BAB 2 KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 13-52
2.3 Teori – Teori Pengukuran
2.3.3 Structural equation modeling (confirmatory factor analysis) . 41
Jika dalam tahap pengembangan tes ada item yang menunjukan perilaku seperti gambar 2.4 dan gambar 2.5, maka item-item seperti itu harus di drop dan dikeluarkan dari tes. Dan jika dalam tes yang sudah baku, ditemukan perilaku item seperti gambar 2.4 dan gambar 2.5, maka item-item tersebut tidak boleh ikut diskoring.
covariance structures, path analysis, atau confirmatory factor analysis. Sebagai informasi tambahan, dua nama terakhir sebenarnya merupakan kasus khusus (special case) dari SEM.
SEM terbagi menjadi dua bagian, yaitu: model pengukuran (measurement model) dan model struktural (structural model). Dalam hal ini CFA adalah model yang termasuk dalam model pengukuran. Baik CFA dan SEM adalah sebuah model regressi multivariat (multivariate regression model) yang menggambarkan hubungan kausal antara seperangkat variabel manifes dan seperangkat variabel laten yang kontinum. Variabel manifes sering disebut dengan indikator faktor (factor indicator) dan variabel laten yang kontinum disebut juga dengan faktor (Pedhazur, 1997; Muthen & Muthen, 2012).
CFA sering digunakan ketika variabel yang akan diteliti tidak bisa diukur dengan baik secara langsung (indirectly observable). Misalnya, ketika ada seperangkat item yang diteorikan peneliti untuk mengukur sebuah konstruk (contohnya, inteligensi). Variabel laten atau faktor dapat pula ditafsirkan sebagai konstruk, trait, atau “true” variables yang mendasari item-item yang diukur dan menyebabkan saling berkorelasinya item-item tersebut (Hesketh, Skrondal &
Pickles, 2004).
Menurut Brown (2006) CFA telah menjadi prosedur statistika yang memiliki berbagai macam kegunaan dalam berbagai konteks dan pertanyaan penelitian. Berikut ini adalah kegunaan dari CFA:
1. Alat evaluasi psikometrika untuk pengembangan alat tes.
2. Alat validasi konstruk pada ilmu sosial.
3. Alat untuk melihat pengaruh langsung dan tidak langsung.
4. Alat untuk menguji measurement invariance, artinya apakah suatu teori/model/alat ukur tetap berlaku sama baiknya ketika ditempuh oleh kelompok berbeda (ras, jenis kelamin, agama, suku).
Bollen (1989) menyatakan untuk melakukan analisis menggunakan CFA peneliti harus menetapkan model teori yang spesifik terlebih dahulu (model specification). Seperti menetapkan banyaknya item, menetapkan jumlah faktor, dan memasangkan setiap item dengan faktor yang diteorikan oleh peneliti. Setelah model dibuat, model tersebut diuji dengan data yang didapat oleh peneliti dari observasi lapangan. Gambar 2.6 berikut merupakan ilustrasi dari sebuah model teori dimana terdapat 5 item yang diteorikan mengukur satu faktor (model unidimensional).
Gambar 2.6 Model teori 1 faktor dengan 5 item.
Setelah peneliti memiliki model yang spesifik, maka model teori tersebut diuji dengan data yang didapatkan dari observasi lapangan. Secara matematis dapat
diekspresikan dalam persamaan yang disajikan dapat melalui gambar 2.7 berikut ini:
Gambar 2.7 Persamaan dasar confirmatory factor analysis Keterangan:
∑ =
Matriks korelasi yang dihasilkan dari teori/modelΛ =
Matriks lambda (koefisien muatan faktor)Φ =
Matriks korelasi antar faktorΛ’ =
Matriks lambda yang di transposeθ
=
Matriks kesalahan pengukuran/error/residualMenurut Umar (2015) berdasarkan persamaan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut ini, yaitu:
1. Dengan data yang dimiliki, peneliti mulai berteori dengan cara mengestimasi matriks korelasi antar item jika memang model unidimensional/hanya mengukur satu hal, dalam hal ini faktor. Matriks korelasi ini disebut sigma (Σ), kemudian dibandingkan dengan matriks yang diperoleh dari data observasi lapangan yang disebut matriks S. Jika teori yang dibuat peneliti sebelumnya tersebut benar (unidimensional/hanya mengukur satu faktor) maka tentu tidak ada perbedaan antara matriks Σ dengan matriks S, atau secara matematis dapat juga diekspresikan dengan Σ - S = 0.
2. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi-square test. Jika nilai chi-chi-square tidak signifikan (p > 0,05), maka hipotesis
∑= Λ.Φ.Λ’ + θ
nihil yang menyatakan: “tidak ada perbedaan antara matriks S dan Σ” tidak ditolak. Artinya teori peneliti yang menyatakan bahwa seluruh item pada tes semuanya mengukur konstruk yang sama, dapat diterima kebenarannya (didukung data). Sebaliknya, jika nilai Chi-square yang diperoleh signifikan (p < 0,05), maka hipotesis nihil Σ - S = 0 ditolak. Artinya teori peneliti tersebut tidak didukung data (ditolak).
3. Jika teori diterima (model fit), langkah selanjutnya adalah menguji tentang signifikan tidaknya masing-masing item dalam mengukur apa yang hendak diukur. Item yang baik (valid) harus memiliki koefisien muatan faktor yang bermuatan positif. Jika didapat koefisien muatan faktor bermuatan negatif, item harus langsung di drop. Jika item memiliki koefisien muatan faktor positif, item harus diuji signifikan atau tidaknya dengan menggunakan t-test.
Jika nilai t signifikan (t > 1,96), berarti item yang dianalisis signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur (valid). Dengan cara ini, dapat diketahui item mana yang valid dan tidak valid dalam konteks validitas konstruk.
Dengan kata lain, sebenarnya confirmatory factor analysis adalah pengujian hipotesis nihil (H0): Σ - S = 0. Ini berarti, peneliti berkeinginan tidak ada perbedaan antara matriks korelasi yang didapatkan oleh teori dengan matriks korelasi yang didapatkan dari data empiris. Atau peneliti ingin tidak ada perbedaan antara teori yang diajukan sebelumnya dengan data yang didapat dari observasi lapangan (kenyataan).
Dalam situasi khusus tertentu, contohnya ketika indikator faktor (item) pada CFA berbentuk kategorik, misalnya dikotomi (benar-salah), sebenarnya CFA
dapat juga merujuk pada item response theory. Hanya saja di dalam CFA peneliti mampu menguji asumsi unidimensionalitas sebuah model secara empiris, berbeda dalam IRT yang asumsi unidimensionalitasnya hanya sebatas asumsi (Muthen &
Muthen, 2012).
2.4 Konsep Measurement Invariance
Testing measurement invariance adalah prosedur ketika peneliti menguji asumsi apakah suatu alat ukur dapat tetap valid dan mengukur konstruk yang sama di kelompok yang berbeda. Lebih khusus lagi apakah indeks psikometri pada item (lambda, intercept, dan residual) tetap memiliki nilai yang sama meski item ditempuh oleh individu yang berasal dari kelompok yang berbeda. Kelompok berbeda yang dimaksud dapat berarti kelompok budaya (etnis, suku, gender, agama, tingkat pendidikan dan variabel demografi lainnya), waktu pengukuran yang berbeda (Survey TIMS 2003 dan Survey TIMS 2007), metode administrasi tes yang berbeda (tes berbasis administrasi komputer vs tes berbasis pensil dan kertas). Dengan kata lain menguji measurement invariance dapat berfungsi pula untuk mendeteksi bias pada suatu alat ukur (Bollen, 1989; Millsap, 2011; Kline, 2011).
