• Tidak ada hasil yang ditemukan

FACTOR ANALYSIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "FACTOR ANALYSIS "

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

FACTOR ANALYSIS

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Disusun oleh Bobby Suwandi NIM : 1110070000077

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1436/2015

(2)
(3)
(4)
(5)

v

pengorbanan adalah dengan meninggalkan hal-hal yang menyenangkan.

–Jahja Umar, Ph.D

It would be very healthy if more researchers abandon thinking of and using terms such as cause and effect.

–Dr. Bengt O. Muthén

When you base your expectations only on what you see, you blind yourself to the possibilities of a new reality.

-Zaheer

(6)

vi C) Bobby Suwandi

D) Uji measurement invariance pada Culture Fair Intelligence Test (CFIT) menggunakan pendekatan multiple-group confirmatory factor analysis.

E) xviii + 156 pages

F) Alat tes psikologi sering digunakan dalam berbagai aspek kehidupan manusia untuk membuat perbandingan, penilaian, dan penelitian tentang individu. Kemudian, tes psikologi sering juga digunakan untuk pengambilan keputusan tentang individu yang akan mempengaruhi kehidupan individu yang menempuhnya. Berdasarkan hal tersebut penting sekali menguji asumsi apakah sebuah alat ukur psikologi dapat mengukur dengan adil di seluruh kelompok budaya sehingga hasil pengukuran dapat bermakna jika ditafsirkan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah alat tes intelijensi CFIT dapat berlaku adil dan mengukur hal yang sama di kelompok jenis kelamin. Alat tes yang dapat ditafsirkan secara sama di seluruh kelompok disebut dengan istilah measurement invariance/measurement equivalence.

Dengan kata lain, menguji measurement invariance pada sebuah alat tes dapat berfungsi untuk mendeteksi apakah sebuah alat ukur mengandung bias pengukuran.

Pengujian measurement invariance dalam penelitian ini menggunakan pendekatan structural equation modeling atau lebih spesifik disebut dengan multiple-group confirmatory factor analysis. Data yang digunakan adalah data hasil tes CFIT sebanyak 873 responden (wanita=501 pria=372). Analisis terbagi menjadi dua tahap, yaitu pada tingkat subtes dan tingkat tes.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tes CFIT terbukti secara empiris memenuhi situasi measurement invariance, baik pada tingkat subtes dan tingkat tes di kelompok jenis kelamin. Dengan catatan, item tes CFIT yang semula berjumlah 50 item berkurang menjadi hanya 29 item di akhir analisis. Hal ini dikarenakan ada sebanyak 21 item yang memiliki koefisien muatan faktor negatif dan tidak signifikan sehingga harus di drop. Dengan demikian, 29 item yang tersisa pada tes CFIT terbukti secara empiris mengukur konstruk yang sama di kelompok perempuan dan laki- laki. Dengan kata lain, tes CFIT tidak mengandung bias pengukuran.

G) Referensi: 29 buku + 32 jurnal + 3 thesis

(7)

vii C) Bobby Suwandi

D) Testing measurement invariance of Culture Fair Intelligence Test (CFIT) using multiple-group confirmatory factor analysis framework.

E) xiii + 157 pages + 62 attachment

F) Psychological test often used for comparing, assessing, and investigating about individual differences. Then, psychological test often used for decision making about people that would affect people’s life directly. According to that facts, it’s really critical issue to testing assumption that psychological instrument measure the same psychological construct in all group, so that the result of measurement can be meaningfully interpreted.

The aim of this investigation is testing assumption whether the CFIT measure the same psychological construct in sex group (female vs male). If this assumption satisfied, the instrument can be called measurement invariance / measurement equivalence. In other words, testing measurement invariance in psychological test useful for detecting measurement bias.

In this research, researcher using structural equation modeling framework to investigating measurement invariance. Specifically, researcher using multiple- group confirmatory factor analysis framework for data analysis. Sample size in this investigation is 873 participants (female=501 male=372). The analysis divided into two phases, the first is in each subtest phase and the second is in the test phase.

Result indicate that the CFIT proven empirically measurement invariance in each subtest phase and in the test phase. Noted, the CFIT’s items is 50 item before analysis and decrease to be 29 item in the final analysis. This happen because there were 21 item who has negative coefficient factor loading and must be droped. Therefore, the remain 29 item left in the CFIT proven empirically measure the same construct in sex group or in other words the CFIT has no measurement bias.

G) References: 29 book + 32 journal + 3 thesis

(8)

viii

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE TEST (CFIT) MENGGUNAKAN PENDEKATAN MULTIPLE-GROUP CONFIRMATORY FACTOR ANALYSIS”.

Skripsi ini dapat selesai tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, baik dalam bentuk bantuan pikiran, tenaga, dan waktu. Oleh karenanya dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada nama-nama berikut ini:

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Wakil Dekan 1 bidang akademik Dr. Abdurahman Saleh, M.Si. Wakil Dekan 2 bidang kemahasiswaan Dra. Diana Mutiah, M.Si.

Wakil Dekan 3 bidang keuangan Ikhwan Luthfi, M.Si.

2. Jahja Umar, Ph.D yang sudah menjadi lebih dari sekedar dosen pembimbing bagi penulis, tetapi juga inspirator, motivator, dan role model. Lima tahun belajar bersama beliau membuat penulis memiliki minat mempelajari tentang konsep statistika seperti: Confirmatory Factor Analysis dan Item Response Theory. Merupakan sebuah keberuntungan yang akan selalu penulis syukuri pernah dibimbing ahli psikometri dan Structural Equation Modeling di Indonesia seperti beliau. Hormat saya.

(9)

ix

Departemen Agama RI, beliau masih menyempatkan memberikan nasihat, motivasi, wawasan, saran, kritik dan diskusi yang sangat berarti bagi penulis.

4. Baidhowi, M.Si selaku dosen pembimbing 2 penulis, terima kasih atas keramahan, diskusi, saran dan masukannya. Dengan sabarnya memberikan penjelasan pada penulis dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama saat analisis data dan teknis pengolahan data.

5. Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si selaku ketua Pusat Layanan Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kebaikan dan kesediaaannya memberikan data untuk penulis olah menjadi data skripsi. Dan ibu Neneng Tati Sumiati, M.Psi selaku kepala bagian riset PLP yang dengan keramahannya menolong penulis memberikan saran serta kesediaannya memberikan data yang diperlukan bagi penulis.

6. Ibu Deasy Wati, Bapak Suwandi, nenek penulis Hj. Ati Suryati, kakak penulis Devi Wati, adik penulis Bella Suwandi. Skripsi ini khusus penulis persembahkan untuk mereka.

7. Akhmad Baidun, M.Si selaku pembimbing akademik penulis yang selama 5 tahun telah memberikan saran yang sangat bermanfaat bagi perkuliahan penulis.

8. Ibu Nia Tresniasari, M.Si dosen statistika pertama yang mengajarkan arti bekerja keras pada penulis. Serta Puti Febrayosi, M.Si dan Adiyo R., M.Si

(10)

x

persaudaraannya selama 5 tahun ini!), Muhammad Dwirifqi Kharisma Putra, Nashwa Oelfy, Muhammad Hilmi Oksadela, Amirra Nur’Indah Triwardhani, Muhammad Haris Abidin, Didik Eko Wahyudi, Danar Dwidya, Estu Putri, Katty Maulida, Retno Handayani, Gian Sugianto, Lailatul Ikromah, Ajeng Fitri Adani, Anita Yuniarti, Azkya Milfa Laensadi, Aditya Pratama, Rian Badai Lasvalmas, Meidya Farahdiba, dan Mayang Sariningbumi. Terima kasih untuk kegilaan dan kebahagiaannya.

10. Majelis Sabuk Hitam Nekapora. Persembahan untuk pelatih, guru sekaligus orangtua penulis Ir. Dedi Suharto. Saudara-saudara NKP. Muhammad Qoribudin, Rima Rahayu, Bingar Annisya, Jaya Dixon Saragi, Rizki Rukyanti, Ari Septianingsih, Andi Mulya, Sani Nuraida, Neni Apriliani, Ajri Fathurahman, Runie Besty Teta Putri, Abdurrahim Hidayat, Renda Bhimantara, Yuniar Ananda Ningrum, Evan Permana, Bulan Suci, Rhaudya Maurizka, Selviani, Anggi Suji, Fauzan Alwan, Agung Prabowo, Salma Pathul.

11. Kelas Psikologi B 2010: Sundus, Aini, Ainun, Putri, Sabrina, Herwinda, Vini, Kurrota, Annisya Ayub, Isnia, Tyyas, Fadhila, Syifa, Niken, Shintia, Istiqomah, Nisaul, Gina, Khoirunnisa, Deri, dan Yulian. Terima kasih atas persaudaraan dan kebahagiaan selama 5 tahun ini.

