• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. HASIL PENILAIAN STATUS EAFM SDI DEMERSAL

5.5 Hasil Penilaian EAFM WPPNRI 715

Domain Sumberdaya ikan indikator CpUE BakuSecara umum Indikator CpUE menunjukkan cenderung stabil atau meningkat, ini menandakan eksplotasi masih bisa ditingkatkan. Tren ukuran ikan yang tertangkap relatif tetap, ini juga menunjukkan keseimbangan antara tingkat eksplotasi dengan potensi sumberdaya ikan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator CpUE baku “Baik sekali”. Secara keseluhuran nilai domain Sumberdaya ikan dalam status “Baik”.

Total Domain SDI Demersal pada WPP 715 ini secara umum bernilai “baik”. Beberapa indikator yang bernilai cukup baik adalah CpUE baku, proporsi ikan yuwana yang ditangkap, komposisi spesies hasil tangkapan dan spesies ETP. Jika melihat produksi ikan Demersal di WPP 715, sejak tahun 2010-2014 trendnya menunjukkan kenaikan sejak tahun 2013, meskipun sejak tahun 2010 terus menurun sampai tahun 2012. Angka ini mengambil proporsi 14,97 % dari total produksi ikan di WPP 715 yaitu sebesar 482.035 ton. Produksi ikan demersal ini kebanyakan disumbangkan oleh beberapa alat penangkapan ikan seperti Pukat hela dasar berpapan (Otter trawls), Rawai dasar (Set long lines ), Jaring insang berlapis (Trammel nets ) dan bubu.

120

Gambar 5.12 Produksi Ikan Demersal di WPPNRI 715 Tahun 2010-2014 Tabel 5.49 Hasil Penilaian EAFM Domain Sumber Daya Ikan Demersal Di WPPNRI 715

Indikator Kriteria Data isian Skor

1. CpUE Baku 1 = menurun tajam (rerata turun

> 25% per tahun) Secara umum Indikator CpUE menunjukkan cenderung stabil atau meningkat, ini menandakan eksplotasi masih bisa ditingkatkan

3 2 = menurun sedikit (rerata turun

< 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat 2. Tren ukuran ikan 1 = trend ukuran rata-rata ikan

yang ditangkap semakin kecil; Trend ukuran ikan yang tertangkap relatif tetap, ini juga menunjukkan keseimbangan antara tingkat eksplotasi dengan potensi sumberdaya ikan.

2 2 = trend ukuran relatif tetap;

3 = trend ukuran semakin besar 3. Proporsi ikan

yuwana (juvenile) yang ditangkap

1 = banyak sekali (> 60%) Persentase ikan yang tertangkap sebelum mencapai umur dewasa di bawah 20%. Eksplotasi di wppnri 715 sudah menggunakan kaidah penangkapan ikan yang

berwawasan melindungi sumberdaya ikan.

3 2 = banyak (30 - 60%)

3 = sedikit (<30%)

4. Komposisi spesies hasil tangkapan

1 = proporsi target lebih sedikit (<

15% dari total volume) Hasil tangkapan menunjukkan bahwa proporsi ikan target jauh lebih banyak daripada ikan non target yang tertangkap.

3 2 = proporsi target sama dgn

non-target (16-30% dari total volume)

3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume) 5. "Range Collapse"

sumberdaya ikan 1 = semakin sulit, tergantung

spesies target Akibat moratorium kapal asing dan larangan penggunaan trawl, tidak mengakibatkan Lokasi penangkapan ikan semakin jauh.

2 2 = relatif tetap, tergantung

spesies target

121

Indikator Kriteria Data isian Skor

3 = semakin mudah, tergantung spesies target

1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target

Fishing ground relatif tetap jaraknya 3

2= fishing ground jauh, tergantung spesies target 3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target

6. Spesies ETP 1= terdapat individu ETP yang

tertangkap tetapi tidak dilepas; Tidak ada individu ETP yang

tertangkap 3

2 = tertangkap tetapi dilepas 3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap

Tabel 5.50 Nilai Agregat Domain Sumber Daya Ikan Demersal di WPPNRI 715

Indikator Nilai

1. CpUE Baku 3,0

2. Tren ukuran ikan 2,0

3. Proporsi ikan yuwana yang ditangkap 3,0

4. Komposisi spesies hasil tangkapan 3,0

5. "Range Collapse" sumberdaya ikan 2,5

6. Spesies ETP 3,0

Aggregat 2,75

5.5.2. Keragaan Domain Habitat dan Ekosistem a. Kualitas Perairan

Catatan terkait kualitas perairan di WPP 715 dapat dilihat dari beberapa hasil kajian di beberapa tempat. Identifikasi kualitas perairan dapat diambil contoh dari hasil kajian di Perairan Teluk Tomini, Kepulauan Togean dan Kepulauan Raja Ampat.

Secara umum kualitas perairan di Teluk Tomini sebagaimana yang diungkaplan Kepala Bidang Lingkungan, pada Badan Lingkungan Hidup, Riset, Teknologi dan Informasi (Balihristi) Provinsi Gorontalo, mengungkapkan status mutu air laut di Teluk Tomini, yang meliputi empat kabupaten dan satu kota, rata-rata tercemar tingkat sedang (Badan Lingkungan Hidup, Riset, Teknologi dan Informasi (Balihristi) Provinsi Gorontalo, 2012). Kepulauan Togean yang menjadi bagian dari perairan yang di Teluk Tomini, kualitas perairan laut di kawasan wisata bahari Gugus Pulau Togean masih dalam kondisi baik (tidak tercemar). Peningkatan jumlah wisatawan belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai beberapa parameter kualitas perairan. Hal

122

ini ditunjukkan oleh peningkatan nilai indeks pencemaran hanya sebesar 0,01 (21,05%) pada bulan Juli (Alimuddin Laopo, et.al; 2009).

Karakteristik fisik perairan Kepulauan Raja Ampat memungkinkan kawasan ini menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi sejumlah biota perairan khususnya terumbu karang. Kecerahan di perairan Raja Ampat berkisar antara 4 - 23 m dengan rata-rata kecerahan 12,91 m. Kecerahan terendah berada di Teluk Mayalibit yang hanya mencapai 4 - 5 m. Hal ini karena tingginya tingkat kekeruhan perairan di Teluk Mayalibit yang disebabkan banyaknya bahan tersuspensi.

Sedangkan kecerahan maksimum berada di perairan daerah Kofiau yang mencapai 23 m. Hal ini diperkirakan karena lokasi ini berada pada kawasan perairan bebas (cukup jauh dari daratan) sehingga pengaruh bahan-bahan tersuspensi yang berasal dari aktifitas daratan sangat kecil (http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-konservasi/details/1/64).

Dari hasil FGD, mayoritas peserta FGD menyatakan bahwa kualitas perairan di WPP 715 relatif masih baik dan belum tercemar.Berdasarkan hasil wawancara dan FGD bahwa kondisi perairan di wilayah penangkapan secara umum masih baik.

b. Status Ekosistem Lamun

Kondisi Ekosistem Lamun di Teluk Tomini dapat dipotret salah satunya melalui kondisi lamun di Perairan Kema. Hasil kajian Balitbang-KP tahun 2015, menyebutkan bahwa komposisi lamun yang ditemukan di Perairan Kema terlihat adanya dominansi berdasarkan jumlah individu di lokasi penelitian yaitu jenis S.

isoetifolium sebesar 43,69%. Prosentase tutupan total lamun di perairan Kema berkisar antara 10 –100 %, dua stasiun membentuk padang lamun monospesies, yang umumnya terletak di dalam teluk kecil dan berada di depan ekosistem mangrove. Sebanyak 8 species mangrove yang teridentifikasi di kawasan ekosistem ini yaitu Avicennia alba, Avicennia officinalis, Bruguiera gymnorhiza, Ceriops tagal, Lumnitzera littorea, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba. (http://balitbangkp.kkp.

go.id/petatematik/kajian-sumberdaya-karbon-biru-di-perairan-teluk-tomini-2015/).

Padang Lamun yang terdapat di Raja Ampat umumnya homogen dan berasosiasi dengan terumbu karang. Jenis Lamun yang terdapat di Raja Amapat diantaranya jenis Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, dan Syringodium isoetifolium.