Measurement invariance dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu configural invariance, metric invariance (lambda invariance), scalar invariance (intercept invariance) dan error variance invariance. Karena sangat banyak istilah yang digunakan dalam konteks measurement invariance, maka peneliti akan memaparkan tahapan dalam measurement invariance sebagai hirarki berikut
ini (Byrne, Shavelson & Muthen, 1989; Vandenberg & Lance, 2000; Brown, 2006):
1. Configural Invariance (Pattern Invariance)
Configural invariance sering pula disebut pattern invariance atau equal form.
Configural invariance adalah menguji apakah pola faktor dan item pada model alat ukur di suatu kelompok dapat berpola sama di kelompok yang berbeda. Configural invariance adalah standar minimum yang harus dicapai sebuah alat ukur agar dapat ditafsirkan di kelompok yang berbeda.
2. Metric Invariance (Lambda Invariance)
Setelah alat ukur terbukti memenuhi configural invariance, tahap selanjutnya adalah menguji tahap metric invariance atau sering disebut lambda invariance atau equal factor loading. Metric invariance artinya menguji apakah nilai koefisien lambda (daya pembeda) pada model pengukuran memiliki nilai yang sama di kelompok berbeda. Jika suatu alat ukur memenuhi tahapan metric invariance, maka alat ukur tersebut dapat dikatakan weak measurement invariance.
3. Scalar Invariance (Intercepts Invariance)
Jika sebuah alat ukur sudah terbukti configural dan metric invariance, maka tahap selanjutnya adalah menguji tahapan scalar invariance atau equal intercepts. Scalar invariance artinya menguji apakah indeks intercepts pada item tes (tingkat kesukaran/T) memiliki nilai yang sama di kelompok berbeda. Jika suatu alat ukur dapat memenuhi sampai pada tahap scalar
invariance, maka alat ukur tersebut dapat dikatakan strong measurement invariance.
4. Error Variance Invariance (Residual Invariance)
Tahapan terakhir dari measurement invariance adalah menguji error variance invariance. Menguji error variance invariance artinya setelah seluruh tahapan sebelumnya tercapai (configural invariance, metric invariance, scalar invariance), peneliti menguji apakah indeks varian error (unique variance) pada setiap item tes memiliki nilai yang sama di kelompok berbeda.
Perlu diketahui bahwa tahapan terakhir ini jarang sekali dapat terjadi dan sulit sekali dicapai. Apabila ada suatu alat ukur dapat mencapai dan memenuhi tahap error variance invariance, maka artinya alat ukur tersebut sangat baik dan ideal. Istilah lain untuk menyebut situasi tersebut adalah strict measurement invariance. Namun, sulitnya mendapatkan model yang strict measurement invariance menjadikan tahapan ini menjadi opsional, dan tidak menjadi prasyarat mutlak ke tahapan analisis selanjutnya.
Peneliti dapat pula menguji tahapan lebih lanjut dari sebuah alat ukur, yaitu tahapan yang disebut structural invariance. Tahapan structural invariance ini terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu sebagai berikut:
1. Factor Variance and Covariance Invariance
Jika sebuah model pengukuran terdiri lebih dari satu faktor (motivasi internal dan motivasi eksternal) dan model tersebut sudah terbukti memenuhi configural dan metric invariance, maka tahap selanjutnya adalah menguji factor variance and covariance invariance. Artinya apakah varian dan
kovarian dari faktor model memiliki nilai yang sama di kelompok yang berbeda. Melakukan uji factor and covariance invariance ini menjadi relevan dilakukan ketika terdapat lebih dari satu faktor di dalam model yang akan diuji (multifactor).
2. Latent Mean Invariance
Jika sebuah model sudah terbukti teruji configural, metric, dan scalar invariance, maka tahap selanjutnya adalah menguji latent mean invariance.
Artinya apakah nilai indeks mean faktor bernilai sama di kelompok berbeda.
Perlu diingat bahwa analisis terhadap latent mean akan bermakna hanya jika alat ukur sudah terbukti memenuhi sampai tahapan strong measurement invariance (equal intercept).