(11)

xi

penulis ingin mengatakan suatu kehormatan bisa masuk sepeminatan diantara orang-orang hebat seperti kalian!

13. Psikologi 2010: Amelia Paramitha, Intan, Azka, Dick Hurry, Denny, Nurani, Soleh, Mae, Lily, Palupi, Izhar, Jamal, Ey, Leo, Udin, Azhari, Echa, Turfa, Alfi, Dwi, Reza, Nadia, Ais, Fidia, Afif, Fadli, Muja, Ridho, Copi, Dian, Laras, Irvan, Faiz. Kakak dan adik-adik kelas selama di UIN, Restu Nurfadhilah, Fathannisa Isnani, Ichsan, Jasran, Intan Prawesti, Fitria, Siescha, Jojo, Mega, Rahmi Kamilah, Faisal, Imeh, Aqil, Ulfa Hanani, Firas, Nina, Hendra, Damas, Ulfa.

14. Poetri Primagita, terima kasih atas semua dukungan dan motivasinya. Skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuannya.

Semoga segala kebaikan pihak-pihak diatas dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda oleh Allah SWT.

(12)

xii

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-12 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

1.2.1 Pembatasan masalah ... 10

1.2.2 Perumusan masalah ... 10

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.3.1 Tujuan penelitian ... 11

1.3.2 Manfaat penelitian ... 12

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ... 13-52 2.1 Inteligensi ... 13

2.1.1 Pengertian inteligensi ... 13

2.1.2 Teori – teori inteligensi ... 16

2.2 Konstruksi Tes ... 26

2.2.1 Validitas ... 26

2.2.2 Reliabilitas ... 27

2.3 Teori – Teori Pengukuran ... 30

2.3.1 Classical test theory (Teori tes klasik) ... 30

2.3.2 Item response theory (Rasch model) ... 34

2.3.3 Structural equation modeling (confirmatory factor analysis) . 41 2.4 Konsep Measurement Invariance ... 46

2.5 Gambaran Culture Fair Intelligence Test (CFIT) ... 49

2.6 Kerangka Berpikir ... 50

2.7 Hipotesis Penelitian ... 51

(13)

xiii

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 69-143

4.1 Multiple-group Confirmatory Factor Analysis Tingkat Subtes ... 69

4.1.1 MGCFA subtes series pada kelompok gender ... 69

4.1.2 MGCFA subtes classification pada kelompok gender ... 88

4.1.3 MGCFA Subtes Matrice pada kelompok gender ... 104

4.1.4 MGCFA subtes topology pada kelompok gender ... 118

4.2 Multi-group Confirmatory Factor Analysis Tingkat Second Order .. 130

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 144-155 5.1 Kesimpulan ... 144

5.2 Diskusi ... 148

5.3 Saran Penelitian ... 153

5.3.1 Saran praktis ... 153

5.3.2 Saran teoritis ... 155

DAFTAR PUSTAKA ... 157 LAMPIRAN

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategorisasi indeks item difficulty ... 31 Tabel 2.2 Kategorisasi indeks item discrimination ... 33 Tabel 3.1 Tabel analisis MGCFA 1st order dan 2nd model order kelompok

gender ... 67 Tabel 4.1 Tabel koefisien muatan faktor subtes series ... 72 Tabel 4.2 Tabel koefisien muatan faktor subtes series di kelompok perempuan

equal lambda ... 75 Tabel 4.3 Tabel koefisien muatan faktor subtes series di kelompok laki-laki

equal lambda ... 77 Tabel 4.4 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar

invariance (unstandardized) ... 79 Tabel 4.5 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar

invariance (standardized) ... 80 Tabel 4.6 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar

invariance equal lambda (unstandardized) ... 83 Tabel 4.7 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar

invariance equal lambda (Standardized) ... 84 Tabel 4.8 Coefficient, threshold dan error subtes series error variance

invariance ... 87 Tabel 4.9 Koefisien muatan faktor, threshold dan residual variance subtes

series error variance invariance (standardized) ... 87 Tabel 4.10 Koefisien muatan faktor subtes classification ... 91 Tabel 4.11 Tabel koefisien muatan faktor subtes classification di kelompok

perempuan equal lambda ... 93 Tabel 4.12 Tabel koefisien muatan faktor subtes classification di kelompok laki- laki equal lambda ... 95 Tabel 4.13 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar

invariance (unstandardized) ... 97 Tabel 4.14 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar

invariance (Standardized) ... 98 Tabel 4.15 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar

invariance equal lambda (Unstandardized) ... 100 Tabel 4.16 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar

invariance equal lambda (standardized) ... 101 Tabel 4.17 Koefisien muatan faktor, threshold, error variance subtes

classification error variance invariance (Unstandardized) ... 102

(15)

xv

Tabel 4.18 Koefisien muatan faktor, threshold, error variance subtes

classification error variance invariance (Standardized) ... 103

Tabel 4.19 Koefisien muatan faktor subtes matrice ... 107

Tabel 4.20 Tabel koefisien muatan faktor subtes matrice di kelompok perempuan equal lambda ... 109

Tabel 4.21 Tabel koefisien muatan faktor subtes matrice di kelompok perempuan equal lambda ... 110

Tabel 4.22 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar invariance (unstandardized) ... 112

Tabel 4.23 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar invariance (standardized) ... 113

Tabel 4.24 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar invariance dan equal lambda (unstandardized) ... 114

Tabel 4.25 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar invariance dan equal lambda (standardized) ... 115

Tabel 4.26 Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes matrice error variance invariance (unstandardized) ... 116

Tabel 4.27 Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes matrice error variance invariance (standardized) ... 117

Tabel 4.28 Tabel muatan faktor subtes topology ... 120

Tabel 4.29 Tabel muatan faktor subtes topology perempuan ... 121

Tabel 4.30 Tabel muatan faktor subtes topology di kelompok laki-laki ... 123

Tabel 4.31 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar invariance (unstandardized) ... 124

Tabel 4.32 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar invariance (standardized) ... 125

Tabel 4.33 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar invariance equal lambda (unstandardized) ... 126

Tabel 4.34 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar invariance (standardized) ... 127

Tabel 4.35 Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes topology error variance invariance (unstandardized) ... 128

Tabel 4.36 Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes topology error variance invariance (standardized) ... 129

Tabel 4.37 Tabel koefisien muatan faktor tes fluid intelligence equal lambda 132 Tabel 4.38 Tabel koefisien muatan faktor tes fluid intelligence female equal lambda ... 134

Tabel 4.39 Tabel koefisien muatan faktor tes fluid intelligence male equal lambda ... 136

Tabel 4.40 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar invariance (unstandardized) ... 138

Tabel 4.41 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar invariance (standardized) ... 139

(16)

xvi

Tabel 4.42 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar invariance (unstandardized) ... 140 Tabel 4.43 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar

invariance (standardized) ... 141 Tabel 4.44 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence error

variance invariance (unstandardized) ... 142 Tabel 4.45 Koefisien muatan faktor dan threshold tes fluid intelligence error

variance invariance (standardized) ... 143 Tabel 5.1 Tabel model fit subtes ... 145 Tabel 5.2 Tabel model fit Second order model ... 146

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Persamaan ICC pada rasch model ... 37

Gambar 2.2 Ilustrasi item characteristic curve ... 38

Gambar 2.3 Item characteristic curve pada item yang baik (using M-Plus) ... 39

Gambar 2.4 Item characteristic curve pada item kurang baik ... 40

Gambar 2.5 Item characteristic curve pada item negatif (using M-Plus) ... 40

Gambar 2.6 Model teori 1 faktor dengan 5 item ... 43

Gambar 2.7 Persamaan dasar confirmatory factor analysis ... 44

Gambar 2.8 Kerangka berpikir ... 51

Gambar 3.1 Jumlah subtes dan item tes CFIT ... 55

Gambar 4.1 Path diagram subtes series (RMSEA=0.055, 90 % C.I= 0.047 -0.062) ... 72

Gambar 4.2 Path diagram subtes series di kelompok perempuan equal lambda (RMSEA = 0.042 dan 90% C.I = 0.029 – 0.059) ... 74

Gambar 4.3 Path diagram subtes series di kelompok laki-laki equal lambda (RMSEA = 0.054 dan 90% C.I = 0.040 – 0.068) ... 77

Gambar 4.4 Path diagram subtes series scalar invariance (RMSEA=0.028) ... 79

Gambar 4.5 Path diagram subtes series scalar invariance equal lambda (RMSEA=0.045) ... 82

Gambar 4.6 Path diagram subtes series error variance invariance (RMSEA = 0.045) ... 85

