• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelajar Indonesia adalah Buruh Bangsa

Dalam dokumen Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan (Halaman 121-129)

––Mustiawan

31

“Entrepenuer bukan sekedar diajarkan, tetapi harus ada kegiatan yang konkret di sekolah-sekolah sebagai bentuk penanaman jiwa

entrepenuer di kalangan pelajar.”

Carl J. Schramm

31

Pelajar merupakan salah satu komponen yang paling terpenting dalam sebuah negara karena pelajar saat ini menentukan masa depan bangsa yang akan datang. Pelajar merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki tingkat produktivitas dan kreatifitas yang cukup tinggi. Namun, sayangnya kurang dimanfaatkan dengan baik, hal tersebut karena masih banyaknya dari segelintir pelajar melakukan ataupun terlibat tindak kejahatan seperti pemalakan, narkoba, tawuran, sampai sex bebas yang

“dikalim” sebagai bentuk aktulaisasi pelajar modern masa

kini.

Kreativitas Pelajar dan Kepopuleran Semu

Pelajar saat ini masih terlalu asik dengan eksperimen-eksperimen kreatifitasnya yang berkiblat pada

sebuah “kepopuleran semu” hingga melupakan sisi ekono- mis dibalik kreatifitasnya. Kreatifitas-kreatifitas pribadi yang dimiliki pelajar harusnya menjadi sebuah pijakan untuk menjadi pelajar yang mandiri sehingga memacu pelajar untuk mengeksplor diri di dunia bisnis menjadi entrepenuer muda dan tidak hanya berkiblat pada sebuah popularitas semata.

Membentuk jiwa entrepreneur pada siswa memang bukan pekerjaan mudah. Menurut CEO Kauffman Foudation dari Amerika Serikat Carl J. Schramm berkata entrepenuer bukan sekedar diajarkan tetapi harus ada

kegiatan yang konkret di sekolah-sekolah sebagai bentuk penanaman jiwa entrepenuer dikalangan pelajar.

Menjawab tantangan zaman tersebut sistem pendi- dikan nasional membentuk SMK dengan dalih sebagai bekal berbagai keahlian khusus tetapi belum sepenuhnya fokus kepada penanaman nilai entrepreneur secara praktis di setiap sekolah. Realitas ini terbukti banyaknya SMK yang diharapkan dapat melahirkan entrepenuer mudah membelot dari ranah yang seharusnya. Sekolah hanya menyediakan jaringan untuk lulusan yang siap bekerja, mirisnya lulusan SMK hanya menjadi sebuah buruh dalam sebuah pabrik.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena selama proses pendidikan proses penanaman nilai-nilai entrepreneurship sangat kurang, sebatas penguasaan materi dikarenakan kurangnya kegiatan konkret dilapangan. Dogma-dogma yang ditanamkan di SMK hanya berkisar pada bagaimana siswa bisa mendapatkan kerja bukan menghasilkan lapang- an pekerjaan atau usaha baru setelah lulus.

Lingkungan kita menjadi salah satu penghambatnya bangkitnya jiwa entrepenuer. Iklan provider tree “3” adalah

cerminan bagaimana mimpi anak-anak bangsa, yang merupakan hasil dogma-dogma yang ditamankan ling- kungan disekitarnya. Kita kerap bangga melihat saudara- saudara kita atau bahkan diri kita sendiri bekerja di perusahaan multinasional ketibang kita berjualan goring- an di pinggir jalan atau kita terbiasa dengan mendapatkan

rupiah dengan cara yang hanya bermodalkan proposal dan nama besar sebuah organisasi atau perseorangan. Keter- gantungan pada zona nyaman inilah tanpa kita sadari, secara halus sedang mematikan jiwa entrepreneur. Tak jarang, banyak orang yang mematikan jiwa wirausaha dalam dirinya. Alasannya klise dan kurang tepat yakni tidak berbakat menjadi wirausaha atau takut gagal.

Amerika Serikat atau yang akrab dikenal Negeri Paman Sam ini secara fakta merupakan salah satu negara adidaya di dunia. Bila kita berkaca pada Amerika Serikat mereka memiliki tidak kurang 37 juta orang entrepreneur, pengusaha. Jumlah ini bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mencapai 309 juta jiwa mencapai tingkat 12%, Malaysia yang telah memiliki pengusaha sebesar 3%, Singapura 7%, China 10%, cukup jauh di atas level minimal capaian negara maju, 2%. Sementara suatu negara akan memiliki pondasi perekonomian yang kuat dan akan memenuhi persyaratan awal untuk menjadi negara maju, jika memiliki jumlah pengusaha sebanyak minimal 2% dari jumlah penduduknya.