(http://biosmagz.com/?p=245, 2013). Secara umum jenis lamun yang terdapat di Papua adalah Enhalus acroides, Halodule sp., Halophila sp., Thalassia hemprichii, Cymodocea sp. (Hutomo dalam Dahuri dkk, 2001). Ekosistem padang lamun terdapat di bagian timur, selatan dan barat Pulau Kofiau, sekitar Pulau Ayau, bagian barat Pulau Batanta, sekitar Pulau Gam dan di bagian barat Pulau Waigeo. (http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/dokumen/publikasi/buku/finish/2-buku/819-rpz-twp-raja-ampat-book-1).

c. Status Ekosistem Mangrove

Berdasarkan hasil survei dan analisis citra digital, luas ekosistem mangrove di Raja Ampat ± 27.180 ha dengan 25 jenis mangrove dan 27 tumbuhan asosiasi mangrove. Ekosistem mangrove ini didominasi oleh famili Rhizophoraceae dan famili Soneratiaceae. Kondisi mangrove di Raja Ampat sangat baik. Kerapatan pohon mangrove mencapai 2.350 batang/hektar.

(http://biosmagz.com/?p=245, 2013).

123

d. Status Ekosistem Terumbu Karang

Berdasarkan hasil penelitian tercatat 537 jenis karang keras (CI, TNC-WWF), 9 diantaranya adalah jenis baru dan 13 jenis endemik. Jumlah ini merupakan 75 % karang dunia. Berdasarkan indeks kondisi karang, 60 % kondisi karang di Kepulauan Raja Ampat dalam kondisi baik dan sangat baik.

Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Raja Ampat terbentang di paparan dangkal di hampir semua pulau-pulau, namun yang terbesar terdapat di distrik Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Ayau, Samate dan Misool Timur Selatan. Tipe terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Raja Ampat umumnya berupa karang tepi (fringe reef), dengan kemiringan yang cukup curam. Selain itu terdapat juga tipe terumbu karang cincin (atol) dan terumbu penghalang (barrier reef).

Sebanyak 553 jenis karang terdapat di wilayah ekoregion Raja Ampat (Veron dkk, 2009). Angka tersebut menunjukkan bahwa Raja Ampat memiliki kehati karang tertinggi di dunia. Terdapat dua jenis terumbu karang endemik di Raja Ampat dari keluarga Acroporidae yaitu Montipora delacatula dan Montipora verruculosus (DeVantier dkk., 2009). Selain itu, setidaknya 41 jenis dari 90 genus karang lunak Alcyonacean dari 14 Famili ada di wilayah ini (Donnelly dkk., 2002).

Wilayah ini juga mendukung keberadaan 699 jenis moluska dan menjadi rumah bagi 5 jenis penyu (McKenna dkk., 2002). Raja Ampat memiliki kehati jenis ikan karang terkaya di dunia.

Sebanyak 1.476 jenis ikan karang ada di Raja Ampat termasuk jenis-jenis baru dan hanya ditemukan di wilayah ini (Erdmann dan Allen, 2009). Dengan tingkat keragaman hayati yang begitu tinggi, para ilmuwan menyebut Kepulauan Raja Ampat sebagai jantung Segitiga Karang Dunia.

Saat ini DPL di lokasi COREMAP II Raja Ampat mencakup luasan berkisar 2.179,9 Ha. Kondisi Terumbu Karang di DPL mengalami peningkatan 30% dalam kurun waktu 4 tahun. Selain DPL, pemerintah bersama masyarakat dan lembaga internasional lainnya menetapkan beberapa kawasan konservasi di Kabupaten Raja Ampat. Di antaranya, Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat, luas 60.000 ha dan SAP Waigeo sebelah Barat, luas 271.630 Ha. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga membentuk Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kepulauan Ayau Asia, luas 101.400 Ha, KKPD Teluk Mayalibit luas 53.100 Ha, KKPD Selat Dampier luas 303.200 Ha, KKPD Kepulauan Kofiau dan Boo luas 170.000 Ha serta KKPD Misool seluas 343.200 Ha, (Disbudpar, 2014).