Gambar 4.7 Path diagram subtes classification fit (RMSEA = 0.058 dan 90% C.I = 0.047 – 0.070) ... 90

Gambar 4.8 Path diagram subtes classification kelompok perempuan (RMSEA = 0.053 dan 90% C.I = 0.043 – 0.076) ... 92

Gambar 4.9 Path diagram subtes classification kelompok laki-laki (RMSEA = 0.058 dan 90% C.I = 0.038 – 0.078) ... 94

Gambar 4.10 Path diagram subtes classification scalar invariance (RMSEA = 0.042) ... 96

Gambar 4.11 Path diagram subtes classification scalar invariance equal lambda (RMSEA = 0.055 dan 90% C.I = 0.042 – 0.068) ... 99

Gambar 4.12 Path diagram subtes classification error variance invariance (RMSEA = 0.058 dan 90% C.I = 0.046 – 0.070) ... 102

Gambar 4.13 Path diagram subtes matrice fit (RMSEA = 0.027) ... 106

Gambar 4.14 Path diagram subtes matrice di kelompok perempuan (p-value = 0.0513 dan RMSEA = 0.042) ... 108

Gambar 4.15 Path diagram subtes matrice di kelompok laki-laki (P-value = 0.0729 dan RMSEA = 0.036) ... 110

(18)

xviii

Gambar 4.16 Path diagram subtes matrice scalar invariance (p-value = 0.1216 dan RMSEA = 0.032) ... 112 Gambar 4.17 Path diagram subtes matrice scalar invariance dan equal lambda

(RMSEA = 0.045) ... 114 Gambar 4.18 Path diagram dari subtes matrice error variance invariance

(RMSEA = 0.045 dan 90% C.I = 0.023 – 0.066) ... 116 Gambar 4.19 Path diagram subtes topology fit ... 119 Gambar 4.20 Path diagram subtes topology di kelompok perempuan (RMSEA =

0.042) ... 121 Gambar 4.21 Path diagram dari subtes topology di kelompok laki-laki (P-value =

0.0813) ... 122 Gambar 4.22 Path diagram dari subtes topology scalar invariance (RMSEA =

0.046) ... 124 Gambar 4.23 Path diagram subtes topology scalar invariance equal lambda

(RMSEA = 0.056 dan 90% C.I = 0.038 – 0.073) ... 126 Gambar 4.24 Path diagram dari subtes topology error variance invariance

(RMSEA = 0.051 dan 90% C.I = 0.035 – 0.068) ... 129 Gambar 4.25 Path diagram fluid intelligence equal lambda (RMSEA = 0.035) 131 Gambar 4.26 4.26 Path diagram tes fluid intelligence female equal lambda

(RMSEA = 0.032) ... 133 Gambar 4.27 Path diagram tes fluid intelligence kelompok laki – laki equal

lambda (RMSEA = 0.028) ... 135 Gambar 4.28 Path diagram fluid intelligence scalar invariance (RMSEA =

0.024) ... 138 Gambar 4.29 Path diagram tes fluid intelligence scalar invariance dan equal

lambda (RMSEA = 0.030) ... 140 Gambar 4.30 Path diagram fluid intelligence error variance invariance (RMSEA

= 0.030) ... 142

(19)

1 1.1 Latar Belakang

Perkembangan ilmu psikologi tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya ilmu pengukuran dan alat tes psikologi. Hal ini relevan karena ilmu pengukuran dan alat tes psikologi yang membedakan psikologi tradisional sebagai cabang ilmu filsafat dengan psikologi sebagai ilmu pasti tentang perilaku. Tes psikologis merupakan sebuah alat dalam ilmu psikologi yang hakikatnya bertujuan untuk membuat ukuran baku tentang sample of behavior (Urbina, 2014). Dalam perkembangannya, tes psikologis telah menjadi inti dari bidang psikologi terapan pada saat ini. Meskipun aplikasi dan panduan penggunaan tes terus berubah, perkembangan tes psikologis relatif tetap stabil (Embretson & Reise, 2000).

Tes psikologis telah banyak digunakan pada berbagai setting kehidupan manusia, seperti sekolah dan perguruan tinggi, bisnis dan industri, klinik dan pusat konseling, organisasi pemerintahan dan militer, serta untuk kepentingan penelitian ilmu psikologi itu sendiri. Secara umum, fungsi dari tes psikologis adalah untuk mengukur perbedaan antara individu dan mengukur perbedaan reaksi individu yang sama terhadap situasi yang berbeda. Tujuan utama dari tes psikologis adalah untuk menilai perilaku, kemampuan mental, dan karakteristik pribadi lainnya dalam rangka membantu pembuatan penilaian, prediksi, serta keputusan tentang individu (Anastasi & Urbina, 1997).

(20)

Menurut Murphy dan Davidshofer (1994) tes digunakan sebagai landasan acuan untuk membuat keputusan tentang individu. Sebagai contoh, perguruan tinggi menggunakan hasil tes untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak seorang pelamar. Kemudian, psikolog menggunakan berbagai tes untuk memutuskan tindakan yang tepat untuk masing-masing kliennya. Sedangkan di dunia militer tes psikologis digunakan sebagai alat bantu dalam menentukan penempatan anggota militer. Tes psikologis juga digunakan dalam setting industri dan organisasi seperti dalam pemilihan anggota tim, sertifikasi profesional, dan lisensi.

Menurut Aiken (1997) tes psikologis dapat digunakan untuk berbagai keperluan, yaitu sebagai berikut ini:

1. Seleksi calon karyawan dan calon peserta pendidikan.

2. Klasifikasi dan penempatan karyawan maupun untuk pendidikan.

3. Konsultasi dan panduan pendidikan serta penjurusan.

4. Mempertahankan, memberhentikan, promosi dan rotasi karyawan atau peserta dalam program pendidikan.

5. Diagnosa dan menentukan resep perawatan psikologis maupun fisik di klinik dan rumah sakit .

6. Evaluasi perubahan kognitif, intrapersonal, dan interpersonal sebagai hasil pendidikan, psikoterapi, atau program intervensi perilaku lainnya.

7. Meneliti perubahan perilaku dari waktu ke waktu, dan evaluasi efektivitas program.

(21)

Dengan memahami banyaknya manfaat dari alat tes psikologis, maka dapat dipahami pentingnya melakukan uji validitas pada alat tes tersebut. Uji validitas dilakukan untuk menguji apakah item pada alat tes tersebut mengukur konstruk yang hendak diniatkan untuk diukur. Uji validitas harus dilakukan pada setiap alat ukur karena penting sekali memiliki sebuah alat tes yang memiliki norma, valid, dan terstandarisasi (Anastasi & Urbina , 1997).

Uji validitas pada alat tes psikologis merupakan sebuah prosedur yang wajib dilakukan karena penelitian dalam ilmu psikologi seringkali akan membandingkan karakteristik individu di kelompok yang berbeda. Uji validitas juga bermanfaat untuk memeriksa apakah sebuah item di kelompok tertentu dapat diterjemahkan dan diadministrasikan sama pada kelompok yang berbeda. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan fakta yang ada di lapangan. Ketika peneliti memberikan sebuah tes pada sekelompok individu (misalnya tes inteligensi), seringkali peneliti hanya berasumsi bahwa item pada alat tes mengukur konstruk yang sama di semua kelompok. Padahal merupakan hal yang berbahaya jika asumsi ini diterapkan tanpa diuji secara empiris terlebih dahulu. Konsekuensi paling buruk yang dapat terjadi adalah hasil penelitian menjadi keliru dan tidak bermakna. Berdasarkan hal tersebut penting sekali menguji secara empiris asumsi yang sering diabaikan oleh para peneliti ini (Vandenberg & Lance, 2000;

Borsboom, 2006; Milfont & Fischer, 2010).

Asumsi bahwa item tes mengukur konstruk yang sama di kelompok yang berbeda harus diuji secara empiris karena data yang dikumpulkan penelitian psikologi sering menghasilkan data yang tidak reliabel dikarenakan bias dalam

(22)

pengukuran (misalnya: self-report, skala likert). Lebih khusus, ketika data yang dikumpulkan berasal dari dua kelompok yang berbeda, dan data itu digunakan untuk membandingkan kelompok tersebut (Reise, Widaman & Pugh, 1993; Van de Vijver & Leung, 2000). Peneliti harus menguji apakah tes yang dikembangkannya valid dan berfungsi dengan adil lintas gender (laki-laki dan perempuan), lintas ras (kaukasian dan asia), lintas agama (muslim dan non muslim), dan lintas budaya (budaya melayu dan budaya eropa). Prosedur menguji apakah seluruh item pada tes memang mengukur konstruk yang hendak diukur dan berlaku sama di kelompok berbeda disebut testing measurement invariance (Bollen, 1989; Millsap, 2011; Kline, 2011).

