VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Struktur Sosial Masyarakat
6.1.3 Hubungan Patron-klien
Apakah Punggawa melahirkan tertib sosial? Dengan relasi-relasi yang tercipta antara individu-individu dengan Punggawa, Punggawa akhirnya dapat mengendalikan dan mengarahkan apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan. Ide memasukkan Punggawa dalam bahasan ini, bermula dari pendapat Pak Derfin (45), seorang mantan pembeli ikan dan kini menjadi manejer sebuh perusahaan pembelian ikan dari nelayan-nelayan beberapa desa di Maratua. Ia mengatakan,
“kalau anda mau menghentikan pemboman atau penggunaan potas oleh nelayan, anda cukup mengajak punggawa atau mempengaruhi punggawa untuk tidak membeli ikan-ikan yang diperoleh dengan kedua cara itu. Sepanjang punggawa masih menyediakan apa yang diperlukan oleh nelayan untuk menangkap ikan, termasuk bom dan potas, maka selama itu pula kegiatan pemboman dan pemotasan oleh nelayan akan berlangsung” Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa punggawa memosok bahan-bahan terlarang itu ke kampung-kampung. Punggawa yang mempunyai jaringan lebih luas di luar, dan jaringan ini kalau punggawa mau memanfaatkan, sangatlah dimungkinkan.
Keterikatan individu-individu nelayan kepada punggawa memang memungkinkan punggawa untuk menciptakan tertib sosial. Keterikatan individu-individu nelayan dengan punggawa, tercipta sejak dari penyediaan perbekalan mencari ikan, pemenuhan kebutuhan nelayan atas pembuatan kapal, rumah, dan kebutuhan sehari-hari nelayan. Adalah punggawa, lepas dari kecerdikannya mencari untung, membuat nelayan harus mencari ikan sebanyak-banyaknya untuk
dijual guna membayar hutang-hutang sehari-hari10 mereka kepada punggawa. Punggawa membeli ikan yang diasinkan tanpa peduli dari mana atau dengan cara apa ikan-ikan tersebut diperoleh. Kalau punggawa menolak membeli ikan-ikan asin dengan ciri-ciri bahwa ikannya diperoleh dengan pemboman, nelayan pasti akan mencari ikan dengan jalan lain atau sumber lain yang bisa menghasilkan uang. Sebab, punggawa juga yang bisa menjadikan benda-benda yang semula tidak berharga menjadi berharga. Dulu orang tidak mencari kerapu, kini kerapu dicari, dulu orang tidak memerlukan teripang dan gurita, kini semua orang di kampung mencari teripang dan gurita . Laki-laki dan perempuan, semuanya mencari teripang dan gurita. Oleh sebab itu, lebih dari institusi mana pun,
kekuatan punggawa mempengaruhi individu-individu nelayan benar-benar hidup dan ‘bekerja’ dari waktu ke waktu sepanjang hari11.
Pengalaman di Pulau Maratua dalam pemilihan Kepala Kampung 2008 dan dalam Pemilu 2004 lalu telah memperlihatkan betapa punggawa dapat merenggut suara warga secara signifikan. Dengan berbagai keterikatan dan ketergantungan warga kepada punggawa, punggawa akhirnya dapat meraih kemenangan dalam pemilihan. Kepentingan-kepentingan pribadi warga yang dipenuhi lewat kerjasamanya dengan punggawa, membuat warga tidak bisa berpaling dari apa yang diminta atau diinginkan punggawa dari warga. Di lain pihak, untuk kepentingan pribadi sang punggawa sendiri, para punggawa terpaksa menjaga dan memelihara hubungan-hubungannya dengan para warga/nelayan, baik melalui jalur bisnis maupun jalur kekerabatan. Ada komitmen yang harus dijaga kedua belah pihak agar hubungan mereka tetap produktif. Aturan-aturan inilah yang sering dinamakan dalam literatur antropologi hukum sebagai living law, atau rule-in-use dalam literatur-literatur pengembangan masyarakat.
Apakah punggawa di Kepulauan Derawan memiliki rasa khawatir akan ditinggalkan oleh ‘pegawainya’ (nelayan-nelayan yang terikat kerjasama dengan punggawa)? Melban (49), salah seorang punggawa di Bohe Silian, mengakui
10
Hutang sehari-hari terjadi karena nelayan mengambil segala keperluan dapur + rokok sehari-hari diambil lebih dulu dari punggawa dan bayarnya belakangan (bon). Untuk melunasi hutang-hutang inilah nelayan mencari/membuat ikan asin untuk dijual kepada punggawa tersebut. Para punggawa biasanya menampung/membeli ikan-ikan asin dari nelayan.