Kondisi terumbu karang lainnya dapat dilihat di Kepulaua Togean. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) setempat, menunjukkan bahwa kurun tahun 2001-2007, kerusakan terumbu karang mencapai 8,7 persen, padang lamun 4,6 persen dan mangrove berkurang hingga 5,11 persen. Sedangkan luas keseluruhan Kepulauan Togean mencapai sekitar 411.373 ha, dan luas Kabupaten Tojo Una-Una yang berhadapan langsung dengan Togean, sekitar sekitar 5.721,15 km bujur sangkar. Di kawasan inilah yang paling banyak mengalami kerusakan.

Dari hasil FGD terlihat bahwa secara umum kondisi terumbu karang di beberapa daerah di WPP 715 seperti di Raja Ampat, Kepulauan Togean dan Teluk Tomini secara umum serta di Kepulauan di maluku Utara, relatif dalam kondisi baik-sangat baik.

124

e. Habitat unik/khusus

Hasil penelitian terbaru menunjukkan total 1427 jenis ikan karang ada di sini (Jones et al., 2011).

Beberapa jenis ikan adalah jenis unik dan endemik untuk wilayah ekologi Bentang Laut Kepala Burung Papua (BLKBP). Waigeo merupakan tempat penting bagi hiu karang sirip hitam (Carcharhinus melanopterus), bengkolo sirip biru - Bluefin Trevally (Caranx melampygus), Bubara mata besar – bigeye trevally (Caranx sexfasciatus), ikan bidadari – semicircular angelfish (Pomacanthus semicirculatus), dan ikan sersan mayor – sergeant major (Abudefduf vaigiensis).

Jenis-jenis ikan endemik diantaranya adalah (Moringua abbreviate), (Hemiscyllium freycineti), (Apogon leptofasciatus), dan (Callionymus brevianalis).

Kepulauan Raja Ampat menjadi rumah bagi 15 jenis mamalia laut yang terdiri dari 14 jenis setasea (paus dan lumba-lumba) dan 1 jenis duyung (Dugong dugon) (Kahn, 2007). Paus sperma (Physetermacrocephalus) dan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) adalah dua dari jenis-jenis setasea yang sering ditemukan di perairan Raja Ampat.

Penelitian yang baru saja dilakukan memberikan informasi bahwa terdapat sebanyak 56 danau air asin di Raja Ampat, yang terbentuk di antara ekosistem batuan kapur karst di Misool dan Wayag (Becking, 2011). Biota yang tinggal di danau air asin menunjukkan endemisme tinggi karena keterpisahannya dari ekosistem asli di laut. Informasi tentang keragaman hayati tumbuhan di Kepulauan Raja Ampat relatif sulit diketahui, tetapi sebagian besarnya sama dengan tumbuhan di Papua Nugini yang telah yang bersifat endemik dan memiliki kemiripan dengan tumbuh-tumbuhan di Maluku (Webb, 2004). Karena sebagian besar daerah di Raja Ampat memiliki ketinggian kurang dari 1.000 meter maka di kepulauan ini tipe tumbuhan menunjukkan karakter hutan dataran rendah. Satu-satunya tumbuhan endemik Raja Ampat yang teridentifikasi adalah Rhododendron cornu-bovis.(http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/dokumen/publikasi/buku/

finish/2-buku/819-rpz-twp-raja-ampat-book-1)

Wilayah Raja Ampat memiliki satwa-satwa pesisir yang keberadaannya hampir punah. Satwa-satwa tersebut diantaranya penyu sisik (Eretmochelys imbricate) dan lumba-lumba (Cetacean).

(http://biosmagz.com/?p=245, 2013).

f. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

Kajian terhadap dampak perubahan iklim terhadap ekosistem pesisir, belum banyak dilakukan, namun sebagian sudah ada beberapa kajian sejenis. Seperti halnya Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle yang dilakukan Balitbang Kelautan dan Perikanan tahun 2013. Penelitian dilaksanakan di 5 Propinsi dan 7 Kabupaten: 1) Propinsi Sulawesi Selatan (Pangkep dan Selayar); 2) Propinsi Sulawesi Tenggara (Wakatobi dan Buton); 3) Propinsi Nusa Tenggara Timur (Sikka); 4) Propinsi Papua (Raja Ampat) dan 5) Propinsi Papua Barat (Biak Numfor). Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD) yang dilengkapi dengan verifikasi lapang melalui konsultasi dan survey. Pendekatan yang dilakukan adalah livelihood system analyses. (Balitbang KP, 2013).

