• Tidak ada hasil yang ditemukan

– Labib Ulinnuha

Dalam dokumen Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan (Halaman 138-146)

“...perhatikan sungguh-sungguh ide-ide yang datang dari rakyat, yang masih terpenggal dan belum sistematis, dan coba perhatikan

lagi ide-ide tersebut, pelajari bersama rakyat sehingga menjadi ide-ide yang lebih sistematis, kemudian menyatulah dengan rakyat,

ajak dan jelaskan ide-ide yang datang dari mereka itu, sehingga rakyat benar-benar paham bahwa ide-ide itu adalah milik mereka, terjemahkan ide-ide tersebut menjadi aksi,

dan uji kebenaran ide-ide tadi melalui aksi.”

Mao Tsetung

34

Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani (LaPSI) PP IPM periode 2012-2014

Pelajar adalah sosok “dewa” yang tergambar di setiap kerangka dan dinding-dinding mimpi “orang dewasa”, yang dipersiapkan untuk menjadi “mentari”, memberikan sinar perubahan dari keadaan sekarang dan menjadikannya lebih baik dimasa yang akan datang. Bukan sebuah kesalahan memang, dan itu menjadi sebuah hal yang wajar, saat generasi sekarang (orang-orang tua) telah rapuh dimakan usia, dan mengecil diterpa waktu, pelajar (generasi muda) merupakan sosok yang ideal untuk diproyeksikan menjadi generasi penerus atau agen of change. Terpandang menjadi sebuah kodrat yang melekat dalam diri pelajar untuk mampu menjadi sosok generasi penerus.

Segala macam agenda disusun untuk membentuk dan menciptakan generasi penerus yang berkompeten, yang handal dan mampu berdaya saing tinggi, sehingga mimpi-mimpi orang terdahulu untuk melihat keadaan lebih baik dari sekarang tercipta dan tercapai lewat pelajar (generasi muda), entah seperti apa kompetensi pelajarnya, setiap orang pasti akan beranggapan bahwa dia (pelajar/ generasi muda) adalah orang yang tepat untuk menerus- kan estafet pembangunan dalam konteks menjadikan keadaan lebih baik (makmur).

Tapi mimpi-mimpi dan harapan generasi tua dalam diri pelajar (generasi muda), seakan hangus terbakar oleh realita yang ada, bagaimana tidak hal yang terjadi dalam dunia nyata tidak berjalan sesuai harapan mereka, sosok

pelajar (generasi muda) ternyata belum mampu untuk menjadi figure penerus perjuangan mereka. Budaya tawuran, mabuk-mabukan, dan segala aktifitas negatif lain yang melekat dalam kenyataan kehidupan pelajar sekarang, dipandang oleh sebagian masyarakat menjadi sebuah aib yang patut diberhanguskan. Karena kompetensi semacam itu bukan kompetensi ideal untuk generasi muda (pelajar) mempu menciptakaan peradaban menjadi lebih baik, dalam pandangan generasi tua.

IPM dan Pendampingan Pelajar

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), merupakan salah satu dari beribu organisasi yang secara khusus menjadi tempat pelajar (generasi muda) bercokol. Tidak berlebihan pula mungkin bila IPM sebagai organisasi otonom di lingkungan organisasi terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, para kadernya diproyeksikan untuk meneruskan perjuangan dan cita-cita persyarikatan.

Namun apakah keadaan kader IPM saat ini sudah memiliki kompetensi yang dianggap mumpuni oleh para orang tua (generasi sekarang), untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di masa yang akan datang, ataukah proyek besar juga sedang disiapkan untuk menciptakan para kader di lingkungan IPM untuk mampu dan menjadi generasi penerus yang memiliki daya saing tinggi, ataukah sama saja, bahwa hal-hal negatif, yang luput dalam

kompetensi generasi muda yang handal ada dalam tubuh IPM, sehingga perlu diadakan semacam agenda strategis untuk memberhanguskan hal-hal tersebut dari tubuh generasi muda (pelajar).

Banyak pertanyaan yang kemudian patut kita munculkan, terkait keadaan generasi muda (pelajar) sekarang yang dikatakan ambruladul dan tidak bisa menjadi generasi penerus yang ideal, apakah sebenarnya yang menjadi penyebab terjadinya hal semacam itu? Bagaimanakah seharusnya kita menyiapkan generasi tadi?

Mungkin sesekali kita perlu melakukan pendekatan terhadap mereka (pelajar) dan kemudian memberikan ruang yang sedikit bebas, dengan memberdayakan potensi mereka, sehingga tidak ada anggapan bahwa hal-hal negatif yang terjadi dalam diri pelajar bukan merupakan sebuah kegagalan generasi penurus bangsa. Bukankah kita terlahir berbeda, dan memiliki kemampuan yang berbeda pula? Mendampingi dan mengarahkan mereka (pelajar) seperti- nya menjadi sebuah langkah yang strategis, ketimbang memaksakan mereka untuk menjadi sesuatu yang kita inginkan.

Tugas IPM-lah untuk menjadi hal semacam itu, untuk menjadi pengayom pelajar (generasi muda), seperti apapun mereka, kita harus mampu memahami dan mengarahkan mereka, budaya saling menyalahkan harus segera diakhiri sampai sini, bila mimpi menciptakan generasi muda yang handal ingin tetap dilanjutkan.