Seiring berkembangnya ilmu psikologi dalam beberapa tahun terakhir, menguji measurement invariance dari alat tes telah menjadi masalah penting pada bidang pengukuran ilmu psikologi (Steenkamp & Baumgartner, 1998; Van de Vijver & Leung, 2000). Menguji measurement invariance pada sebuah alat tes sangat bermanfaat karena peneliti dapat menguji apakah individu dari kelompok yang berbeda, seperti pria dan wanita atau budaya yang berbeda seperti siswa Brazil dan siswa Jerman, dapat memaknai sama maksud dari item pada alat tes.

Lebih khusus, peneliti dapat mengecek apakah indeks psikometri pada item memiliki nilai yang sama di kelompok berbeda (Milfont & Fischer, 2010).

Hal ini didukung oleh Nye dan Drasgow (2011) yang menyatakan bahwa alat tes yang baik harus menghasilkan pengukuran yang ekuivalen di kelompok dan budaya manapun. Kemudian Kankaras dan Moors (2011) menyatakan item pada tes harus ditafsirkan dengan makna yang sama oleh individu dari negara

(23)

manapun, agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam menempuh tes tersebut.

Meskipun secara bahasa item pada alat tes tersebut telah diterjemahkan dengan baik dan sempurna, peneliti harus tetap menguji secara statistik apakah setiap item ditafsirkan dengan makna yang sama oleh masing-masing budaya.

Menurut Van de Vijver (dalam Spielberger, 2002) sebuah tes psikologis perlu diuji apakah diterjemahkan dengan makna yang sama di budaya yang berbeda. Karena tidak ada jaminan sebuah tes atau item yang dikembangkan di budaya tertentu (misalkan budaya eropa) dapat diterjemahkan dan diterapkan di budaya lain tanpa ada masalah. Contohnya, subtes kosakata pada tes kemampuan dapat menjadi lebih mudah atau lebih sulit bagi kelompok budaya tertentu.

Penelitian Van de Vijver (1997) di Belanda yang melibatkan anak-anak imigran asal Turki dan Maroko yang mayoritas beragama Islam dengan anak-anak penduduk asli Belanda yang mayoritas beragama non-islam. Hasilnya ditemukan bahwa kata “daging babi” merupakan kata yang sulit bagi anak dari kelompok imigran. Hal ini terjadi diduga karena memakan dan membicarakan daging babi merupakan hal tabu dalam agama Islam. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa asumsi item pada alat tes mengukur konstruk yang sama di kelompok berbeda harus diuji secara empiris dan tidak boleh hanya sekedar menjadi asumsi (Spielberger, 2002).

Menguji measurement invariance pada alat tes psikologis merupakan hal yang sangat penting karena setiap hasil pengukuran tes psikologis dihitung berdasarkan probabilistic inference. Dengan kata lain, dalam pengukuran ilmu psikologi akan selalu ada peluang untuk mendapatkan hasil yang keliru. Dan hasil

(24)

keliru yang didapatkan dari tes psikologis akan selalu berdampak langsung pada kehidupan seseorang, baik di bidang industri, klinis, sosial dan pendidikan.

Berdasarkan hal tersebut penting sekali mengurangi peluang kesalahan pada alat tes, sehingga setiap orang yang menjalani tes diperlakukan secara adil. Meskipun tidak mungkin menghindari error sepenuhnya, tetap sangat penting mengusahakan dan mengembangkan alat tes yang tidak bias agar tidak merugikan kelompok tertentu (Boorsbom, Romeijn, & Wicherts, 2008).

Pengujian measurement invariance telah sering dilakukan dan terbukti bermanfaat untuk menguji equivalensi dari tes yang digunakan lintas budaya (Wasti et al., 2000; Mungas et al., 2011), lintas ras (Nair, White, & Knight, 2009;

Li et al., 2009; Widaman, Reed, & Farias, 2011), lintas gender (South, Krueger, &

Iacono, 2009; Ogg et al., 2010), lintas bahasa (Newman, Limbers, & Varni, 2010), dan penelitian longitudinal (Willoughby, Wirth, & Blair, 2011). Lebih khusus, prosedur ini telah banyak membantu validasi alat tes psikologis seperti tes inteligensi (Wicherts et al., 2004; Golay & Lecerf, 2011), tes berpikir kreatif (Kuhn & Holling, 2009), skala sikap (Kankaras & Moors, 2011), skala depresi (Rivera-Medina et al., 2010; Gomez, Vance & Gomez, 2011), skala agresi (Nocentini et al., 2011), skala persepsi (Hildebrandt et al., 2010), skala citra tubuh (Maiano et al., 2010), skala perilaku konsumen (Steenkamp & Baumgartner, 1998) dan skala pelecehan seksual (Wasti et al., 2000).

Perkembangan ilmu pengukuran psikologi yang semakin berkembang pesat memungkinkan peneliti menguji secara empiris apakah alat tes yang dimilikinya dapat berlaku sama di semua kelompok budaya. Setidaknya terdapat

(25)

dua metode populer yang sering digunakan untuk menguji measurement invariance pada alat tes psikologis. Pendekatan pertama, berdasarkan metode linier structural equation modeling atau lebih spesifik disebut confirmatory factor analysis. Pendekatan kedua, berdasarkan metode non-linier menggunakan item response theory satu parameter logistik atau Rasch Model (Reise et al., 1993;

Raju, Laffitte, & Byrne, 2002; Meade & Lautenschlager, 2004).

Sebagai contoh, alat tes psikologis yang sering digunakan untuk mengambil keputusan tentang individu adalah tes inteligensi. Tes inteligensi merupakan tes yang sering digunakan pada tahap seleksi awal dalam bidang pendidikan dan industri untuk menerima atau menolak pelamar (Boorsbom et al, 2008). Menurut Kaufman dan Lichtenberger (2006), salah satu keunggulan tes inteligensi dalam dunia pendidikan adalah dapat digunakan untuk memprediksi perilaku di masa mendatang, misalnya prestasi akademik. Kemudian menurut Sternberg (2003), tes inteligensi dapat digunakan untuk mengklasifikasikan siswa ke dalam kategori tertentu dengan tujuan membantu dan membatasi siswa memilih jurusan studinya.

Salah satu tes inteligensi yang sering digunakan oleh psikolog dan lembaga psikologi di Indonesia adalah Culture Fair Intelligence Test (CFIT). Tes CFIT populer digunakan di kalangan praktisi karena proses administrasinya yang relatif tidak memakan waktu, yaitu hanya sekitar 30 menit. Tes inteligensi CFIT dikembangkan pertama kali oleh Raymond B. Cattell pada tahun 1940. Menurut Cattell (1969) inteligensi terbagi menjadi 2 komponen, yaitu fluid dan crystallized intelligence. Fluid intelligence merupakan kecerdasan yang bersifat bawaan

(26)

(hereditas). Sedangkan crystallized intelligence adalah kecerdasan yang sudah dipengaruhi oleh lingkungan, misalnya oleh sekolah.

Tes CFIT telah sering digunakan untuk mengetes tingkat inteligensi individu di seluruh dunia. Namun, sangat terbatas sekali penelitian yang dilakukan untuk menguji validitas measurement invariance pada tes CFIT. Dari sedikit yang dapat ditemukan, penelitian yang dilakukan untuk menguji measurement invariance tes CFIT adalah penelitian yang dilakukan oleh Nenty dan Dinero tahun 1981 di Amerika Serikat. Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah item response theory satu parameter logistik (Nenty & Dinero, 1981).

Nenty dan Dinero (1981) membandingkan data tes CFIT dari 803 siswa Nigeria dengan 600 siswa kulit putih Amerika yang memiliki perbedaan dalam ras, budaya, dan tipe pengajaran di sekolah. Selain kelompok budaya, pada penelitian ini dibandingkan juga kelompok gender, usia, dan tingkatan kelas.

Hasil menunjukkan seluruh item tes inteligensi CFIT fit dengan model di dua budaya berbeda. Penelitian ini menyarankan agar penelitian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode confirmatory factor analysis sebagai metode pembanding. Namun, penelitian ini merupakan penelitian lama sehingga perlu sekali dilakukan penelitian kembali.

Berbeda dengan di Amerika Serikat, meskipun tes CFIT telah sering digunakan psikolog dan lembaga psikologi di Indonesia, peneliti belum pernah menemukan penelitian yang menguji validitas measurement invariance pada tes CFIT. Baik itu menggunakan pendekatan item response theory atau pendekatan confirmatory factor analysis. Padahal berbahaya sekali menggunakan tes yang

(27)

belum divalidasi lintas budaya dan lintas kelompok. Jika sebuah alat tes tidak terbukti memenuhi situasi measurement invariance, maka kesimpulan hasil pengukuran yang didapatkan dari alat tes tersebut akan menjadi sangat ambigu, keliru dan tidak bermakna (Bollen, 1989; Reise et al., 1993; Steenkamp &

Baumgartner, 1998).

