VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Struktur Sosial Masyarakat
6.1.1 Pola Pemukiman Masyarakat
Tersebarnya penduduk Kepulauan Derawan pada wilayah tertentu
mengakibatkan ketidakmerataan penyebaran penduduk antar kampung. Umumnya warga lebih memilih tempat tinggal secara terpusat di sekitar pusat pemerintahan desa atau di sepanjang pantai. Secara fisik, budaya ini dicirikan dengan rumah-rumah yang berada di tepi pantai terdapat bentengan batu-batu dan karang mati disekitarnya. Hal ini untuk mencegah rembesan air ke darat dan untuk menahan dari terjangan ombak ketika pasang. Bentuk-bentuk rumah penduduk umumnya telah memakai arsitek gaya perumahan kota dan permanen, terbuat dari bahan batu bata, semen dan atap memakai seng. Arsitektur rumah penduduk beraneka ragam seperti gaya rumah yang ada diperkomplekan kota-kota besar dengan memasang tiang di depan rumah, pagar kayu yang tertata dan pot-pot bunga yang besar, sehingga menambah asri rumah-rumah penduduk. Selain bentuk permanen, ditemukan pula rumah-rumah yang masih panggung, terbuat dari papan atau anyaman bambu (bilik). Perbedaan bentuk rumah penduduk ini didasari oleh kekuatan ekonomi keluarga yang selalu dijadikan sebagai salah satu simbol dalam stratifikasi masyarakat yang ada di pesisir.
Setiap kampung yang ada umumnya didominasi oleh komunitas nelayan dengan berbagai macam alat tangkap. Semakin lama pola komunitas berkembang berhubungan dengan terdiferensiasinya berbagai macam alternatif mata
pencaharian, seperti memanfaatkan sumberdaya hutan pantai untuk mencari kayu-kayu bakar, mencari kelapa dan daun-daun pandan yang ada disekitar pemukiman penduduk.
(a) (b) (c) (d) Keterangan :
(a) Pemukiman penduduk di sepanjang pantai.
(b) Rumah panggung bentuk adaptasi terhadap topografi pulau yang curam. (c) Pemukiman penduduk yang dibangun jauh dari pantai.
(d) Speed boat yang ditambatkan di depan darmaga kampung.
Gambar 12. Pemukiman Masyarakat di Kepulauan Derawan. Komunitas pemukiman nelayan menempati lima area perkampungan di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, yaitu Kampung Teluk Harapan, Payung-payung, Bohesilian, Teluk Alulu dan Derawan. Pemilihan tempat ini
dilatarbelakangi untuk memudahkan aktifitas pendaratan perahu nelayan. Secara fisik, memang topografi lokasi tersebut tidak memiliki tutupan karang yang terjal, sehingga banyak penduduk mendirikan rumah di sekitar pantai tersebut, kecuali kampung Bohe Silian dan Teluk Alulu yang pemukiman penduduknya
kebanyakan di bangun diatas bukit kapur yang terjal, rumah biasanya dibangun menjorok kearah pantai dengan bentuk seperti rumah panggung. Pondasi rumah terbuat dari kayu ulin dengan lantai juga terbuat dari papan. Bentuk rumah seperti ini merupakan adaptasi terhadap topografi pulau Maratua yang memang
didominasi oleh perbukitan kapur. Akan tetapi keuntungannya Kampung Bohe Silian dan Teluk Alulu ini terlindung dari ombak besar ketika musim utara atau selatan karena terletak di bagian dalam teluk (atoll) Maratua, sehingga sering dijadikan sebagai tempat sandaran kapal-kapal besar, selain itu pemukiman ini terlindung oleh hutan bakau karena terletak di teluk atau sungai kecil yang menjorok kedalam sehingga terhindar dari gelombang besar dan angin.
Sedangkan di Pulau Derawan hanya terdapat satu kampung , dengan penduduk sekitar 1.370 jiwa mendiami pulau seluas 48,704 ha. Pulau Derawan merupakan sistem lahan Putting (PTG) yang merupakan pantai dengan
kemiringan dibawah 2 % dengan tipe batuan berasal dari laut, sehingga dengan kondisi tersebut pemukiman tersebar merata di seluruh daratan pulau.
70
(a) (b) (c) (d) Keterangan :
(a) Aktifitas nelayan di Teluk Alulu.
