• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hipotesis Penelitian

Dalam dokumen FACTOR ANALYSIS (Halaman 69-87)

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 13-52

2.7 Hipotesis Penelitian

1. Seluruh item pada subtes series fit dengan data jika diuji tahapan configural invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance invariance di kelompok gender?

2. Seluruh item pada subtes classification fit dengan data jika diuji tahapan configural invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance invariance di kelompok gender?

3. Seluruh item pada subtes matrice fit dengan data jika diuji tahapan configural invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance invariance di kelompok gender?

4. Seluruh item pada subtes topology fit dengan data jika diuji tahapan configural invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance invariance di kelompok gender?

5. Seluruh subtes pada tes CFIT fit dengan data jika diuji tahapan configural invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance invariance di kelompok gender?

53 3.1 Data Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji measurement invariance pada tes inteligensi Culture Fair Intelligence Test (CFIT). Oleh karena itu peneliti akan kembali menekankan bahwa penelitian ini dilakukan untuk menguji item-item pada subtes tes CFIT, dan bukan tentang menguji peserta tes CFIT. Untuk menguji item-item tersebut digunakan pendekatan uji validitas konstruk yang akan menentukan apakah semua subtes tersebut benar-benar mengukur fluid intelligence di semua kelompok.

Data mentah yang digunakan adalah data hasil tes inteligensi CFIT yang disediakan oleh Pusat Layanan Psikologi (PLP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pelaksanaan tes dilakukan pada tahun 2010 dengan total sebanyak 873 peserta. Dan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah item-item dari tes CFIT, sehingga menjadi kurang relevan jika membahas tentang teknik pengambilan sampel.

Adapun karakteristik peserta tes CFIT pada data sekunder ini adalah sebagai berikut:

a. Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).

b. Rentang usia 13-16 tahun.

c. Peserta terdiri dari 371 laki-laki dan 501 perempuan.

Intelligen ce

Series

Item 1 Item 13 Classifica

tion

Item 1 Item 14

Matrice Item 1

Item 13 Topology

Item 1 Item 10 3.2 Instrumen Penelitian

Culture Fair Intelligence Test (CFIT) adalah tes inteligensi yang dikembangkan oleh Raymond B. Cattell sebagai tes non verbal untuk mengukur fluid intelligence (Gf) dan terdiri dari 4 subtes, yaitu:

1. Subtes series terdiri dari 13 item, peserta diminta melanjutkan gambar secara logis dari 3 gambar yang telah disajikan sebelumnya.

2. Subtes clasification terdiri dari 14 item, peserta diminta mencocokan 2 gambar mana dari setiap seri yang cocok dipasangkan bersama.

3. Subtes matrice terdiri dari 13 item, peserta diminta menentukan mana dari 5 alternatif yang paling logis untuk melengkapi pola matriks yang disajikan.

4. Subtes topology terdiri dari 10 item, peserta diminta mencari aturan umum dimana titik ditempatkan dengan menyimpulkan aturan dan memilih gambar yang berlaku.

Untuk proses skoring pada tes CFIT, jawaban yang benar akan diberi skor 1 dan jawaban yang salah akan diberi skor 0. Diagram berikut adalah penjelasan tentang jumlah item tes inteligensi CFIT.

Gambar 3.1 Jumlah subtes dan item tes CFIT

3.3 Metode Analisis Data

Pada bagian ini peneliti akan memaparkan landasan argumen pemilihan metode analisis yang akan digunakan untuk menguji validitas measurement invariance pada tes CFIT. Setidaknya terdapat dua pendekatan yang umum digunakan untuk menguji validitas measurement invariance pada alat tes psikologis. Pertama, melalui pendekatan item response theory satu parameter logistik atau Rasch model). Kedua, melalui pendekatan structural equation modeling atau populer disebut confirmatory factor analysis (Reise, Widaman & Pugh, 1993; Raju, Laffitte, & Byrne, 2002; Meade & Lautenschlager, 2004).