Fakta di atas menunjukkan penting sekali bagi psikolog dan lembaga psikologi di Indonesia untuk menguji measurement invariance dari tes CFIT.

Penting sekali menghasilkan skor pengukuran yang dapat dipercaya sehingga pengambilan keputusan terhadap peserta tes akan lebih adil dan tidak merugikan pihak dari kelompok tertentu. Dengan demikian, isu tentang measurement invariance pada alat tes psikologis telah menjadi permasalahan yang penting dalam pengukuran ilmu psikologi di dunia maupun di Indonesia.

Berdasarkan fenomena yang sangat krusial di atas dimana tes CFIT selalu digunakan untuk menentukan keputusan terhadap individu, namun belum pernah ada uji validitas pada tes CFIT di Indonesia. Maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian tentang uji validitas pada tes CFIT. Lebih khusus, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang uji validitas measurement invariance pada tes CFIT menggunakan pendekatan multiple-group confirmatory factor analysis.

(28)

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah

Culture Fair Intelligence Test adalah instrumen inteligensi yang terdiri dari 50 item dan terbagi ke dalam empat subtes, yaitu sebagai berikut ini: subtes series, subtes clasification, subtes matrice, dan subtes topology.

1.2.2 Perumusan masalah

1. Apakah item pada subtes series memenuhi tahapan measurement invariance (configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance)?

2. Apakah item pada subtes classification memenuhi tahapan measurement invariance (configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance)?

3. Apakah item pada subtes matrice memenuhi tahapan measurement invariance (configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance)?

4. Apakah item pada subtes topology memenuhi tahapan measurement invariance (configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance)?

5. Apakah seluruh subtes pada tes inteligensi CFIT memenuhi tahapan measurement invariance (configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance)?

(29)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji validitas konstruk dari alat tes inteligensi CFIT, agar para psikolog dan lembaga psikologi yang menggunakan tes CFIT lebih maksimal dalam menghasilkan skor IQ seseorang, sehingga skor IQ tersebut dapat dijadikan dasar untuk membuat keputusan yang lebih bisa dipercaya.

Penelitian ini bertujuan juga untuk menguji validitas measurement invariance pada tes CFIT. Sehingga, peneliti dapat memeriksa apakah tes CFIT mengukur konstruk yang sama di semua kelompok, dalam hal ini kelompok gender (laki-laki dan perempuan), kelompok ability (IQ di atas rata-rata dan IQ di bawah rata-rata), dan kelompok random (nomor urut ganjil dan nomor urut genap).

1.3.2 Manfaat penelitian

Secara teoritik, manfaat penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur dalam ilmu psikologi, khususnya psikometri. Lebih jauh lagi peneliti berharap penelitian ini dapat mendorong peneliti lain untuk selalu menguji dan mempertanyakan apakah alat ukur yang digunakannya benar-benar dapat dimaknai sama di kelompok yang berbeda. Karena jika alat ukur psikologi yang tidak memenuhi situasi measurement invariance atau malah terjadi bias, maka tafsiran seluruh hasil penelitian atau pengukuran tersebut menjadi tidak bermakna.

Kemudian peneliti berharap penelitian ini menjadi pemicu agar lebih banyak lagi dilakukan penelitian yang mendalam tentang topik measurement invariance pada alat tes dan bias pengkuran di Indonesia.

(30)

Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah tes inteligensi CFIT tetap valid jika diberikan pada kelompok budaya yang berbeda.

Kelompok budaya yang dimaksud pada penelitian ini adalah kelompok gender, kelompok ability, dan kelompok random. Hal ini dilakukan agar lembaga psikologi dapat mengetahui apakah item dari tes inteligensi CFIT ada yang menguntungkan pada salah satu kelompok tertentu. Kemudian hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak PLP dan pengguna tes CFIT, karena dapat menghasilkan skor tes yang lebih valid dan lebih dapat dipercaya. Sehingga dapat digunakan sebagai bahan rujukan pengambilan keputusan tentang peserta tes yang lebih baik.

(31)

13 2.1 Inteligensi

2.1.1 Pengertian inteligensi

Flanagan, Genshaft, dan Harrison (1997) (dalam Marnat, 2006) menyatakan bahwa sejarah pengetesan inteligensi memiliki sejarah kontroversi dan kesalahpahaman yang cukup panjang. Hal ini timbul karena pandangan moral masyarakat yang menentang pelabelan individu, bias budaya, dan tuduhan akan penyalahgunaan dari skor tes inteligensi itu sendiri. Meski kritik ini sangat masuk akal dan dapat dijadikan alasan kuat untuk menentang pengetesan inteligensi, namun tetap tidak dapat dipungkiri pula pengetesan inteligensi memiliki banyak manfaat dan kegunaan.

Salah satu manfaat utama mengetahui tingkat inteligensi dari individu adalah karena ketepatannya untuk memprediksi perilaku di masa depan. Banyak sekali penelitian yang dilakukan hingga saat ini mendukung bahwa skor inteligensi mampu memprediksi berbagai variabel psikologis. Contohnya, dalam ruang lingkup dunia pendidikan skor IQ merupakan prediktor yang baik untuk memprediksi prestasi akademik, dan dalam dunia industri memprediksi kinerja karyawan (Marnat, 2006).

Inteligensi adalah sebuah konsep abstrak yang didefinisikan berbeda-beda bergantung nilai-nilai sosial pada sebuah masyarakat dan peradaban. Bahkan

(32)

sebenarnya hingga saat ini belum ada definisi inteligensi yang disepakati bersama oleh para ilmuan. Namun, definisi modern inteligensi merujuk pada berbagai macam kemampuan mental, termasuk kemampuan bernalar, merencanakan, menyelesaikan masalah, berpikir abstrak, memahami ide-ide rumit, belajar dengan cepat tentang hal baru, dan belajar dari pengalaman (Strickland, 2001).

Berikut ini pemaparan dari beberapa ahli mengenai definisi inteligensi dalam Sattler (1992) dan Sternberg (2003):

1. Peterson

“Mekanisme biologis yang dipengaruhi stimulus kompleks yang terjadi bersama-sama kemudian bersatu mempengaruhi perilaku pada individu.”

2. Haggerty

“Sensasi, persepsi, asosiasi, memori, imajinasi, diskriminasi, penilaian, dan penalaran”.

3. Binet & Simon

“Penilaian, akal sehat, akal praktis, inisiatif, kemampuan beradaptasi individu pada keadaan tertentu untuk memberi penilaian dengan baik, untuk memahami dengan baik, untuk berpikir dengan baik.”

4. Stodard

“Kemampuan untuk melakukan kegiatan yang bercirikan (1) kesulitan, (2) kompleksitas, (3) keabstrakan, (4) ekonomi, (5) beradaptasi pada suatu tujuan, (6) nilai sosial, dan (7) menunjukkan keaslian (original), dan untuk mempertahankan kegiatan tersebut di bawah kondisi yang menuntut konsentrasi, energi dan ketahanan terhadap tekanan.”

(33)

5. Freeman

“Penyesuaian, atau adaptasi individu terhadap keseluruhan lingkungannya, atau aspek-aspek tertentu dari lingkungan. Kemampuan untuk mengorganisasikan kembali pola perilaku individu sehingga dapat bertindak lebih efektif dan lebih tepat dalam situasi baru. Kemampuan untuk belajar dan kemampuan untuk berfikir abstrak.”

6. Das

“Kemampuan untuk merencanakan dan menyusun perilaku individu dengan tujuan tertentu.”

7. Humphreys

“Hasil proses memperoleh, menyimpan dalam memori, mengambil, menggabungkan, membandingkan dan menggunakan konteks informasi yang baru dan keterampilan konseptual.”

8. Gardner

“Kompetensi intelektual manusia harus berhubungan dengan seperangkat keterampilan untuk pemecahan masalah yang memungkinkan individu untuk menyelesaikan masalah atau kesulitan yang ditemukannya, dan bila memungkinkan, untuk menciptakan produk yang efektif dan juga harus memerlukan potensi untuk menemukan atau menciptakan masalah dengan demikian meletakkan dasar untuk memperoleh pengetahuan baru.”