Bagaimana Amerika Serikat dapat memiliki sekian banyak pengusaha dan entrepreneur? Fakta mengatakan bahwa hampir 50% dari pengusaha tersebut mengalami kegagalan pada langkah awal mereka. Namun, mereka pantang menyerah dan senantiasa mencoba lagi. Mental inilah mungkin yang membedakan semangat

seperti Indonesia dengan masyarakat negara maju seperti Amerika Serikat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran sarjana atau lulusan universitas pada Februari 2013 mencapai 360 ribu orang, atau 5,04% dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang ini dikarenakan salah satu bukti bahwa bahwa Bangsa Indonesia masih kurang memiliki aktor-aktor entrepeneur yang mewarnai blantika bisnis Indonesia. Aktor-aktor entrepenuer ini nanti memiliki peran untuk menggerakan generator kemandirian bangsa pada sektor ekonomi dan memiliki kontribusi mengikis angka pengangguran.

Entrepeneur Sebagai Generator Kemandirian Bangsa

Kemandirian bangsa Indonesia hingga dewasa ini sangat paradoks dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Hal ini mengingat Indonesia tidak saja terjerumus dan kemudian terjerat dalam skenario ekonomi “kapitalis yang monopolistik”, melainkan telah sangat pandai ikut “bermain”. Sebagai contoh adalah berkuasanya korporasi

asing seperti Caltex, Freeport, Newmont, dan lain-lain. untuk mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia. Berkuasanya korporasi-korporasi asing di Indonesia yang dalam banyak kasus justru menimbulkan ketergantungan, kemiskinan dan kehancuran masyarakat lokal yang menjadi bagian integral dari masyarakat nasional (bangsa

Indonesia), jelas merupakan fakta bahwa kita sebagai bangsa tidak lagi cukup kuat memiliki kemandirian. Ini adalah fakta aktual yang harus kita hadapi dan sikapi secara kritis sebagai anak bangsa khusus pelajar Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui Freeport adalah korporasi milik Amerika Serikat yang telah mengangkangi tambang emas terbesar dunia di Papua dengan cadangan terukur lebih dari 3.046 juta ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton perak. Selama 30 tahun lebih dan belum lama diperpanjang lagi Freeport telah mengeksploitasi kekayaan itu dengan pendapatan sekitar 1.5 miliar $ AS/tahun. Sebagai kompensasinya Freeport hanya memberi bagi hasil (profit sharing) pada Indonesia 10-13 % dari pendapat bersih di luar pajak.

Oleh karena itu kita dapat menyaksikan apa yang terjadi di Papua, 60 % rakyat Papua tidak memiliki akses pendidikan, 35,5 % tidak memiliki akses fasilitas kesehatan, dan lebih dari 70 % hidup tanpa air bersih. Data HDI (Human Development Index) 2004 menunjukkan, Papua menempati urutan ke-212 (terutama mereka yang tinggal di daerah Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya) dari 300 lebih kabupaten yang ada di Indonesia. Belum lagi kerusakan ekologi yang sangat parah yang tidak mungkin dapat diperbaiki dalam beberapa generasi.

Meluruskan Kiblat Ekonomi Bangsa

Soekarno, dalam salah satu ucapanya berkata “We Are Cooli Nations And Cooli Among Nations”. Kita akan menjadi bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa. Sungguh ini kata-kata yang sangat pedas. Entah apa yang sedang ada di benak Bung Karno waktu itu. Apakah ini berkaitan dengan sikap mental beberapa orang di seklilingnya waktu itu. Apakah ini berhubungan dengan pandangan jauh kedepan mengenai kondisi bangsanya sendiri di masa yang akan datang.

Kekulian ini akibat jerat kemiskinan yang berkepan- jangan di dalam negrinya sendiri. Akibat menjual tenaga terlalu murah dengan maksud menarik investor asing menjadikan kemiskinan semakin akrab dan melilit kuat kehidupan rakyat.

Inilah realitas yang terjadi dikalangan rakyat jelata dengan kehidupan ekonomi yang serba kekurangan alias melarat dan miskin, hal ditandai dengan banyaknya mereka yang bekerja menjadi buruh yang di bayar dengan harga murah. Tenaganya di hargai dengan rupiah yang hanya pas-pasan untuk hidup anak dan istrinya. Tidak pernah tersisa uang di setiap ahkhir bulanya. Menjadi buruh di Negeri sendiri, miskin dengan kekayaan negeri, dan memandang penuh bangga investor asing menikmati kekayaan bangsa.

Inilah sebuah pilihan, mau jadi buruh di negeri sendiri, atau akan tampil menjadi aktor di belantikan bisnis Indonesia. Berpacu dengan investor-investor asing untuk menguasai Indonesia dari sektor ekomoni. Meluruskan kiblat ekonomi bangsa untuk membangun kemandirian bangsa demi mewujudkan cita-cita kemede- kaan yang sebenarnya, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.

Dalam dokumen Buku Menjadi Pelajar Berkemajuan (Halaman 121-129)