Pada penelitian ini peneliti memutuskan untuk menggunakan pendekatan structural equation modeling (CFA). Peneliti memilih pendekatan CFA karena pendekatan tersebut memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode IRT, diantaranya adalah sebagai berikut ini (Reise et al., 1993; Raju et al., 2002; Meade

& Lautenschlager, 2004):

1. Lebih mudah digunakan (user friendly) dan lebih mudah diimplementasikan.

2. Pendekatan CFA memiliki jumlah indeks model fit (test goodness of fit) yang lebih bervariasi, sehingga peneliti memiliki banyak opsi untuk menentukan kriteria model fit (chi-square, RMSEA, GFI, CFI, Gamma Hat, McD NCI, NFI).

3. Untuk melakukan uji measurement invariance pada alat tes yang itemnya berbentuk dikotomi (benar-salah), sebenarnya pendekatan IRT lebih tepat untuk digunakan. Namun ketika item yang akan dianalisis jumlahnya sangat banyak, pendekatan CFA juga dapat dipercaya dan layak digunakan.

4. Pendekatan CFA sangat baik mengatasi situasi ketika peneliti harus menguji model lebih dari satu faktor factor model) di populasi berbeda (multi-population) secara simultan. Berbeda dengan pendekatan IRT yang hanya terbatas pada analisis model unidimensional saja (model satu faktor).

Hal di atas didukung oleh penelitian Nenty dan Dinero (1981) yang melakukan uji measurement invariance pada tes CFIT menggunakan pendekatan IRT (Rasch model). Hasil penelitian tersebut menyarankan agar penelitian selanjutnya menggunakan pendekatan SEM (CFA) sebagai pembanding dari pendekatan IRT. Berdasarkan argumen tersebut peneliti memilih pendekatan SEM (CFA) sebagai metode analisis.

Selanjutnya dilanjutkan dengan pemaparan definisi dari CFA yang didahului dengan penjelasan tentang factor analysis (analisis faktor) terlebih dahulu. Analisis faktor adalah metode statistika yang sering digunakan untuk menentukan banyaknya dimensi yang mendasari berkorelasinya seperangkat observed variable (item) dan untuk mengidentifikasi pola hubungan seperangkat variabel yang sesuai untuk setiap dimensi. Dimensi yang mendasari merujuk pada istilah yang dikenal dengan continuous latent variables atau sering juga disebut factor (Muthen & Muthen, 2012).

Menurut Kaplan (2004) terdapat dua jenis analisis faktor, yaitu: Pertama, unrestricted model yang sering disebut pula dengan exploratory factor analysis.

Kemudian yang kedua, restricted model yang sering pula disebut dengan confirmatory factor analysis. EFA pertama kali diperkenalkan oleh Charles Spearman pada tahun 1904. Dalam EFA, peneliti tidak memiliki model teori

(hipotesis) atau ekspektasi tertentu tentang jumlah atau sifat faktor yang mendasari konstruk. Sebaliknya peneliti ingin membangun sebuah model atau teori dari data yang ada.

Metode analisis faktor yang lebih modern disebut confirmatory factor analysis (CFA). Metode ini dikembangkan oleh Joreskog pada tahun 1970 (Hancock & Mueller, 2006). Menurut Bollen (1989) tidak seperti EFA yang berfungsi untuk membangun sebuah teori, sebaliknya CFA bertujuan untuk menguji apakah dimensi dan pola dari muatan faktor yang sudah diteorikan di awal fit dengan data empiris yang dimiliki. Sehingga CFA menjadi sangat relevan digunakan untuk menguji sebuah model teori, dalam hal ini teori pengukuran.

Untuk itu di dalam CFA, peneliti harus memiliki gambaran yang spesifik tentang model teori yang akan diuji (model Specification) yaitu: (a) jumlah faktor, (b) variabel yang mencerminkan suatu faktor, dan (c) faktor-faktor yang saling berkorelasi. Kegiatan awal dari CFA diawali dengan merumuskan model teori tentang pengukuran variabel laten, kemudian model itu diuji kebenarannya secara statistik menggunakan data (Bollen, 1989).

