• Tidak ada hasil yang ditemukan

– Hery Wawan

Dalam dokumen Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan (Halaman 42-53)

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Pramoedya Ananta Toer

4

Ketua PP IPM bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) periode 2012-2014

Gerakan ilmu. Istilah ini kembali populer setelah

Buya Syafi’i Maarif melontarkannya dalam Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah tahun 2009/1430 Hijriyah

di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Buya Syafi’i

berpesan agar Muhammadiyah perlu mendeklarasikan diri sebagai sebuah gerakan ilmu dan gagasan peradaban untuk membentuk masyarakat Islam. Dengan kesediaan Muhammadiyah tampil sebagai gerakan ilmu, diharapkan muncul kelompok yang dapat diandalkan sebagai rujukan dalam memahami masalah besar yang menyangkut pemahaman agama, ilmu pengetahuan sosial dan alam, kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban.

Buya Syafi’i mengatakan dengan jumlah umat Islam

pada 2009 sebanyak 1,82 miliar orang yang tersebar di 183 negara, dari sisi kuantitas memang tidak ada yang perlu dirisaukan. Namun, jumlah besar tersebut dinilai masih minus kualitas yang tidak mempunyai banyak makna

strategis secara global. Buya Syafi’i menyatakan bahwa

umat Islam masih belum berdaya dalam untuk mengawal gerak peradaban karena persyaratan untuk itu belum dimiliki. Umat Islam masih kurang ilmu dan wawasannya terbatas.

Oleh karena itu, lanjut Buya, saat kita takut kepada gesekan dan benturan pemikiran, sebenarnya itu adalah pertanda dari keruntuhan dan pembusukan kreativitas intelektual. Jika itu terjadi, berarti kita sedang menggali

kuburan kemerdekaan berpikir yang sangat diperlukan dalam upaya kemajuan.

Belajar dari Sejarah

Kondisi umat Islam hari ini sangat kontras dengan sejarah puncak peradaban yang pernah dicapai umat Islam adalah ketika pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid (786-809) dan putranya al-Makmun (813-833). Dalam ulasan Tafsir5, Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa

Tengah, kunci pencapaian masa keemasan itu diraih dengan menguasai ilmu pengetahuan. Khalifah Harun al- Rasyid dan al-Makmun adalah dua pemimpin yang sangat gandrung ilmu pengetahuan. Dengan kekuasaan yang dimilikinya mereka gunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dunia kedokteran, filsafat, arsitektur, astronomi, dan seni berkembang dengan sangat pesat.

Tafsir melanjutkan bahwa kejayaan itu diraih salah satunya melalui sebuah lembaga Bait al-Hikmah yang tidak hanya berfungsi sebagai pusat penerjemahan buku-buku asing, khususnya Yunani, tetapi juga sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang setara dengan lembaga perguruan tinggi. Kehebatan inilah yang telah

5

Tafsir “Muhammadiyah sebagai Gerakan Ilmu”, Mungkinkah? http://maarifinstitute.org/id /berita/berita-

media/79/muhammadiyah-sebagai-gerakan-ilmu-mung-kinkah- tanggapan-atas-tulisan-buya-syafii-maarif. (Diakses pada tanggal 02 Juli 2013 Pukul 00:08)

membawa Baghdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah

menjadi ’kota yang tiada bandingnya di seluruh dunia’

kala itu. Lembaran sejarah dunia abad ke-9 ini menampilkan dua nama besar dalam percaturan dunia, Harun al-Rasyid di Timur dan Charlemagne di Barat. Dari dua nama itu, Harun al-Rasyid jelas lebih berkuasa dan menampilkan budaya yang lebih tinggi.

Kegemilangan peradaban yang diraih pada masa ini dilatarbelakangi, sambung tafsir, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterbukaan menerima ilmu pengetahuan dari manapun datangnya tanpa melihat latar belakang nara sumber pengetahuan. Sadar bahwa Abbasiyah yang Arab belum memiliki pengetahuan yang memadai untuk membangun peradaban, dengan lapang

dada belajar ke negeri “kafir” Yunani yang Kristen.

Bahkan juga dari India yang Hindu dan Persia yang Majusi. Kedua, penerjemahan buku asing yang dapat dipakai untuk mendukung pembangunan peradaban. Di sini, penguasaan bahasa sebagai sumber pengetahuan menjadi sangat mutlak dikuasai.

