• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskusi

Dalam dokumen FACTOR ANALYSIS (Halaman 166-171)

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ....................................... 144-155

5.2 Diskusi

Setidaknya ada tiga isu penting yang dapat peneliti paparkan dari hasil penelitian ini. Isu pertama, tentang model fit configural invariance dan metric invariance pada masing-masing subtes. Isu kedua, tentang penafsiran dan makna setiap model fit yang dicapai tes inteligensi CFIT. Isu ketiga, tentang full measurement invariance vs partial measurement invariance. Oleh karena itu, peneliti akan memaparkan satu per satu isu-isu tersebut.

Isu pertama, perlu digaris bawahi bahwa tahapan configural invariance dan metric invariance terpenuhi secara otomatis karena tahapan yang lebih tinggi yaitu scalar invariance sudah fit dengan data. Hal ini terjadi karena default software MPLUS 7.0 mulai melakukan analisis dengan model yang ideal terlebih dahulu (full constrained), yaitu tahapan scalar invariance. Ketika uji model dimulai dari model yang paling restricted, jika model tersebut tidak fit peneliti tinggal membebaskan konstrain parameter yang semula di scalar invariance menjadi metric invariance dan begitu seterusnya.

Pada saat model yang ideal atau dengan banyak konstrain sudah fit, maka tahap di bawahnya secara otomatis fit. Di kalangan metodologis metode ini dikenal sebagai metode step-down (Brown, 2006). Metode ini sangat dianjurkan ketika terdapat lebih dari satu faktor dan lebih dari dua kelompok perbandingan.

Meskipun, metode ini dapat pula digunakan pada model yang hanya terdiri dari satu faktor.

Isu kedua, mengenai penafsiran masing-masing model fit pada subtes tes CFIT. Berikut ini merupakan interpretasi makna model fit dari masing-masing model. Pertama, seluruh subtes tes CFIT terbukti dapat memenuhi tahapan configural invariance. Hal ini berarti seluruh subtes tes CFIT memiliki pola teori yang sama baik di kelompok perempuan dan di kelompok lain. Dengan kata lain, jika configural invariance terpenuhi, maka baik laki-laki dan perempuan mengkonseptualisasikan konstruk pada tes CFIT dengan cara yang sama.

Kedua, seluruh subtes tes CFIT terbukti dapat memenuhi tahapan metric invariance. Menguji tahapan metric invariance pada sebuah alat tes merupakan hal yang sangat penting karena tahapan ini menguji apakah sebuah alat tes memiliki makna dan struktur yang sama di kelompok yang berbeda. Dalam hal ini dapat kita lihat baik subtes series, classification, matrice dan topology dimaknai dengan makna yang sama di kelompok yang berbeda (laki-laki vs perempuan).

Tahapan ini merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk analisis perbandingan yang lebih tinggi (scalar invariance, equal factor variance, dan equal factor mean). Situasi dimana tahapan metric invariance telah terpenuhi seperti pada subtes-subtes tes CFIT ini dapat juga disebut dengan kondisi weak

measurement invariance, oleh karena itu perlu analisis pada tahap selanjutnya agar dapat mengetahui apakah alat tes CFIT ini sudah ideal.

Ketiga, seluruh subtes tes CFIT terbukti dapat memenuhi tahapan scalar invariance. Tahapan ini merupakan kelanjutan dari tahapan sebelumnya, yaitu metric invariance. Ketika seluruh subtes CFIT dapat memenuhi tahapan ini, artinya seluruh item pada subtes tes CFIT memiliki tingkat kesukaran yang sama baik di kelompok laki-laki dan di kelompok perempuan. Sehingga tidak ada kelompok yang menemukan item lebih sulit jika dibandingkan kelompok lain.

Jika tahapan scalar invariance tidak terpenuhi, artinya ada salah satu kelompok yang akan menemukan bahwa pada subtes lebih sulit dibandingkan kelompok lain.

Konsekuensi dari hal ini tentu saja perbandingan skor tes akan menjadi tidak comparable karena ada item yang menjadi lebih sulit atau lebih mudah jika ditempuh jenis kelamin tertentu. Namun, seperti yang dapat dilihat seluruh item pada seluruh subtes tes CFIT telah memenuhi tahapan scalar invariance sehingga perbandingan skor tes antara laki-laki dan perempuan menjadi bermakna dan dapat dibandingkan. Situasi seperti ini dapat disebut pula dengan istilah strong measurement invariance, dimana tahapan ini merupakan tahap yang sudah cukup ideal untuk dimiliki sebuah alat tes (Brown, 2006).