(b) Nelayan sedang memperbaiki jaring yang rusak (c) Ikan yang sedang di jemur di pinggir pantai (d) Nelayan sedang membuat kapal
Gambar 13. Berbagai Aktifitas Nelayan
Perkembangan nelayan di kawasan pantai cukup pesat, walaupun dalam pemanfaatan sumberdaya masih menggunakan alat tangkap sederhana seperti mini trawl, jaring gondrong, dogol, pukat yang menggunakan perahu dayung sampai motor tempel yang hanya berkekuatan rata-rata 5-15 PK.
Pola penyebaran penduduk seperti yang telah disinggung di atas
merupakan adaptasi masyarakat terhadap alam5. Pola penyebaran pemukiman ini sangat bermanfaat sekali bagi warga kampung karena tujuannya untuk
mendapatkan kemudahan saling berinteraksi, berkomunikasi antar satu warga dengan warga lainnya, walaupun hubungan komunikasinya masih tradisional, tujuan lain pula dengan dekatnya pola pemukiman di sekitar sumberdaya, hal ini untuk memudahkan pengawasan dan pemanfaatan atas sumberdaya alam.
Pola pemukiman yang terkonsentrasi di beberapa kampung menjadikan rasa solidaritas dan hidup bermasyarakat sangat tinggi. Masyarakat dengan biasa bergotong-royong untuk memperbaiki berbagai fasilitas umum seperti rumah ibadah, perahu, serta untuk melakukan ritual mandi tulak bala6. Ritual mandi tulak bala ini masih dilaksanakan sampai saat ini, salah satu tujuannya untuk menjamin keselamatan mereka selama beraktifitas di laut, yang memang sangat beresiko dan rawan bencana seperti badai dan gelombang besar. Masyarakat
5
Pola adaptasi sering dilakukan oleh masyarakat asli yang pola mata pencahariannya sangat erat dengan alam seperti laut, hutan, tanah dan sungai sehingga masyarakat secara alamiah dirasakan penting untuk melakukan penghormatan kepada alam (Satria 2003) dengan melakukan ritualitas seperti duwata, bejin dan lainnya sesuai dengan kondisi daerah dan mata pencaharian masyarakat. 6 Budaya mandi tulak bala dikenal masyarakat umum merupakan tradisi pesta laut yang dilakukan oleh masyarakat yang bekerja dari hasil melaut. Dalam budaya mandi tulak bala menurut masyarakat Kepulauan Derawan merupakan sebagai tanda rasa syukur usainya masa panen ikan dan menghindarkan dari musibah dan petaka selama melaut.
merasakan dengan saling dekatnya rumah mereka dengan yang lainnya, perasaan ikatan solidaritas mereka sangat tinggi. Jika tetangga mereka terkena musibah, tetangga lainnya selalu mengulurkan untuk memberi pertolongan. Ketika ada yang meninggal dunia, tetangga lainnya berbondong-bondong untuk segera melawat (ngelayat) keluarganya dengan menyisihkan barang-barang berbentuk uang, beras dan lainnya yang biasa dimanfaatkan oleh keluarga yang
ditinggalkan. Selain itu budaya gotong royong juga terlihat ketika ada kegiatan yang menyangkut konservasi penyu, misalnya bersih pantai dan pen-tagging an yang rutin dilakukan masyarakat bekerjasama dengan tim monitoring penyu. Untuk meningkatkan lagi ikatan kekerabatan, biasanya tiap minggu warga biasanya melakukan pengajian Majlis Talim yang disertai dengan aktifitas lain seperti membuat kelompok arisan ibu-ibu PKK, kelompok rebana dan kelompok shalawatan. Bahkan rasa saling percaya diantara mereka sangat kuat, seperti bapak Ahmad Yani, dari kampung Payung-payung mengaku tidak pernah mengunci pintu rumahnya, kecuali sampai ditinggal berhari-hari, juga banyak warga yang memarkir kendaraannya tanpa dikunci karena mereka sudah saling mengenal dan percaya.
Ikatan sosial seperti ini menurut Soekanto (1993) hadir karena adanya persamaan tempat (territorial based relationship community) dan didasari atas kesamaan kepercayaan beragama (religius community) yaitu agama islam. Oleh karena itu, pola pemukiman terpusat tersebut sebagai salah satu modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh masyarakat (Dyah 2007) dimana mereka bisa bekerjasama dan berkelompok dengan mudah untuk menjamin kelangsungan hidup. Gerakan gotong-royong, berkumpul dan bekerjasama untuk saling membantu dalam kepentingan umum dengan mudah dan cepat dapat dilakukan.