78
kekhawatiran itu karena semua nelayan di kampungnya memiliki sarana dan prasarana untuk menangkap ikan. Kalau nelayan mau meninggalkan
punggawanya, nelayan-nelayan di Bohe Silian, kata Melban, dapat melakukannya. Nelayan di sini mestinya bisa hidup tanpa bon. Penghasilan mereka sanggup untuk menopang kehidupan harian mereka. Hanya karena cara nelayan mengelola uang kurang cermat menyebabkan mereka sering kehabisan modal untuk melaut. Mereka tidak bisa menunggu lama uang tersimpan dan menahan selera, begitu mereka mendapatkan uang, mereka membeli barang-barang mewah, seperti emas dan elektronik dengan cara kredit, sehingga modalnya habis pada saat mau berangkat melaut, itulah sebabnya punggawa di Maratua bersepakat untuk
bersaing antar sesama punggawa dengan cara-cara yang tidak merugikan nelayan. Nelayan akan lari ke punggawa yang lebih besar bila dalam persaingan antar punggawa di kampung menyebabkan harga beli yang terlalu timpang antara satu dan lain punggawa.
Melban mengakui bahwa nelayan di kampungnya tidak dapat dipandang sebagai target semata. Mereka merupakan bagian dari keluarga dan masyarakat di mana kita sehari-hari bergaul dan berhubungan. Punggawa tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bergantung sama sekali pada warga. Banyak urusan-urusan di kampung yang memerlukan gotong-royong dari warga. Kematian, perkawinan dan lain-lain kegiatan semuanya memerlukan gotong-royong. Oleh sebab itu kerukunan dengan warga harus tetap dijaga dengan jalan tidak
melakukan sesuatu yang menyebabkan warga merasa dirugikan. Bahkan para punggawa di Bohe Silian, menurut Melban, mengadakan transportasi gratis bagi siapapun yang ingin ikut kapal mereka pada saat mereka berbelanja barang ke Tanjung Redep12. Warga boleh memesan atau mengirim apa saja dari dan ke Tanjung Redep tanpa dipungut bayaran asalkan warga tersebut mau mengangkat sendiri barang-barang pesanannya itu dari dermaga. Kami kira inilah bentuk-bentuk service yang diberikan punggawa kepada warga guna menjaga
12
Cara yang sama diterapkan oleh Punggawa di Pulau Derawan. Punggawa ini menyilahkan siapa saja yang mau ikut tanpa dipungut biaya ketika kapal miliknya berangkat ke Tanjung Redep 2 kali seminggu. Tetapi konon, menurut seorang informan yang merupakan lawan politiknya, punggawa bersangkutan diskriminatif terhadap warga yang tidak memilih partai PPP saat pemilu yang lalu. Mereka disuruh turun atau dilarang naik ke kapal gratis yang dioperasikannya.
hubungannya tetap baik dengan warga sehingga usahanya berjalan lancar dan menjadi kaya.
(a) (b) (c) Keterangan :
(a) Kapal rengge yang di modali punggawa (b) Bidang usaha lain yang digeluti punggawa. (c) Kapal kedo-kedo yang menjadi binaan punggawa
Gambar 14. Aktifitas Perikanan yang Digeluti Seorang Punggawa. Kekayaan seorang punggawa yang tampak lebih dari kekayaan nelayan, lanjut Melban, tidak lepas dari jualan-jualan yang diadakan para punggawa di luar kegiatan membeli ikan. Dagang sembako dan kebutuhan-kebutuhan lain, ikut memberi kontribusi pada kekayaan di samping, kata Melban, caranya mengelola pendapatan dari kegiatan dagang. Jadi sumber pendapatan para punggawa,
berbeda dari nelayan, tidak hanya satu. Nelayan kebanyakan hanya mengandalkan pendapatan dari hasil ikan yang ditangkap. Begitu musim angin kencang sehingga tidak dapat melaut, nelayan tidak lagi mempunyai pencaharian lain kecuali
menghabiskan apa yang diperoleh dari masa sebelumnya. Para punggawa, pada saat yang sama masih menerima pemasukan dari jualan-jualan sembako yang dibutuhkan masyarakat.