Ketiga, profesionalitas adalah jauh lebih penting daripada hubungan emosional kelompok. Hal dapat dilihat bagaimana megaproyek penerjemahan buku-buku asing pada masa Abbasiyah ini banyak meminta tenaga profesional non-Muslim mengingat belum atau memang tidak ada kalangan internal Abbasiyah yang mampu melakukannya. Salah satu nama penerjemah pada waktu

itu adalah seorang Suriah Kristen yang bernama Yuhanna ibn Masawayh (w. 857) yang banyak menterjemahkan manuskrip kedokteran untuk Harun al-Rasyid. Tokoh terpenting dan sering disebut sebagai ’Ketua Para Penerjemah’ adalah Hunayn ibn Ishaq (809-873), seorang penganut Kristen Nestor dari Hirah yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh anaknya yang bernama Ishaq. Hunayn ibn Ishaq menterjemahkan karya- karya Yunani ke dalam bahasa Suriah, kemudian anaknya- lah yang menterjemahkan dari bahasa Suriah ke Bahasa Arab. Al-ma’mun membayar Hunayn dengan emas sebesar buku yang diterjemahkannya.

IPM Sebagai Gerakan Ilmu

Sebenarnya istilah ini bukan terma baru di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dalam istilah Paradigma Gerakan IPM––Hasil Muktamar 2000––ditegaskan bahwa IPM (saat itu masih IRM) adalah gerakan yang memiliki

visi keilmuan”. Visi tersebut dijelaskan sebagai berikut:6 “Visi keilmuan IRM didasari pada pandangan mendasar Ikatan Remaja Muhammadiyah terhadap Ilmu Pengetahuan. Pandangan tersebut berakar pada keyakinan bahwa pada hakikatnya sumber ilmu di dunia ini adalah Allah Swt. Konsekuensinya

6

Pimpinan Pusat IRM, Tanfidz Muktamar IRM Tahun 2000, (Jakarta: PP IRM, 2000).

adalah perkembangan ilmu pengetahuan harus berawal dan mendapat kontrol dari sikap pasrah

dan tunduk kepada Allah Swt.”

Visi di atas lalu diterjemahkan kedalam Misi

“Membangun Tradisi Keilmuan”. Dalam Dasar-dasar Gerakan IPM tersebut dijelaskan bahwa IPM membawa misi keilmuannya kepada tatanan kehidupan yang manusiawi dan beradab serta jauh dari tatanan kehidupan yang sekularistik, hedonistik dan mekanistik (merupakan implikasi serius dari perkembangan IPTEK sekarang ini). Remaja muslim sebagai objek dan subjek dalam gerakan IPM dalam mengembangkan potensi keilmuannya harus selalu berorientasi kepada kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara. Dan potensi keilmuan remaja dapat dikembangkan dalam komunitas yang memiliki tradisi keilmuan.

Dalam membangun tradisi keilmuan tersebut, IPM berangkat dari asumsi dan prinsip antara lain:

1. Ilmu pengetahuan harus dikuasai untuk mendapatkan kedudukan sebagai manusia terhormat dan berkualitas dihadapan Allah Swt.

2. Semangat menggali khazanah keilmuan harus dibarengi dengan eksplorasi spritualitas, sehingga tidak melahirkan karakter manusia berilmu yang sekular.

3. Dengan ilmu pengetahuan perspektif remaja tentang realitas sosial menyatu dengan perspektifnya tentang Tuhan/agama.

Gambaran visi dan misi keilmuan IPM di atas senada dengan ulasan Buya Syafii Ma’arif tentang The Unity of Knowledge.7 Dalam konsep ini, apa yang dikenal

dengan konsep pendidikan sekuler dan konsep pendi- dikan agama, telah kehilangan relevansinya. Seluruh cabang ilmu pengetahuan dalam konsep ini bertujuan membawa manusia mendekati Allah, sebagai sumber tertinggi dari segala-galanya.

Jika seluruh kegiatan ilmu pengetahuan adalah untuk mencari dan mendekati Allah dengan membaca tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya, lanjut Syafi’i

Maarif, maka atribut-atribut serba-Islam yang ditempelkan kepada berbagai ilmu pengetahuan tidak diperlukan lagi, seperti kedokteran Islam, psikologi Islam, dan sebagainya. Jika kita masih juga mau berbicara tentang Islamisasi, maka yang perlu diislamisasi adalah pusat kesadaran manusia yang terdapat di otak dan hati. Seyogyanya demikian pulalah IPM memandang tradisi keilmuan, tidak terjebak pada sekat ilmu agama atau ilmu sekuler. Ilmu Islam atau Ilmu Barat.

7Ahmad Syafi’i Ma’arif,

Islam dalam Bingkai Kemanusiaan dan

Road Map Gerakan Keilmuan IPM

Menurut saya, setidaknya ada beberapa langkah untuk memperkuat gerakan ilmu di IPM. Pertama, “revitalisasi perkaderan”. Artinya,

fasilitator yang akan mengelola perkaderan IPM harus memiliki kompetensi dan kualifikasi keilmuan. Bahkan, jika diperlukan, diadakan

“refreshing fasilitator secara massif”.

Konten refreshingnya diarahkan pada penguatan kapasitas intelektual para fasilitator ini. Tak kalah pentingnya, tentu saja adalah meninjau kembali Sistem Perkaderan IPM (SPI). Apakah SPI ini telah menghantarkan kader-kader IPM memiliki etos keilmuan? Atau menumbuhkan kader-kader yang hanya berorientasi

kepemimpinan dan keorganisa-sian semata? Revitalisasi etos kelimuan pada ranah kaderisasi ini menjadi penting, sebab saat ini, inilah ruang tarbiyah yang paling massif di seluruh jenjang pimpinan IPM se-nusantara.

Kedua, mengembangkan tradisi mem-baca. Kita tidak boleh sekadar menyerukan pentingnya membaca, namun tidak menyediakan wahana seperti buku atau akses

Kita tidak boleh sekadar menyerukan pentingnya membaca, namun tidak menyediakan wahana seperti buku atau akses internet. Minimal setiap jenjang Pimpinan menyediakan wadah berupa taman baca. Disamping itu, IPM juga harus proaktif mendesak pemerintah atau pimpinan persyarikatan agar mau menyediakan fasilitas perpustakaan atau taman baca ini. Potensi internal persyarikatan sebenarnya luar biasa jika dapat dimobilisasi mendukung gerakan ini.

internet. Minimal setiap jenjang pimpinan menyediakan wadah berupa taman baca. Disamping itu, IPM juga harus proaktif mendesak pemerintah atau pimpinan persyarikatan agar mau menyediakan fasilitas perpus- takaan atau taman baca ini. Potensi internal persyarikatan sebenarnya luar biasa jika dapat dimobilisasi mendukung gerakan ini. Bisa kita bayangkan, kalau di setiap amal usaha Muhammadiyah tersedia “Taman Bacaan Masyarakat”. Berapa banyak sekolah dan masjid yang kita miliki? Muhammadiyah akan menjadi lokomotif gerakan ilmu bagi bangsa ini.

Ketiga, membangun tradisi menulis. Demikian pula halnya dengan tradisi menulis. Kita tak boleh berhenti sekadar pada tataran slogan, “Mari Menulis!” Tapi, IPM harus menyediakan wadah bagi para pelajar untuk menempa kemampuan menulisnya, ruang seperti Kelompok Ilmiah Pelajar (KIP), komunitas sastra, dan semacamnya perlu digencarkan kembali. Tak lupa, ruang untuk menulis pun perlu dipikirkan, misalnya menerbit- kan majalah, jurnal, atau buletin. Demikian pula menyediakan ruang-ruang virtual, seperti web atau blog di setiap jenjang pimpinan.

Keempat, mengembangkan tradisi diskusi ilmiah. Wahana seperti seminar, simposium, bedah buku, ataupun diskusi terbuka perlu diintensifkan. Melalui ruang inilah kita mempercakapkan hasil bacaan, melalui wadah inilah kita mempertanggungjawabkan tulisan.

Bahkan kalau perlu, dibuatkan regulasi agar dalam setiap

ceremonial organisasi, aktivitas semacam ini selalu menyertainya. Tradisi ini harus ditopang oleh dua tradisi sebelumnya, yaitu tradisi membaca dan menulis, jika tidak maka tradisi ini akan menjadi ring debat kusir, tidak

bernuansa ilmiah. “Tong kosong nyaring bunyinya”, kata pepatah.

Kelima, penguasaan teknologi informasi. Teknologi informasi, khususnya internet, dengan jumlah pengguna yang semakin besar di Indonesia bisa menjadi satu alternatif teknologi pendukung pergerakan IPM. Gerakan kita di era dunia datar harus lebih cerdas, lebih efektif, sehingga energi dan biaya yang kita miliki tidak mubadzir dan bisa dialokasikan untuk berbagai kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Kemampuan teknologi informasi adalah kemampuan tak terelakkan bagi kader-kader IPM.

Keenam, strategi yang tak kalah pentingnya adalah penguasaan bahasa asing. Idealnya, minimal kemampuan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, dimiliki oleh kader IPM. Pimpinan di setiap jenjang seyogyanya memfasilitasi kursus untuk meningkatkan kapasitas penguasaan bahasa asing ini. Kemampuan ini diperlukan agar kader-kader IPM memiliki akses untuk menyelami khazanah kelilmuan klasik maupun kontemporer.

Tulisan ini tidak menawarkan gagasan baru. Tulisan ini hanya mengumpulkan mozaik-mozaik yang terserak dalam dokumen-dokumen organisasi yang telah sering kita

kumandangkan, namun belum menjadi tradisi yang hidup dalam gerakan kita. Pertanyaan yang sampai saat ini masih menggelisahkan, kalau memang benar kita adalah

“Gerakan Pelajar” Berkemajuan, tradisi keunggulan apa

yang kita tawarkan kepada pelajar Indonesia? Mari kita menjawabnya dengan bukti!

Pelajar Berilmu, Manifestasi

Dalam dokumen Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan (Halaman 42-53)