Keempat, seluruh subtes tes CFIT terbukti dapat memenuhi tahapan error variance invariance. Tahapan ini merupakan tahap yang opsional mengingat tahap scalar invariance sudah cukup ideal dimiliki sebuah alat ukur. Selain itu tahapan error variance invariance merupakan tahapan yang paling sulit untuk

dicapai sehingga banyak ahli beranggapan tidak perlu alat tes sampai pada tahap ini (Byrne et al., 1989). Oleh karena itu tahap ini sering disebut dengan istilah strict measurement invariance. Namun, jika sebuah penelitian bertujuan untuk mengecek fairness dan equity dari sebuah tes, situasi alat tes yang memenuhi tahap strict measurement invariance sangat diperlukan (Meredith & Teresi, 2006).

Selain kepentingan untuk mengecek fairness dan equity, strict measurement invariance dapat juga mengindikasikan bahwa sebuah alat tes memiliki equivalent reliability (Brown, 2006). Seperti yang dapat dilihat pada hasil uji error variance invariance pada item subtes tes CFIT di atas, reliabilitas skor tes yang didapatkan pada kelompok perempuan akan sama nilainya dengan reliabilitas skor tes yang didapatkan pada kelompok laki-laki. Meskipun, situasi equivalent reliability ini masih memiliki syarat yang harus dipenuhi, yaitu factor variance pada alat tes CFIT harus invariant atau sama di kelompok yang berbeda (laki-laki vs perempuan) (Vandenberg & Lance, 2000). Dan peneliti memutuskan untuk tidak menguji lebih jauh tentang factor variance invariance karena hal tersebut bukan bagian dari pembahasan measurement invariance, melainkan bagian dari pembahasan structural invariance. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan di luar konteks pertanyaan pada penelitian ini.

Dan informasi terakhir yang didapatkan saat sebuah alat tes mencapai tahapan strict measurement invariance, artinya item pada tes tersebut tidak mengandung bias pengukuran atau measurement bias. Argumen ini dapat dilihat pada penelitian Milfont dan Fischer (2010). Dalam hal ini tes CFIT yang dianalisis pada penelitian ini telah terbukti secara empiris memenuhi seluruh

tahapan measurement invariance. Sehingga penafsiran dan perbandingan konstruk di kelompok yang berbeda dapat dilakukan.

Isu terakhir yang patut menjadi perhatian pada penelitian ini adalah isu full measurement invariance vs partial measurement invariance. Full measurement invariance adalah situasi ketika model fit tercapai dengan kondisi seluruh parameter item seperti parameter lambda, threshold dan error variance memiliki nilai yang sama di kelompok yang berbeda. Sebaliknya, partial measurement invariance adalah situasi ketika model baru dapat fit setelah ada satu atau dua parameter item yang dibebaskan nilainya untuk bervariasi di kedua kelompok (Byrne et al., 1989; Steenkamp & Baumgartner, 1998; Brown, 2006).

Byrne et al., (1989) menyatakan bahwa full measurement invariance adalah situasi yang sulit dicapai oleh sebuah alat ukur. Sehingga alternatif ketika full measurement invariance tidak tercapai adalah mengecek apakah mungkin terjadi partial measurement invariance. Ketika suatu alat ukur masih dapat fit pada situasi partial measurement invariance, maka alat tes tersebut masih dapat dikatakan ideal dan baik.

Perlu diperhatikan ketika terjadi partial measurement invariance pada sebuah alat tes, item dengan nilai parameter berbeda di dua kelompok berbeda dalam konteks item response theory (IRT) sering disebut dengan istilah differential item functioning (DIF) (Brown, 2006). DIF juga seringkali mengacu pada istilah measurement bias, maksudnya ketika ada dua orang dengan kemampuan yang sama namun memiliki peluang yang berbeda untuk menjawab benar pada sebuah item. Item seperti ini tentu saja tidak boleh dipakai dalam

sebuah alat tes. Dan pada penelitian ini, tes inteligensi CFIT tidak memiliki item yang mengindikasikan partial measurement invariance. Mengingat seluruh subtes tercapai dalam situasi full measurement invariance.

Hal yang ingin peneliti sampaikan adalah hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa seluruh subtes tes CFIT dapat memenuhi seluruh tahapan measurement invariance dengan nilai parameter item (lambda, threshold, error variance). Dengan kata lain, seluruh subtes tes CFIT termasuk dalam kondisi full measurement invariance. Meskipun, situasi ini dicapai dengan terlebih dahulu harus mendrop item-item yang memiliki koefisien muatan faktor negatif dan item yang tidak signifikan. Sehaingga item – item pada tes CFIT menjadi lebih sedikit dibandingkan pada saat awal analisis. Namun, tetap saja situasi full measurement invariance yang telah tercapai oleh tes CFIT ini perlu diadakan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif untuk memperkuat hasil kesimpulan ini.

Dalam dokumen FACTOR ANALYSIS (Halaman 166-171)