Mungkin Ini Cara Kami Berkreasi

Permasalahan mungkin muncul saat sosok pelajar (generasi muda) yang diharapkan tidak nampak pada sebagian besar pelajar yang ada, terlebih perilaku negatif yang sering mereka lakukan menambah argumentatif permasalahan itu muncul. Sosok ideal pelajar yang cerdas, berdaya saing tinggi, berilmu dan segudang kompetensi positif lain adalah indikator yang kemudian menjadi titik tolak penilaiannya.

IPM yang memiliki basis masa pelajar, sangat tepat menjadi ruang mediasi permasalahan ini. Yaitu keadaan dimana terjadi kesenjangan antara generasi muda yang ideal, dan generasi muda yang awut-awutan, permasalahan inti terfokus pada generasi muda yang awut-awutan dimana mereka tidak memiliki tempat untuk menunjukan eksis- tensi mereka, karena secara akademik dan pandangan wawasan memiliki perbedaan dengan generasi muda yang ideal (cerdas, berprestasi, dll).

Hal negatif dalam pandangan kita dan sebagian besar masyarakat atas apa yang dilakukan generasi muda yang awut-awutan tadi, semakin menyudutkan dan mem- batasi ruang gerak mereka, karena mereka dipandang sebagai generasi yang gagal dan bukan menjadi kandidat sebagai generasi penerus bangsa, bahkan keberadaan mereka harus diberhanguskan karena akan menjadi aib. Akan tetapi penanganan semacam ini tidak lagi menjadi

solusi yang ideal, malah akan semakin memperkeruh suasana.

IPM dewasa ini harus mampu menjadi oraganisasi yang memfasilitasi permasalahan ini, mencari akar dari permasalahan yang ada dan kemudian memberikan solusi yang strategis mengakhri sengketa yang ada. Pengembang- an potensi berdasarkan kemampuan masing-masing yang kemudian diarahkan kedalam hal yang kreatif merupakan pekerjaan rumah besar kita semua.

Coba bayangkan seandainya, mereka (pelajar) yang suka coret-coret di dinding (mural) tidak dipandang sebagai sosok hama yang perlu dibasmi, apakh tidak bisa secara cerdas kita memanfaatkan poyensi mereka, dengan memberikan fasilitas tempat berkreasi sesuai dengan yang mereka inginkan, kemudian kita suarakan mimpi-mimpi gerakan kemajuan lewat tulisan dinding-dinding mereka.

Coba sejenak renungkan, seandainya mereka (pelajar) yang suka membolos, kita dengar alasan mereka mengambil tindakan itu, apakah benar karena mereka malas, mereka bodoh?ataukah sistem pendidikan yang mengekang mereka, tidak memberikan ruang berkreasi terhadap potensi berbeda yang mereka miliki. Dan masih banyak lagi hal-hal yang perlu kita renungkan tentang

steorotipe kita terhadap mereka, yang berujung kepada penggolongan dan pengelompokan terhadap pelajar.

IPM, Peran Humanis untuk Pelajar

IPM yang telah menginjak tahun ke 52-nya, diharapkan mampu menyusun kegiatan yang menaungi mereka semua, minimal menjadi tempat untuk membuat mereka merasa mempunyai rumah, bukan malah menjadi organisasi eksklusif yang secara tidak langsung mencipta- kan sekat, karena IPM hanya menampung kader-kader yang handal, tangguh, berwawasan. Harapannya IPM mampu menjadi organisasi yang inklusif, menerima semua dengan keadaan apapun, dan mengakhiri budaya penin- dasan akibat penggolongan potensi ini.

Rasa kesensitifan mulai harus ditingkatkan, menja- murnya komunitas-komunitas yang unik dikalangan pelajar, yang dalam pandangan masyarakat merupakan sebuah kelompok negatif, genk, dll, bisa menjadi ruang IPM menyuarakan ideologi gerakannya. Mendampingi mereka, memberikan ruang berekspresi, dan memberikan fasilitas bisa menjadi alat komunikasi yang humanis

ketimbang memberhanguskan mereka.

Contoh real yang bisa dilakukan adalah, bila dalam suatu wilayah (PD,PW) ada pelajar yang suka membolos misalnya, kita bisa membimbing mereka dengan mem- berikan tugas, menuliskan apa saja yang dia lakukan saat membolos, dan hal-hal lain yang mereka lakukan saat membolos, dari situ kita bisa melihat aktifitas mereka, bisa sedikit demi sedikit memberikan muatan pengembangan kepada mereka, menjadi tugas utama guru memang bila

kita berbicara tentang memberikan sangsi dilingkungan sekolah, tapi setidaknya kita bersama baik guru, siswa, dll bisa mendorong mereka (para pembolos) dengan sesekali menyampaikan ide semacam ini kepada mereka.

Contoh lain misalnya, pelajar yang suka mencoret- coret tembok, menuangkan ekspresi didinding-dinding kota, kita bisa saja mendampingi mereka, memberikan masukan tentang tulisan-tulisan yang harus meraka gambaskan dalam dinding. Tidak sulit bukan bila sesekali kita menyediakan ruang secara khusus untuk mereka membuat itu, dan kemudian kita arahkan untuk menuliskan sesuatu (misal kaligrafi, poster gerakan membaca, dll).

Banyak cara lain lagi kiranya yang bisa kita ambil dan lakukan, asalkan tidak mengandung budaya kekerasan dan saling menyalahkan, IPM harus segera menjadi palu yang menghancurkan sekat dikalangan pelajar, melihat mereka semua sebagai sebuah aset besar yang tidak harus digiring menuju sebuah kompetensi, namun mengarahkan sesuai dengan kompetensinya. Tugas IPM adalah tugas kita semua.

Pelajar Setara,

Dalam dokumen Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan (Halaman 138-146)