Kemampuan punggawa membaca peluang usaha di desa memang perlu diakui jauh di atas kemampuan nelayan. Konsentrasinya pada bisnislah yang membuat punggawa lekas melihat dan membaca peluang-peluang pasar. Baru beberapa bulan yang lalu punggawa Helbi (48) bersama rekannya mendirikan ‘rumah billyard’ dengan empat meja dan dua orang wanita penjaga. Sekarang hampir tiap malam ‘rumah billyard’ tersebut diserbu pengunjung, tidak kurang 100 ribu tiap malam Helbi mendapat uang dari usahanya itu. Kedai rokok miliknya ikut keciprat tambahan omset setelah rumah bilyard yang terletak di depan tokonya dibuka hingga jam 12 malam. Begitu pun ketika seorang lelek, orang Bugis penjual es-krim keliling di Maratua membutuhkan es batu sepuluh
80
bungkus sehari, Helbi lah yang memasoknya tanpa harus menambah investasi. Helbi hanya memanfaatkan kulkas miliknya untuk memenuhi permintaan lelek. Dengan es batu saja, kata Helbi, ia bisa menutupi separuh biaya solar mesin pembangkit listrik yang ada di rumahnya. Dengan tertutupi separuh, Helbi sudah merasa untung karena nilai rupiah yang separuhnya lagi itu sudah sama dengan pengeluaran rumah tangga lain untuk solar. Belum lagi sesekali lelek ikut belanja kebutuhannya di toko milik Helbi.
Kemampuan para punggawa ini mengelola dan menjaga hubungan sosial agar tetap baik dengan warga merupakan contoh bagaimana tertib sosial dapat diciptakan dalam masyarakat. Saling menjaga kepentingan sebagaimana
diterapkan para punggawa terhadap sesama dan terhadap nelayan rekanannya itu menjadi contoh bagiamana ikatan-ikatan sosial dapat dipelihara. Sebuah cerita dari Pak Sahnar (50) dalam pengalamannya sebagai anggota sebuah kelompok penangkapan ikan dengan menggunakan pukat milik juragannya, mengungkapkan satu lagi contoh bagaimana menjaga dan mengelola hubungan-hubungan sosial. Pak Sahnar ikut dengan seorang juragan menangkap ikan dengan menggunakan pukat. Pukat dan kapal adalah milik juragan sementara biaya operasi setiap kali melaut ditanggung bersama antara juragan, dia dan satu lagi rekannya. Hubungan kerja macam itu sudah dilakukan sejak lama, namun masih tetap bertahan hingga kini karena ada keterbukaan dalam manajemen.
“Berapa solar, berapa makanan, dan berapa hasil kilo serta harga jual ikan. Semuanya jelas,. sehingga kita tahu berapa bagian kita. Berapa untuk kapal”, kata Sahnar menjelaskan manajemen terbuka itu. Lebih lanjut Sahnar mengatakan:
“Keterbukaan juragan membagi hasil karena anak buah juga jujur dan suka menolong. Jujur kita itu artinya tidak mengambil barang-barang yang bukan milik kita dari kapal. Kalau gak bisa pergi karena sakit, bilang sakit. Kemudian kalau lihat kawan kerja, kita bantu. Kita pokoknya suka menolong. Anak buah itu tidak boleh terlalu ‘berhitung’ dalam mengeluarkan tenaganya. Artinya kita tidak boleh berdiam diri manakala ada pekerjaan yang patut dikerjakan. Kita harus membantu juragan, misalnya membuatkan kopi, memasakkan air, membuang air dari dalam kapal, dan sebagainya. Besok harinya membersihkan kapal, ngecet, dan lain-lain. Jadi kita jangan biarkan juragan kita mengerjakan sendiri. Kita gotong royong lah. Kita jangan terpaku hanya mengerjakan tugas kita saja. Misalnya, kalau tugas kita juru mesin jangan itu saja. Atau kalau
tugas kita tebar jaring terus gak mau bantu lagi tugas lain. Ini tidak bagus. Dengan begini juragan senang sama kita. Juragan pun tidak sembarangan mengeluarkan kita. Kalau kita dikeluarkan, kita bisa tanya apa alasannya”.
Dari contoh-contoh tersebut di atas dapat ditarik pelajaran bahwa tertib sosial dapat dibangun tanpa mesti ada organisasi yang tugasnya khusus menjaga tertib sosial. Semua individu, termasuk punggawa, juragan dan anak buah (nelayan) dapat membangun tertib sosial di lingkungannya masing-masing. Ikatan-ikatan kepentingan memungkinkan hal itu terjadi. Konsisten pada ‘janji’, jujur dan bertanggungjawab, saling menghormati dan tidak enggan menolong adalah kunci dari ketertiban sosial.