(34)

2.1.2 Teori-teori inteligensi A. Psychometrics Models

Pada tahun 1900 revolusi ilmu sosial dan perilaku terjadi ketika seorang psikolog dari perancis bernama Alfred Binet menciptakan ukuran kemampuan intelektual yang menjadi pelopor tes inteligensi modern. Tes inteligensi yang bernama Binet- Simon Test ini dikembangkan Binet bersama asistennya Theodore Simon. Meski tes inteligensi yang dikembangan Binet dan Simon merupakan penemuan yang sangat krusial dalam ilmu psikologi. Namun masih terdapat banyak perdebatan diantara para ahli karena para ilmuan masih berbeda pendapat tentang mendefinisikan tentang inteligensi dan bagaimana metode ilmiah yang tepat untuk mengukurnya (Thompson, 2004).

Pada masa yang penuh perdebatan ini, para psikolog dan ilmuan berharap dapat menguji pandangan mereka yang beragam secara empiris menggunakan metode analisis yang tepat. Untuk mengatasi masalah ini, Charles Spearman (1904) mengembangkan dan memperkenalkan sebuah metode analisis yang saat ini terkenal dengan nama analisis faktor (factor analysis). Lebih lanjut, berbagai macam pengembangan metode statistika dalam analisis faktor semakin banyak dilakukan, sehingga para ilmuan diberikan banyak pilihan yang beragam untuk memilih metode yang akan digunakan sebagai alat analisis (Thompson, 2004).

Terlepas dari sejarah perdebatan panjang yang terjadi pada masa awal dikembangkannya. Analisis faktor merupakan sebuah alat analisis yang memiliki kontribusi yang sangat besar dan tidak terbantahkan pada perkembangan teori

(35)

inteligensi. Berikut ini merupakan teori-teori inteligensi yang lahir karena kontribusi analisis faktor atau sering disebut pula dengan psychometrics models.

1. Spearman’s two-factor theory

Charles Spearman (1904) (dalam Sternberg, 2003) mengajukan model two- factor theory of intelligence, sebuah teori yang sampai saat ini masih diakui sebagai teori awal tentang inteligensi. Teori ini menyatakan bahwa setiap individu memiliki general factor (g) yang berlaku umum pada semua tugas yang membutuhkan inteligensi. Karakteristik dari faktor “g” adalah sebagai berikut: (1) merupakan bawaan sejak lahir, (2) bersifat konstan, (3) dipergunakan dalam setiap kegiatan individu, (4) jumlah faktor “g” setiap individu berbeda-beda, (5) semakin besar jumlah faktor “g” semakin besar peluang individu untuk sukses dalam menyelesaikan tugas. Lalu ada yang dinamakan Spearman specific factor (s), yaitu faktor yang berlaku unik pada setiap tugas yang berbeda. Apabila faktor “s” individu dalam bidang tertentu dominan, maka individu tersebut akan menonjol dalam bidang tersebut.

Karakteristik dari faktor “s” adalah sebagai berikut: (1) dapat dipelajari dan didapatkan dari lingkungan, (2) bervariasi dari kegiatan satu dengan lainnya dari individu yang sama, (3) jumlahnya berbeda-beda pada setiap individu.

Dengan demikian, Spearman menyatakan setiap individu memiliki 2 faktor inteligensi.

Spearman mendapatkan ide ini dari hasil proses analisis data yang dikembangkan olehnya sendiri, yaitu analisis faktor. Analisis faktor mencoba mengidentifikasi variabel laten pada individu berdasarkan item pada tes

(36)

kemampuan. Ketika Spearman melakukan analisis faktor pada matriks korelasi data, dua macam faktor muncul, general factor yang berlaku umum pada semua tes dan specific factor yang berlaku unik pada setiap tes.

Pada tahun 1927 Spearman mengakui bahwa tidak begitu yakin pada basis psikologis dari g-factor, Spearman hanya memberi rujukan bahwa hal itu mungkin adalah energi mental (istilah ini tidak pernah didefinisikannya dengan jelas). Meski begitu, teori ini merupakan basis utama untuk tes kemampuan dan inteligensi dalam menjelaskan perbedaan individu di masa yang akan datang.

2. Thurstone’s theory of primary mental abilities

Sternberg (2003) menyatakan Louis Thurstone adalah ilmuan yang juga menggunakan analisis faktor sebagai metode untuk mengungkap variabel laten yang mendasari berkorelasinya item pada tes kemampuan. Menurut Thurstone ada tujuh kemampuan mental primer, yaitu:

1. Verbal comprehension, kemampuan untuk memahami materi verbal.

Kemampuan ini diukur menggunakan tes kosakata dan pemahaman membaca.

2. Verbal fluency, kemampuan untuk dengan cepat menghasilkan kata-kata, kalimat, dan materi verbal lainnya. Kemampuan ini diukur dengan cara meminta penempuh tes menghasilkan kata-kata sebanyak mungkin dalam jangka waktu dengan waktu yang relatif singkat.

3. Number, kemampuan berhitung dengan cepat. Kemampuan ini diukur dengan tes mencari solusi dari masalah aritmatika sederhana.

(37)

4. Memori, kemampuan untuk mengingat kata-kata, huruf, angka, simbol atau item. Kemampuan ini diuji dengan serangkaian tes mengingat kembali.

5. Perceptual speed, kemampuan mengenali huruf, angka, atau simbol dengan cepat. Kemampuan ini diuji dengan cara tes yang meminta penempuh tes memberikan tanda silang pada huruf tertentu (misalnya huruf A) pada serangkaian huruf.

6. Inductive reasoning, kemampuan untuk bernalar dari khusus ke umum.

Kemapuan ini diuji melalui tes serangkaian huruf. Misalnya, “Huruf apakah yang akan muncul berikutnya pada seri berikut ini? B, d, g, k, ...”.

7. Spatial visualization, kemampuan untuk memvisualisasi bentuk, rotasi, objek, dan bagaimana kepingan dari sebuah puzzle akan melengkapi satu sama lain. Kemampuan ini diuji dengan tes yang memerlukan mental rotation atau objek geometri yang bisa dimanipulasi.

B. Hierarchical Theories

Kelompok teori lain yang mencoba menjelaskan inteligensi adalah hierarchical theories. Teori-teori ini berasumsi bahwa kemampuan dapat diurutkan berdasarkan tingkatan keumumannya. Para ahli hierarchical theories berargumen daripada memperdebatkan kemampuan mana yang paling penting, mereka menyatakan bahwa setiap kemampuan memiliki tempat pada hirarki kemampuan dari umum sampai dengan ke khusus. Berikut adalah teori-teori yang merupakan teori hirarki:

(38)

1. Burt’s theory

Sir Cyril Burt (1949) dikenal karena karyanya tentang heritabilitas inteligensi.

Burt mengajukan hirarki lima tingkatan yang dapat menjelaskan inteligensi.

Pada hirarki teratas Burt mengajukan “pikiran manusia.” Pada tingkat kedua

“tingkatan relasi.” Pada tingkatan ketiga adalah asosiasi. Pada tingkatan keempat adalah persepsi. Dan pada tingkatan kelima adalah sensasi. Model teori ini terbukti tidak bertahan lama dan kurang dijadikan rujukan saat ini (Sternberg, 2003).

2. Vernon theory of verbal: Educational and spatial: Mechanical abilities Model teori hirarki yang cukup terkenal diajukan oleh Vernon (1971). Teori ini menyatakan bahwa general factor berada pada hirarki teratas. Di bawah g- factor terdapat dua kelompok faktor, yaitu v:ed dan k:m. Nama pertama merujuk kepada kemampuan verbal-educational yang diukur berdasarkan tes kemampuan yang konvensional. Nama kedua merujuk pada kemampuan spatial-mechanical (Sternberg, 2003)

3. Cattell’s theory of fluid and crystallized intelligence

Sternberg (2003) menyatakan teori yang lebih banyak diterima dibanding teori-teori sebelumnya adalah teori yang dikemukakan oleh Raymond Cattell (1971) yang sepintas terlihat mirip dengan teori yang dikembangkan Vernon.

Cattell mengajukan bahwa general ability berada di hirarki teratas dan dua kemampuan di bawahnya, fluid ability, atau gf, dan crystallized ability, atau gc. Fluid ability adalah kemampuan untuk berpikir secara fleksibel dan bernalar secara abstrak. Kemampuan ini diukur oleh tes serial angka dan

(39)

gambar analogi. Crystallized ability adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan pengembangan dan penerapan sepanjang hidup dari fluid ability.

Kemampuan ini diukur berdasarkan tes kosakata dan wawasan umum.

Studi terbaru menunjukkan bahwa fluid ability sangat sulit dibedakan secara statistik dengan general ability. Tes yang digunakan untuk mengukur fluid ability seringkali identik dengan tes yang dimaksudkan untuk mengukur general ability. Contohnya, tes Raven Progressive Matrice yang mengukur bagian matriks yang hilang terdiri dari gambar.