CFA tepat untuk menguji teori karena (a) langsung menguji teori dan (b) tingkat model fit dapat diukur dengan berbagai cara. Menurut Umar (2015) tujuan dari CFA adalah sebagai berikut:

1. Untuk menguji hipotesis tentang satu atau lebih faktor (contohnya inteligensi) serta saling keterkaitan antara faktor tersebut sesuai model teori yang telah ditetapkan.

2. Untuk menguji validitas dari setiap indikator yang digunakan untuk mengukur faktor/kostruk tersebut (item atau subtes).

CFA sering digunakan untuk memverifikasi jumlah dimensi yang mendasari instrumen dengan pola hubungan item dengan faktor (factor loading). Hasil analisis CFA dapat menghasilkan bukti kuat dari validitas konvergen dan diskriminan dari sebuah konstruk teoritis. Adapun logika dari CFA adalah sebagai berikut (Umar, 2015):

1. Bahwa ada sebuah konstruk, variabel laten atau trait berupa kemampuan yang dapat didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.

2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya, baik item maupun subtes bersifat unidimensional.

3. Dengan data yang tersedia, dapat diestimasi matriks korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma (Σ), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks korelasi Σ dan matriks korelasi S, atau secara matematis dapat juga dinyatakan melalui persamaan Σ - S = 0.

4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi-square tes. Jika nilai chi-chi-square tidak signifikan (p > 0,05), maka hipotesis

nihil yang menyatakan: “tidak ada perbedaan antara matriks korelasi S dengan matriks korelasi Σ” tidak ditolak. Dengan kata lain, teori yang menyatakan bahwa seluruh item pada subtes semuanya hanya mengukur satu hal (faktor), dapat diterima kebenarannya (didukung oleh data). Sebaliknya, jika nilai chi-square yang diperoleh signifikan, maka hipotesis nihil Σ - S = 0 ditolak. Artinya, teori tersebut tidak didukung data (ditolak).

5. Jika teori diterima (model fit), langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis tentang signifikan tidaknya masing-masing item dalam mengukur apa yang hendak diukur. Uji hipotesis ini dilakukan dengan t-test. Jika nilai t signifikan, berarti item yang dianalisis signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur. Dengan cara ini dapat diketahui item mana yang valid dan tidak valid dalam konteks validitas konstruk. Dengan kata lain, confirmatory factor analysis dalam hal ini adalah pengujian hipotesis nihil (H0): Σ - S = 0.

Ini berarti, tidak ada perbedaan antara matriks korelasi yang didapatkan dari teori dengan matriks korelasi yang didapatkan dari observasi lapangan (teori sama dengan kenyataan).

6. Persamaan matematis pada butir di atas adalah persamaan regresi untuk setiap butir soal dalam hubungannya dengan faktor yang diukur.

X

1

1

.F+δ

1

Keterangan:

X1 = Skor yang diperoleh pada item nomer 1 F = Faktor

λ1 = Koefisien Regresi untuk item nomer 1 dalam mengukur F, disebut juga koefisien muatan faktor

δ1 = Segala hal yang mempengaruhi varians X1 (selain F), disebut juga kesalahan pengukuran

Menurut Umar (2015) langkah-langkah yang harus dilakukan agar mendapat hasil analisis model yang baik adalah sebagai berikut:

1. Uji validitas model fit pada CFA dapat dilakukan dengan menggunakan chi-square test. Jika nilai chi-chi-square yang dihasilkan tidak signifikan (p > 0.05), artinya seluruh item yang diteorikan di awal memang hanya mengukur satu faktor saja.

2. Jika nilai chi-square signifikan (p < 0.05), maka harus dilakukan modifikasi terhadap model teori dengan cara membebaskan parameter korelasi kesalahan pengukuran. Artinya, suatu item selain mengukur konstruk yang diniatkan diukur, item tersebut juga mengukur hal lain (multidimensional). Setelah membebaskan beberapa kesalahan pengukuran untuk saling berkorelasi dan akhirnya didapatkan model fit, maka model teori ini ini yang akan digunakan pada analisis selanjutnya.

