyung

2 2 = trend ukuran relatif tetap;

3 = trend ukuran semakin besar

3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap

1 = banyak sekali (> 60%) Persentase ikan yang

tertangkap sebelum mencapai umur dewasa, semakin sedikit (<30%)

1 = proporsi target lebih sedikit (<

15% dari total volume) Proporsi spesies ikan target lebih banyak (>31%) dari total volume penangkapan

3 2 = proporsi target sama dgn

non-target (16-30% dari total volume) 3 = proporsi target lebih banyak (>

31 % dari total volume) 5. "Range Collapse"

sumber daya ikan 1 = semakin sulit, tergantung

spesies target Menangkap ikan semakin

mudah, seperti kakap merah, kakap putih, bawal, manyung, kuwe dan udang putih

3 2 = relatif tetap, tergantung spesies

target

3 = semakin mudah, tergantung spesies target

1 = fishing ground menjadi sangat

jauh, tergantung spesies target fishing ground relatif tetap, khususnya ikan Manyung/ikan sembilang, Kakap Batu dan udang windu

3 2= fishing ground jauh, tergantung

spesies target

3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target 6. Spesies ETP 1= terdapat individu ETP yang

tertangkap tetapi tidak dilepas; Nelayan sudah mulai memahami jenis ikan yang dilindungi, ketika tertangkap tetapi dilepaskan

2 2 = tertangkap tetapi dilepas

3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap

142

Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa Hasil penilaian terhadap keragaan domain sumber daya ikan yang mencakup beberapa indikator yaitu CpUE baku, tren ukuran ikan, proporsi ikan yuwana (juvenile), komposisi spesies hasil tangkapan, “range collapse" sumber daya ikan, dan spesies ETP diperoleh nilai agregat yang cukup tinggi sebesar 2,83 dengan kisaran antara 2.0 – 3.0. Dari kelima indikator tersebut hanya indikator spesies ETP yang masuk kategori sedang, hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman nelayan terhadap jenis ikan yang dilindungi. Secara umum status pengelolaan kawasan berbasis sumber daya ikan di WPP 718 tergolong dalam kategori antara Sedang – Baik. Artinya secara keseluruhan praktek penerapan EAFM di WPP 718 tergolong dalam kategori Baik. Penilaian EAFM disetiap indikator domain sumber daya ikan disajikan pada Gambar di bawah ini.

Tabel 5.62 Nilai Agregat Domain Sumber Daya Ikan Demersal di WPPNRI 718

Indikator Nilai

1. CpUE Baku 3.0

2. Tren ukuran ikan 2.0

3. Proporsi ikan yuwana yang ditangkap 3.0

4. Komposisi spesies hasil tangkapan 3.0

5. "Range Collapse" sumber daya ikan 3.0

6. Spesies ETP 2.0

Aggregat 2.66

5.6.2 Keragaan Domain Habitat dan Ekosistem

Ekosistem mangrove di WPPNRI 718 tersebar di tiga provinsi dengan keragaman jenis dan luas yang sangat tinggi, yakni Provinsi Papua, Papua Barat dan Maluku. Luas hutan mangrove pada tahun 2014 di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, Maluku Barat Daya, Ambon dan Tual adalah mencapai 25,677.75 Ha sedangkan pada tahun 2015 luasan hutan mangrove tersebut bertambah atau meningkat menjadi 25,714.45 Ha. Artinya terjadi penambahan luasan mangrove mencapai 36,70 Ha. (sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2015). Meski terjadi peningkatan atau pertambahan luas area mangrove, namun laju kerusakan terhadap mangrove juga bertambah. Pada tahun 2015 kerusakan mangrove di kawasan tersebut dengan kategori rusak sebanyak 13.79 Ha sedangkan kerusakan mangrove kategori sedang mencapai 19.60 Ha. Kondisi tersebut membuat penilaian terhadap indikator ekosistem mangrove termasuk dalam kategori sedang dengan nilai skor 2. Sedangkan di Papua Kabupaten yang berbatasan atau berhubungan langsung dengan laut arafura adalah Kabupaten Asmat memiliki luas hutan mangrove sebanyak 271268.869 Ha, Kabupaten Mappi 103417.486 Ha, Merauke 293061.159 Ha dan Mimika sebanyak 257476.091 Ha (Peta Mangrove di Indonesia BAKOSURTANAL, 2009).

Ekosistem lamun di WPP 718 pada tahun 2014 mencapai 3,226.69 Ha yang mencakup Kepulauan Aru, Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, Maluku Barat Daya, Ambon dan Tual.