(http://balitbangkp.kkp.go.id/petatematik/kajian-dampak-perubahan-iklim-dan-pengembangan potensi-ekonomi-di-kawasan-kawasan-coral-triangle/?upm_export=pdf).

125

Khusus terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem terumbu karang yaitu terjadinya pemutihan (bleaching) pada karang, di WPP 715 belum banyak dilakukan. Namun ada beberapa kajian yang menjelaskan hal tersebut.

Di Indonesia, pemutihan karang tercatat terjadi di sekitar Solor, Sikka, dan Laut Sawu di sebelah barat Pulau Timor, Nusa Tenggara Barat (yaitu di Pulau Gili dan Lombok), Bali (yaitu di Nusa Dua, Nusa Penida, Pemuteran, Buleleng, Amed), Jawa Timur, Karimunjawa di Jawa Tengah, Pantai selatan pulau Jawa, Kepulauan Seribu, Pulau Sumatra (Lampung, Bengkulu, Mentawai, Padang, Aceh, Bintan), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi (yaitu di Kapoposang, Wakatobi, Banggai, Gorontalo, Bunaken), dan Maluku (Seram, Aru, Ambon). Sampai bulan Mei, pemutihan karang telah dilaporkan terjadi di lebih dari 24 kabupaten/kota di 19 provinsi.

Di Indonesia, Menurut situs Coral Reef Watch NOAA, suhu permukaan laut mencapai puncaknya pada 27 Mei 2010, yaitu 34°C, atau 4°C lebih tinggi dari rata-rata selama ini pada waktu yang sama. Pemutihan massal telah pula dilaporkan terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, dari Padang, Sumatra, Taman Nasional Kepulauan Seribu di Jawa, Banyuwangi di Bali, Kupang di Timor Barat, hingga Teluk Tomini di Sulawesi. Tingkat kerusakan bervariasi, dari tingkat parah (75%) di Sumatra dan Sulawesi, tingkat sedang hingga agak parah di berbagai lokasi di Jawa, Bali, Lombok dan Raja Ampat, Papua Barat.

Peneliti dari Marine Science Diving Club Universitas Hasanuddin (MSDC UNHAS) menemukan adanya kejadian pemutihan karang atau coral bleaching secara massal di perairan Indonesia.

Rilis National Ocean Atmospheric Administration (NOAA) mengungkapkan bahwa sebagian wilayah Indonesia suhu air lautnya akan terus meningkat di atas rata-rata awal hingga petengahan tahun ini (11/03/2016). NOOA membagi 5 kategori daerah yakni tidak terjadi bleaching, pemantauan bleacing, peringatan bleaching, siaga 1 bleaching dan siaga level 2 bleaching. Berdasarkan peta tersebut, perairan Kabupaten Bulukumba masuk dalam kategori pemantauan bleaching. Namun, beberapa wilayah di Indonesia masuk dalam kategori siaga 1 bleaching dan siaga level 2 bleaching, termasuk Raja Ampat yang merupakan surga karang dunia. (http://bbm.liputan6.com/read/2456211).

Dari hasil FGD terlihat bahwa Relatif belum ada kajian khusus perubahan iklim. Namun dari hasil FGD diketahui adanya dampak perubahan iklim yg belum diikuti dengan adaptasi & Mitigasi.

Hasil FGD juga menyimpulkan bahwa belum ada kajian dan informasi terkait dampak perubahan iklim terhadap habitat, namun dari hasil wawancara sudah terjadi kerusakan karang hasil FGD menujukkan pemutihan karang.