Adanya pola penguasaan terhadap tanah dan armada tangkap
menggambarkan struktur penguasaan masyarakat terhadap produksi13. Adanya pola penguasaaan terhadap sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, maka penguasaan berhubungan dengan sumberdaya manusia untuk mengelola
sumberdaya terjadi pula. Pada komunitas nelayan, stratifikasi sosial berdasarkan penguasaan atas sumberdaya manusia menunjukkan pola yang sama. Hal ini karena tiap individu memiliki kekuatan sendiri berupa modal untuk menguasai baik sumberdaya alam yang bernilai ekonomi dan sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja.
Hubungan yang terjadi antara lapisan kelas atas dengan bawah pada komunitas nelayan membentuk hubungan punggawa-anak buah (nelayan). Istilah ini lebih terkenal dengan hubungan patron-klien (Satria, et al 2002). Hubungan yang sangat erat antar patron-klien ini disinyalir oleh masyarakat umum
berdampak negatif terhadap klien. Secara struktural klien berada diposisi lemah akibat dari sistem buruh atau bagi hasil yang ditetapkan, tetapi masyarakat Pulau Derawan dan Pulau Maratua (Kepulauan Derawan) memandang bahwa punggawa sebagai pelindung. Hal ini karena pada masyarakat Kepulauan Derawan terbentuk budaya hak dan kewajiban secara moral diberikan kepada dua simbol kelas sosial tersebut. Hak dan kewajiban tersebut suatu keharusan dan telah terinternalisasi (mendarah daging) dan menjadi nilai-nilai moral kelas atas. Akibat dari kejadian
13
Struktur produksi merupakan struktur masyarakat untuk mendapatkan penghasilan ekonomi, hasil dari kerjasama yang saling membutuhkan dengan masyarakat lainnya yang berbeda dalam kepemilikan alat produksinya seperti tanah pertanian dan armada tangkap untuk melaut.
82
kecelakaan yang menimpa nelayan yang sedang melaut, banyak keluarga nelayan tidak memiliki kepala keluarga atau kehilangan anaknya. Nelayan tersebut berprofesi sebagai anak buah (nelayan) atau juru mudi yang menyewa perahunya punggawa. Oleh karena itu, kewajiban punggawa harus melindungi keluarganya dengan cara memberikan bagian dari hasil tangkapannya yang biasa sering didapatkan kepada keluarganya. Selain itu hubungan yang terbentuk antara punggawa dengan nelayan sangat kuat, pada saat melaut seluruh kebutuhan pokok selama di laut akan ditanggung oleh punggawa, baik kebutuhan di kapal maupun keluarga yang ditinggalkannya, juga pada saat nelayan membutuhkan uang untuk keperluan biaya berobat atau sekolah anak, maka tanpa sungkan-sungkan
punggawa akan memberikan pinjaman tanpa ada bunga dan batas waktu
pengembalian, sehingga secara moral pun nelayan akan menjual hasil tangkapan ikannya kepada punggawa.
Pada saat musim panen, pendapatan nelayan kerapu dalam satu kali melaut dalam 20 hari kerja selama sebulan sekitar Rp 1.000.000 – 2.500.000.14 itu
merupakan pendapatan bersih nelayan setelah dipotong seluruh biaya yang ditanggung punggawa selama melaut, seperti bahan bakar dan sembako. Sebelum berangkat melaut biasanya nelayan akan mengisi bahan bakar dan mengambil sembako di rumah punggawa untuk keperluan selama melaut, juga untuk kebutuhan kelaurga selama ditinggalkannya. Untuk nelayan kerapu ini lokasi pemancingannya adalah di sekitar Karang Muaras, Pulau Sambit, Pulau Mataha dan sekitarnya, dimana lokasi tersebut terletak di wilayah perbatasan. Sehingga tidak memungkinkan mereka untuk pulang pergi kerumah, sehingga harus
menginap di dalam atoll karang selama di Karang Muaras, atau merapat ke pulau-pulau terluar tersebut. Ikan kerapu harus dijual dalam kondisi hidup, supaya mendapatkan harga tinggi sehingga selama melaut nelayan memasang keramba (Lokal)15 di sekitar Karang Muaras untuk mengkarantina sementara ikan kerapu tangkapannya, tiga hari sekali mereka beri makan agar tetap hidup, sambil
menunggu kapal loding dari Hongkong atau Tarakan yang memang menjadi mitra
14
Dalam sebulan (20 hari) melaut mendapatkan kerapu sebanyak 50 kg hanya kerapulah yang biasanya masuk dalam pembagian hasil sedangkan hasil tangkapan campuran biasanya dibawa oleh nelayan untuk dikonsumsi bersama keluarga.