Luasan lamun sedikit meningkat pada tahun 2015 yaitu 3,238.19 Ha. Meski terjadi peningkatan sebesar 11.50 Ha namun kerusakan ekosistem lamun juga kian bertambah. Ekosistem lamun

143

yang rusak pada tahun 2014 sebesar 21,9 Ha kondisi kerusakan pada lamun terus mengalami peningkatan pada tahun 2015 yaitu sebesar 30,19 Ha sehingga penilaian terhadap indikator lamun termasuk dalam kategori sedang dengan nilai skor 2 atau berbendera kuning.

Dalam penilaian EAFM terhadap indikator ekosistem terumbu karang termasuk dalam kategori sedang dengan nilai skor 2 penilaian tersebut didasarkan pada jumlah luasan ekosistem terumbu karang yang semakin berkurang atau turun. Pada tahun 2014 luas ekosistem terumbu karang sebesar 8,701.37 Ha sedangkan pada tahun 2015 luasan tersebut turun menjadi 8,687.27 Ha.

Meski terjadi penurunan luas namun tutupan karang semakin membaik. Perbaikan kualitas terumbu karang hanya terjadi di perairan Tual yaitu sebesar 12,5 Ha. Kondisi perbaikan terumbu karang tidak terjadi secara merata di semua wilayah perairan WPP 718 sehingga dalam penilaian indikator EAFM termasuk dalam kategori sedang. Adapun penilaian EAFM terhadap domain habitat dan ekosistem disajikan pada Tabel di bawah ini.

Tabel 5.63 Hasil Penilaian EAFM Domain Habitat dan Ekosistem di WPPNRI 718

Indikator Kriteria Data isian Skor

1. Kualitas perairan 1= tercemar; Hasil FGD menunjukkan bahwa tidak terjadi pencemaran perairan

3 2=tercemar sedang;

3= tidak tercemar

1= > Melebihi baku mutu sesuai

KepMen LH 51/2004; Kualitas perairan di selat makassar masih berada di bawah baku mutu.

3 2= Sama dengan baku mutu sesuai

KepMen LH 51/2004;

3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004

1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; Tingkat keragaman terumbu karang tinggi, memungkinkan fotosintesis berjalan dengan baik.Hal ini dimungkinkan konsentrasi klorofil a tinggi

3 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l;

3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l 2. Status ekosistem

lamun 1=tutupan rendah, ≤30%; Tutupan lamun di Aru bagian tenggara dengan rata-rata 15,33% (KKP, 2013).Masuk kategori sedang

2 2=tutupan sedang, ≥ 30 - < 60%;

3=tutupan tinggi, ≥ 60%

1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2

atau H' < 1), jumlah spesies < 3 Berdasarkan data DKP ( 2011) keanekaragaman tergolong tinggi ( > 5 spesies) khususnya di Aru Selatan, Aru tengah, Aru tengah timur dan aru selatan timur

3 2 = kanekaragaman sedang

(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3 - 5

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 5 3. Status ekosistem

mangrove 1=tutupan rendah, < 50%; rata-rata tutupan mangrove di

WPP 718 relatif sedang 3 2=tutupan sedang, ≥ 50 - < 75%;

3=tutupan tinggi, ≥ 75 % 1=kerapatan rendah (<1000

pohon/ha); Tingkat kerapatan mangrove

sedang 2

2 = kerapatan sedang (1000-1500

144

Indikator Kriteria Data isian Skor

pohon/ha);

3 = kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha)

4. Status ekosistem terumbu karang

1=tutupan rendah, <25%;

2=tutupan sedang, ≥ 25 - < 50%;

3=tutupan tinggi, ≥ 50%

Tutupan karang juga relatif sedang

1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 2

atau H' < 1); Keanekaragaman terumbu

karang juga relatif sedang 2 = kanekaragaman sedang

(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)

5. Habitat unik/khusus 1=tidak diketahui adanya habitat

unik/khusus; Habitat unik seperti habitat ikan langka di temukan di beberapa tempat termasuk dari jenis hiu dan sudah dikelola dengan baik

3 2=diketahui adanya habitat

unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik;

3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik

6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

> State of knowledge level :

Hasil FGD diketahui adanya dampak perubahan iklim yg belum diikuti dengan adaptasi

& Mitigasi

2 1= belum adanya kajian tentang

dampak perubahan iklim;

2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;

3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

> state of impact (key indikator menggunakan terumbu karang):

1= habitat terkena dampak

perubahan iklim (e.g coral bleaching

>25%);

Belum ada kajian dan informasi terkait dampak perubahan iklim terhadap habitat, namun dari hasil wawancara sudah terjadi kerusakan karang. Hasil FGD menujukkan pemutihan karang

< 5% akibat perubahan iklim 2= habitat terkena dampak 3

perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%);

3= habitat terkena dampak

perubahan iklim (e.g coral bleaching

<5%)

Domain Habitat dan Ekosistem di WPPNRI 718 mempunyai nilai agregat 2,58 yang masuk dalam kategori sedang-baik. Dalam domain ini indikator status ekosistem terumbu karang, dan indikator status ekosistem lamun masing-masing memiliki skor 2,0. Sedangkan domain indikator ekosistem mangrove, habitat unik/khusus dan kualitas perairan masih sangat baik. Dalam domain Habitat dan Ekosistem peran dari ketiga indikator (terumbu karang, mangrove dan lamun) ini memiliki

145

nilai penting secara ekologis dan berdampak besar terhadap kondisi ekobiologis perairan tersebut.