3. Setelah didapat model fit, maka selanjutnya adalah melakukan analisis pada tingkat item dengan melihat apakah muatan faktor item tersebut signifikan dan memiliki muatan koefisien positif. Taraf signifikansi item ini dapat dilihat lewat indeks t-value koefisien muatan faktor item. Jika t > 1.96 maka item tersebut signifikan dan valid. Jika muatan faktor bermuatan positif,

tetapi t-value yang didapatkan t < 1.96, maka item tersebut juga harus di drop atau tidak boleh dipakai (tidak valid).

4. Jika ditemukan item yang bermuatan faktor negatif, dalam hal ini pernyataan negatif. Maka ketika dilakukan skoring pada item, arah skoringnya harus diubah menjadi positif. Jika setelah diubah arah skoringnya masih terdapat item bermuatan faktor negatif, maka item tersebut harus di drop.

5. Jika kesalahan pengukuran pada item terlalu banyak berkorelasi dengan kesalahan pengukuran item lain, maka item ini pun harus di drop karena bersifat multidimensional.

Menurut Brown (2006) untuk menguji measurement invariance dari sebuah alat tes peneliti harus melakukan konstrain pada parameter-parameter yang ada pada model pengukuran (

Σ)

, yaitu parameter Λ (koefisien factor loading/lambda), parameter T (indicator intercept/threshold), dan parameter Θ (error variance/residual). Logika yang disajikan berikut ini menggunakan kelompok gender (laki-laki vs perempuan) sebagai ilustrasi. Penjelasan lebih lanjut tentang logika measurement invariance adalah sebagai berikut:

1. Configural Invariance (Pattern Invariance / Equal Form)

Configural invariance sering pula disebut pattern invariance atau equal form.

Configural invariance artinya peneliti berteori bahwa pola faktor dan item (Σ) pada model pengukuran di suatu kelompok memiliki pola model yang sama di kelompok lain. Sedangkan parameter lainnya seperti Λ, T, dan Θ, menjadi parameter yang nilainya diperbolehkan untuk bervariasi (free parameter). Hal ini dapat dilihat melalui ilustrasi berikut ini.

Σ

laki-laki

= Σ

perempuan...

Σ

k

(k = Kelompok peserta)

Persamaan di atas dijadikan hipotesis nihil yang berbunyi, ”H0: tidak ada perbedaan model teori yang ada di kelompok laki-laki dengan model teori yang ada di kelompok perempuan”. Kemudian hipotesis nihil tersebut diuji dengan data observasi lapangan. Jika nilai chi-square yang didapatkan tidak signifikan (p > 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “tidak ditolak”

(didukung data). Dengan kata lain model teori yang diuji memang memiliki pola hubungan faktor dan item yang sama di kedua kelompok. Tetapi jika nilai chi-square yang didapatkan signifikan (p < 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “ditolak” (tidak didukung data). Dengan kata lain, pola faktor dengan item di kelompok laki-laki berbeda dengan pola faktor yang ada di kelompok perempuan.

2. Metric Invariance (Lambda Invariance / Equal Factor Loading)

Tahap selanjutnya adalah menguji tahap metric invariance yang sering disebut lambda invariance atau equal factor loading. Metric invariance artinya peneliti berteori atau mengkonstrain nilai parameter Λ (lambda/daya pembeda) seluruh item tes memiliki nilai yang sama (equal) di kelompok berbeda. Hal ini dapat dilihat melalui ilustrasi berikut ini.

Λ

1.laki-laki

= Λ

1.perempuan...

Λ

1.k

(1 = Nomor item, k = Kelompok peserta)

Persamaan di atas dijadikan hipotesis nihil yang berbunyi, ”H0: tidak ada perbedaan antara nilai koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok

laki-laki dengan nilai koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok perempuan”. Kemudian hipotesis nihil tersebut diuji dengan data observasi lapangan. Jika nilai chi-square yang didapatkan tidak signifikan (p > 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “tidak ditolak”. Dengan kata lain nilai koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok laki-laki memiliki nilai yang sama dengan koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok perempuan (didukung data). Tetapi jika nilai chi-square yang didapatkan signifikan (p < 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “ditolak”. Dengan kata lain, nilai koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok laki-laki memang memiliki nilai yang berbeda dengan koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok perempuan (tidak didukung data).