Tabel 5.51 Hasil Penilaian Domain Habitat dan Ekossitem Di WPPNRI 715

Indikator Kriteria Data isian Skor

1. Kualitas perairan 1= tercemar; Seluruh perairan wppnri 715

termasuk kategori tidak tercemar. 3 2=tercemar sedang;

3= tidak tercemar

1= > Melebihi baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004;

Berdasarkan hasil wawancara dan FGD bahwa kondisi perairan di

3

126

Indikator Kriteria Data isian Skor

2= Sama dengan baku mutu sesuai

KepMen LH 51/2004; wilayah penangkapan secara umum masih baik.

3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004

1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; Konsentrasi klorofil tergolong baik (> 5 µg/l) (KKP,2014) 3 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l;

3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l 2. Status ekosistem

lamun 1=tutupan rendah, ≤30%; Luasan dan tutupan lamun tinggi hampir diseluruh perairan wppnri 715 dan Hasil FGD menunjukkan kondisi tutupan lamun tinggi.

3 2=tutupan sedang, ≥ 30 - < 60%;

3=tutupan tinggi, ≥ 60%

1=keanekaragaman rendah (H' <

3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3 Keanekaragaman juga tinggi. 3 2 = kanekaragaman sedang

(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3 - 5

3 = keanekaragaman tinggi

(H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies

> 5 3. Status ekosistem

mangrove 1=tutupan rendah, < 50%; Hasil FGD menunjukkan Persentasi tutupan mangrove tinggi, sesuai hasil penelitian abigail dan samliok ndobe (tahun) khususnya di daerah perairan teluk tomini

3 2=tutupan sedang, ≥ 50 - < 75%;

3=tutupan tinggi, ≥ 75 %

1=kerapatan rendah (<1000

pohon/ha); Hasil FGD menunjukkan

kerapatan tinggi, di pantai teluk tomini dan pantai halmahera serta kepala burung.

3 2 = kerapatan sedang (1000-1500

pohon/ha);

3 = kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha)

4. Status ekosistem

terumbu karang 1=tutupan rendah, <25%; Tutupan karang tinggi, baik di pulau-pulau di teluk tomini (togean) dan kepualauan halmahera serta kepala burung.

3 2=tutupan sedang, ≥ 25 - < 50%;

3=tutupan tinggi, ≥ 50%

1=keanekaragaman rendah (H' <

3,2 atau H' < 1); Keanekaragaman juga tergolong

tinggi. 3

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 5. Habitat

unik/khusus 1=tidak diketahui adanya habitat

unik/khusus; Habitat unik seperti habitat ikan langka (hiu bambu) dan habitat bertelur jenis penyu sisik dan penyu belimbing di temukan di kepala burung.

3 2=diketahui adanya habitat

unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik;

127

Indikator Kriteria Data isian Skor

3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik

6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

> State of knowledge level :

Relatif belum ada kajian khusus perubahan iklim. Namun dari hasil FGD diketahui adanya dampak perubahan iklim yg belum diikuti dengan adaptasi & Mitigasi

2 1= belum adanya kajian tentang

dampak perubahan iklim;

2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;

3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

> state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang):

Belum ada kajian dan informasi terkait dampak perubahan iklim terhadap habitat, namun dari hasil wawancara sudah terjadi

kerusakan karang hasil FGD menujukkan pemutihan karang.

3 1= habitat terkena dampak

perubahan iklim (e.g coral bleaching

>25%);

2= habitat terkena dampak

perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%);

3= habitat terkena dampak

perubahan iklim (e.g coral bleaching

<5%)

Tabel 5.52 Nilai Agregat Domain Habitat dan Ekosistem di WPPNRI 715

Indikator Nilai

1. Kualitas perairan 3,0

2. Status ekosistem lamun 3,0

3. Status ekosistem mangrove 3,0

4. Status ekosistem terumbu karang 3,0

5. Habitat unik/khusus 3,0

6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat 2,5

Aggregat 2,92

Domain Habitat dan Ekosistem di WPPNRI 715 semua indikatornya menunjukkan nilai yang

“sangat tinggi” namun perlu dikaji adanya dampak perubahan iklim yang diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi, mengingat di WPPNRI 715 termasuk daerah CTI.