Tabel 5.64 Nilai Agregat Domain Habitat dan Ekosistem di WPPNRI 718

Indikator Nilai

1. Kualitas perairan 3.0

2. Status ekosistem lamun 2.0

3. Status ekosistem mangrove 3.0

4. Status ekosistem terumbu karang 2.0

5. Habitat unik/khusus 3.0

6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat 2.5

Aggregat 2.58

5.6.3 Keragaan Domain Teknik Penangkapan Ikan

Alat tangkap yang digunakan rata-rata mampu menangkap ikan target dengan ukuran yang sesuai dengan prinsip penangkapan ikan yang berkesinambungan (ramah lingkungan). Hal tersebut sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.06/MEN/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia mengelompokan alat penangkapan ikan dalam 10 (sepuluh) kelompok.

Khusus di WPPNRI 718 alat penangkapan ikan yang digunakan meliputi pukat cincin pelagis kecil, pukat cincin grup pelagis kecil, lampara, pukat tarik pantai, dogol, payang, lampara dasar, pukat hela dasar berpalang, pukat udang, pukat ikan, penggaruk berkapal, penggaruk tanpa kapal, anco,bagan berperahu, bouke ami, bagan tancap, jala jatuh berkapal, jala tebar, jaring insang tetap, jaring liong bun, jarring insang hanyut, jaring gillnet oseanik, jaring insang lingkar, jaring insang berpancang, jaring klitik, combined gillnet-trammel net, set net, bubu, bubu berpasayap, pukat labuh, togo, ambai, jermal, pengerih, sero, pancing ulur, pancing berjoran, huhate, squid angling, squid jigging, huhate mekanis, rawai dasar, rawai tuna, rawai cucut, tonda, pancing layang-layang, tombak, ladung, dan panah.

Perkembangan penggunaan jenis alat tangkap di WPPNRI 718 jumlahnya semakin berkurang seiring dengan kebijakan moratorium bagi kapal eks asing. Berikut jumlah dan jenis alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan di WPPNRI 718 tahun 2011-2015 disajikan pada Tabel berikut.

Tabel X15. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap selama 5 tahun (2011-2015) Jenis Alat Tangkap

Jumlah Alat Tangkap Tahun

2011 2012 2013 2014 2015

Pukat Udang 167 175 175 155 - Pukat Ikan 38 61 53 123 183 Pukat Pantai 573 577 501 526 414 Pukat Cincin 492 601 495 735 425 Jaring Insang 18,237 20,955 19,858 20,676 10,162

146 Sumber: Diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku tahun 2015

Selain alat tangkap, kapal yang melakukan penangkapan ikan pasca kebijakan moratorium yaitu berukuran <5 GT sebanyak 4 672 kapal, 5-10 GT 1076 kapal 10-20 GT 453 kapal, 20-30 GT 270 kapal dan 30-50 GT 103 kapal. Sedangkan kapal yang berukuran lebih dari 60 – 1000 GT yang semula beroperasi pada tahun 2010 - 2014 sudah tidak melakukan penangkapan di WPPNRI 718. Dengan tidak beroprasinya kapal – kapal eks asing tersebut menyebabkan adanya ruang bagi pemulihan Sumber Daya Ikan di WPP 718. Meski hasil tangkapan ikan demersal menurun pasca pemberlakuan moratorium bagi kapal eks asing, namun potensi sumber daya ikan di WPP 718 semakin bertambah. Hal ini dialami oleh nelayan ketika menangkap ikan semakin mudah, seperti kakap merah, kakap putih, bawal, manyung, kuwe dan ikan gulamah.