3. Scalar Invariance (Intercepts Invariance / Equal Intercept)

Tahap selanjutnya adalah menguji scalar invariance atau equal intercepts.

Scalar invariance artinya peneliti berteori nilai parameter T (indikator intercepts) seluruh item tes di satu kelompok memiliki nilai yang sama (equal) di kelompok berbeda. Hal ini dapat dilihat melalui ilustrasi berikut ini.

T

1.laki-laki

= T

1.perempuan...

T

1.k

(1 = Nomor item, k = Kelompok peserta)

Persamaan di atas dijadikan hipotesis nihil yang berbunyi, ”H0: tidak ada perbedaan antara nilai indikator intercepts pada item nomor 1 di kelompok laki-laki dengan nilai indikator intercepts pada item nomor 1 di kelompok perempuan”. Kemudian hipotesis nihil tersebut diuji dengan data observasi

lapangan. Jika nilai chi-square yang didapatkan tidak signifikan (p > 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “tidak ditolak”. Dengan kata lain nilai indikator intercepts pada item nomor 1 di kelompok laki-laki memang memiliki nilai yang sama dengan indikator intercepts pada item nomor 1 di kelompok perempuan (didukung data). Tetapi jika nilai chi-square yang didapatkan signifikan (p < 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi

“ditolak”. Dengan kata lain, nilai indikator intercepts pada item nomor 1 di kelompok laki-laki memang memiliki nilai yang berbeda dengan indikator intercepts pada item nomor 1 di kelompok perempuan (tidak didukung data).

4. Error Variance Invariance (Equal Residual)

Tahapan terakhir dari measurement invariance suatu tes adalah menguji error variance invariance. Menguji error variance invariance artinya peneliti berteori apakah nilai parameter Θ (varian error/unique variance) pada setiap item tes di satu kelompok memiliki nilai yang sama (equal) di kelompok berbeda. Pada kenyataannya tahap terakhir ini sulit untuk dicapai sehingga seringkali menjadi bersifat opsional. Namun, pada penelitian ini peneliti akan tetap menguji model equal residual ini. Hal ini dapat dilihat melalui ilustrasi berikut ini.

Θ

1.laki-laki

= Θ

1.perempuan...

Θ

1.k

(1 = Nomor item, k = Kelompok peserta)

Persamaan di atas dijadikan hipotesis nihil yang berbunyi, ”H0: tidak ada perbedaan antara nilai residual pada item nomor 1 di kelompok laki-laki dengan nilai residual pada item nomor 1 di kelompok perempuan”.

Kemudian hipotesis nihil tersebut diuji dengan data observasi lapangan. Jika nilai chi-square yang didapatkan tidak signifikan (p > 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “tidak ditolak”. Dengan kata lain nilai residual pada item nomor 1 di kelompok laki-laki memang memiliki nilai yang sama dengan residual pada item nomor 1 di kelompok perempuan (didukung data). Tetapi jika nilai chi-square yang didapatkan signifikan (p < 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “ditolak”. Dengan kata lain, nilai residual pada item nomor 1 di kelompok laki-laki memang memiliki nilai yang berbeda dengan nilai residual pada item nomor 1 di kelompok perempuan (tidak didukung data).

3.4 Prosedur Penelitian

Penelitian dimulai dengan mengumpulkan data yang diperlukan untuk kepentingan analisis. Setelah didapatkan 873 orang hasil tes CFIT, maka tahap selanjutnya adalah mengelompokan 873 orang ini berdasarkan jenis kelaminnya.

Kelompok gender terdiri dari 372 orang laki-laki dan 501 perempuan.

Setelah pembagian kelompok selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah menentukan metode analisis yang akan digunakan. Dalam hal ini peneliti memutuskan menggunakan pendekatan structural equation modeling atau lebih spesifik menggunakan multiple-group confirmatory factor analysis. Multiple-group confirmatory factor analysis (MGCFA) adalah suatu prosedur dimana sebuah model teori diuji fit atau tidaknya setidaknya dari dua sampel berbeda secara simultan, misalnya kelompok laki-laki dan kelompok perempuan (Kline,

2011). Untuk selanjutnya peneliti akan terus menggunakan istilah MGCFA pada penelitian ini.