15 Keramba tancap yang dipakai untuk menampung ikan selama memancing di sekitar karang muaras, sehingga ikan bisa tetap hidup.
masing-masing punggawa mereka. Sehingga transaksi jual beli antara punggawa dan kapal loding berlangsung di laut. Sedangkan pembayaran ke nelayan akan dilakukan di rumah punggawa setelah dipotong hutang modal produksi, tidak heran selama penelitian berlangsung peneliti jarang sekali melihat nelayan membawa pulang hasil tangkapannya ke kampung. Harga jual ikan Kerapu dari nelayan ke punggawa sangat bervariasi, sesuai dengan jenis dan beratnya. Untuk jenis Kerapu Sunu (Seising) untuk ukuran baby perkilogramnya adalah Rp.30.000, ukuran super Rp. 56.000, sedangkan ukuran 1.3 kg keatas dihitung
Rp.57.000/ekor. Untuk Kerapu Macan ada selisih harga sekitar Rp.4000 dari Kerapu Sunu. Sehingga dibandingkan ikan lainnya yang hanya Rp. 5000 perkilogram, menangkap ikan Kerapu menjadi target utama bagi nelayan
Kepulauan Derawan, apalagi untuk Kerapu jenis Tongsing dapat mencapai harga hingga Rp. 145.000 / kilogram. Sedangkan punggawa mengambil keuntungan sekitar Rp.15.000 / kilogramnya ketika menjual kepada Kapal loding. Dalam sebulan biasanya nelayan kerapu melaut selama 20 hari, sedangkan 10 hari sisanya mereka pakai untuk beristirahat, dan memperbaiki perahu yang rusak.
Semakin eratnya hubungan antara punggawa dan nelayan nelayan akan mempengaruhi keterikatan kohesi asimetris16. Oleh karena itu walaupun hubungan antara patron-klien tersebut asimetrik tetapi hal ini merupakan solidaritas (kohesi social) masyarakat yang begitu kuat dalam interaksi sosial ekonomi masyarakat sejak lama.17 Menurut Scott (1993) dalam Satria (2003) bahwa sistem tukar menukar tenaga kerja jasa dan benda dalam proses produksi seperti ini pula dapat berperan sebagai penggerak aksi kolektif (collective conscience) dalam
masyarakat.
Pengaruh dari pola pemukiman yang terkonsentrasi di lima kampung pada komunitas nelayan Kepulauan Derawan, menyebabkan hubungan antara kelas sosial nelayan terjadi tumpang tindih. Pada saat penelitian dilakukan beberapa
16
Kohesi dalam masyarakat terbagi atas dua bagian yaitu kohesi simetris dan asimetris. Asimetris timbul karena adanya perbedaan lapisan antara atas dan bawah , kaya dan miskin atau dunungan-pakacar.
17
Hubungan antara dua lapisan masyarakat tersebut lebih memprioritaskan moral budaya yang saling membutuhkan dan menghormati. Seorang punggawa menjadi pelindung kepada nelayan karena terikat norma yang berlaku. Hal ini sejalan dengan teori sosial-fungsional dimana suatu masyarakat melakukan penghormatan kepada lapisan lainnya untuk menghindari persengketaan tetapi keinginannya untuk tetap selalu bekerjasama saling melindungi. Walaupun hubungan tersebut dirasakan tidak adil, ini karena perbedaan status dan peran antara lapisan yang ada.
84
orang dari masyarakat menduduki posisi sebagai punggawa, disatu sisi memiliki tanah dan di sisi lain memiliki toko. Terjadinya status dan peran yang tumpang tindih ini menjadikan masyarakat melakukan penghormatan yang lebih. Figur tersebut menjadi orang yang terpandang dan memiliki nilai kharismatik tersendiri. Masyarakat sepenuhnya memberikan kepercayaan untuk mengurusi permasalahan kepada punggawa. Struktur seperti ini memiliki kelebihan dimana simbol ini digunakan sebagai simbol jaringan komunikasi secara tradisional. Proses aksi kolektif secara cepat pula dapat digerakkan karena adanya sistem kepemimpinan yang bersifat monolitik.
Tabel 21. Kewajiban dan Hak dalam Hubungan Punggawa-Nelayan.