Tabel 5.65 Hasil Penilaian EAFM Domain Teknik Penangkapan Ikan di WPPNRI 718

Indikator Kriteria Data isian Skor

1. Penangkapan ikan

yang bersifat destruktif 1=frekuensi pelanggaran >

10 kasus per tahun ; Masih ditemukan penggunaan bom dan bius ikan untuk penangkapan ikan di gugus pulau-pulau kecil yang sulit diawasi disekitar wilayah perairan Ambon, terutama ikan karang dengan frekuensi pelanggaran kurang dari 5 kasus pertahun kondisi ini membuat rusaknya terumbu karang mencapai 114.76 Ha di kawasan perairan Ambon

2 2 = frekuensi pelanggaran

5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran

<5 kasus per tahun

2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu

penangkapan

1 = lebih dari 50% ukuran

target spesies < Lm ; Ukuran ikan yang tertangkap dengan ukuran < Lm < 25%, ini menunjukkan bahwa alat tangkap yang dimodifikasi masih bersifat ramah lingkungan.

3

1 = Rasio kapasitas

penangkapan < 1; Rasio kapasitas penangkapan ikan >

1 yang menunjukkan potensi sumber daya ikan mulai membaik pasca kebijakan moratorium

3 2 = Rasio kapasitas

penangkapan = 1;

3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1 4. Selektivitas

penangkapan 1 = rendah (> 75%) ; Alat tangkap yang digunakan

rata-rata mampu menangkap ikan target 3 2 = sedang (50-75%) ;

147

Indikator Kriteria Data isian Skor

3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)

dengan ukuran yang sesuai dengan prinsip penangkapan ikan yang berkesinambungan (ramah

1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal);

Pada tahun 2014 Ukuran kapal yang sebenarnya relatif lebih besar dibandingkan dengan ukuran yang tertera pada dokumen legal.

Sedangkan pada tahun 2015 Kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) pasca kebijakan moratorium kapal eks asing

3

2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal);

3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal 6. Sertifikasi awak kapal

perikanan sesuai dengan peraturan.

1 = Kepemilikan sertifikat

<50%; Kepemilikan sertifikat Ankapin dan Atkapin umumnya hanya ditemukan pada kapal penangkapan skala menengah-besar dengan ukuran > 10 GT (LOA > 12 m) sedangkan bagi nelayan < 5 GT, ABK tidak wajib mempunyai sertifikat.

3 2 = Kepemilikan sertifikat

50-75%;

3 = Kepemilikan sertifikat

>75%

Berdasarkan hasil analisis terhadap Indikator-indikator dalam Domain Teknik Penangkapan ikan yang utama yaitu modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, selektivitas penangkapan, kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal dan Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan serta indikator kapasitas perikanan dan upaya penangkapan (Fishing Capacity and Effort) yang bobot skornya tinggi menunjukkan teknik penangkapan yang ramah lingkungan dengan kategori penilaian pada level baik. Sedangkan pada indikator penangkapan ikan yang bersifat destruktif diberi penilaian 2.0 artinya intensitasnya berada pada kategori sedang. Hal ini mengindikasikan masih ditemukan penggunaan bom dan bius ikan khususnya penangkapan ikan di gugus pulau-pulau kecil yang sulit diawasi disekitar wilayah perairan Ambon, terutama ikan karang dengan frekuensi pelanggaran kurang dari 5 kasus per tahun kondisi ini membuat rusaknya terumbu karang mencapai 114.76 Ha di kawasan perairan Ambon.

Tabel 5.66 Nilai Agregat Teknik Penangkapan Ikan di WPPNRI 718

Indikator Nilai

1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif 2.0

2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan 3.0 3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort) 3.0

4. Selektivitas penangkapan 3.0

5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal 3.0 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. 3.0

Aggregat 2.8

148

5.6.4 Keragaan Domain Sosial

Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Maluku merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya menciptakan sinergitas yang andal bagi upaya bersama membangun Maluku Baru di masa mendatang.

Kebudayaan di Maluku terdiri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada kurang lebih 130-an. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi kultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satu diantaranya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai world view atau cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki common values dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku. Sebutlah pranata budaya seperti masohi, maren, sweri, sasi, hawear, pela gandong, dan lain sebagainya.

Adapun filosofi Siwalima dimaksud telah menjadi simbol identitas daerah, karena selama ini sudah dipaterikan sebagai dan menjadi logo dari Pemerintah Daerah Maluku.

Sementara untuk indikator pengetahuan lokal dan konflik perikanan dalam pengelolaan sumber daya ikan berada pada kategori baik, karena terdapat pengetahuan lokal “sasi” yang dimiliki oleh masyarakat Maluku. Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Maluku merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini.

Sasi yaitu suatu larangan untuk melakukan tindakan pengambilan sumber daya alam tertentu yang secara adat sudah disepakati, biasanya berupa hasil hutan, lading dan hasil laut tertentu.

Sasi yaitu suatu larangan untuk melakukan tindakan pengambilan sumber daya alam tertentu yang secara adat sudah disepakati, biasanya berupa hasil hutan, lading dan hasil laut tertentu.