Selanjutnya, tahap pertama peneliti melakukan analisis faktor konfirmatorik pada seluruh subtes untuk mengecek dan menyeleksi apakah ada item yang bermuatan koefisien faktor negatif serta tidak signifikan. Setelah didapatkan hanya item yang bermuatan faktor positif dan signifikan, kemudian peneliti melakukan uji measurement invariance pada setiap subtes tes CFIT, yaitu series, classification, matrice, dan topology. Prosedur pengujian setiap adalah sebagai berikut ini:

1. Peneliti melakukan analisis MGCFA pada subtes pertama yaitu subtes series.

Subtes series diuji apakah fit dengan data dan dapat memenuhi empat tingkatan dari measurement invariance seperti configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance.

2. Peneliti melakukan analisis MGCFA pada subtes kedua yaitu subtes classification. Subtes classification diuji apakah fit dengan data dan dapat memenuhi empat tingkatan dari measurement invariance seperti configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance.

3. Peneliti melakukan analisis MGCFA pada subtes ketiga yaitu subtes matrice.

Subtes matrice diuji apakah fit dengan data dan memenuhi empat tingkatan dari measurement invariance seperti configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance.

4. Peneliti melakukan analisis MGCFA pada subtes keempat yaitu subtes topology. Subtes topology diuji apakah fit dengan data dan memenuhi empat tingkatan dari measurement invariance seperti configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance.

Untuk lebih memahami prosedur pada penelitian pada model 1st order ini dapat dilihat melalui tabel yang disajikan seperti berikut ini.

Tabel 3.1

Tabel analisis MGCFA 1st order dan 2nd model order kelompok gender

Model Configural Metric Scalar Error

1st order series V V V V

1st order class V V V V

1st order matrice V V V V

1st order topology V V V V

2nd oder fluid intell V V V V

Tabel 3.1 di atas menunjukan bahwa pada data tes CFIT di kelompok gender terdiri dari empat subtes yang setiap subtes akan diuji apakah memenuhi empat tahap measurement invariance (fit dengan data). Selanjutnya, setelah analisis MGCFA pada tingkat first order dilakukan, peneliti akan menguji measurement invariance pada tingkat second order model, artinya, peneliti menguji model apakah keempat subtes pada tes CFIT (series, classification, matrice, dan topology) berkontribusi secara signifikan dalam mengukur fluid intelligence (fit dengan data). Model akan diuji apakah memenuhi empat tingkatan dari measurement invariance, yaitu configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance.

Sebagai informasi tambahan perlu diketahui bahwa software statistika MPLUS 7.0 memiliki default melakukan MGCFA langsung pada tahap scalar

invariance. Artinya, MPLUS mulai melakukan analisis pada model yang paling ideal kemudian membebaskan konstrain satu per satu jika model tidak fit. Namun, jika model fit, artinya tahapan configural dan metric invariance telah terpenuhi.

Sehingga dapat dilakukan analisis yang lebih tinggi tingkatannya, contohnya error variance invariance. Metode ini seringkali disebut dengan metode step-down (Brown, 2006).

69

Pada bagian ini akan dilakukan uji validitas konstruk menggunakan multiple-group confirmatory factor analysis untuk mengetahui. Uji validitas ini terdiri dari dua tahap, yaitu:

1. Menguji hipotesis tentang model teori yang mengatakan bahwa item pada masing-masing subtes hanya mengukur satu faktor di dua kelompok berbeda.

Pengujian ini dilakukan dengan melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara matriks korelasi yang didapatkan dari teori dengan matriks korelasi yang didapatkan dari data.

2. Menguji hipotesis apakah setiap item memberikan informasi yang sama di kelompok yang berbeda. Dalam hal ini apakah indeks koefisien muatan faktor, thresholds dan error variance pada setiap item memiliki nilai yang sama di dua kelompok berbeda.

4.1 Multiple-group Confirmatory Factor Analysis Tingkat Subtes

Dalam dokumen FACTOR ANALYSIS (Halaman 69-87)