Horn (1994) memperluas teori hirarki yang awalnya dikembangkan oleh Cattell. Horn merujuk bahwa general factor dapat dibagi kedalam tiga faktor lagi di bawah fluid dan crystallized ability. Ketiga faktor ini antara lain visual thinking (gv), auditory thinking (ga), dan speed (gs). Faktor visual thinking kemungkinan mendekati faktor k:m yang dikembangkan oleh Vernon daripada fluid ability milik Cattell.

4. Carroll’s three-stratum theory

Teori yang dikemukakan oleh Carroll (1993) kemungkinan merupakan teori hirarki yang paling banyak diterima saat ini. Pada hirarki teratas adalah general ability, lalu pada hirarki tengah terdapat berbagai macam kemampuan yang luas, termasuk fluid dan crystallized ability, proses belajar dan proses ingatan, persepsi visual dan auditory, facile production, dan kecepatan. Pada hirarki paling paling bawah merupakan kemampuan-kemampuan yang spesifik (Sternberg, 2003).

(40)

5. Guilford’s structure of intellect model

J.P Guilford (1971) mengajukan model inteligensi dengan 120 kemampuan yang berbeda. Pada awalnya Guilford mengajukan sebanyak 180 kemampuan, kemudian direvisi menjadi 150 kemampuan, dan yang terakhir menjadi 120 kemampuan. Teori Guilford’s structure of intellect model meliputi tiga dimensi, yaitu: operasional (operation), produk (product), dan isi (content). Guilford menyatakan terdapat lima operasi, enam produk, dan empat isi. Kelima bentuk operasi adalah kognisi, memori, berpikir divergen, berpikir, konvergen, dan evaluasi. Lalu bentuk keenam produk adalah unit, kelas, relasi, sistem, transformasi, dan implikasi. Dan keempat bentuk dari isi adalah figural, simbol, semantik, dan perilaku. Karena seluruh dimensi- dimensi ini berinteraksi satu sama lain, maka terdapat 5 X 6 X 4 atau 120 kemampuan berbeda (Sternberg, 2003).

C. Piaget’s Cognitive Model

Penelitian tentang teori inteligensi tidak hanya berkembang melalui analisis faktor dan metode psikometri. Para ilmuan eksperimental dan psikologi perkembangan merumuskan gagasan tentang perkembangan belajar, berpikir, pemecahan masalah, dan proses kognitif lainnya. Ilustrasi dari upaya ini adalah teori perkembangan kognitif yang dikembangkan Jean Piaget.

Menurut Piaget (Aiken, 1997) anak mengetahui dan memahami lingkungan dengan berinteraksi dengan suatu hal dan beradaptasi dengan hal tersebut, proses ini disebut sebagai adaptasi atau equilibrasi. Equilibrasi melibatkan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses penyesuaian

(41)

pengalaman baru kedalam struktur mental yang sudah ada sebelumnya (schemata) dan akomodasi adalah proses modifikasi dari schemata sebagai hasil dari pengalaman.

Piaget (Miller, 1989) menyatakan bahwa perkembangan kognitif yang terjadi karena proses asimilasi dan akomodasi terjadi dalam empat urutan tahap atau periode. Tahapan ini merupakan hirarki perkembangan dimana proses equilibrasi yang berhasil pada tahap sebelumnya diperlukan individu untuk berhasil pada tahap perkembangan selanjutnya. Tahap perkembangan yang diajukan oleh Piaget adalah sebagai berikut:

1. Tahap pertama, disebut tahap sensori-motori yang terjadi antara masa kelahiran hingga individu berusia 2 tahun. Pada tahap ini anak belajar untuk melatih refleks sederhana dan mengkordinasikan berbagai persepsi.

2. Tahap kedua, disebut dengan tahap pra-operasional yang terjadi antara 2 sampai 7 tahun. Pada tahap ini anak mendapatkan kemampuan berbahasa dan representasi simbol lainnya mengenai realita, hal ini sangat penting karena merupakan tahap egosentris dari perkembangan.

3. Tahap ketiga, disebut tahap operasi konkrit yang terjadi antara 7 sampai 11 tahun. Pada tahap ini anak mengembangkan sistem operasi yang terorganisir dengan proses interaksi sosial, dan pengurangan terhadap pemusatan diri sendiri.

4. Tahap keempat atau terakhir, disebut tahap operasi formal yang terjadi antara 11 sampai 15 tahun. Pada tahap ini anak sudah bisa menggunakan logika dan penalaran verbal yang lebih tinggi, dan operasi nalar yang lebih abstrak.

(42)

D. Teori Pemrosesan Informasi

Perkembangan dunia teknologi komputer dan sistem informasi yang pesat dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan lahirnya konsep yang menyamakan otak manusia dengan komputer. Studi di bidang neurofisiologi dan psikologi kognitif juga memberikan kontribusi pada model pengolahan informasi dalam proses pemecahan masalah dan berpikir manusia. Model ini menekankan pada proses atau operasi identifikasi dimana informasi dikodekan, disimpan, diambil, dan dimanfaatkan oleh otak dalam melaksanakan tugas-tugas kognitif seperti pada tes inteligensi (Gardner, 2011)

Model komputer melihat otak manusia sebagai pengolah sistem informasi yang memiliki kapasitas penyimpanan yang besar. Penyimpanan sendiri berisi antara lain program kompleks atau strategi yang dapat ditimbulkan oleh input stimulus tertentu. Dalam model ini inteligensi dianalisis sebagai variabel seperti kapasitas penyimpanan, kecepatan melakukan operasi dasar, dan kecepatan ke akses ke penyimpanan.

1. Sternberg’s triarchic theory

Salah satu contoh model teori yang menggunakan dasar pemrosesan informasi adalah teori yang diajukan oleh Sternberg (Aiken, 1997). Terdapat komponen dalam proses berpikir manusia yaitu: componential, experiental, dan contextual. Pada tahap componential terjadi proses memperoleh pengetahuan dan pemecahan masalah. Bagian kedua adalah tahap experiental, inti pada tahap ini adalah kemampuan individu untuk menciptakan ide baru dengan cara menggabungkan fakta-fakta yang cenderung tidak berhubungan.

(43)

Bagian ketiga adalah contextual, inti tahap ini adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan sehingga kemampuan individu dapat maksimal dan meminimalisir kesalahan (Kaufman & Grigorenko, 2009).

Sternberg (dalam Aiken, 1997) merevisi teorinya dengan mengusulkan konsep mental self-government yang merupakan upaya untuk menggabungkan konsep inteligensi dengan kepribadian. Cara dimana tiga jenis inteligensi digambarkan oleh teori komponen triarchic digunakan untuk menghadapi masalah sehari-hari yang ditandai dalam teori ini sebagai gaya intelektual.

2. Gardner’s Multiple-Intelligence

Gardner (2011) mengusulkan teori multiple intelligences berdasarkan penelitiannya mengenai hubungan otak dengan perilaku. Gardner berpendapat bahwa kekhasan kognisi manusia dan pengolahan informasi melibatkan pengerahan berbagai sistem simbol yang merupakan karakteristik persepsi, memori, dan pembelajaran. Dengan demikian, individu mungkin akan baik dalam bahasa, tetapi tidak pada musik, memanipulasi lingkungan spasial, atau interaksi interpersonal.

Gardner menjabarkan terdapat tujuh bentuk inteligensi yaitu linguistik, logika-matematika, spasial, musikal, kinestetik tubuh, dan dua bentuk inteligensi personal (intrapersonal dan interpersonal). Tiga bentuk pertama dari daftar ini diukur dengan tes inteligensi konvensional, tapi empat terakhir lebih seperti bakat istimewa daripada inteligensi. Inteligensi kinestetik dapat terlihat lebih banyak pada atlit, pengrajin, penari, dan ahli

(44)

bedah. Inteligensi spasial diperlukan untuk pematung, dan inteligensi musikal oleh komposer, musisi, dan penyanyi. Inteligensi intrapersonal adalah ketika individu dapat mendeteksi suasana hati individu lain dan untuk memimpin, memahami perasaan diri sendiri, dan menggunakan pengetahuan diri secara produktif.

2.2 Konstruksi Tes

Terdapat dua istilah yang sering diterapkan dalam pengembangan dan pengujian alat tes psikologis, yaitu konsep tentang validitas (validity) dan reliabilitas (reliability).

2.2.1 Validitas

Bollen (1989) menyatakan validitas adalah istilah yang merujuk pada sejauh mana alat ukur memang mengukur pada konstruk yang hendak diniatkan untuk diukur.