5.5.3. Keragaan Domain Teknik Penangkapan Ikan a. Penangkapan Ikan Yang Bersifat Destruktif

Dari hasil FGD terungkap bahwa masih ditemukan penggunaan bom dan potasium untuk penangkapan ikan, terutama ikan karang dengan frekuensi pelanggaran antara 5-10 kasus

128

pertahun di beberapa wilayah di WPP 715. Kasus terakhir yang berhasil diungkap adalah pemboman ikan di salah satu surga hayati laut Indonesia yang merupakan segitiga terumbu karang dunia, Raja Ampat di Papua.Patroli gabungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Raja Ampat berhasil menangkap tujuh pelaku pengeboman ikan pada hari Jumat 14 September 2012 silam di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Penyergapan terhadap pelaku pemboman ikan ini terjadi dalam jarak waktu enam bulan setelah peristiwa yang sama di Pulau Kofiau Februari silam.

Demikian halnya yang terjadi baru-baru ini (22/05/2016), Satuan Polisi Air (Polair) Polda Papua Barat berhasil menggagalkan pencurian ikan di perairan kawasan konservasi Kabupaten Raja Ampat dengan adanya temuan sejumlah bahan pembuat bom di kapal nelayan tersebut. Diduga, mereka adalah kelompok nelayan pengeboman ikan di kawasan wisata Raja Ampat.

b. Modifikasi Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan

Dari hasil FGD terungkap bahwa ukuran ikan yang tertangkap dengan ukuran < Lm < 25%, ini menunjukkan bahwa alat tangkap yang dimodifikasi masih bersifat ramah lingkungan. Di Raja Ampat ditemukan 14 jenis alat tangkap. Alat tangkap yang paling dominan dan tersebar hampir di setiap distrik adalah pancing dasar dan pancing tonda. Bagan terdapat di Waigeo Selatan, Waigeo Barat, Samate, Misool, dan Misool Timur Selatan. Berdasarkan alat tangkap yang digunakan, teknologi penangkapan nelayan Raja Ampat masih sederhana. Jaring angkat (bagan) digunakan untuk menangkap ikan teri (Stolephorus sp ), cumi-cumi (Loligo sp) dan ikan-ikan pelagis lainnya seperti momar (Decapterus sp), Lema (Rastrelliger sp), Oci (Selaroides sp) dan lain-lain. Berdasarkan sebarannya, alat tangkap bagan banyak terdapat di daerah Misool, Misool Timur Selatan, dan Waigeo Selatan.

Nelayan di daerah Teluk Mayalibit biasanya menggunakan alat tango (seser) untuk menangkap ikan kembung dan udang halus. Sero (trap) hanya dijumpai di Distrik Samate, karena alat ini hanya dapat dioperasikan di daerah yang mempunyai perbedaan pasang- surutnya tinggi.

Selain nelayan lokal, banyak nelayan dari luar yang beroperasi di Perairan Kabupaten Raja Ampat. Usaha penangkapan dilakukan baik perorangan maupun perusahaaan yang menggunakan berbagai jenis alat tangkap seperti pancing (hand line), huhate (pole and line), jaring insang (gill net), bagan (lift net), mini purseine, dan trammel net.

Demikian halnya dengan nelayan-nelayan yang berada di perairan Teluk Tomini. Seperti halnya nelayan-nelayan yang terdapat di parigi Moutong mayoritas masih menggunakan alat tangkap sederhana dengan kapan katinting. Bahkan alat penangkapan ikan nelayan yang dari luar Teluk Tomini seperti nelayan Gorontalo jauh lebih modern.

c. Kapasitas Perikanan Dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity And Effort)

Hasil FGD menyatakan bahwa rasio kapasitas penangkapan ikan > 1 yang menunjukkan potensi sumber daya ikan belum terganggu. Fishing capacity menjadi input control dalam manajemen perikanan tangkap. Input perikanan yang berlebih berpotensi menimbulkan kapasitas yang berlebih (over capacity). Over capacity yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan overfishing, sehingga dapat menghambat terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan lestari.

129

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47/Kepmen-Kp/2016 Tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan, Dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia,

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47/Kepmen-Kp/2016 Tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan, Dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia,