• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelajar Setara, Pelajar Berdaulat,

Dalam dokumen Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan (Halaman 146-170)

Pelajar Bermartabat

––Imam Ahmad Amin A.R.

35

Bangsa yang bermartabat (prestigeous nation) menandai tingkat keberadaban suatu bangsa (civilized nation)

yang tergambar dalam sikap dan perilaku sebagai individu dan masyarakat yang beragama dan berbudaya.

Prof. Dr. Fashbir Noor Sidin

35

Perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia telah mencatat jasa para pendahulu negeri ini yang berjuang demi kemerdekaan negara Republik Indonesia, dan diantara mereka yang telah berjuang merebut kemerdekaan itu ialah pelajar putra maupun pelajar putri, semua bergerak serentak menghentakkan kaki dan menga- yunkan senjata dan pemikiran untuk satu kata: merdeka. Merdeka dari penjajahan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari kemiskinan, merdeka dari penindasan dan kekerasan. Alhasil kita hari ini telah merasakan nikmatnya merdeka dari penjajahan, lalu bagaimana dengan nasib yang bernama kebodohan,kemiskinan, penindasan dan kekerasan?

Tentu jika kita sadari hal tersebut sungguhlah tidak akan mampu kita merdeka kan dengan cara instan apalagi dengan permainan sulap. Butuh kerja keras dan kerja cerdas dari semua pihak yang merasa terpanggil jiwanya untuk mewujudkan kemerdekaan yang seutuhnya, terlebih lagi peran pelajar dan kaum muda negeri ini harus lebih peka, kritis dan peduli terhadap persoalan bangsa hari ini melalui ide, gagasan dan aksi nyata, tentunya hal tersebut tidak akan terwujud jika kita hanya melakukannya sendiri dan sembunyi melainkan melalui semangat kedaulatan dan gotong royong, kemerdekaan sesungguhnya akan bisa kita raih dan dapat dinikmati seluruh elemen bangsa ini.

Membicarakan persoalan yang di derita bangsa ini memang tidak akan ada habisnya, mulai dari pendidikan,

kemiskinan, pengangguran, kekerasan, konflik antar kelompok masyarakat hingga hingar bingar pertikaian politik yang sungguh sangat disayangkan lagi-lagi yang menjadi korban adalah rakyat indonesia, ironi memang di

negara yang katanya “besar” dan “kaya” dengan ribuan “orang pintar” , jutaan kaum”pelajar” dan punya banyak “budaya” lho.

Menjadi pelajar yang dapat memberikan solusi atau bahkan menjadi tabib terhadap penderitaan bangsa ini tentu sangat di nanti-nanti oleh masyarakat luas, tapi lagi- lagi ironi kembali menusuk jantung kita, membuka mata kita menjadi terbelalak ketika kita melihat, telinga kita mendengar secara langsung maupun media bahwa ada banyak kejadian yang menyiutkan dahi dan membuat kita pesimis terhadap pelajar di negeri yang kita cintai ini, mulai dari tawuran pelajar antar sekolah, genk motor pelajar sekolah, pelecehan seksual, perkosaan hingga kekerasan terhadap pacar,dan masih banyak persoalan pelajar yang lai tentunya. Terlepas dari itu semua masih ada pula berita yang disodorkan kepada kita tentang sistem pendidikan yang dipenuhi carut marut serta korupsi yang masih mewabah di lingkungan pendidikan negeri ini.

Persoalan-persoalan yang hinggap dan menghinggap di kalangan pelajar kita hari ini, penulis menilai tidak terlepas dari sistem pendidikan dan budaya yang mulai bergeser dalam masyarakat yang terus berubah, salah satu

contoh tawuran pelajar antar sekolah, jika kita telisik pada masa yang lampau, kekerasan berupa tawuran ini hanya dilakukan oleh sekelompok elite separatis yang memiliki kepentingan politis itupun bukan menjadikan kekerasan massal ini menjadi “hobi” seperti yang dilakukan kelompok pelajar saat ini.

Contoh kekerasan yang lain marak terjadi bela- kangan ini adalah kekerasan terhadap pacar,pasangan bahkan terhadap teman sebaya-nya, kekerasan ini bisa bentuknya kekerasanfisik berupa memukul, menendang, menampar, mencengkeram dengan keras tubuh pasangan, serta tindakan fisik lainnya; kekerasan psikologis berupa mengancam, menghina, mempermalukan, mengejek-ejek, dll; kekerasan ekonomi seperti memeras,memaksa untuk membayarkan atau memenuhi kebutuhan ekonomi pasangan atau teman; kekerasan stalking seperti mengikuti, mengintip, dan aktivitas lain yang mengganggu privasi dan membatasi kehidupan sehari-hari teman atau pasangannya; hingga kekerasan seksual berupa memaksa pasangan/teman untuk melakukan perilaku seksual seperti juga meraba, mencium, memeluk, serta mengan- cam melakukan hubungan seksual lainnya.

Fakta menunjukkan hasil penilitian pada 120 pelajar perempuan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengan 2011 menemukan bahwa 31% pernah dipukul oleh pasangan, 18% mendapat hinaan dan kata-kata kasar dan 26% di paksa untuk membayar kebutuhan ekonomi

pasangannya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rifka Annisa menemukan sebanyak 385 kasus KDP (kekerasan terhadap pacar) dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani sejak tahun 1994-2011. Selain itu, selama bulan januari hingga juni 2011 PKBI Yogyakarta juga menemukan 27 kasus kekerasan dalam pacaran yang 15% diantaranya kekerasan fisik, 57% kekerasan psikologis, 8% kekerasan ekonomi dan 20% kekerasan seksual.

Jika kita melongok melihat data di atas yang mungkin masih sebagai fenomena gunung es saja karena masih banyak kasus-kasus yang tidak dilaporkan dibanyak daerah, mungkin bisa karena malu atau juga karena budaya yang tidak mendukung untuk melaporkan kasus- kasus tersebut diatas baik yang dialami diri sendiri maupun kasus yang kita lihat dan dengar disekitar kita.

Pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan terhadap pelajar maupun anak muda sangatlah penting, karena biasanya korban kekerasan dalam rumah tangga juga mengalami kekerasan disaat remaja/muda. Sehingga sejak dini informasi terhadap pencegahan dan penangan- an kekerasan maupun pengetahuan tentang hidup dengan adil dan setara perlu diberikan, sehingga dapat lebih menghargai orang lain yang berbeda.

Belum lagi kita membicarakan persoalan yang begitu kompleks dan itu menjadi tanggung jawab kaum pelajar di kemudian hari nantinya, untuk itu pelajar dan kaum muda hari ini harus mampu memulai hidup dengan

adil dan setara, hal ini sejalan dengan perintah agama Islam yang hadir sebagai agama yang Rahmatan lil ‘Alamin, diantara bukti bahwa Allah menciptakan lak-laki dan perempuan dengan setara bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukanyang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk.

Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak mengenal pembe- daan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan perempuan hanya-lah dari segi biologisnya. Adapun dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah:

Hakikat Penciptaan Laki-laki dan Perempuan

Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat - ayat di atas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada

satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.

Kedudukan Antara Perempuan dan Laki-Laki

Surat Ali Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al- ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah Swt secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah Swt juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perem- puan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya.

Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah Swt adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.

Selain itu, Al-Qur’an juga memberikan prinsip- prinsip kesetaran antara perempuan dan laki, menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar dalam “Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan” (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender ada di dalam Al-Qur’an, yakni:

Pertama, perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai hamba. Menurut QS. Al-Zariyat: 56 Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yangsama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang- orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa ataukelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 13.

Kedua, perempuan dan laki-laki sebagai khalifah di bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan dalam QS. Al-An’am: 165, dan dalam QS. Al-Baqarah: 30. Dalam kedua ayat tersebut, kata “khalifah” tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhali- fahannya di bumi.

Ketiga,perempuan dan laki-laki menerima perjan- jian awal dengan tuhan. Perempuan dan laki-laki sama- sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam QS. Al-A’raf: 172, yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang

sama. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memulia- kan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin (QS. Al-Isra’: 70).

Keempat, Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif Dalam Drama Kosmis. Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu mene- kankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut: 1) Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (QS. Al-Baqarah: 35); 2) Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (QS. Al-A’raf: 20; 3) Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (QS. Al-A’raf: 23); 4). Setelah di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (QS. Al-Baqarah: 187.

Kelima, perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi meraih prestasi. Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: QS. Ali Imran: 195; QS. An-Nisa: 124; QS. An- Nahl: 97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun

karier profesional, tidak mesti di dominasi oleh satu jenis kelamin saja.

Jika Islam sudah sedemikian gamblang menjelaskan, dalam kitab suci pun jelas tertera maknanya, maka selan- jutnya sungguh sangat disayangkan jika umat Islam hari ini masih terhanyut dalam tradisi yang tidak memihak kepada salah satu identitas makhluk yang sama di ciptakatan oleh Allah Swt, ini menjadi “PR” bagi pelajar

maupun kaum muda yang katanya berfikir maju dan

memiliki visi “reformis”.

Indonesia yang hadir sebagai bangsa yang berdaulat dan kaya akan budaya sampai dengan sumberdaya tentu memiliki peran penting dalam menentukan tradisi dan aktifitas setiap individu didalamnya, sebagai Negara, Indonesia telah menandatangani Konvensi CEDAW pada tahun 1979, dan kemudian baru pada tahun 1984 meratifikasinya dan mengadopsinya menjadi hukum nasional melalui UU No.7 tahun 1984 dengan mereservasi Pasal 29 ayat (1)33. Salah satu alasan mengapa pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW adalah bahwa ketentuan dalam Konvensi CEDAW tidak

bertentangan dengan Pancasila, UUD’45, dan peraturan

perundang-undangan RI (Mukadimah UU No.7 tahun 1984).

Tindakan ini dilakukan pemerintah sebagai perwujudan dari tanggung jawab negara dalam usaha penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan

Hak Asasi Perempuan, sesuai dengan amanat Undang- Undang Dasar 1945 dan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM.

Apa itu CEDAW? CEDAW merupakan singkatan dari Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women yang berarti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini dibuat dan diatur oleh PBB untuk kemudian disepakati oleh negara-negara dalam naungan PBB dan di ratifikasi dalam peraturan maupun undangan-undang yang berlaku disetiap negara. Adapun isi dari konvensi ini secara substantif berisikan bahwa: 1). CEDAW merupakan satu-satunya Konvensi yang secara khusus/spesifik dibuat untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi perempuan secara menyeluruh di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya baik di ruang publik maupun di ruang privat; 2). CEDAW menetapkan prinsip-prinsip dan ketentuan untuk menghapus kesenjangan, subordinasi, dan tindakan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang merugikan perempuan dalam hukum, keluarga, dan masyarakat; 3). CEDAW tidak hanya menyentuh pelaku negara (state actor) tetapi juga non negara (non state actor/private actor) termasuk individu dan pihak swasta.

Jika konvensi ini dipahami dan dipraktekkan dalam kehidupan para pelajar maupun kaum muda di keseharian dalam pergaulan baik itu di lingkungan sekolah, kerja,

bermain hingga di lingkungan rumah (keluarga), maka sudah bisa kita prediksi dan pastikan bahwa Bangsa ini ke depan akan memiliki pemimpin-pemimpin yang kuat, adil, tangguh dan bermartabat yang siap mengantarkan Indonesia ini menjadi negara berdaulat.

Negara Bermartabat dan Berdaulat dimulai dari Pelajar

Menurut Prof. Sofyan Effendi, bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang memiliki kebebasan menentukan sikap dan tindakannya (self determination), memiliki kesadaran sosial tentang pemerataan (equity), dan kesamaan (equality), keduanya dalam totalita atau keutuhannya.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Fashbir Noor Sidin, bangsa yang bermartabat (prestigeous nation) menandai tingkat keberadaban suatu bangsa (civilized nation) yang tergambar dalam sikap dan perilaku sebagai individu dan masyarakat yang beragama dan berbudaya. Bangsa yang beragama ditunjukkan oleh pengamalan ajaran agama sebagai umat yang bertaqwa dan beramal shaleh serta berakhlak mulia. Bangsa yang berbudaya tergambar dari karakter sebagai insan yang berbudi luhur, toleran, peduli, gotong royong, dinamis, disiplin dan patriotis.

Bangsa yang beragama dan berbudaya sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang diawali dari nilai ketuhanan seterusnya nilai kebudayaan dan diakhiri

dengan nilai keadilan sosial. Nilai ketuhanan sebagai landasan utama bagi pembentukan insan yang berakhlak mulia sedangkan nilai kebudayaan menjadikan insan yang berbudi luhur dan nilai keadilan sosial membentuk masyarakat dengan kesadaran bersama sebagai bangsa yang senasib dan sepenanggungan.

Upaya untuk menjadikan manusia Indonesia seutuhnya dilakukan melalui proses pendidikan dan pengajaran tentang karakter bangsa yang beradab sejak dari institusi keluarga dan sekolah serta komunitas sampai kepada institusi negara. Keempat pilar bagi pengembangan karakter bangsa secara komprehensif dan terintegrasi serta berkelanjutan dalam setiap langkah dan strategi serta program kerja untuk mewujudkan bangsa yang bermar- tabat.

Keyakinan (believe) sebagai bangsa yang terlahir suci harus dimulai dari pengajaran dan percontohan dari orangtua kepada anggota keluarga di rumah dan proses pendidikan yang menyangkut aspek afektif dan kognitif serta psikomotorik dari guru sebagai orangtua asuh. Seterusnya keteladanan dari tokoh masyarakat dan kenegarawan para pemimpin sebagai panutan bagi warga negara dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa yang bermartabat seperti tercantum dalam RPJP RI tahun 2006-2025.

Kenyataan menunjukkan bahwa proses pembentuk- an karakter bangsa yang bermartabat belum sepenuhnya

berhasil sebagai akibat lemahnya pemahaman dan pengamalan agama oleh orangtua dan anggota keluarga termasuk mekanisme kontrol dari masyarakat secara melembaga. Proses pembelajaran di sekolah sangat bertumpu kepada kapasitas guru dan sistem pendidikan yang lebih menekankan aspek kognitif sebaliknya lemah dalam afektif dan psikomotorik sehingga belum terbangun kesadaran bersama tentang toleransi, kepedulian, kegotongroyongan, kedisiplinan dan patriotisme. Ary Ginanjar Agustian, tokoh ESQ the Way 165 menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar bagi pembentukan Wawasan Kebangsaan lebih pada wacana dalam dimensi intelektual namun kurang menyentuh dimensi emosional dan spiritual.

Pendapat serupa juga dinyatakan oleh tokoh motivasi seperti Mario Teguh dan pakar perubahan seperti Prof. Dr. Rhenald Khasali yang menekankan proses pembentukan karakter harus dimulai dari rumah tangga seterusnya di sekolah. Mekanisme kontrol oleh masyarakat selain wujud kesadaran dan kepeulian harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan mengendalikan serta menindak dan menghukum sebagai proses pembelajaran yang tidak pernah berhenti sepanjang hayat.

Pendidikan yang memberdayakan dalam kerangka pembentukan wawasan kebangsaan sebagai bangsa yang senasib dan setujuan serta seperuntungan dalam suka dan

duka dapat dikembangkan dengan menempatkan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam laboratorium sosial di masyarakat. Proses pembentukan jatidiri bangsa melalui pendidikan berlangsung di sekolah dan luar sekolah sehingga perlu pengembangan kurikulum dengan materi dan metodologi pembelajaran yang berorientasi penguatan kapasitas kepemudaan sebagai generasi pemba- haru yang cenderung kepada perubahan berkesinam- bungan. Tiga nilai dasar dalam ketahanan nasional memberi tekanan kepada pembentukan identitas dan integritas serta kapabalitas bagi perwujudan cita-cita nasional dalam mencapai tujuan nasional sebagai pengejawantahan tentang hakikat kemerdekaan dan perdamaian abadi.

Karakter bangsa sebagai bagian pokok dari wawasan kebangsaan dibentuk melalui proses pembelajaran secara inklusif dan berkelanjutan dimulai dari institusi keluarga dan sekolah sampai kepada komunitas dan masyarakat. Proses tersebut melibatkan keseluruhan warga negara dengan falsafah saling asah, saling asih, saling asuh sehingga terbangun suatu kesadaran tentang hakikat berbangsa dan bernegara. Konsepsi tentang pembelajaran sepanjang hayat (life long education) adalah dasar bagi pembentukan karakter bangsa karena nilai-nilai luhur tersebut harus wujud sepanjang hayat sebab menjadi identitas atau jatidiri bangsa.

Konsekuensi dari kesadaran tersebut maka peratur- an dan perundangan-undangan harus disertai penegakan hukum melalui lembaga peradilan yang bebas dari berbagai intervensi. Selain itu dukungan masyarakat untuk membentuk rasa bangga sebagai bangsa yang bermartabat sebaliknya rasa malu sebagai bangsa yang kurang beradab dalam rangka mewujudkan bangsa yang sejahtera dalam negeri yang makmur.

Proses pembelajaran tersebut melibatkan kanak- kanak dan remaja serta pemuda dalam usia sekolah antara 5-30 tahun melalui proses pencerahan (enlightment) tentang hakikat hidup dan kehidupan. Pencerahan itu menyang- kut hak dan kewajiban sebagai individu dan anggota masyarakat serta tanggungjawabnya sebagai warga negara. Proses pencerahan diupayakan melalui pengajaran tentang konsep dan teori serta metodologi seterusnya praktik sosial untuk mengaplikasikannya melalui pola keterlibatkan (involvement) dalam berbagai kegiatan sosial dan kemasya- rakatan. Mekanisme tentang keterlibatan ini menjadikan setiap individu akan dihargai karena diakui keberadaan dan karyanya dalam rangka pemberdayaan (empowerment).

Pembangunan sosial yang memberdayakan dalam konsepsi gotong royong melibatkan peran sosial dan fungsi ekonomi yaitu individu memberi sumbangan berupa tenaga, uang, material, makanan dan pemikiran sesuai kemampuannya dalam membangun lingkungan kehidupan yang lebih baik.

Pembelajaran dengan metode interaktif untuk mengembangkan kapasitas sekaligus kepedulian sosial dapat diselenggarakan di luar kelas dengan media masyarakat bertujuan meningkatkan pemahaman tentang hakikat kebersamaan.

Upaya untuk menegakkan bangsa yang bermartabat atau membangun bangsa bermartabat adalah tugas pokok pemerintah dan pemimpin tapi perlu diingat bahwa kewajiban menjaganya terletak pada setiap warga negara, semua komponen masyarakat harus terlibat dan mengam- bil peran masing masing.

Pelajar memiliki peran penting dalam upaya untuk menjaga martabat dan kedaulatan Bangsa ini dalam bidang keadilan dan kesetaraan dalam pergaulan sehari- hari kepada teman sebaya, tidak melakukan diskriminasi, tidak melakukan kekerasan terhadap teman/pacar, tidak tawuran, dan mulai dengan memulai dari diri sendiri dan rekan sebaya karna dengan tercipta kesadatan bersama untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, masyarakat akan sadar, pemerintah akan sadar, bangsa ini pun akan bangkit. Dimulai dari pelajar untuk negeriku Indonesia yang adil, setara, bermartabat, dan berdaulat.

E p i l o g

Kesyukuran dan Refleksi 52 Tahun IPM

Rentang panjang perjalanan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) selama ini berada di tengah liku- liku kehidupan kebangsaan dan keumatan yang menga- lami proses deviasi-deviasi dari arus utamanya, untuk membangun kehidupan kebangsaan yang damai, adil, dan sejahtera. Eksistensi IPM pun, mengalami dinamika yang hampir serupa. Tentu tidak bisa dinafikkan, bahwa perja- lanan IPM telah memberikan warna bagi entitas-entitas yang lain. Paling tidak IPM telah memberikan warna bagi dirinya, sehingga menampilkan sosok yang tampil membe- rikan warna dinamis-progresif dalam melakukan perubah-

an cara pandang (word-view), prilaku, ideologi gerakan dan lain-lain, yang telah memberikan artikulasi-reflektif- transformatif bagi pengembangan IPM.

Di usianya yang sudah 52 tahun sejak kelahiran 18 Juli 1961, bukanlah waktu yang cukup untuk menunjuk- kan sebuah eksistensi yang established. Namun juga, bukan waktu yang singkat untuk mengukir sejarah pergerakan yang dinamis mengikuti arus besar perubahan yang memang cepat dan serba uncertainty ini. Lantas di usia sedemikian itu, apa yang sudah diperbuat IPM? Apa pula yang hendak dilakukan (what next)? Tentu jawabannya dikembalikan kepada pasukan inti IPM. Lantas, siapa stake holder itu? Jawabannya adalah kita semua, yang senantiasa harus bercermin dari realitas yang ada, untuk meyakini

Dalam dokumen Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan (Halaman 146-170)