Validitas suatu tes menerangkan apa yang diukur oleh tes dan sejauh mana tes tersebut mengukurnya. Terdapat tiga tipe dari validitas, yaitu:

A. Validitas Isi (Content Validity)

Validitas isi adalah tipe validitas yang menggunakan pendekatan kualitatif sebagai cara mengujinya. Validitas isi berkaitan dengan penelitian yang sistematis pada isi tes untuk menentukan apakah isi tes mencakup sampel representatif dari domain tingkah laku yang diukur. Seringkali validitas isi dilakukan dari penilaian ahli di bidang yang akan diuji (expert judgment).

B. Validitas Kriterion (Criterion Validity)

Validitas kriterion adalah validitas yang diuji dengan mengkorelasikan skor tes dengan sebuah kriteria tertentu. Misalnya, nilai skor tes potensi akademik

(45)

pada seleksi masuk perguruan tinggi dikorelasikan dengan nilai indeks prestasi (IP) di akhir semester. Ketika kriteria yang akan dipakai sebagai pembanding ada pada saat yang sama dengan alat ukur, validitas ini seringkali disebut dengan concurrent validity. Sedangkan jika kriteria yang akan digunakan sebagai pembanding harus menunggu waktu terlebih dahulu di masa yang akan datang, validitas ini sering juga disebut predictive validity.

Perbedaan antara validitas prediktif dan validitas konkuren bukan berdasarkan waktu, tetapi pada tujuan tes.

C. Validitas Konstruk (Construct Validity)

Validitas konstruk menguji sejauh mana skor hasil pengukuran pada alat ukur menggambarkan konstruk teoritis yang hendak diukur oleh alat ukur tersebut.

Dalam konteks ilmu sosial banyak sekali konsep yang sangat sulit dirumuskan menggunakan validitas isi. Sehingga melakukan uji validitas konstruk sangat relevan dilakukan di bidang ilmu sosial, terutama dalam ilmu psikologi. Karena variabel dalam ilmu psikologi sebagian besar merupakan entitas yang tidak dapat diobservasi dan diukur secara langsung.

2.2.2 Reliabilitas

Istilah reliabilitas dapat merujuk pada konsep tingkat kepercayaan. Dalam konteks skor sebuah hasil tes, pengguna tes harus yakin bahwa skor yang dihasilkan tes dapat dipercaya. Ketika dihubungkan dengan tes dan pengukuran, reliabilitas didasarkan pada konsistensi dan ketepatan pada hasil proses pengukuran. Agar mendapat tingkat kepercayaan pada skor yang dihasilkan, pengguna tes

(46)

memerlukan bukti bahwa skor yang didapat dari tes akan konsisten jika tes diulang kembali pada kelompok atau individu yang sama (Urbina, 2014).

Sattler (1982) menyatakan reliabilitas (r) adalah sebuah indeks yang menunjukkan sejauh mana konsistensi skor tes yang didapatkan dari pengukuran jika tes tersebut diulang. Koefisien reliabilitas memiliki rentang nilai dari 0.00- 1.00. Koefisien reliabilitas yang memiliki nilai mendekati 1.00 menunjukkan reliabilitas skor tes yang sangat baik, sedangkan koefisien reliabilitas yang memiliki nilai mendekati 0.00 menunjukkan reliabilitas yang sangat buruk dari sebuah skor tes. Terdapat tiga tipe dari reliabilitas, yaitu: test-retest, alternate form, dan internal consistency.

A. Pendekatan Test-Retest

Test-retest merupakan indeks dari stabilitas. Prosedur yang biasa dilakukan untuk mendapatkan koefisien reliabilitas test-retest adalah dengan memberikan tes yang sama pada kelompok yang sama pada dua kesempatan yang berbeda, biasanya dalam jeda waktu yang pendek (misalnya, dua minggu sampai satu bulan). Korelasi yang didapat sering disebut dengan koefisien stabilitas yang menggambarkan sejauh mana tes konsisten sepanjang waktu. Kekurangan koefisien test-retest adalah peserta tes mungkin bisa mengingat dan belajar dari jeda waktu yang diberikan. Secara teoritis, semakin pendek jeda waktu yang diberikan, akan semakin tinggi koefisien reliabilitasnya.

(47)

B. Pendekatan Alternate Form

Pendekatan ini sering pula disebut equivalent atau parallel form reliability.

Indeks koefisiennya didapatkan dengan cara memberikan dua tes yang equivalen pada kelompok yang sama. Sebuah tes dikatakan equivalen ketika memiliki nilai rata-rata (mean), varians, dan reliabilitas yang tinggi. Jika tidak ada kesalahan dalam pengukuran, peserta tes seharusnya mendapatkan skor tes yang sama pada kedua bentuk tes yang disajikan.

C. Pendekatan Internal Consistency

Pendekatan reliabilitas internal consistency didapat berdasarkan skor dalam sekali melakukan tes. Salah satu tipe koefisien reliabilitas internal consistency didapat dengan cara membagi tes menjadi dua bentuk yang equivalen (split- half reliability). Cara lain untuk mendapatkan koefisien internal consistency adalah dengan menggunakan interkorelasi diantara semua bagian tes yang bisa dibandingkan. Rumus-rumus seperti Alpha Cronbach dan Kuder-Richardson formula 20 berfungsi mengukur homogenitas dari seluruh item pada tes. Secara umum pendekatan internal consistency lebih sering digunakan karena lebih mudah dan praktis dalam praktek penggunaannya. Karena untuk mendapatkan koefisien reliabilitas internal consistency cukup hanya melakukan sekali pengetesan.

Menurut Umar (2012) dalam konteks teori tes klasik (CTT) penggunaan konsep reliabilitas harus didahului dengan memenuhi beberapa asumsi. Setelah seluruh asumsinya dipenuhi, barulah seluruh indeks reliabilitas sah untuk

(48)

digunakan dan bermakna tafsirannya. Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asumsi unidimensionality, artinya tes yang diujikan sudah terbukti hanya mengukur satu konstruk, trait, kemampuan.

2. Asumsi local independent, artinya peluang menjawab dengan benar pada suatu item tidak dipengaruhi oleh jawaban pada item sebelumnya.

3. Asumsi parallel, artinya setiap item pada tes memiliki tingkat kesukaran, daya pembeda dan kesalahan pengukuran yang sama.

2.3 Teori-Teori Pengukuran

Stevens (1951) (dalam Chadha, 2009) menyatakan pengukuran adalah pemberian angka atau kuantifikasi pada suatu objek atau peristiwa berdasarkan aturan tertentu. Terdapat tiga teori tentang pengukuran yang sering digunakan dalam konstruksi tes dalam pengukuran dalam ilmu psikologi, yaitu: classical test theory (teori tes klasik), item response theory (Rasch model), dan structural equation modeling (confirmatory factor analysis).

2.3.1 Classical test theory (Teori tes klasik)

Classical test theory (CTT) adalah teori pengukuran yang diajukan oleh psikolog Inggris Charles Spearman dengan menggunakan konsep korelasi. Sejak tahun 1904 hingga 1913 Spearman mempublikasikan argumen matematis bahwa skor tes adalah ukuran yang dapat menguji tentang traits tertentu pada individu.

Spearman mengajukan sebuah gagasan dan fondasi dasar dari CTT yang kemudian didukung oleh banyak ilmuan seperti Guilford (1936), Gulliksen (1950), Magnusson (1967), Lord dan Novick (1968) (Crocker & Algina, 2008).

Referensi

Dokumen terkait

Nilai yang terakhir yaitu penanaman nilai insan kamil (manusia sempurna) yang meliputi berbagai aspek dalam keseluruhan kehidupan manusia dalam menjalani

 Proses dari hasil tes yang terintegrasi dari berbagai sumber ; Proses untuk mengevaluasi perilaku, konstruk psikologi, dan atau karakteristik individu atau sekelompok orang

 Proses dari hasil tes yang terintegrasi dari berbagai sumber ; Proses untuk mengevaluasi perilaku, konstruk psikologi, dan atau karakteristik individu atau sekelompok orang

al- Qur‟an diturunkan tidak hanya terbatas pada pemberi pedoman untuk satu aspek kehidupan suatu kelompok tertentu saja, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan manusia,

Kecedasan emosional akan memberi dampak pada berbagai aspek dalam kehidupan seorang individu termasuk aspek motivasi belajar. Penelitian ini bertujuan: 1) Untuk

Perkembangan telepon atau telepon seluler dan internet, keberadaannya memberikan pengaruh bagi berbagai aspek kehidupan. Baik kehidupan secara individu, sosial maupun yang

Pendidikan Islam Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0 Globalisasi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai aspek kehidupan, baik

Penilaian Pengetahuan Penilaian pengetahuan dilakukan dalam bentuk penugasan tes tertulis Kisi-kisi soal individu No Tujuan Pembelajaran Indikator Aspek Teknik Bentuk No